Setelah berminggu-minggu berpikir dan menimbang segala kemungkinan, Carlos akhirnya mengambil keputusan. Dia menatap Keira yang tengah duduk di sofa dengan perut membuncit, tangannya mengusap lembut perutnya yang sudah memasuki trimester akhir.
"Baiklah," kata Carlos akhirnya, suaranya terdengar mantap meski ada sedikit keraguan di matanya. "Aku akan mempertimbangkan untuk menikah lagi… tapi setelah anak kita lahir." Keira tersenyum lega. "Aku tahu ini berat buat kamu, Carlos. Tapi aku percaya kamu akan mengambil keputusan yang terbaik." Carlos menghela napas panjang. "Aku nggak pengen ada perempuan lain selain kamu, Keira. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu." Keira menggenggam tangan suaminya. "Aku juga nggak akan pernah meninggalkanmu, Carlos. Aku cuma ingin yang terbaik untuk kita semua. Kalau kamu menikah lagi, itu bukan berarti aku berhenti mencintaimu." Carlos tersenyum tipis. "Tapi aku nggak mau sembarangan milih. Aku mau seseorang yang bisa cocok sama kita berdua, yang bisa jadi bagian dari keluarga kita, bukan cuma istri kedua yang sekadar ada." Keira mengangguk. "Dan aku akan membantumu menemukan orang itu." Carlos menarik napas panjang. "Baiklah. Setelah anak kita lahir dan kamu benar-benar pulih, kita akan membahas ini lagi." Keira tersenyum puas. Keputusan ini memang bukan hal yang mudah, tapi dia yakin ini yang terbaik. Yang terpenting, mereka akan menghadapi semuanya bersama. Carlos datang ke kantor Dimitri,sahabat karibnya Carlos menatap Ruby dari kejauhan, mengamati bagaimana wanita itu berbicara dengan bawahan-bawahannya di kantor Dimitri. Sebagai seorang manajer, Ruby terlihat begitu percaya diri dan tegas, tapi tetap punya aura lembut yang menarik perhatian. Carlos menyeringai. Cantik, pintar, punya karier cemerlang... Sepertinya cocok. Dia melangkah mendekat, pura-pura kebetulan bertemu. "Hey, Ruby, sibuk banget ya?" Ruby menoleh dan mengangkat alisnya. "Oh, Carlos! Tumben nongol di sini. Ada urusan sama Bos Dimitri?" Carlos tersenyum santai. "Iya, sekalian mampir lihat-lihat. Aku dengar kamu manajer yang paling hebat di sini." Ruby tertawa kecil. "Jangan percaya gosip. Aku cuma bekerja seperti biasa." Dari obrolan santai itu, Carlos mulai lebih sering mengajak Ruby berbicara, sesekali makan siang bersama, dan secara perlahan mendekatinya. Namun, ada satu hal yang tidak ia sebutkan—statusnya sebagai suami dan ayah. Carlos makin sering mampir ke kantor Dimitri, meskipun urusannya hanya sebentar. Yang sebenarnya dia cari, tentu saja Ruby. Wanita itu selalu tampil rapi, elegan, dan punya cara bicara yang membuat Carlos betah berlama-lama. Hari itu, Ruby baru keluar dari ruang rapat ketika ia melihat kotak kecil berbalut pita di atas mejanya. Ia menoleh ke kanan–kiri, lalu membuka pelan. Di dalamnya, sepasang anting berlian besar bersinar lembut. "Siapa yang—" “Aku,” suara Carlos muncul dari belakangnya. Ruby menoleh cepat, sedikit kaget. Carlos menyeringai santai. “Kamu kelihatan stres akhir-akhir ini. Sedikit kilau mungkin bisa bantu.” Ruby menahan senyum, mencoba tetap tenang. “Carlos, kamu tahu aku bukan tipe cewek yang bisa dibeli dengan barang mahal, kan?” Carlos mendekat selangkah, suaranya lebih rendah. “Aku tahu. Makanya aku kagum sama kamu. Tapi apa salahnya dimanjakan sekali-sekali?” Ruby menatapnya lama, akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih. Tapi jangan biasakan ya. Bahaya.” Carlos tertawa. “Terlambat.” -- Malam itu langit tampak jernih, dan angin terasa hangat. Carlos menyewa private lounge di rooftop hotel mewah—tempat yang menghadap langsung ke city light yang berkelap-kelip. Ruby datang mengenakan gaun hitam simpel tapi anggun. Carlos sudah menunggunya di meja yang dihiasi kelopak mawar dan cahaya lilin. “Apa ini?” tanya Ruby, tersenyum bingung. Carlos berdiri dan menarik kursi untuknya. “Cuma... malam biasa yang aku pengen bikin luar biasa.” Setelah makan malam santai dan beberapa obrolan ringan, Carlos mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Tapi bukan cincin. Sebuah gelang emas putih tipis dengan liontin huruf “R” dan “C”. Ruby menatap gelang itu, lalu menatap Carlos. “Kamu lagi-lagi kasih aku hadiah?” Carlos menggenggam tangannya. “Bukan hadiah. Ini... simbol.” “Simbol apa?” Carlos menarik napas panjang. Lalu menatap Ruby dalam-dalam. “Ruby... Aku suka kamu. Bukan karena kamu cantik, pintar, atau penuh karisma—meskipun itu semua benar. Aku suka kamu karena kamu bikin aku ngerasa hidup. Tenang. Tapi juga tertantang.” Ruby terdiam. Matanya mulai lembut. “Aku tahu ini cepat,” lanjut Carlos, “Tapi aku nggak main-main. Aku pengen kamu jadi pacarku. Bukan cuma teman makan malam atau rekan curhat. Aku pengen kita lebih dari itu.” Ruby menunduk sebentar, menahan senyum. Lalu menatapnya lagi dengan mata berbinar. “Dan kalau aku bilang iya, apa kamu masih akan kasih aku hadiah tiap minggu?” Carlos terkekeh pelan. “Kalau kamu bilang iya, aku bakal kasih kamu bukan cuma hadiah... tapi waktu, perhatian, dan seluruh sisi aku yang nggak semua orang pernah lihat.” Ruby tersenyum lebar. “Kalau gitu… iya.” Carlos tersenyum lebar, berdiri dan menarik Ruby ke dalam pelukan hangat. Tak butuh lama, ia mengecup keningnya lembut. Ruby tersipu, lalu berbisik, “Kamu ini romantis atau pemain lama, sih?” Carlos menatapnya dalam. “Aku mungkin udah pernah deket sama banyak wanita, tapi baru kali ini aku ngerasa... nyaman banget. Tenang.” Malam itu, saat mereka berdiri di balkon, Ruby memeluk tubuhnya karena angin dingin. Carlos meraih bahunya, lalu menatap mata Ruby dalam-dalam. Tanpa banyak kata, ia mendekat, dan Ruby pun tidak menghindar. Ciuman itu lembut, pelan, tapi jelas bukan sekadar coba-coba.Beberapa jam kemudian, Steve berada di depan apartemen Sukma. Ia menekan bel dengan jantung berdebar. Ketika pintu terbuka, Sukma menatapnya dengan mata waspada, menahan emosi yang bercampur—marah, khawatir, dan rindu. “Sukma… aku sudah bercerai dari Sasa,” kata Steve dengan suara tegas namun lembut. “Aku di sini untukmu. Untuk kita.” Sukma menelan ludah, hatinya berdebar. “Steve… aku masih… aku masih takut. Aku tidak mau lagi jadi penyebab kehancuran rumah tangga seseorang.” Steve melangkah lebih dekat, menatap mata Sukma dengan penuh pengertian. “Aku tahu. Itu sebabnya aku membuat semua rapi bukan kamu perusak rumah tanggaku. Sasa… sudah selesai. Dan aku tidak lagi terikat dengan siapa pun, kecuali dengan hatiku sendiri—yang selalu untukmu.” Sukma menarik napas, matanya berkaca-kaca. “Steve… aku janda empat kali. Aku… aku pernah tidur dengan tujuh laki-laki, termasuk kamu. Aku takut… takut kalau semua ini akan menyakiti kita lagi.” Steve tersenyum tipis, pahit tapi jujur. “Dan
--- Pagi itu, udara di kota terasa berat, seakan menandai akhir dari sesuatu dan awal dari yang baru. Steve berdiri di depan rumah, memandangi dokumen perceraian yang baru saja mereka tandatangani dengan Sasa. Rasanya aneh—lega, tapi juga ada rasa hampa yang tidak bisa ia jelaskan. Beberapa minggu terakhir begitu melelahkan, penuh konflik dan kebohongan, hingga akhirnya semuanya berakhir dengan kejujuran pahit. Siska menunggu di mobil, tangannya memeluk tas kecil. Matanya menatap Steve dengan campuran rasa ingin tahu dan kekhawatiran. Ia tahu perasaannya terhadap Steve rumit—cinta, harapan, tapi juga ketakutan. Hari ini, semuanya akan terjawab. Steve menutup pintu rumah perlahan dan berjalan ke arah mobil. “Siska… terima kasih,” katanya, suaranya berat tapi tulus. “Jika bukan karena kau… mungkin aku tidak akan bisa melepaskan Sasa dengan benar.” Siska menatapnya, jantungnya berdebar. “Aku… aku hanya membantu. Tapi… apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyanya, suara lembut, h
---Siska menatap ponselnya dengan jantung berdebar. Pesan-pesan dari teman-teman kuliahnya terus berdatangan, menuduhnya “pelakor”, “simpanan”, bahkan “wanita yang merusak rumah tangga orang.” Ia menelan ludah, merasa dunia tiba-tiba sempit di sekelilingnya. Setiap nada dering, setiap getar notifikasi membuat hatinya berdebar. Ia menatap layar ponsel, membaca satu per satu komentar yang menusuk, seakan setiap kata adalah jarum yang menusuk hatinya. Dunia terasa tak adil; hanya karena ia dekat dengan Steve—yang bagi orang lain tampak sebagai “suami orang”—Siska harus menerima segala celaan.Namun, satu hal yang membuatnya tetap tenang adalah Steve. Keberadaannya selalu menenangkan, selalu menegaskan bahwa Siska tidak bersalah, dan selalu membela dengan tegas. Steve tidak peduli apa yang orang lain katakan. Ia menatap Siska dengan mata yang penuh keteguhan, seakan mengatakan, “Aku tahu kebenarannya, dan aku memilihmu.”“Jangan dengarkan mereka,” kata Steve dengan lembut, suaranya menen
Sasa menelan ludah, tangannya gemetar saat menekan bel rumah ibu Steve. Ia tahu ini gila, tapi hatinya tak bisa diam. Ia harus memberi tahu ibu Steve—tentang Siska,.Pintu terbuka, dan ibu Steve menatapnya dengan alis terangkat. “Sasa? Ada apa kau datang sendiri?”Sasa menunduk sebentar, menahan air mata yang mulai menggenang. “Mami… aku… aku harus bicara. Tentang Steve… dan Siska,” suaranya parau.Ibu Steve menyuruhnya masuk. “Baik, duduklah. Ceritakan apa yang terjadi.”Sasa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Mami… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku hanya ingin ibu tahu. Steve… dia selingkuh. Dengan Siska.”Wajah ibu Steve berubah seketika. Matanya melebar, alisnya berkerut. “Apa yang kau katakan, Sasa? Selingkuh? Dengan Siska?”Sasa mengangguk, suaranya gemetar. “Iya, Bu… dan bukan hanya itu. Siska… dulunya simpanan seorang om-om kaya. Bahkan… ia pernah menjadi pelacur. Aku tidak ingin Steve terluka. Aku… aku ingin ibu tahu semua ini sebelum… sebelum
--- Malam itu, Sasa masih terduduk di ranjang dengan mata sembab. Pipinya basah, suaranya parau karena terlalu lama menangis. Rumah besar ini terasa bagai penjara: setiap sudut menyimpan luka, setiap dinding memantulkan tawa Siska dan dinginnya tatapan Steve. Namun di tengah keputusasaan itu, sesuatu mulai tumbuh. Bukan lagi tangis, melainkan bara kecil yang membakar dada. “Cukup sudah,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tak akan biarkan diriku diinjak-injak lagi. Jika Steve pikir aku hanya akan menangis… dia salah besar.” Tangannya meremas sprei, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Air mata terakhir jatuh, lalu berhenti. Malam itu, Sasa berubah. --- Keesokan harinya, Sasa bangun lebih pagi dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin, menatap wajah pucatnya sendiri. Lama ia hanya terdiam, sebelum akhirnya bibirnya melukis senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh rahasia. Ia merias wajahnya perlahan. Sentuhan bedak tipis, lipstik merah muda, gaun ruma
Malam itu rumah Steve sunyi. Dari luar, orang-orang selalu melihat pernikahan Steve dan Sasa sebagai gambaran ideal: pasangan mapan, tampan dan cantik, hidup berkecukupan. Tapi di dalam, kenyataan jauh berbeda. Steve duduk di ruang tamu dengan tatapan dingin. Ia baru saja pulang bersama Siska, yang melenggang masuk begitu saja tanpa rasa bersalah. Rambut panjangnya tergerai, gaun mini ketat menempel di tubuh, hak tinggi berderap di lantai marmer. Sasa muncul dari dapur, wajahnya kaku. “Steve… apa maksudmu membawa dia ke sini lagi?” Steve menoleh, tatapannya tajam. “Sasa, aku sudah bilang. Rumah ini bukan milikmu seorang. Aku pemiliknya juga. Dan aku bebas membawa siapa pun yang aku mau.” Siska tersenyum sinis, duduk manja di sebelah Steve, lalu merangkul lengannya. “Malam, Mbak Sasa…” sapanya dengan nada mengejek. Wajah Sasa memucat. Hatinya bergetar hebat melihat Steve sama sekali tidak menolak pelukan Siska. Justru sebaliknya, Steve membiarkannya, bahkan menepuk paha Siska de