Qizha membuka jendela. Celingukan ke sana sini. Untung saja samping rumah tidak begitu ramai.
Orang- orang mengerumun ke depan semua karena ingin menyaksikan uang mahar yang mencapai angka terbesar di komplek itu.Qizha mengambil kesempatan itu untuk kabur. Kebaya bawahannya yang sempit membuatnya kesulitan saat memanjat jendela yang agak tinggi. Namun ia berhasil memanjatnya meski harus terjatuh dan mencium tanah.Berikutnya, Qizha berlari secepat kilat menjauh dari rumah.Hujan deras menghuyur tubuhnya. Dingin sekali rasanya.Setelah ini, entah bagaimana nasibnya nanti. Semoga saja tidak menjadi gelandangan yang saat tengah malam ketemu wewe gombel. Yang penting dia bisa lepas dari Sofian, itu saja sudah cukup."Woi.. pengantinnya kabur!""Iya itu pengantinnya kabur!"Orang- orang yang memergoki Qizha tengah berlari kencang menjauh dari rumah, berteriak histeris sambil menunjuk- nunjuk ke arah Qizha. Mereka adalah orang- orang yang rewang dan sedang duduk di depan rumah."Haduh, ketahuan!" Qizha lari tunggang langgang.Sontak kehebohan melanda. Orang- orang di dalam rumah pun menghambur keluar.Beberapa orang diperintah oleh Sofian untuk mengejar menggunakan motor.Qizha yang sudah agak jauh, mempercepat laju larinya, hingga ia lepas dari jalan sempit dan menuju jalan raya. Ia lalu naik angkot yang melintas.Beberapa orang ibu-ibu yang duduk di dalam angkot memandanginya heran."Mau nikahan, Neng?" tanya salah seorang ibu."Kok, hujan- hujanan?" sahut lainnya.Qizha hanya tersenyum simpul. Wajahnya cemas sambil sesekali melihat ke belakang.Beberapa motor yang mengejar mulai kelihatan. Termasuk Sofian yang juga mengejar menggunakan motor gede.Gawat! Qizha panik. Jika ia sampai tertangkap, bukan hanya malu saja, tapi ia pasti bakalan menjadi bulan- bulanan Agata, juga Sofian karena sudah membuat malu dengan melarikan diri di hari pernikahan.Qizha turun dari angkot. Kemudian lanjut berlari. Ia bisa tertangkap jika terus berada di angkot itu karena kecepatan angkot jauh lebih lambat dibandingkan dengan motor Sofian dan anak buahnya.Lebih baik ia berlari dan menyusup memasuki area padat perumahan.Sengaja ia melewati gang gang sempit supaya Sofian kesulitan mengejarnya.Namun ternyata Sofian tak mau menyerah, pria itu tetap mengejar meski harus menempuh akses jalan yang sempit. Jarak mereka semakin dekat.Qizha terus menghambur melewati area belakang rumah penduduk, melewati tong sampah, kandang ayam, jemuran, dan banyak lainnya.Tanpa sadar, kolor hitam besar bahkan sampai harus tersangkut di kerudungnya saat ia menerobos bawah jemuran. Bajunya sobek tersangkut paku tiang jemuran.Lalu ia menyelinap masuk ke salah satu rumah kontrakan lewat pintu belakang. Yang untungnya pintu tidak terkunci.Ia meringkuk di balik lemari yang baru saja dia geser dan menimbulkan derit agak keras.Jantungnya berdegup keras, ketakutan. Berharap tidak akan tertangkap. Tubuhnya menggigil hebat. Berlarian di bawah guyuran air hujan dengan durasi cukup lama membuatnya kedinginan. Kepalanya menunduk.Deg! Melihat sepasang kaki berlapis sendal jepit yang berdiri di depan, membuat jantungnya berdetak keras.Apakah ia tertangkap?Pelan, ia mengangkat kepala. Terkejut melihat sosok pria yang tak dikenal. Rambutnya agak gondrong menutup telinga, disisir acak- acakan. Mengenakan kaos tanpa lengan hingga mempertontonkan lengannya yang kekar.Postur tubuhnya tinggi dan gagah. Wajahnya tampan. Namun tatapannya tajam dan gelap."Siapa kau?" Pria tampan itu menekan kening Qizha dengan telunjuk, membuat kepala Qizha sedikit terhuyung mundur."Kamu sendiri siapa?" Qizha balik tanya meski suaranya gemetaran, antara kedinginan dan gentar."Aku Qasam."Qasam? Nama itu sedang gempar diperbincangkan banyak orang beberapa hari terakhir ini karena disebut- sebut sebagai preman baru yang kerap bikin ulah, bikin onar dan keributan di wilayah itu. Bahkan diberi julukan preman beken.Padahal pria itu baru beberapa hari saja berada di wilayah itu, tapi sudah berani bertingkah.Dilihat dari postur badannya yang gagah dan kekar, para preman yang sebelumnya menguasai perkampungan itu pun pada ketakutan.Pasalnya, sehari yang lalu heboh dikabarkan bahwa para preman dikalahkan oleh Qasam hingga babak belur.Selain gagah dan atletis, Qasam ternyata jago silat juga. Pukulannya mampu membawa lawannya langsung ke rumah sakit.Tanpa Qizha sadari bahwa pria yang kini ada di hadapannya itu adalah atasannya.Tujuan Qasam menyamar menjadi preman di wilayah itu adalah untuk mencari pembunuh adiknya, Qansha. Berdasarkan informasi rahasia yang dia dapatkan, si pembunuh ada di wilayah itu."Kenapa kau menyusup rumah kontrakanku?" tanya Qasam."Oh.." Qizha nyaris seperti orang bloon. Rupanya orang yang tengah memergokinya sekarang adalah si pemilik rumah."Mm maaf. Aku nyasar.""Dan ini, kenapa kau mencuri celana dalamku?" Pria itu menyambar kolor besar yang nyangkut di kerudung Qizha.Wih, pantesan ada aroma bawang bombay sejak tadi. Ternyata sumbernya nyangkut di kepala."Itu tersangkut. Kamu lupa mengangkat jemuran. Aku berhasil mengangkat salah satunya.""Keluar kau!" Pria itu menarik lengan Qizha dengan kasar, tubuh Qizha terangkat dan berdiri."Jj jangan usir aku. Plis!"Sementara di luar sana, terdengar suara teriakan orang- orang memanggil sambil mengetuk pintu rumah kontrakan itu.Pria itu melirik ke arah pintu dapur dimana sumber suara terdengar ramai sekali. Tidak hanya satu orang saja yang berada di balik pintu itu."Kau membawa pasukan, hm?" Pria itu mencengkeram lengan Qizha."Bb bukan. Bukan aku yang mengajak mereka kemari. Tolong jangan buka pintunya. Mereka orang jahat."Pria itu menatap Qizha penuh pengawasan. Kemudian melangkah menuju pintu, Qizha menghadang sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada dan berbisik, "Plis, plis!"Pria itu tak peduli.Qizha cepat menyelinap ke balik pintu ketika Qasam menekan handel dan membukanya. Ia melihat delapan pria dengan pakaian basah berdiri di belakang rumahnya."Siapa kalian?" tegas Qasam dengan suara lantang.Sofian melangkah maju dengan angkuh. "Aku mencari Qizha, gadis berkebaya yang lari ke arah sini. Mana dia?"Qasam melirik ke balik pintu.Qizha melambaikan telapak tangannya, isyarat mengatakan supaya Qasam tidak memberitahukan keberadaannya.Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti