Home / Romansa / Suami Perkasa / Demi Istriku

Share

Demi Istriku

last update Last Updated: 2025-07-03 03:00:57

Setelah berminggu-minggu berpikir dan menimbang segala kemungkinan, Carlos akhirnya mengambil keputusan. Dia menatap Keira yang tengah duduk di sofa dengan perut membuncit, tangannya mengusap lembut perutnya yang sudah memasuki trimester akhir.

"Baiklah," kata Carlos akhirnya, suaranya terdengar mantap meski ada sedikit keraguan di matanya. "Aku akan mempertimbangkan untuk menikah lagi… tapi setelah anak kita lahir."

Keira tersenyum lega. "Aku tahu ini berat buat kamu, Carlos. Tapi aku percaya kamu akan mengambil keputusan yang terbaik."

Carlos menghela napas panjang. "Aku nggak pengen ada perempuan lain selain kamu, Keira. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu."

Keira menggenggam tangan suaminya. "Aku juga nggak akan pernah meninggalkanmu, Carlos. Aku cuma ingin yang terbaik untuk kita semua. Kalau kamu menikah lagi, itu bukan berarti aku berhenti mencintaimu."

Carlos tersenyum tipis. "Tapi aku nggak mau sembarangan milih. Aku mau seseorang yang bisa cocok sama kita berdua, yang bisa jadi bagian dari keluarga kita, bukan cuma istri kedua yang sekadar ada."

Keira mengangguk. "Dan aku akan membantumu menemukan orang itu."

Carlos menarik napas panjang. "Baiklah. Setelah anak kita lahir dan kamu benar-benar pulih, kita akan membahas ini lagi."

Keira tersenyum puas. Keputusan ini memang bukan hal yang mudah, tapi dia yakin ini yang terbaik. Yang terpenting, mereka akan menghadapi semuanya bersama.

Carlos datang ke kantor Dimitri,sahabat karibnya

Carlos menatap Ruby dari kejauhan, mengamati bagaimana wanita itu berbicara dengan bawahan-bawahannya di kantor Dimitri. Sebagai seorang manajer, Ruby terlihat begitu percaya diri dan tegas, tapi tetap punya aura lembut yang menarik perhatian.

Carlos menyeringai. Cantik, pintar, punya karier cemerlang... Sepertinya cocok.

Dia melangkah mendekat, pura-pura kebetulan bertemu. "Hey, Ruby, sibuk banget ya?"

Ruby menoleh dan mengangkat alisnya. "Oh, Carlos! Tumben nongol di sini. Ada urusan sama Bos Dimitri?"

Carlos tersenyum santai. "Iya, sekalian mampir lihat-lihat. Aku dengar kamu manajer yang paling hebat di sini."

Ruby tertawa kecil. "Jangan percaya gosip. Aku cuma bekerja seperti biasa."

Dari obrolan santai itu, Carlos mulai lebih sering mengajak Ruby berbicara, sesekali makan siang bersama, dan secara perlahan mendekatinya. Namun, ada satu hal yang tidak ia sebutkan—statusnya sebagai suami dan ayah.

Carlos makin sering mampir ke kantor Dimitri, meskipun urusannya hanya sebentar. Yang sebenarnya dia cari, tentu saja Ruby. Wanita itu selalu tampil rapi, elegan, dan punya cara bicara yang membuat Carlos betah berlama-lama.

Hari itu, Ruby baru keluar dari ruang rapat ketika ia melihat kotak kecil berbalut pita di atas mejanya. Ia menoleh ke kanan–kiri, lalu membuka pelan.

Di dalamnya, sepasang anting berlian besar bersinar lembut.

"Siapa yang—"

“Aku,” suara Carlos muncul dari belakangnya.

Ruby menoleh cepat, sedikit kaget.

Carlos menyeringai santai. “Kamu kelihatan stres akhir-akhir ini. Sedikit kilau mungkin bisa bantu.”

Ruby menahan senyum, mencoba tetap tenang. “Carlos, kamu tahu aku bukan tipe cewek yang bisa dibeli dengan barang mahal, kan?”

Carlos mendekat selangkah, suaranya lebih rendah. “Aku tahu. Makanya aku kagum sama kamu. Tapi apa salahnya dimanjakan sekali-sekali?”

Ruby menatapnya lama, akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih. Tapi jangan biasakan ya. Bahaya.”

Carlos tertawa. “Terlambat.”

--

Malam itu langit tampak jernih, dan angin terasa hangat. Carlos menyewa private lounge di rooftop hotel mewah—tempat yang menghadap langsung ke city light yang berkelap-kelip.

Ruby datang mengenakan gaun hitam simpel tapi anggun. Carlos sudah menunggunya di meja yang dihiasi kelopak mawar dan cahaya lilin.

“Apa ini?” tanya Ruby, tersenyum bingung.

Carlos berdiri dan menarik kursi untuknya. “Cuma... malam biasa yang aku pengen bikin luar biasa.”

Setelah makan malam santai dan beberapa obrolan ringan, Carlos mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Tapi bukan cincin. Sebuah gelang emas putih tipis dengan liontin huruf “R” dan “C”.

Ruby menatap gelang itu, lalu menatap Carlos. “Kamu lagi-lagi kasih aku hadiah?”

Carlos menggenggam tangannya. “Bukan hadiah. Ini... simbol.”

“Simbol apa?”

Carlos menarik napas panjang. Lalu menatap Ruby dalam-dalam.

“Ruby... Aku suka kamu. Bukan karena kamu cantik, pintar, atau penuh karisma—meskipun itu semua benar. Aku suka kamu karena kamu bikin aku ngerasa hidup. Tenang. Tapi juga tertantang.”

Ruby terdiam. Matanya mulai lembut.

“Aku tahu ini cepat,” lanjut Carlos, “Tapi aku nggak main-main. Aku pengen kamu jadi pacarku. Bukan cuma teman makan malam atau rekan curhat. Aku pengen kita lebih dari itu.”

Ruby menunduk sebentar, menahan senyum. Lalu menatapnya lagi dengan mata berbinar.

“Dan kalau aku bilang iya, apa kamu masih akan kasih aku hadiah tiap minggu?”

Carlos terkekeh pelan. “Kalau kamu bilang iya, aku bakal kasih kamu bukan cuma hadiah... tapi waktu, perhatian, dan seluruh sisi aku yang nggak semua orang pernah lihat.”

Ruby tersenyum lebar. “Kalau gitu… iya.”

Carlos tersenyum lebar, berdiri dan menarik Ruby ke dalam pelukan hangat. Tak butuh lama, ia mengecup keningnya lembut.

Ruby tersipu, lalu berbisik, “Kamu ini romantis atau pemain lama, sih?”

Carlos menatapnya dalam. “Aku mungkin udah pernah deket sama banyak wanita, tapi baru kali ini aku ngerasa... nyaman banget. Tenang.”

Malam itu, saat mereka berdiri di balkon, Ruby memeluk tubuhnya karena angin dingin. Carlos meraih bahunya, lalu menatap mata Ruby dalam-dalam.

Tanpa banyak kata, ia mendekat, dan Ruby pun tidak menghindar.

Ciuman itu lembut, pelan, tapi jelas bukan sekadar coba-coba.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Perkasa   Marah

    Edgar baru benar-benar panik saat Mariana berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Bukan karena kata-katanya. Tapi karena satu fakta kecil yang tiba-tiba terasa sangat besar: Itu istrinya yang barusan dia biarkan pergi dengan wajah tenang tapi aura pembunuhan tingkat pasif-agresif. Edgar dengan napas terengah, menyusul Mariana di trotoar. “Mariana!” panggilnya lagi. “Aku cuma bercanda tadi! Aku nggak mikir kamu bakal ngambek—” Mariana berhenti mendadak. Edgar hampir nabrak punggungnya. “Kamu seneng direbutin,” kata Mariana tanpa menoleh. “Itu bukan bercanda. Itu karakter. Edgar membuka mulut. Menutup lagi. Salah semua kata. “Aku cuma… nggak nyangka Dinda bakal sejauh itu,” ujarnya akhirnya. Mariana berbalik perlahan. Senyumnya tipis. Terlalu rapi. “Edgar,” katanya lembut. “Dia nggak ngasih kamu makanan. Tapi kamu masih nikmatin perhatiannya.” “Itu cuma ego sesaat,aku minta maaf mar,aku salah—” “Nah,” potong Mariana. “Dan ego sesaat itu cukup bikin aku sadar

  • Suami Perkasa   Duel

    Mariana memilih tempat yang sepi tapi tetap publik. Bukan karena takut ditusuk, melainkan karena takut menonjok Dinda. Sebuah kafe kecil di sudut kota, dengan lampu kuning redup, musik jazz pelan, dan aroma kopi yang—anehnya—bikin perutnya mules, bukan tenang. Dinda datang sepuluh menit telat. Tapi tetap dengan gaya penuh percaya diri: jaket kulit, sepatu boots tinggi, dan senyum yang selalu membuat orang waspada. Begitu dia duduk, dia langsung buka mulut. "Eh, Edgar bilang apemku enak, lho," katanya santai, sambil menaruh tasnya di kursi sebelah. Mariana melotot. Satu kalimat, dan perang sudah dimulai. "Apem?" tanya Mariana datar. Dinda menyeringai. "Yang aku kasih pas di kantor. Yang bulat-bulat, manis, lembut. Dia suka banget katanya. Nambah tiga kali." Mariana mencengkeram cangkir kopi yang belum sempat dia seruput. "Aku tahu apemmu yang itu." Dinda mengangkat alis. "Lah, aku cuma niat baik. Kasih camilan tradisional. Masa sekarang ngasih apem jadi tindakan kriminal?" M

  • Suami Perkasa   Bolu

    Sore itu, awan menggantung seperti kapas kelabu yang belum sempat dijahit angin. Hawa lengket khas pukul lima sore merambat dari jemuran yang baru saja diangkat Mariana. Ia baru selesai melipat handuk terakhir ketika suara notifikasi ponsel Edgar berbunyi pelan di meja makan.Ponsel itu tidak pernah dikunci. Mereka memang begitu—terbuka, katanya. Tapi Mariana tahu, keterbukaan bisa menjadi hal yang relatif, tergantung siapa yang sedang membuka dan apa yang ditemukan.Pesan itu datang dari nama yang cukup dikenalnya.Dinda:Makasih ya tadi udah nganterin. Ntar dirumah cobain Boluku yaMariana membacanya pelan. Sekali. Lalu dua kali. Jantungnya memukul lebih keras di dada, dan rasa asin seperti meluncur dari ujung lidah sampai ke dasar perut. *Dinda lagi. kemarin Apem sekarang Bolu.Dinda bukan sekedar rekan kerja Edgar. Dia adalah bab lama yang belum pernah benar-benar ditutup. Mantan pacar Edgar semasa kuliah. Cantik, pandai bicara, dan kalau Mariana tidak salah, dulu sempat menulis na

  • Suami Perkasa   Apemku

    Mariana duduk santai di sofa ruang tamu, kaki selonjor ke meja kopi yang penuh remah-remah biskuit sisa semalam. HP Edgar ada di tangannya—bukan karena mau kepo, tapi karena tadi ia transfer lewat m-banking. Biasa lah… saldo Mariana tinggal empat puluh ribu,semenjak menikah dengan Edgar,fasilitas Mariana dicabut bapaknya. Kayak hubungannya yang tinggal ampas kopi. HP itu jadi korban, bukan karena ia niat ngintip, tapi karena ia yang pegang, dan… manusiawi banget kalau jempol kebablasan ke notifikasi. Pas lagi scroll pelan-pelan, sok nggak niat, sok santai… ada satu notifikasi yang nongol kayak setan dari masa lalu. > Dinda: Edgar, gimana tadi… Apemku enak nggak? Mariana mendadak bengong. Apemku? Apemku??? Apa-apaan ini? Kenapa terdengar begitu… menjijikkan dan sensual sekaligus? Mariana diam. Otaknya langsung loading. Mulut kaku. Mata nanar. Makhluk apakah itu, Edgar? A-P-E-M-K-U? Mariana nggak langsung marah. Nggak. Ia bahkan nggak teriak. Nggak banting HP. Cuma diam. Tapi d

  • Suami Perkasa   Datanglah ke Carlos

    Senja merayap turun ketika Mariana menatap Edgar, suaminya, dengan sorot mata penuh kenal. Ia mencondongkan tubuh, seolah hendak membocorkan rahasia yang tidak semua laki-laki sanggup mendengar. “Kalau kamu mau belajar soal… kekuatan laki-laki,” katanya perlahan, “datanglah ke Mas Carlos.” Edgar mengangkat alis. “Carlos? kakakmu yang nikah enam kali itu?” Mariana tersenyum kecil. Senyum yang mengandung gosip, nostalgia, dan sedikit kasih sayang terhadap kakaknya yang satu itu. “Dulu, iya. Tapi masa lalunya sudah jadi legenda keluarga. Sekarang dia hanya setia pada satu istri. Kamu bakal heran lihat perubahannya.” Edgar terdiam sejenak. Sulit membayangkan lelaki yang pernah heboh dengan empat istri serentak itu kini menjelma menjadi lambang stabilitas rumah tangga. Tapi Mariana melanjutkan pembicaraan dengan, ringan tapi pasti: “Dia lagi di kafe barunya. *Café Del Corazón*. Kamu nggak mungkin kelewatan. Dari luar saja sudah seperti hotel butik.” Ada nada bangga di sua

  • Suami Perkasa   Dikunyah Jin

    Jam 21:30. Kamar terasa hening sampai hampir menakutkan, sepi yang membuat setiap detik terdengar terlalu jelas. Lampu kuning remang menyapu sudut-sudut ruangan dengan cahaya yang lembut, tapi cukup untuk menyorot bayangan kami di kasur. Aroma minyak nyong nyong masih tersisa di bantal, menguar samar, membawa kenangan pagi yang hangat dan menenangkan. Mariana baru saja selesai mandi, rambut dibungkus handuk yang mulai basah, daster longgar yang di kenakan melorot setengah ke bahu—sinyal tak tersurat, tapi jelas: “Ayo, kita mulai.” Edgar duduk di ujung kasur, tubuh tegap tapi tegang, wajahnya tampak serius tapi matanya berkilat. Ada sesuatu yang berbeda malam ini. Momen ini sudah lama dinanti, semacam ritual yang ia sebut sebagai “momen malam pertama.” “Sayang,” katanya sambil menyunggingkan senyum penuh percaya diri, “Aku siap. Aku minum jamu Afrika.” Mariana berhenti memegang daster, menatapnya dengan mata membelalak. “JAMU APA?!” Dia buru-buru mengeluarkan botol plastik d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status