"Mas, apakah kita sebaiknya bercerai saja?"
Riko bangun dari posisi tidurnya. Memandang tajam wanita di depannya. Naila pun menutupi wajahnya dengan selimut, takut dengan sorot mata suaminya.
"Astaghfirullah ... 'Siapa saja perempuan yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas perempuan tersebut.' Kamu tahu, bukan? Tolong, berhentilah bicara yang tidak-tidak."
Riko berdiri, berjalan keluar kamar menuju dapur dan membuka kulkas. Mengambil segelas air putih lalu meminumnya hingga tandas. Membuat dingin hati dan pikirannya yang sempat panas. Berjalan ke depan, keluar pagar dan melajukan motor sport meninggalkan teras.
Naila merasa bersalah, mendengar suara deru motor yang keluar rumah. Bahkan suaminya tak pamit padanya, semua karena dirinya. Naila pun berusaha memejamkan mata, rasa pusing semakin mendera. Dipaksakan dirinya tidur, agar pikiran dan hatinya tenang, tak memikirkan lagi perkataan orang. Pengaruh obat dan pikiran yang penat, mulai membuat Naila terlelap.
***
Riko masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah nampan. Dibangunkannya Naila dengan penuh kasih sayang.
"Bangun, Sayang. Makan dulu baru dilanjutkan tidurnya." Riko tersenyum sambil membelai pipi istrinya. Naila pun mencoba untuk duduk, dibantu suaminya. Semangkuk bubur ayam dan susu hangat telah disiapkan Riko untuk istri tercinta.
"Mas, aku minta ma--."
Cup!
Riko memotong ucapan maaf Naila dengan mengecup bibirnya. Naila terdiam dengan wajah merona.
"Sudah, nggak usah dibahas lagi. Setelah kamu makan, aku baru berangkat kerja. Aku tinggal nggak apa-apa 'kan?"
"Aku kira tadi Mas sudah berangkat dan nggak pamit aku karena marah. Aku nggak apa-apa kok Mas, sudah nggak panas lagi, tinggal sedikit pusing saja."
"Mana mungkin aku tega meninggalkan kamu dalam keadaan belum sarapan. Aku tadi beli bubur ayam di warung biasanya. Maaf kalau aku tadi langsung berangkat."
"Iya, Mas. Nggak apa-apa, aku yang minta maaf. Mas sudah sarapan?"
"Sudah, aku lihat kamu masih pulas tidurnya. Jadi Mas makan dulu baru bangunkan kamu. Habis ini Mas langsung berangkat, ya. Mas usahakan nanti minta ijin pulang lebih awal."
"Nggak usah, Mas. Pulang seperti biasa saja, aku nggak apa-apa kok. Aku mungkin hanya perlu istirahat."
"Ya, sudah. Kalau nanti ada apa-apa atau perlu sesuatu, telepon Mas, ya. Nggak usah nyiapin makanan buat nanti malam, biar Mas belikan saja kalau pulang."
"Iya, Mas. Terima kasih."
Riko menemani istrinya sampai bubur ayamnya habis tak tersisa. Naila pun memaksakan diri untuk menghabiskan makanannya agar tak mengecewakan suaminya. Riko sudah begitu baik dan perhatian dengan membelikannya bubur ayam favoritnya. Naila sangat bersyukur memiliki suami yang tampan dan sangat mencintainya.
"Aku berangkat dulu. Tidurlah, nggak usah mikirin hal-hal yang nggak penting apalagi omongan orang tak dikenal. I love you, Sayang."
Riko mencium kening istrinya, merebahkan kembali tubuh Naila yang terlihat lemah. Membawa nampan berisi mangkuk dan gelas yang sudah kosong ke dapur lalu mencucinya. Riko sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Apalagi Naila sedang sakit dan lemas, Riko tak membiarkan istrinya beraktivitas. Setelah menutup pintu dan mengunci pagar, Riko pun berangkat menuju tempat kerja.
Naila tak lagi bisa memejamkan mata. Sendirian di rumah, badannya terasa tak bertenaga. Mau membuka ponsel saja, Naila masih trauma. Sudah beberapa hari dirinya tak berani memegang apalagi sampai membuka benda pipih miliknya. Bahkan suara notifikasi yang tak ada hentinya, tak pernah dihiraukan. Bukannya Naila tak penasaran, hanya saja masih enggan dengan berita yang masih beredar mengenai dirinya.
Teringat kala itu, perkenalan Riko dengan dirinya di sebuah pesta. Tanpa sengaja, Riko menabraknya yang sedang membawa sebuah nampan berisi minuman untuk para tamu. Ruangan pesta pun terlihat berantakan akibat gelas yang pecah dan berserakan. Ditambah lagi dengan beberapa tamu yang bajunya terkena tumpahan. Sungguh, keadaannya waktu itu sangat menyedihkan.
Dulu Naila adalah seorang pelayan di sebuah rumah makan. Pesta ulang tahun perusahaan tempat Riko bekerja diadakan di rumah makan di mana dia bekerja. Pemilik rumah makan langsung memecat dirinya tanpa mau tahu alasannya. Riko pun sudah berusaha membantu memberi penjelasan pada bosnya. Namun, kesalahannya dianggap fatal dan tak pantas dimaafkan. Riko pun merasa bersalah, dan mengantarkan Naila pulang. Setelah kejadian itu, Riko sering berkunjung ke tempatnya. Bahkan dua bulan kemudian, Riko langsung melamar dan menikahinya.
Naila pernah bertanya pada Riko, apa alasan menikahinya. Dan Riko selalu menjawab bahwa laki-laki itu mencintai dirinya. Naila pun tak begitu saja percaya dengannya, namun Riko selalu meyakinkannya. Riko selalu berkata pada dirinya, cinta tak butuh alasan. Masih teringat jelas ucapannya, Riko berulang kali mengatakan padanya hal yang sama. 'Aku tak punya alasan kenapa aku mencintaimu. Hanya satu yang aku tahu, aku bahagia saat bersamamu, aku nyaman saat di dekatmu.'
Pernikahan mereka sangat sederhana, apalagi Naila adalah seorang yatim piatu dan tak punya saudara. Rumah orangtuanya di desa sudah djualnya, sebagai bekal dirinya hidup di kota. Demikian juga Riko, dia sudah tak memiliki ibu dan ayah. Hanya seorang kakak laki-laki yang tinggal di luar kota dan sudah menikah. Mereka pun tak datang di acara pernikahannya, entah kenapa sampai sekarang Riko tak pernah mau memberikan alasannya.
Pernikahan mereka sudah berjalan enam bulan, dan belum ada tanda-tanda kehamilan. Naila tadi pagi bahkan sudah mengecek dengan test pack, berharap sakitnya karena ada janin di rahimnya. Ternyata harapannya masih belum dikabulkan dan Naila berani minum obat demam yang tersedia.
Ponsel di atas meja riasnya berdering berulang kali. Dengan malas Naila terpaksa mengambil dan menerima panggilan yang ternyata suaminya.
"Assalamu'alaikum, Sayang. Maaf kalau aku mengganggu, lagi tidur, ya?"
"Nggak kok, aku hanya rebahan saja. Mungkin setelah sholat dhuhur saja aku tidur lagi."
"Bagaimana keadaanmu? Aku di kantor nggak bisa tenang. Mikirin kamu terus, takut kenapa-kenapa."
"Alhamdulillah, pusingnya sudah mulai berkurang. Mas fokus kerja saja, insyaa Allah aku nggak kenapa-kenapa."
"Ya, sudah. Aku lupa memberitahu, di meja makan ada nasi padang. Nasi dan sayurnya dipisah, jadi aman buat makan siang. Jangan lupa dimakan terus minum obatnya. Langsung tidur, nggak usah ngerjakan apa-apa dulu."
"Iya, Mas. Terima kasih banyak, maaf merepotkan."
"Ngomong apaan sih, aku suamimu, kamu tanggung jawabku. Harusnya aku nggak kerja tadi, biar hatiku juga tenang."
"Aku nggak apa-apa kok, Mas. Nanti habis sholat dhuhur akan aku makan nasinya, minum obat terus tidur. Insyaa Allah besok sudah sehat lagi."
"Aamiin ... Mas lanjut kerja dulu, ya. I love you, Sayang. Assalamu'alaikum."
"I love you too, w*'alaikumussalaam."
Naila tersenyum bahagia, bahkan Riko menyiapkan makan siangnya. Dia pun berjanji, mulai saat ini tak lagi memusingkan omongan orang. Memiliki seorang suami yang sangat mencintainya sudah cukup baginya. Selain Riko, Naila tak punya siapa-siapa.
"Assalamu'alaikum ...."
Suara salam seorang wanita terdengar dari arah depan pagar rumahnya. Naila pun bergegas memakai gamis dan jilbab panjangnya. Dengan tubuh yang lemah, dia berjalan perlahan membukakan pintu untuk tamunya.
"Maaf, cari siapa, ya?"
"Riko ada? Kamu ini siapa? Pembantu baru, ya?"
Ruang tamu rumah Riko telah dihias sedemikian rupa. Seorang lelaki dalam setelan jas pengantin berwarna putih telah duduk bersila di depan sebuah meja kecil.Yakub dan seorang penghulu berpeci hitam tampak berbincang akrab. Rony—sang mempelai pria, tertunduk dengan bibir komat-kamit melafalkan kalimat ijab qobul. Kedua tangannya saling remas, berkeringat, menandakan jika dirinya tengah gugup. Riko yang memperhatikan gerak-gerik Rony sedari tadi lekas menghampiri."Tenang, tarik nafas, keluarkan. Jangan sampai salah. Kalau sampai salah tiga kali, nggak jadi nikah sama Sarah."Mendengar kalimat terakhir Riko, tangan Rony memukul bahu Riko."Aku tegang malah sempat-sempatnya kamu bercanda!" Riko hanya terkekeh melihat ekspresi wajah kakaknya. Hingga beberapa menit kemudian, penghulu memberi kode bahwa acara akan segera dimulai.Ruangan mendadak hening, penghulu memulai acara dengan do'a lalu dilanjutkan dengan beberapa kalimat pembukaan, yang ditujukan kepada seluruh tamu undangan.Sem
Riko terkejut, sontak dia menoleh melihat ekspresi wajah istrinya. Naila terdiam. Sebenarnya dia sama terkejutnya dengan Riko tapi tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Naila membalas memandang Riko dengan rasa penasaran. Ada apa tiba-tiba Daffa datang ke rumah mereka? Mendengar nama Daffa disebut oleh Bi Marni, seketika semua orang turut berdiri. Namun, Riko melarang semua orang yang akan turut serta menemui Daffa."Biar saya saja sama Naila yang menemui Daffa."Riko beranjak lalu meraih tangan Naila yang tampak enggan mengikutinya. Riko paham. Dia menunduk lalu berbisik lirih di telinga Naila."Tidak apa-apa, Sayang. Aku percaya padamu."Naila mengangguk dan tersenyum mendengar sebaris kalimat yang baru saja keluar dari bibir Riko. Ada rasa hangat yang menjalar dalam hatinya, membuat kedua bola mata indahnya mengembun.Dengan lembut, Riko membelai kedua pipi Naila. Tanpa sadar, Riko melakukannya di hadapan semua orang."Maaf, ya. Jangan menangis lagi nanti cantiknya hilang."Nai
"Maaf, Mas ... aku hanya terlalu bahagia mendengar kabar ini. Aku baik-baik saja."Setelah siuman, Naila tersenyum sambil memandang kedua orang di hadapannya. Riko masih memegang erat tangannya. Sementara Sarah memijit kedua kakinya dengan lembut. Marni membawakan air madu hangat dan sepiring nasi untuk Naila."Makan dulu, Mbak. Dari kemarin Mbak Naila belum makan. Bibi masakin sayur sop daging kesukaan Mbak Naila. Jangan menyiksa diri sendiri, Mbak. Kasihan Den Riko juga, jadi ikut-ikutan nggak mau makan."Mendengar ucapan Marni, Naila langsung memandang suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah. Riko mengecup lembut jemari Naila dan tersenyum."Maafkan aku, Mas. Aku sudah keterlaluan," ucap Naila penuh penyesalan."Tidak, Sayang ... aku memang salah. Aku pantas mendapatkan hukuman darimu, bahkan mungkin harusnya hukumannya lebih berat dari ini. Selama kamu nggak mau makan, maka selama itu pula aku juga nggak akan makan."
"Sudahlah, ayo kita segera pergi. Kita lihat saja langsung keadaan Naila." Yakub langsung mengajak mereka segera berangkat, membuat Riko merasa lega."Ya, Kakak benar. Aku akan bersiap dulu." Sarah beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya."Jangan lama-lama, mentang-mentang ada calon suami nanti ganti bajunya nggak kelar-kelar." Yakub menggoda adiknya, membuat Rony tersenyum."Ish, Kakak ini apa-apaan, sih!" Sarah pun langsung menutup pintu kamarnya dengan kedua pipi yang merona.Mereka berangkat bersama dengan kendaraan roda duanya masing-masing. Rony bersama Riko dan Yakub berboncengan dengan Sarah. Rasa bahagia terpancar pada wajah ketiga orang itu, kecuali Riko yang sedih akibat ulahnya sendiri.Setelah sampai, Riko mengajak Sarah masuk ke kamar menemui istrinya. Terlihat oleh Riko, Naila sedang duduk di sofa dekat jendela sambil mengaji. Hanya itu kegiatan yang dilakukan Naila selama di kamar. "Sayang, lihat si
"Silakan diminum tehnya, Kak." Sarah meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja untuk Riko dan Rony. "Terima kasih, Sarah." Rony membalas ucapan Sarah sambil tersenyum. Yakub hanya memandang kedua kakak beradik itu dengan penuh tanda tanya, apalagi Naila tak ikut bersama mereka. "Maaf, Yakub, kedatangan kami ke sini, untuk meminta penjelasan dari kalian soal foto-foto ini. Naila sedang difitnah seseorang dan sekarang dia sedang sedih sampai selalu mengurung diri di kamarnya."Rony menyerahkan ponsel milik Riko pada Yakub. Sarah yang penasaran akhirnya mendekati kakaknya dan ikut melihat foto-foto yang ada di galeri ponsel milik Riko. "Ini kan foto-foto kita saat sedang di food court? Ini kita lagi di bank dan ini foto kita lagi di warung nasi rawon. Banyak sekali foto-fotonya tapi di situ kok cuma ada Naila dan Kak Yakub saja?"Sarah langsung memberi komentar mengenai foto-foto yang dilihatnya. Yakub pun langsung mengangg
Setelah pulang dari rumah sakit, Riko selalu menemani Naila di mana pun dia berada. Semua pekerjaan, diserahkan kembali pada asistennya dulu. Riko sangat mengkhawatirkan istrinya, karena sikap Naila tak seperti biasanya. Naila lebih sering melamun, duduk di sofa sambil memandang ke arah luar jendela. "Sayang ... hari ini waktunya kamu ke klinik kecantikan. Aku akan mengantarmu dan menunggumu sampai pulang. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke mall?" tanya Riko sambil mengelus lembut pipi istrinya. "Maaf, Mas, kepalaku pusing. Aku ingin di rumah saja." Naila membalas ucapan Riko tanpa memandang suaminya. "Naila, sudah beberapa minggu ini kamu selalu di rumah. Jangan mengurung diri di kamar terus dong, Sayang. Aku akan menemanimu ke mana pun kamu mau." Riko memegang lembut tangan Naila dan berusaha membujuk istrinya agar mau pergi. "Aku mau sholat dhuha dulu, ya, Mas. Maaf, Mas, aku benar-benar sedang ingin di rumah saja."Naila beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju kamar mandi