Di antara puluhan mobil yang ia miliki, mobil yang saat ini Sean kendarai adalah mobil favorit yang selalu ia bawa ke mana pun dirinya pergi. Segala macam rahasia ia simpan rapi di dalam mobil ini, bahkan salah satu rahasia terbesarnya juga tersembunyi di laci dashboard itu. Ketika jemari Veronica hampir saja membukanya, fokus Sean pada kemudi seketika itu sirna. “Ada apa, Sean?” sekali lagi Veronica bertanya pada menantunya yang terlihat mematung tegang dibalik setir kemudi. Tidak, Sean tidak bisa menyembunyikan wajah paniknya. Hampir saja semua terbongkar bila ia telat satu detik saja!“Apa Mami bisa menggantikan saya menyetir?” pinta Sean seraya menoleh pada Veronica.Alih-alih menjawab, Veronica hanya terbelalak untuk beberapa lama.“Mami bisa menyetir?” ulang Sean bertanya.Dengan ragu Veronica mengangguk. “Bisa, tapi ...”“Baiklah.” Tanpa menunggu lebih lama Sean keluar mobil dan bersiap mengganti posisi. Begini lebih baik, membiarkan Veronica menyetir agar identitas Sean t
“Aku rasa aku nggak perlu menjawab pertanyaan itu!” Rhein menepis cekalan Ralp yang mencengkeram lengannya dengan kasar.Tatapan keduanya masih terkunci dan menyorotkan permusuhan, membuat Sean merasa serba salah. Aura mencekam dan tegang yang melatarbelakangi ketiganya, semakin mendinginkan suasana malam. “Kamu menyukainya.” Ralp berpaling dengan tatapan kecewa. Ia sudah menangkap jawaban atas pertanyaannya dari cara sang sahabat mendebat dirinya. “Apa salah jika dia menyukaiku, Ralp?” Akhirnya Sean membuka suara setelah ia melihat Rhein terlihat salah tingkah. Sean bukan alien, dia juga bukan siluman. Lantas di mana letak kesalahannya hingga membuat Ralp begitu membencinya.“Ayo kita pulang, Sean!” putus Rhein sembari menarik lengan ‘suaminya’ dan beringsut masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada Veronica. ..Seperti yang sudah-sudah, Rhein dan Sean tidak banyak berinteraksi selama keduanya dalam perjalanan pulang. Pun hingga sampai di apartemen, masing-masing masuk ke dala
Memulai hubungan sebagai sepasang teman mungkin keputusan yang terbaik untuk saat ini. Sean tak menampik bila ia butuh status yang lebih dari sekedar teman karena tujuannya sejak awal adalah menjadi pendamping hidup Rhein meskipun harus berkedok sebagai suami sewaan. Namun, setidaknya dianggap sebagai teman adalah kemajuan dibanding hanya dianggap sebagai pajangan. Setiap hari, Rhein selalu membawa buket bunga baru ke apartemen. Ia membiarkan buket-buket bunga itu memenuhi ruang tamu hingga kamarnya. Tak boleh ada satu pun bunga yang dibuang, Rhein tetap menyimpannya meskipun sudah mengering. Sean bahkan tak berani menyentuh bunga-bunga itu karena Rhein melarangnya mendekat. Bagi Rhein, bunga itu adalah barang sakral yang tidak boleh disentuh siapa pun selain dirinya. Pernah suatu kali, Sean membaca kartu yang terselip di buket bunga yang dibawa Rhein dari kantor, alhasil ‘istrinya’ itu mengamuk dan mengancam akan memotong tangan Sean bila berani lancang menyentuh buket itu lagi. B
Acara launching berjalan dengan lancar hingga selesai. Rhein dan Sean pulang bersama setelah terlebih dahulu mengantar Veronica. Selama di perjalanan hingga sampai di apartemen, senyuman tak lepas dari wajah cantik wanita itu. Ia tak paham bagaimana Harvey bisa tahu jika saat ini ia tengah merayakan peluncuran produk skincare terbarunya. Satu yang pasti, Rhein tak peduli!Selama Harvey memperlakukannya bak ratu, ia tak akan ambil pusing dari mana mantan kekasihnya itu tahu apa saja yang terjadi padanya di Indonesia. Setelah mengirim pesan tadi, hati Rhein semakin berbunga-bunga dan tak sabar menunggu balasan dari Harvey. Namun, hingga malam tiba tak ada pesan yang masuk ke ponsel canggihnya. “Apa suasana hatimu sedang baik?” tebak Sean ketika mereka berdua kembali makan malam bersama. Kali ini, Sean memasak menu spesial kesukaan ‘istrinya’.Sembari menyantap seporsi mie kwetiaw buatan Sean yang sangat lezat, Rhein mengangguk. “Aku sangat bahagia karena mantanku ternyata masih sang
Rasa pening yang mengganyang kepalanya ketika sosok itu membuka mata, membuat netra wanita itu kembali terpejam dengan cepat. Kali ini, hang over yang menderanya entah mengapa terasa sangat berbeda. Denyutan demi denyutan yang masih terasa di kepala, serta rasa mual yang perlahan-lahan muncul membuatnya serta merta beranjak duduk dengan sangat terpaksa.Siapa yang menggendongnya hingga ke ranjang? Ralp, kah? Atau jangan-jangan Sean?Dengan gontai, tubuh langsing itu berdiri dan berlari menuju kamar mandi. Rasa mual itu tak bisa lagi ia tahan hingga tubuhnya membungkuk di closet dengan cepat.“Hoeek!” Rhein mengeluarkan semua isi di perutnya hingga bola matanya memerah. Hentakan dari dalam perut itu terus memaksanya mengeluarkan cairan memabukkan yang semalam ia teguk hingga teler. Setelah gejolak itu mereda, Rhein bangkit dan membersihkan bibirnya di wastafel. Seperti biasa, aroma masakan yang sangat lezat terendus oleh indranya kala Rhein memutuskan untuk kembali naik ke atas ranja
Pagi itu, keesokan harinya, Sean tak menemukan Rhein keluar kamar seperti biasa. Aroma masakan yang wangi dan menguar ke seluruh ruangan tak membuat wanita itu terpanggil seperti biasanya. Hingga Sean menyelesaikan sarapan, Rhein tak terlihat sama sekali. “Rhein, kamu tidak ngantor?” panggil Sean setelah mengetuk pintu kamar ‘istrinya’ itu.Hening. Tak ada sahutan. Jam tujuh biasanya Rhein sudah berangkat ke kantornya, akan tetapi hingga menjelang pukul delapan tidak ada tanda-tanda wanita itu bersiap untuk berangkat. “Rhein, are you ok?” Dengan perasaan yang mulai cemas, Sean kembali memanggil dan mengetuk pintu dengan tak sabar. Sean tak bisa masuk begitu saja ke dalam kamar karena baginya hal itu terlarang. Tak kehilangan akal, ia akhirnya mencoba menghubungi nomor Rhein hingga bunyi dering ponsel terdengar di dalam kamar. Sekali lagi, Sean mencoba menghubungi karena ia masih berpikir bila mungkin Rhein sedang tidur. Setelah lima kali menelepon dan tak diangkat, rasa panik pun m
Flashback On[Dean, apa meeting-mu masih lama?][Mon amour, aku akan menunggu sampai kamu datang jam berapa pun itu. Je vous aime.] [Babe, kau tak lupa bila hari ini adalah hari anniversary kita, bukan? Please, jangan membuatku menunggu lebih lama lagi. Sudah 3 jam aku menunggumu, Dean.][Angkat teleponku sebentar saja, please ...][Dean, please, cepatlah datang, restoran akan tutup 30 menit lagi.][Aku pulang. Teleponlah aku bila meeting-mu sudah selesai. Je vous aime.]Angela Fransisca Peter. Wanita yang pernah singgah di hati seorang Dean Alexander kala itu. Gadis penurut, cantik dan anggun, yang mengabdikan hidupnya untuk memuja Dean sejak mereka dijodohkan. Selama 4 tahun hubungan mereka terjalin, tak sekalipun Dean memperlakukan Angela dengan penuh kasih. Fokus Dean hanya lah bekerja di perusahaan turun temurun keluarganya yang bergerak di bidang alat-alat kesehatan. Hanya sesekali saja ia bersama Angela, itupun hanya untuk sekedar menyalurkan hasrat dan setelah itu kembali si
“Loh, Rhein? Kamu nggak kerja? Di mana Sean?” berondong Veronica kala ia melihat putrinya keluar dari kamar dan menyambut kedatangannya. Alih-alih menjawab, Rhein justru segera mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Sean masih menenangkan diri di dalam kamarnya.“Mami ngapain ke sini? Ngapain bawa tas segala?” Rhein balik bertanya seraya mengamati tas besar yang Veronica jinjing. “Jangan bilang Mami mau menginap?”Dengan cueknya, Vero melenggang ke ruang keluarga dan meletakkan tasnya di sana. “Betul sekali! Mami akan menginap di sini sampai besok lusa!”What? Bola mata Rhein membulat dengan dongkol. Ia sudah menduga bila suatu saat Veronica pasti akan menginap di apartemennya, akan tetapi Rhein tak mengira bila itu terjadi hari ini! Ketika ia dan Sean sedang dalam mode siaga 3. “Di mana Sean? Kenapa dia nggak keluar menyambut Mami?” dengan nyalang, Veronica mengedarkan pandangannya ke sekeliling.“Sean masih mandi, Mi.”“Mandi?!” tukas Vero membeliak. “Siang-siang begini?” sambungnya