“Kita bahas nanti. Sekarang aku harus pergi kerja dulu.”
Dengan suaranya yang berat dan angkuh itu, sang pria akhirnya lebih dewasa. Hal itu saja entah kenapa langsung cukup mampu untuk mengintimidasi Anggun. Sehingga membuatnya langsung tergagap dan tak tahu harus bilang apa.
Apalagi ketika pria itu lantas berjalan ke arahnya. Anggun langsung merasa terancam, sehingga membuatnya mundur secara naluriah. Tentu saja masih sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat agar tidak merosot dan mempertontonkan tubuh polosnya.
Namun….
Pria itu ternyata tidak menghampirinya, melainkan melewatinya begitu saja. Anggun malah panik lagi karena menyadari ia mungkin akan pergi begitu saja dan meninggalkannya. Sehingga dengan cepat diraihnya lengan pria itu.
“B-Biarkan saya pergi.” Anggun berkata dengan menggigil. “S-Saya nggak tahu apa yang telah terjadi semalam, serta… saya tidak akan mencari tahu soal Anda atau melaporkan polisi. Tapi… tapi… biarkan saya perg—“
“Semalam? Memangnya apa yang terjadi semalam?”
Pria itu malah balas bertanya padanya. Anggun jadi tergagap, karena nyatanya dia juga tak tahu jawabannya.
Kedua mata yang sangat tajam itu sempat memandang kedua bola mata Anggun dengan lebih lama, sebelum menurunkan pandangannya ke bawah. Anggun sadar kalau gerakannya yang tadi meraih lengan pria itu membuat selimut penutup tubuhnya sedikit melonggar. Sehingga menampakkan sedikit bagian dadanya dari sudut pandang pria itu berdiri.
Anggun langsung dengan cepat melepas pegangannya tadi, lalu merapatkan kedua tangan di dada untuk menyembunyikan aibnya itu. Walau dia tahu kalau itu tak cukup untuk menyembunyikan rasa canggung dan malu yang dia rasakan saat ini.
“Semuanya kita bicarakan nanti sepulang aku bekerja. Di saat itu… aku akan menjawab semua pertanyaanmu.”
“Tapi—“
“Sarapan sudah disediakan di atas meja makan.” Ia memotong lagi ucapan yang hendak Anggun keluarkan. “Aku tahu kamu mungkin takut untuk menyantapnya. Namun kuyakinkan kalau tidak ada racun atau zat-zat aneh yang dibubuhkan di dalamnya, sehingga tak perlu khawatir. Tapi terserah sih kamu mau percaya atau tidak. Kamu mau makan atau tidak.”
“Bukan itu yang saya inginkan tapi—“
“Tanpa seizinku kamu tak akan bisa keluar dari sini.” Ucapannya dipotong lagi. “Tempat ini ada di ketinggian 210 meter, di mana sebagian besar didindingi oleh kaca anti pecah yang tak akan bisa dihancurkan walau dihantam dengan batu atau benda-benda keras lainnya. Jadi kusarankan agar kamu tidak melakukan hal-hal bodoh seperti berteriak, karena tidak ada yang akan mendengarmu apalagi datang membantu. Jadi jangan membuang tenaga untuk hal yang tak perlu dan nikmati saja fasilitas yang ada.”
“Mana mungkin aku bisa—“
“Seluruh kebutuhanmu juga telah disediakan, silakan cari saja di sekitaran rumah ini. Namun… untuk saat ini saya belum bisa memberi kamu pakaian untuk alasan tertentu. Jadi kamu bertahanlah dengan semua ini dulu.”
Mata pria itu sekilas turun menuju tubuhnya lagi, sehingga membuat Anggun kembali memeluk tubuhnya sendiri dengan selimut di tangannya. Namun kemudian pria itu mengalihkan pandangannya lagi.
“Itu dulu yang perlu kamu tahu, sekarang saya harus pergi.”
“Tidak. Tunggu.”
Namun kemudian saat pintu itu terbuka lebar dan pria itu ke luar lebih dulu, malah Anggun sendiri yang menghentikan langkahnya lagi. Karena di saat itu dia langsung tersapu dilema saat memandang pria itu yang kini telah berdiri di lorong depan sambil menatapnya dengan ekspresi menantang. Tahu betul yang perempuan itu pikirkan.
Tentu Anggun tak mau berada di sini, namun keluar di siang bolong dengan hanya selimut di tubuhnya begini juga bukan pilihan yang bagus. Apalagi Anggun sama sekali tak mengenal tempat ini. Dia tak tahu siapa saja yang akan ditemuinya di luar sana. Sehingga adalah hal yang wajar baginya kini malah menahan langkah untuk keluar dan melewati pintu itu, bukan?
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Belum sempat dia berpikir lebih lama, pintu dari besi itu tertutup dengan otomatis. Sepenuhnya membatasinya lagi dengan kebebasannya di dunia luar.
***
Seakan apa yang dia lakukan adalah hal yang wajar, pria itu tetap saja tak menunjukkan ekspresi yang signifikan saat pintu di depannya tertutup. Tanpa beban pria itu malah mulai bergerak pergi dari tempat itu menuju lift yang bertuliskan VVIP.
Di dalamnya pria itu menekan tombol 41. Lalu hanya turun satu tingkat saja, pintu lift kembali terbuka. Menunjukkan kesibukan ala perkantoran yang terjadi di sana, yang sejenak langsung hening begitu semua orang menyadari kehadirannya. Semua orang lalu segera menyapanya dengan hormat.
“Selamat pagi, Pak Sean.
“Selamat pagi, Pak.”
Ada banyak orang yang menyapanya, namun tak ada satu pun yang ia acuhkan. Pria itu melenggang begitu saja melewati mereka semua.
“Selamat pagi, Pak.”
Di depan sebuah ruangan yang bertuliskan CHIEF EXECUTIVE OFFICER – SEAN AGRAWARSENA, ia menghentikan langkah. Lalu melirik wanita muda yang langsung menyambut kedatangannya dari balik mejanya.
“File yang saya minta kemarin sudah kamu siapkan, bukan?” tanya pria itu pada perempuan yang merupakan sekretarisnya itu.
“Sudah, Pak. Saya juga telah meletakkannya di atas meja Anda.”
“Oke.”
Pria itu pun memasuki ruangannya tadi, lalu sempat memeriksa sebuah map berwarna hitam yang berada di atas meja. Setelah itu Sean pun mulai mengeluarkan satu persatu benda yang berada di dalam tas yang tadi dijinjingnya saat ke mari.
Dari semua benda yang baru dikeluarkan, Sean pun tampak tertarik pada gawai tablet PC. Dibukanya kunci dengan akses sidik jari, lalu langsung mengklik satu aplikasi bergambar kamera berwarna biru di bagian depan ‘home screen’.
Deretan rekaman yang diambil dari berbagai kamera CCTV pun tampak langsung memenuhi seluruh layar, namun kemudian dia memperbesar salah satu yang menampakkan bagian depan dari ruang tamu rumahnya tadi. Di sana terlihat ada seseorang yang terbungkus selimut berwarna putih yang bersimpuh di belakang pintu keluar.
Suara tangis dan isakan pilu terdengar dengan sayup-sayup dari sana. Namun pria itu tampak tak peduli ataupun tersentuh sama sekali. Dengan dingin dia menutup aplikasi tadi, lalu meletakkan gawainya itu begitu saja kembali ke atas meja.
Sean mendesah pelan, sambil akhirnya mendudukkan tubuhnya di sana. Sejenak sempat dia memegangi salah satu bagian pelipisnya, sebelum kemudian terpikirkan hal yang lain.
Di saat itu pandangan pria itu malah beralih pada sebuah pigura yang terletak di atas meja kerjanya. Menampakkan sebuah pigura bergambar foto pernikahan yang sama dengan yang tadi dilihat oleh Anggun di ruang tamu tadi. Sean lantas tersenyum miris sambil memandang sosok perempuan di dalam foto.
‘Welcome home, honey. Aku senang karena bisa kembali membawa kamu pulang ke istana kita.’
***
“Hahaha, memang sebenarnya orang-orang rendahan seperti mereka bukanlah tandinganku. Mereka nggak seharusnya menantang keluarga Agrawarsena seperti ini. Sehingga tentu saja, itu sama saja cari penyakit namanya.”Di tengah siaran berita yang menginformasikan tentang kecelakaan maut dan mematikan, sosok Hendro Agrawarsena malah tertawa senang merayakan. Bahkan walau hanya memegang sebotol air mineral karena kondisi kesehatannya yang tak terlalu baik, pria paruh baya itu berlagak seolah-olah sedang berpesta minuman keras.“Sekarang rasakan dampaknya. Lagipula… itu memang pantas kamu dapatkan setelah bagaimana mantan istrinya Sean mau berbaik hati menyerahkan bola matanya. Kini Cinderella dengan dongeng klasik murahannya telah berlalu, sehingga Sean dapat kembali ke kehidupannya yang normal yaitu fokus dengan bisnis-bisnisnya.”Miranda, Mamanya Sean sekaligus informan yang mengatakan soal permasalahan Anggun kepada sang mertua tampak hanya menunduk ngeri. Jauh di lubuk hatinya sebenarnya
Ekspresi wajah Armand tampak langsung berubah begitu dia memeriksa ponselnya. Dengan cepat dia melayangkan pandangan ke arah atasannya yang tengah sibuk memimpin rapat pada hari ini. Diam-diam diliriknya lagi layar ponselnya untuk meyakinkan.[Fikar: Bos, gawat Bos. Kami tengah mengikuti target yang pulang dari rumah sakit hari ini, namun hal yang tak terduga terjadi. Mobil yang ditumpangi target bersama kedua temannya ditabrak oleh sebuah bus dari arah yang nggak terduga. Salah satu penumpang perempuan dinyatakan meninggal di tempat, sementara yang dua lagi langsung dibawa ke rumah sakit.]Armand diam-diam mengirimkan pesan balasan.[Kamu yakin? Jangan bercanda? Lalu siapa yang meninggal? Target atau temannya?]Tak lama kemudian ponselnyaa bergetar lagi.[Fikar: Berikut foto-fotonya, Bos. Tidak mungkin kami bercanda. Mengenai identitas korban tak bisa kami cari tahu, sebab terlalu banyak kerumunan di sini dan mereka langsung dibawa ke rumah sakit. Jadi tidak dapat kami pastikan.]Arm
Hendro sangat berfokus dengan permasalahan cucunya itu belakangan ini, sampai dia sering ditegur oleh dokter pribadinya untuk terus menjaga kesehatan. Namun, anehnya setelah begitu lama pria itu merasa kuat dan gigih begini akan sesuatu setelah penyakitnya menjadi parah sekitar empat tahun yang lalu.Saat ini ia terus berfokus pada Anggun serta niatnya untuk mempidanakan Sean. Selain mencari bukti, dia terus berusaha memelajari strategi gadis itu. Termasuk seperti sekarang dia berusaha mencari tahu tentang orang-orang di sekitar Anggun yang mungkin bisa menjadi ancaman.“Dokter ini terlihat gigih sekali membantu Anggun. Awalnya kukira dia menyukai gadis itu, tapi ternyata tidak. Dia malah menyukai Tiara dan dulu bersahabat sangat baik untuknya. Sehingga itu sebabnya dia memiliki sejenis dendam pribadi pada cucuku.”Hendro bergumam begitu sambil membalik setiap lembar kertas hasil laporan anak buahnya.“Dan Dokter ini… memiliki teman yang merupakan seorang polisi. Belakangan bahkan mer
“Jadi dia bersikeras untuk menuntut? Benar dugaanku kalau dia akan menjadi masalah untuk kita ke depannya.”Hendro Agarawarsena mendesah setelah mendengar rekaman suara terkait pertemuan Sean dan Anggun tadi siang. Karena pria itu memang kembali menggunakan uang dan kekuasaannya untuk memenuhi keinginannya. Termasuk menyuruh orang untuk diam-diam meletakkan penyadap di ruang inap milik Anggun.“Lalu bagaimana? Apa kamu menemukan sesuatu tentang apa yang terjadi dengan mereka selama dua bulan ke belakang ini? Sesuatu yang katanya bisa memperkarakan Sean?” tanya pria paruh baya itu pada seorang pria yang kini berada di depannya.“Seperti dugaan kita, Tuan. Memang cukup sulit untuk menemukannya karena Tuan Sean dan anak buahnya sangat berhati-hati dalam pergerakannya. Tapi… untungnya memang ada sedikit petunjuk.”Pria itu menyerahkan sebuah kertas foto pada Hendro.“Kami mengetahui kalau wanita itu tidak membuka toko bunganya selama dua bulan lebih, Tuan. Memang tak ada laporan kehilanga
Saat Sean berkunjung ke rumah sakit, Anggun tengah tertidur akibat pengaruh obat. Pria itu pun diusir dengan dingin oleh Melya dan William seperti biasanya. Hal itu lantas baru mencapai telinga Anggun di malam harinya.“Besok biarkan saja dia masuk. Biarkan aku bertemu dengannya. Sebab ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya,” kata Anggun tak lama setelahnya.“Tapi, Nggun. Kamu masih lemah. Aku juga khawatir dia akan membahayakanmu—““Sudah kubilang kita harus cepat menangkapnya, Mel. Kita tak bisa membuang waktu. Lagipula kalau dia membahayakanku bukannya akan lebih mudah bagi kita untuk menangkapnya?”Anggun sedikit meninggikan suaranya, yang tentu saja mengejutkan Melya. Walaupun kemudian gadis itu tampak menatap sahabatnya itu dengan kurang enak.“M-Maaf, Mel. Aku nggak bermaksud membentak kamu. A-Aku hanya… aku hanya terlalu gugup saja. Maaf ya?” tanya Anggun menyesal.Melya tersenyum maklum sambil menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa kok. Aku paham. Aku sebenarnya setuju
“A-Anggun terbangun? Sungguh?”Sean yang awalnya lesu kini tampak lebih terjaga saat mendapat kabar itu dari Armand pagi ini. Ditatapnya sang asisten pribadi dengan serius.“Ya, Tuan. Ini adalah informasi valid dari pihak dalam yang bekerja sama dengan kita.” Armand menyahut dengan yakin. Dia lalu mengeluarkan ponselnya. “Mereka bahkan mengirimkan foto untuk kita.”Sean dengan cepat merebut ponsel itu, lalu memeriksanya. Kedua matanya tampak sedikit membesar saat memandang foto sosok Anggun yang memang telah membuka matanya lalu dikelilingi oleh pihak medis dan keluarganya. Kedua matanya tampak telah terbuka.‘B-Benar. Anggun akhirnya tersadar? Anggun berhasil melewati masa komanya.’“Suruh sopir menyiapkan mobil, karena kita akan segera ke sana,” kata Sean sambil menyerahkan lagi ponsel itu ke tangan sang asisten pribadi. Di mana ekspresi Armand tampak ragu-ragu. Dia bahkan tak menyahuti cepat seperti biasanya.“Tapi Tuan, hari ini kan kita ada jadwal untuk bertemu dengan calon inves