Share

Di Sofa

"Apa yang sedang …." Kalimat Cakra terhenti ketika melihat Asta dan Rendra sedang berada di depan kompor gas. "Kamu sedang apa?" Cakra mengganti pertanyaannya dan langsung mengarahkan pertanyaan tersebut khusus untuk Asta.

Asta yang sedang memegang spatula di tangannya pun menjawab dengan ringan, "Masak."

"Kamu bisa masak?" tanya Cakra lagi.

"Bisa, dikit," jawab Asta lalu menoleh ke arah Rendra. "Kalau dia nih ... jago," imbuhnya lalu kembali terkekeh.

Melihat hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan mereka menjadi akrab?' batinnya yang merasa ada yang salah dengan hal itu.

"Iya aku jago karena yang aku masak ini ayam jago, Benarkan?" sahut Rendra sembari ikut tertawa kecil.

Kemudian Cakra pun menyahut, "Lalu suara tadi ...." Cakra menggantung kalimatnya.

"Suara apa?" tanya Asta, menanggapi kalimat laki-laki yang pernah menjadi kakak angkatnya itu.

Cakra pun terdiam sesaat dan menatap wajah Asta yang sedang menanti jawabannya.

"Tidak ada," tukasnya.

Mendengar hal itu Asta pun mengerutkan keningnya.

"Sudahlah sudah, ayo kita makan kalau begitu," ujar Rendra mematahkan keheningan sesaat itu.

"Ah benar, kalau begitu aku akan mengambil yang bawah tadi," ucap Asta sambil kembali berbalik menatap ke arah kompor yang ada di dekatnya itu.

Kemudian Rendra pun menghela napas panjang. "Terserahlah mau yang atas atau bawah, yang penting Semuanya diangkat," sahutnya sambil menggeleng pelan menanggapi sikap Asta yang suka ngeyel.

Kemudian Asta pun kembali terkekeh sambil mencubit lengan Rendra dengan gemas. "Sudah kamu temani kakakku saja, biar aku yang mengurus semua ini," ujarnya seolah dialah pemilik rumah itu.

Rendra pun mengangguk-angguk. "Bagus juga, kamu ngerti sekali cara meringankan pekerjaan orang lain," tandas Rendra sembari mencuci tangannya di wastafel dekatnya.

"Kan sudah aku bilang kalau aku ini titisan malaikat yang tertunda," ujar Asta dengan santai.

"Dasar titisan malaikat," ucap Rendra sambil memercikkan air dari tangannya ke wajah gadis di depannya itu dan dengan cepat menjauh darinya.

Setelah itu Rendra pun berjalan dengan santai ke arah Cakra yang saat ini sedang menatap kosong ke arah Asta. "Ada apa?" tanya Rendra sambil menepuk pundak Cakra yang kini sudah berada di depannya.

Cakra pun tersentak, ia terkejut saat tepukan Rendra itu membuyarkan lamunannya, "Kenapa?" tanyanya balik.

"Apa ada masalah?" Rendra memperhatikan dengan seksama wajah Cakra yang kini terlihat kebingungan.

Mendengar pertanyaan tersebut, akhirnya Cakra pun menghela napas panjang. "Tidak ada, mungkin aku hanya kecapekan," sahutnya.

Kemudian Rendra pun kembali menepuk pundak Cakra beberapa kali, "Kalau begitu mari kita ke ruang makan, Asta bilang dia yang akan mengurus selanjutnya," ujarnya dengan hangat.

'Kenapa mereka sangat dekat? Apa yang tidak aku ketahui?' batin Cakra sambil mengeraskan rahangnya menahan kesal yang tak bisa diungkapkannya saat ini.

Setelah itu seperti yang disepakati, Asta dan Cakra pun makan bersama di rumah tersebut.

\*

Satu jam kemudian.

       Saat ini Asta dan Cakra yang sudah berpamitan pulang pun berjalan dengan santai kembali ke rumah yang ditinggali oleh mereka. Awalnya semua baik-baik saja, sampai akhirnya mereka melewati pintu masuk rumah tersebut dan Cakra menutupnya.

"Apa maksud kamu berbuat seperti itu?" tanya Cakra sembari mencekal lengan istrinya itu.

Asta pun dengan cepat berbalik. "Apa?" tanyanya.

"Apa kamu berusaha membuat aku cemburu?" 

Asta langsung mengerutkan keningnya. "Cemburu apa?"

Kemudian Cakra pun menarik tangan Asta, hingga membuat gadis itu mendekat beberapa langkah ke arahnya. "Jangan menguji kesabaranku. Siapa yang mengizinkanmu mendekati dia?" ujarnya sambil menunjuk ke arah rumah Rendra.

Asta terperangah mendengar hal tersebut. 'Dia cemburu?' batinnya sambil menatap wajah Cakra yang sudah merah padam.

"Katakan, apa aku ini tidak baik mengurus kamu? Apa aku ini suami yang buruk sampai kamu memberitahu dia kalau kamu bisa memasak, sedangkan padaku tidak?" 

Kalimat tidak logis dari Cakra itu semakin membuat Asta tercengang.

"Katakan!" Kalimat Cakra kali ini di sertai dengan tangannya yang mengguncang pundak Asta dengan cukup keras.

"Tidak," sahut Asta dengan santai.

"Tidak? Aku ...." Cakra pun bingung sendiri ketika gadis di depannya itu menjawab pertanyaannya dengan nada datar seperti itu.

"Memangnya kamu pernah mengakui aku sebagai istri, tidak kan? Jadi jangan salahkan siap pun," sahut Asta sambil melepaskan tangan Cakra dari pundaknya. Sesaat kemudian ia pun dengan santai berbalik dan melangkah menjauh.

Namun dengan cepat Cakra kembali menahan tangan Asta. "Tunggu, aku belum selesai bicara."

"Apa lagi?" tanya Asta dengan dingin tanpa menoleh sedikit pun.

"Aku memang tidak baik, tapi kamu sendiri tidak melakukan semuanya seperti seorang istri," ucap Cakra sembarangan.

Asta pun terdiam sesaat, ekspresi wajahnya berubah seketika. Kemudian ....

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Asta yang tiba-tiba berbalik menghadap Cakra.

Cakra yang mendapat pertanyaan balasan tersebut pun terkejut, ia tak menyangka jika Asta akan bertanya seperti itu.

Kemudian dengan cepat Asta menarik tangan laki-laki di depannya itu, dan dengan cepat menjatuhkan tubuh Cakra di sofa ruang tamu tersebut. "Coba katakan, bagaimana aku harus bersikap?" tanyanya dengan mata yang menyalang tajam.

Cakra pun makin mundur dan berusaha untuk bangun dari posisinya. Namun tak diduga, dengan cepat Asta naik ke atas tubuh Cakra.

Cakra yang  terkejut pun langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Namun di saat yang sama, saat ini Asta juga sedang duduk di pangkuannya dengan posisi tepat menghadap ke arah dirinya.

"Kamu meminta aku menjadi istri kan?" 

"Bu—"

Mata Cakra terbelalak ketika dengan cepat Asta membungkam mulutnya menggunakan bibir mungil yang terpoles lipstik itu.

'Deg-deg-deg.' Jantung Cakra tak bisa bohong dengan apa yang dialaminya saat ini. 

Tubuhnya memanas, Adrelinnya naik saat Asta dengan cepat memundurkan tubuhnya dan meraba bagian perutnya yang masih tertutup kemeja itu.

'Ini gila!' Hanya itu yang ada di dalam pikirannya saat ini.

Namun tentu saja pikirannya tak cukup kuat untuk melawan desakan yang ada di dalam tubuhnya.

Mata Asta pun terus terpejam dengan bibir yang terus bergerak aktif, hingga akhirnya tangannya pun semakin turun ke bawah dan menarik kancing celana yang sedang dirabanya saat ini. 

'Jangan kalah As!' Hatinya memberi dukungan pada apa yang dilakukannya saat ini.

Setelah tangan kanannya berhasil membuka kancing tersebut, kini berganti tangan kirinya yang menarik kemejanya sendiri  hingga kancing kemejanya tersebut bertaburan di lantai.

Cakra yang tersadar pun langsung menjauhkan tubuhnya dari Asta. "Hentikan, ini—"

Asta dengan cepat melumat kembali bibir laki-laki di depannya itu dan dengan cepat melepas kemejanya.

Cukup lama Asta menggoda dengan sentuhan-sentuhan yang dipelajarinya dari film-film, akhirnya tangan Cakra pun membalas dan mengikuti permainan Asta tersebut.

Hingga ....

"Hei!" pekik Asta.

BRUGH! 

"Ishh!" desisnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status