“Aku akan menikah dengan pembantuku, Niko Pram.”
Usai menyetujui penawaran itu, Echa langsung melangkah pergi tanpa pamitan. Hatinya benar-benar hancur, merasa hidupnya sudah berakhir. Dia terpaksa mengorbankan masa depannya demi menyelamatkan nyawa Papanya.
Sarah dan Tessa tersenyum penuh kemenangan. “Dengan begini, keluarga mereka tidak akan pernah bangkit meski Om Fikram pulih.”
Tampak sekali, keduanya tidak sabar ingin menyaksikan penderitaan Echa dan keluarganya di hari-hari berikutnya.
Sementara itu, di tempat lain, Niko sedang berdiri di dekat tembok dan menatap nyalang pada teman-temannya yang menertawakan dirinya.
Fenomena ini sudah tak asing baginya. Selama 4 tahun kuliah, cibiran dan hinaan sudah biasa dia dapatkan.
“Dasar anak yatim! Aku masih heran, kenapa kamu bisa sampai lulus dari kampus elit ini, padahal kamu cuma pembantu rumah tangga.” Aldi menatap Niko dengan pandangan mengejek.
“Mungkin dia ada pekerjaan sampingan jadi gigolo,” sahut Dito yang disambut tawa keras oleh teman-teman lainnya.
“Diam, kalian. Tuduhan kalian sungguh kejam. tidak mungkin Niko jadi gigolo.” Yono membela Niko.
Niko tidak merasa terharu sedikitpun dengan pembelaan Yono, karena tahu itu hanya berpura-pura dan sebentar lagi kalimat sampah pasti akan keluar dari mulut laki-laki itu.
“Loh mungkin saja. Coba cek hp-nya, pasti banyak nomor Tante-tante yang jadi langganannya.” Aldi merasa tidak terima.
“Ayolah, mikir. Secara logika mana ada tante-tante yang mau sama cowok menjijikkan seperti Niko!” jawab Yono, dan seketika tawa di tempat itu kembali pecah.
Niko menahan napas saat mendengar kalimat menyakitkan itu. Dia menatap tiga serangkai yang paling vokal menghinanya. Teman-teman lainnya yang ada di sana tidak ada satu pun yang benar-benar membelanya, bahkan ikut serta menertawakan dirinya.
Di kampus ini hampir seluruh mahasiswa berasal dari keluarga berada, terkecuali Niko. Alhasil, setiap hari dia selalu menjadi sasaran pembuliaan teman-temannya. Beruntungnya ada satu-satunya orang yang menjadi sahabatnya tanpa memandang status, dan orang itu adalah Agus. Tapi sayang hari ini Agus berhalangan hadir.
“Masalahnya orang miskin kayak dia gak mungkin bisa lulus kuliah kalau hanya mengandalkan gaji kecilnya sebagai pembantu.” Dito berdecih sinis. “buktinya dia sering bolos kuliah. Bisa saja ‘kan bolos demi memenuhi panggilan dari nenek-nenek.”
Semua temannya mengangguk, menyetujui pernyataan Dito.
“Nah kalo itu baru aku percaya. Cuma nenek-nenek bau tanah yang mau menerima service dari si curut ini.” Senyum mengejek muncul di bibir Yono. Mereka pun semakin tertawa lebar.
Niko hanya bisa menghela napas. Yang sebenarnya terjadi selama 4 tahun kuliah sering absen karena terikat dengan aturan keluarga Echa. Dia boleh pergi ke kampus jika pekerjaannya selesai, dan tenaganya sebagai sopir tidak dibutuhkan di hari yang sama.
“Sudah selesai? Aku mau pergi!” Niko tampak mulai kesal.
Niko bergerak maju, tetapi tiga serangkai itu menghalangi jalannya.
“Minggir! Jangan menggangguku.” Eskpresi Niko semakin dingin.
“Kalau kami tidak mau, kamu mau apa?!” tanya Aldi dengan nada mengejek. “kamu tak lebih dari seekor anjing yang menggonggong.”
Aldi kemudian memberi kode tatapan pada Dito dan Yono. Kedua orang itu mengangguk.
Dito melangkah maju. Dia menarik kerah kemeja yang dikenakan Niko, akan tetapi dia langsung melepaskan dan menjauh dari Niko sambil menutup hidungnya.
“Sialan! Sorry aku gak kuat terlalu dekat dengannya …” Dito tiba-tiba mual dan meludah ke tanah. “baunya lebih parah dari bangkai.”
Sontak semua orang yang ada di sana tertawa keras. Bahkan mereka kompak menutup hidung dengan memandang Niko seolah-olah melihat sesuatu yang menjijikkan.
“Dito, aku sarankan kamu cepat cuci tangan biar kuman yang ada di tubuhnya tidak menularkan penyakit mematikan padamu.” Aldi tertawa.
“Ah aku jadi takut nanti terkena infeksi,” ucap Dito.
“Cuci pakai air biasa saja tidak cukup, kamu perlu ramuan ajaib untuk mensterilkan kulitmu biar tidak terinveksi,” sahut Yono, dan seketika mereka kembali tertawa keras.
Niko memejamkan matanya saat mendengar kalimat yang sekian kalinya menyerang personalnya.
“Sebentar …” Aldi mengangkat tangan untuk meminta mereka berhenti tertawa, kemudian matanya memandang Niko remeh. “Hidupmu bahkan tidak sebaik seekor anjing. Tapi aku bisa loh memperbaiki masa depanmu. Jadilah babuku … Gaji dan insentif sebulan yang aku terima di WARA Corp sudah cukup menggajimu selama setahun.”
Aldi sengaja menyombongkan diri, dan benar saja semua orang tampak melongo.
“WARA Corp?”
WARA Corp adalah perusahaan sektor barang konsumen terbesar nomor 1 di Nusantara dan nomor 3 di dunia. Tentu siapapun yang menjadi bagian dari WARA CORP, mereka otomatis akan disegani dan dihormati semua kalangan.
“Kok bisa? Gimana caranya?” Yono keheranan, begitu juga dengan teman lainnya. Pasalnya ada seleksi ketat untuk bergabung dengan WARA Corp.
“Ya, dong. Kecerdasanku di atas rata-rata. Jadi perwakilan WARA Corp merekrutku tanpa seleksi.” Wajah sombong Aldi semakin jelas terlihat, kemudian tatapannya bergeser ke arah Niko. “kutawar harga dirimu sebesar 4 juta sebulan. Gimana?”
Melihat Niko masih terdiam, Aldi mendecakkan lidah, “Boleh sih asal kamu sekarang mau mencium sepatuku.”
“WARA Corp, ‘kan?” tanya Niko pada laki-laki itu. Nadanya terdengar datar.
“Iya, cepat cium sepatuku seribu kali.” Aldi semringah. Begitu juga dengan semua orang yang mengira laki-laki miskin seperti Niko sudah pasti tak akan menolak penawaran itu.
Niko merogoh ponsel di saku celananya. Dia mengecek email yang berisi daftar aset milik Bakhi Group.
Niko tersenyum kecil saat memastikan bahwa WARA Corp adalah milik Bakhi Group. Namun, dia tidak akan mengungkapkan kebenaran bahwa orang miskin yang berdiri di hadapan mereka adalah sang pemimpin baru WARA Corp.
“Maaf aku tidak tertarik sama sekali. Aku mau pergi, minggir.” Ekspresi Niko begitu datar.
Mereka pun menghentikan tawanya, kaget mendengar respon Niko. Apakah laki-laki itu benar-benar bodoh atau berlagak bodoh?
“Siapa kamu berani nyuruh kami? Ngaca dong.” Aldi berdiri sambil bersidekap dada. “Aku udah baik hati loh mau bantuin!”
Echa merasakan ketegangan di dalam rumah. Setelah menerima pesan-pesan dari Tessa, pikirannya berkecamuk. Dia berusaha bertindak normal di depan Niko, meskipun hatinya bergetar.Niko, yang baru saja keluar dari kamar, menyadari ada yang tidak beres. “Echa, kamu baik-baik saja?” tanyanya, memperhatikan ekspresi wajah istrinya.Echa mengangguk, tapi suaranya bergetar, “Iya, Mas. Cuma sedikit lelah.”Niko mendekat, meraih tangan Echa. “Kamu tidak terlihat baik. Ada yang ingin kamu bicarakan?”Echa menarik napas dalam-dalam. Dia harus memberanikan diri, “Mas, ada yang ingin aku tanya. Apa kamu... ada yang ingin kamu katakan padaku?”Niko terkejut. Dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, “Apa maksudmu?” Echa menatapnya tajam, berusaha mencari keberanian, “Tessa menghubungiku. Dia bilang... dia tahu semuanya tentang kita.”Niko terdiam sejenak, “Echa, biarkan aku menjelaskan—”“Jelaskan apa, Niko? Tentang semua foto dan video itu? Tentang perselingkuhanmu?” suara Echa meninggi, air mata
Tak berselang lama ada pesan susulan, [Kalau kamu ingin aku menjaga rahasiamu, temui aku nanti malam. Tessa.]Melihat suaminya tampak begitu serius menatap layar ponsel, Echa pun bertanya, “Ada apa, Mas?”“Hanya urusan kecil,” jawab Niko sambil bangkit dari tempat duduknya. “aku mau ke kamar dulu.”Niko tidak terlihat panik dengan ancaman Tessa, tahu cepat atau lambat dia harus memberitahukan identitasnya kepada sang istri.“Iya, Mas.” Echa sama sekali tidak curiga.Sambil berjalan menuju kamarnya, Niko mengirim pesan itu Ke Nita, dan setelahnya dia langsung menghubungi adik angkatnya itu.“Hallo.”“Ya, Kak?”“Kamu sudah membaca pesanku?”“Iya, Kak. Sudah. Menurutku sih Kak, mendingan kasih tahu aja kebenarannya sama Kak Echa biar nggak salah paham. Kecuali Kakak masih ragu.”Niko mengerti ucapan Nita, “Tidak. Aku tidak ragu sama sekali. Aku sudah mengenal bertahun-tahun istriku.”Niko sudah memutuskan bahwa hari ini waktu yang sangat tepat untuk memberitahukan identitasnya kepada Ech
“Aku akan menceraikanmu!” seru Fikram.Bagai disambar petir. Hesti terhenyak mendengar perkataan Fikram. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja suaminya ingin menceraikan dirinya.“Mas … Mas sadar dengan apa yang mas katakan?” tanya Hesti tak percaya. “jangan dibuat main-main loh, Mas.”“Aku sadar dan tidak main-main! Aku mau menceraikanmu, Hesti!” Fikram berkata dengan tegas tanpa keraguan. “Mas, apa salahku?! Jangan ngaco kamu, Mas!” Suara Hesti lebih tinggi dari suaminya. “Sembuh-sembuhnya kamu malah kayak gini!”Fikram menatap istrinya dengan dingin, “Kamu masih bertanya di mana salahmu? Di rumah ini banyak kaca, ‘kan? Pergi dan introspeksi dirimu.”“Aku nggak salah apa-apa! Mas yang nggak waras!” pekik Hesti, lalu menoleh pada Niko dengan wajah merah padam. “pasti kamu ‘kan yang meracuni suamiku? Pasti kamu sering mengunjungi suamiku cuma untuk menjelek-jelekkanku. Bajingan! Dendam banget kamu sama aku sampai mau merusak rumah tanggaku!”“Ini tidak ada hubungannya denga
Tessa memasuki sebuah mall. Ketika dia menaiki lantai 3 mall, tatapannya tertuju pada seseorang lelaki dan wanita yang tampak bersenda gurau.“Niko? Dan wanita itu?” keningnya berkerut melihat kebersamaan mereka. “bukankah dia adalah seorang pelayan toko baju di mall sebelah?”Perlahan sudut bibir Tessa terangkat, “Sekarang kamu ketahuan, Niko. Rupanya wanita itu memang selingkuhanmu.”Tak ingin melewati kesempatan ini, Tessa merogoh ponsel di dalam tas kecilnya dan segera mengabadikan momen kebersamaan Niko dengan wanita itu. Kali ini dia sangat yakin bisa mengobrak-abrik rumah tangga Niko dan Echa.Yang sedang diperhatikan tengah membahas ulang tahun sang Kakek.“Kak, kurang dua minggu lagi ulang tahun Kakek. Kita harus ngasih surprise,” ucap Nita sambil memakan es krim.Niko hanya tersenyum. Ini kesekian kalinya Nita mengingatkannya.“Menurut Kakak kita harus ngasih surprise apa?” tanya Nita.Niko mengedikkan bahu, “Aku tidak pandai dalam hal ini. Aku serahkan semuanya sama kamu. M
“Nita?” gumam Echa. “Nita siapa, Mas?” tanyanya kemudian.Niko sama sekali tidak terlihat panik.“Ehmm Nita adalah seorang ahli IT … seorang hacker yang membantuku mengurus permasalahan yang sedang dihadapi WARA Corp,” jawab Niko sambil mengambil ponsel miliknya.Echa mengangguk-angguk percaya.Dalam hal ini Niko berkata jujur, tapi masih belum bisa memberitahu keseluruhannya.Niko segera mengangkat telepon itu dan sengaja mengecilkan suara volume telepon agar Echa tidak mendengar suara lawan bicaranya.“Ada temuan baru lagi?”“Nggak, Kak. Aku–”“Baiklah. Besok pagi kita rapatkan bersama dengan petinggi WARA Corp,” potong Niko dan memutus sambungan setelahnya.Di seberang sana, Nita kesal suaranya dipotong dan teleponnya diputus sepihak. Padahal dia ingin menyampaikan kalau satu bulan lagi adalah hari ulang tahun sang Kakek yang ke 71 tahun. Tapi Nita mengerti, mungkin malam ini Niko sedang bersama istrinya. Lantas dia pun mengirim sebuah pesan.[Sebulan lagi adalah hari ulang tahun
“Terima kasih pengertiannya. Kalau gitu kalian pulang sekarang,” sahut Niko tiba-tiba, membuat Hesti dan Sarah kesal.Harapan Hesti adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika dia tidak bisa mendepak Niko dari kehidupan Echa, setidaknya lelaki itu bisa dia manfaatkan.Saat ini Sarah dilema. Tindakan anaknya yang berusaha mengambil hati Niko bisa merugikan keluarganya sendiri. Di sisi lain dia harus segera membujuk Niko untuk menyelamatkan bisnis keluarganya.“A–” Baru Hesti membuka mulutnya, suara Niko terdengar terlebih dahulu.“Mama juga pulang.” Mata Hesti seketika melotot, “Kamu juga mengusirku?! Aku ini Mama kandungnya Echa.”Niko cukup menjawabnya dengan merogoh ponsel di saku celananya. Dia menghubungi petugas keamanan perumahan.“Pak, tolong ke sini.”Hesti dan Sarah menatap Niko. Sikap tegas lelaki itu membuat mereka sedikit takut.“Aku nggak mau pulang. Aku masih ada perlunya sama anakku,” tolak Hesti geram.“Echa sudah mengirim uang 5 juta ke rekening Mama. Jadi ngg