“Satu Milyar.”
Diana memandang lelaki itu tanpa ekspresi, bahkan terkesan memandangnya dengan pandangan merendahkan.
Lelaki asing yang belum satu jam dia temui tersebut tampak begitu kaget dengan tawaran yang diberikan oleh Diana.
“Kurang?” tanya Diana saat lelaki itu tak kunjung menjawab.
“Bukan begitu,” ujar Dafa, lelaki pengantar pizza yang mendadak saja ditawari menjadi seorang suami dari perempuan asing di depannya tersebut.
“Lalu apa?” tanya Diana tak sabaran.
Dafa tampak menimbang.
“Menikah bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja,” kata Dafa bimbang.
“Kita bukan menikah betulan,” kata Diana, nadanya tidak sabar. “Kita hanya akan menikah enam bulan dan langsung berpisah.”
“Menikah juga bukan candaan.”
Diana menghela napas dalam. Kesabarannya mulai hilang.
“Tidak usah kalau begitu,” kata Diana sambil bangkit berdiri. “Lupakan saja tawaranku barusan. Aku bisa mencari orang lain yang mau.”
Diana sudah berbalik dan hendak pergi dari lobby hotel tersebut, namun Dafa buru-buru ikut bangkit berdiri dan bertanya dengan volume suara yang cukup keras.
“Satu milyar, kan?”
Diana menghentikan langkah, tersenyum sangat tipis, lalu berbalik dan mengangguk.
“Baiklah,” kata Dafa pada akhirnya. “Aku setuju.”
Diana tersenyum meremehkan. Dia tahu bahwa uang memang punya kekuatan untuk mendapatkan apa saja.
Gadis itu kembali duduk di hadapan Dafa, mendorong sebuah cek kosong di hadapan pemuda itu.
“Tulis nominal yang kamu mau untuk dicairkan sekarang, dan aku akan mengurusnya ke bank,” ujar Diana.
Dafa mengambil cek tersebut, memandangnya sejenak, tampak berat untuk menuliskan sesuatu di sana.
“Aku akan mengambil setengahnya dulu,” kata Dafa pada akhirnya. “Aku perlu uang untuk membelikanmu mahar, kan?”
Diana tertawa mendengar ucapan Dafa.
“Mahar?” tanya Diana. “Kamu bisa beli apa hanya dengan setengah milyar?”
Dafa memandangnya heran. Padahal uang lima ratus juta sudah sangat banyak dalam hitungannya.
“Kamu mau mahar apa?” tanya Dafa.
“Aku akan mengaturnya,” kata Diana sambil mengibaskan tangan, seolah hal tersebut tidaklah penting untuk dibahas sekarang. “Yang jelas, maharku tidak akan cukup hanya dengan setengah milyar.”
Dafa tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa bingung. Semahal apa mahar yang diinginkan gadis itu hingga setengah milyar masih kurang?
“Aku yang harus membelinya,” kata Dafa berkeras. “Mahar harus diberikan oleh mempelai pria untuk mempelai wanita jika ingin nikahnya sah.”
Diana memandang lama ke arah Dafa. Lelaki itu sepertinya belum mengerti betul bahwa pernikahan yang diinginkan Diana hanyalah pernikahan dengan batas waktu, bukan pernikahan yang sesungguhnya. Namun karena malas berdebat, Diana memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini.
“Aku harus membeli mobil dan sejumlah emas sebagai mahar,” kata Diana. “Simpan saja uangmu, aku yang akan menyiapkan semuanya.”
“Tidak bisa begitu,” kata Dafa, masih belum terima.
“Baiklah,” ujar Diana lelah. “Kalau begitu belikan saja beberapa perhiasan sebagai maharku. Untuk yang lainnya, aku akan membelinya dan mengatakan bahwa itu adalah hadiah darimu.”
Dafa akhirnya bisa setuju dengan kesepakatan tersebut.
Diana menunggu hingga Dafa selesai menuliskan nominal yang dia inginkan, lalu mengambil cek tersebut untuk dia berikan pada asistennya agar segera dicairkan.
“Aku akan menghubungimu malam ini,” kata Diana sambil membereskan tasnya. “Pastikan ponselmu menyala dan jangan membuatku menunggu.”
Diana bangkit berdiri.
“Besok malam aku ada makan malam keluarga untuk merayakan ulang tahun adikku,” ujar Diana sembari memakai kacamata hitamnya. “Siapkan pakaian terbaikmu dan ikut aku makan malam besok.”
Diana berbalik dan mulai melangkah pergi.
Dafa ikut bangkit dan mengikutinya dari belakang.
“Boleh aku bertanya?”
“Ya?”
“Kenapa harus menikah dengan orang asing sepertiku?”
Diana menghela napas dalam.
“Kau akan tahu alasannya besok pas makan malam.”
“Tapi kenapa memilihku?”
Diana kembali menghentikan langkah. Lelaki ini rupanya punya banyak hal di dalam kepalanya dan jauh lebih cerewet dari yang dikira oleh Diana.
“Peraturan pertama, berhenti bertanya,” kata Diana dingin. “Kedua, aku akan menggantimu jika terus bertanya tentang hal tidak penting seperti ini.”
Diana memandangnya dengan pandangan dingin. Dafa bisa merasakan tatapan dinginnya meskipun gadis itu sudah memakai kacamata hitamnya.
“Aku akan menghubungimu malam ini. Tanyakan saja saat itu.”
Usai berkata seperti itu, Diana akhirnya benar-benar pergi meninggalkan hotel tersebut. Pizza yang dibelinya hanya karena iseng tersebut langsung dia berikan pada seorang petugas kebersihan yang kebetulan lewat di depannya, tepat di depan mata Dafa.
Lelaki itu hanya bisa menghela napas dalam, melihat kelakuan orang kaya yang kadang bisa membuatnya tidak habis pikir. Dafa memandang sang petugas kebersihan yang menerima pizza tersebut dengan senyuman lebar, mungkin terpikir bahwa pizza itu akan dia berikan pada anaknya yang ada di rumah.
Dafa masih tenggelam dalam pikirannya, berpikir keras mengapa gadis itu memilih suami secara acak seperti ini. Bukankah setiap gadis punya mimpi untuk menikah dengan orang yang dia cintai, bahkan sudah memikirkan konsep wedding dream yang diinginkan?
***
“Aku dipecat dari pekerjaanku.”
Dafa mengatakannya dengan nada lesu saat Diana benar-benar menghubunginya malam itu, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
“Baguslah,” ujar Diana ringan.
Dafa menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
Panggilan video yang dibuat oleh Diana tersebut menampilkan Diana yang sedang duduk di kantornya, tampak lelah namun sepertinya masih ada yang harus dia kerjakan di sana.
“Aku akan memberimu pekerjaan di perusahaanku setelah ini.”
“Serius?”
Dafa jelas saja terkejut.
“Cek rekeningmu. Uangnya sudah masuk, kan?”
Dafa mengangguk. Dia sudah mengeceknya tadi sore dan uang lima ratus juta benar-benar sudah masuk. Gadis itu rupanya tidak main-main dengan tawarannya tadi siang.
“Aku akan memberitahumu beberapa hal penting yang harus kamu lakukan sebelum bertemu dengan keluargaku besok malam,” kata Diana dengan nada serius.
“Hal penting kayak apa?”
“Pertama, namamu Dafa Hadiatma. Kamu keponakan jauh Gilang Hadiatma.”
Entah sudah keberapa kalinya Dafa menunjukkan ekspresi terkejut di wajahnya hari ini.
“Gilang Hadiatma? Pengusaha di bidang makanan itu?” tanya Dafa memastikan.
“Di bidang Food and Beverage,” koreksi Diana. “Tolong hilangkan nada kampungan dalam suaramu. Mulai sekarang, kamu harus hidup sebagai keponakan jauh dari pengusaha kaya yang memiliki aset milyaran.”
“Mana bisa,” ujar Dafa.
“Bisa,” kata Diana datar. “Kamu bilang kamu sudah kerja di toko pizza itu selama lima tahun, kan? Minimal kamu punya pengetahuan dasar tentang strategi bisnis. Atau setidaknya kamu tahu bagaimana strategi pemasaran toko tempatmu bekerja.”
Dafa menggeleng. Pengetahuan seperti itu mana bisa dikatakan sebagai ‘pengetahuan dasar tentang strategi bisnis dan pemasaran’.
“Angkat kepercayaan dirimu,” perintah Diana. “Kau harus menunjukkan kalau kau layak untuk menikah denganku.”
Dafa menghela napas dalam.
“Bagaimana kalau aku tidak bisa?”
“Kembalikan uang yang sudah kamu terima,” jawab Diana tanpa perasaan.
Dafa tertawa kecil, mulai merasa tertekan dengan sikap gadis itu.
“Pelajari sekarang tentang apapun yang bisa membuatmu tampak layak saat makan malam besok,” titah Diana. “Aku tidak mau melihatmu datang sebagai kaum rendahan besok.”
Dafa menelan salivanya. Tampaknya keputusannya sudah salah dengan menerima tawaran gadis kaya itu siang tadi.
“Kedua,” lanjut Diana, tidak memedulikan keresahan Dafa sama sekali, “kita perlu menyepakati hubungan kita sudah selama apa dan di mana kita pertama kali bertemu.”
Diana diam, menunggu Dafa untuk berbicara.
“Aku akan menganggapmu sebagai mantan gebetanku saja kalau begitu,” ujar Dafa.
“Mantan gebetan?” ulang Diana. “Maksudmu, kalian nggak sampai pacaran?”
“Enggak,” jawab Dafa pahit. “Dia sekarang sudah menikah dengan orang lain.”
Meskipun Dafa memperlihatkan ekspresi sakit hati, namun Diana tampak tidak peduli sama sekali.
“Kita pertama kali bertemu di bus saat pulang sekolah semasa SMA,” ujar Dafa, sementara Diana mendengarkan. “Aku duduk di barisan paling belakang dan saat itu busnya sangat penuh. Saat dia masuk ke dalam bus, dia terpaksa harus berdiri karena semua tempat sudah terisi. Karena aku melihat dia sepertinya sedang sakit karena wajahnya tampak pucat, aku akhirnya menyawarinya tempat dudukku dan di situlah kami berkenalan.”
Diana menunggu lanjutan ceritanya tanpa ekspresi.
“Aku jadi tahu kalau dia bersekolah di sekolah yang dekat dengan sekolahku. Sejak saat itu, kami akhirnya berteman baik dan sering pulang bersama karena busnya searah.”
Diana menganggukkan kepalanya.
“Aku sudah merekamnya dan akan mendengarnya lagi malam ini. Jika ada yang bertanya, kita harus tetap pada cerita ini,” kata Diana.
Dafa mengangguk. Padahal tadi dia hanya menceritakan tentang dirinya dan sang mantan gebetan, lupa bahwa dia seharusnya menyusun skenario pertemuannya dengan Diana.
“Kalau begitu, kita sudah bertemu sejak tiga belas tahun lalu dan sudah dekat sejak tiga tahun,” kata Diana sambil mencatatkan hal tersebut. “Katakan soal ini pada siapa saja yang bertanya, tapi jika tidak ada yang bertanya, tidak usah menyinggungnya. Aku tidak suka menceritakan hal-hal berbau romantis seperti ini.”
Dafa bisa memahami hal tersebut. Bahkan sebelum mengenal baik sosok Diana pun, Dafa sudah tahu bahwa gadis itu pasti tidak suka dengan hal-hal romantis seperti itu.
“Dan ketiga, aku akan mengirim biodataku. Nama lengkap, tempat tanggal lahir dan hal-hal umum lainnya. Akan memalukan kalau kau sampai nggak tahu siapa namaku atau kapan ulang tahunku.”
“Baiklah,” ujar Dafa singkat.
“Ada yang mau ditanyakan?”
Dafa menimbang sejenak, lalu mengangguk. Dia masih perlu tahu mengapa gadis itu memilihnya untuk menjadi suami.
“Kenapa memilihku?” tanya Dafa lagi.
Diana kembali menghela napas dalam, jelas sekali dia kesal ditanyakan hal tersebut.
“Karena aku sudah berniat akan mengajak menikah tukang pizza yang mengatarkan pizza pesananku kalau dia laki-laki dan belum menikah,” jawab Diana sedapatnya.
“Kalau yang datang ternyata laki-laki, belum menikah, tapi giginya tonggos dan punya tanda lahir besar di wajahnya, apa kau masih tetap akan mengajaknya menikah?” tanya Dafa iseng sambil tersenyum lebar.
Diana menatapnya sinis, hingga Dafa rasanya merinding mendapat tatapan seperti itu.
“Tanyakan hal yang penting,” ujar Diana dingin. “Kalau tidak ada lagi hal penting yang perlu dibahas, aku matikan.”
Dafa terdiam, tidak berani lagi untuk bertanya.
“Jangan lupa makan malam besok. Pakai pakaian yang layak. Jangan membuatku malu.”
Diana segera mematikan teleponnya begitu dia selesai bicara.
Dafa mengusap wajahnya, berpikir apakah keputusannya sudah tepat menerima tawaran gadis itu.
“Bisa ucapin salam dulu padahal sebelum matiin telepon,” gumam Dafa pada dirinya sendiri.
Lelaki itu melompat ke atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dan berpikir keras tentang kejadian hari ini yang rasanya lebih seperti mimpi. Diana, gadis cantik yang mendadak saja datang dalam hidupnya dan menawarkan pernikahan dengan sejumlah uang.
Jika saja dia tidak berpikir tentang ayahnya yang sedang sakit keras dan membutuhkan banyak biaya, Dafa tidak akan mau menerima tawaran tersebut. Karena hingga sekarang pun, Dafa masih berpikir bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan seperti ini.
Namun ada hal yang lebih penting untuk dia pikirkan sekarang; dia harus pakai baju apa makan malam besok?
“Filmnya kayaknya bagus kalau kita bisa nonton dari awal,” kata Dafa, nada suaranya terdengar agak kecewa karena mereka tidak menonton dari awal sehingga melewatkan poin penting dari ceritanya. “Nanti mau nonton lagi nggak dari awal?”“Nggak,” jawab Diana langsung.“Jadi kamu sukanya nonton film yang gimana?”“Aku nggak suka nonton.”Masuk akal.Dafa seharusnya sudah bisa memprediksi hal ini karena gadis itu sejak kecil sudah belajar tentang bisnis dan benar-benar terjun ke dalamnya sejak masa kuliah. Diana pasti tidak punya waktu banyak untuk ‘bersenang-senang’, meskipun hanya sekadar nongkrong di kafe atau nonton film.“Mau kutemani ke salon sekarang?” tawar Dafa.Diana tidak menolak, namun juga tidak mengiyakan. Dia hanya diam, dan Dafa menganggap hal tersebut sebagai persetujuan.Mereka akhirnya pergi ke sebuah salon yang kelihatannya mahal di dalam mall tersebut.“Aku nggak bisa ke salon ini,” kata Diana ragu. “Kita pergi ke salon langgananku aja.”“Jauh banget,” kata Dafa. “Di si
Dafa menghela napas dalam. Entah untuk sudah ke berapa kalinya pagi itu.Kehidupan barunya sebagai suami seorang wanita kaya rupanya tidak mudah. Bayangan Dafa tenang kehidupan yang menyenangkan, bisa tinggal di rumah mewah dengan fasilitasnya, nyatanya harus ditukar dengan sesuatu yang lebih besar.Kebebasan.“Kakek sudah memutuskan untuk memasukkan namamu sebagai salah satu anggota tim legal di kantor,” ujar Diana di pagi pertama mereka sebagai suami istri.Gadis itu mengatakannya usai sarapan, tanpa menoleh menatap Dafa dan hanya sibuk dengan data-data di dalam tablet putihnya.“Dan kau bisa mulai kerja besok.”“Besok banget nih?” tanya Dafa, agak kaget. “Aku belum mempersiapkan apapun.”Diana menutup tab-nya, lalu menatap Dafa dengan pandangan datarnya yang biasa.“Kalau begitu, seharusnya sejak awal kamu nggak bilang kalau seorang pengacara dari luar negeri.”Dafa seketika merasa ciut mendengar ucapan Diana.“Persiapkan apapun yang menurutmu penting. Besok kita akan mulai ke kanto
Dafa berusaha mengontrol wajahnya. Bibirnya terus tersenyum dan detak jantungnya dipaksa untuk tenang.Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponselnya, mencari-cari di internet tentang lembaga hukum swasta yang ada di Belgia, mencari namanya, lalu menunjukkannya pada kedua orang tua Diana.“Sewaktu saya bergabung, saya masih menjadi anggota junior dan sejak saat itu jabatan saya tidak pernah diperbarui,” kata Dafa, berusaha terlihat yakin. “Nama belakang saya juga diganti supaya pelafalannya lebih mudah. Tapi kalian bisa lihat ini benar-benar foto saya.”Laras dan Darius melihat dengan seksama laman informasi yang diberikan Dafa untuk mereka. Meskipun masih terlihat meragukan, namun mereka tidak bisa membantahnya karena foto yang ditunjukkan benar-benar adalah wajah seorang Dafa.“Lalu bagaimana dengan keluarga Hadiatma?” tanya Laras tajam. “Bisa jelaskan secara rinci tentang keluargamu dan hubungannya dengan Hadiatma?”Dafa tersenyum lagi, meskipun jantungnya kembali berdetak kencang.“Aku
Diana melempar buket bunganya ke lantai setelah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan kerja Diana.“Berani sekali kau melakukan hal seperti ini.”Diana berucap tajam sambil menatap Dafa dengan pandangan marah.“Aku hanya mencoba untuk membuat hubungan kita terlihat normal di depan semua karyawanmu,” kata Dafa membela diri. “Bukankah rasanya agak aneh jika tiba-tiba saja kau menikah dengan seseorang yang selama ini tidak pernah memperlihatkan diri satu kali pun pada orang yang kau kenal?”Diana menghela napas dalam, lalu menggeleng.“Sepertinya kau memang belum paham bagaimana caranya ‘duniaku’ bekerja.”Diana melangkah mendekati Dafa.“Mungkin dalam hidupmu, orang-orang terbiasa memperkenalkan calon pasangannya di hadapan publik, tapi bagi orang seperti kami, itu bukan hal biasa.”Dafa mengerutkan keningnya.“Maksudnya bagaimana?”“Kami terbiasa hidup serba tertutup, apalagi tentang hubungan pribadi,” kata Diana dingin. “Semakin tinggi jabatan yang kami pegang, semakin banyak aset y
“Murahan sekali.”Komentar Diana membuat Dafa harus mengelus dada agar dirinya bisa lebih bersabar. Entah sudah berapa kali dia harus memperpanjang sabar hari ini karena perkataan Diana yang mampu membuat telinganya terasa panas.“Ini harganya sepuluh juta padahal,” kata Dafa kalem.“Pantes,” ujar Diana pedas. “Aku belum pernah melihat perhiasan tampak semurahan ini. Tapi sebanding sih sama harganya.”Diana menyingkirkan kalung dan cincin yang sudah dibeli Dafa dari atas meja dan mengeluarkan sebuah shopping bag besar.“Nanti maharmu sebutkan saja seperangkat perhiasan emas, nggak perlu disebutin berapa gramnya. Terus ini.”Diana menyodorkan tas besar tersebut agar lebih dekat dengan Dafa.“Setelan pakaian pengantinmu. Aku sudah mengurus semuanya. Kau tinggal datang bersama keluarga barumu nanti.”“Keluarga baru?”“Aku sudah menyewa rombongan orang-orang untuk menjadi keluargamu di pesta pernikahan kita,” kata Diana tidak sabar. “Kau hanya perlu datang bersama mereka.”“Aku punya kelua
“Maaf, maaf, aku terlambat.”Danis datang dengan santai tanpa rasa bersalah di wajahnya. Dia tersenyum lebar pada semua orang yang hadir di sana, bahkan tidak terlihat segan sedikit pun pada Tresna.“Kamu terlambat sekali,” ujar Tresna, namun masih terdengar hangat.“Dari mana, Nak?” tanya Laras lembut, sembari menepuk kursi kosong yang ada di sisinya, tempat di mana Danis harus duduk.“Ada panggilan mendadak dari dosen tadi, Bu,” jawab Danis santai.Di samping Dafa, Diana mendecih.“Ah, ini calon suami Kakak?” tanya Danis langsung sambil melihat ke arah Dafa. Senyumnya lebar, namun tampak sekali bahwa dia merendahkan Dafa.“Dia Dafa Hadiatma,” kata Tresna, nada suaranya menggambarkan bahwa dia senang Diana membawa Dafa di pertemuan keluarga malam ini. “Dia lulusan hukum dan baru pulang dari Belgia sebagai pengacara.”“Masa?”Danis tampak sangat terkejut. Berita itu jelas membuatnya heran, karena dia sudah berpikir bahwa kakak perempuannya pasti hanya mencari orang sembarangan untuk di