Share

Kamu?

last update Last Updated: 2022-12-07 11:56:31

Kutatap wajah Mas Adji lekat-lekat, dia sekarang tertidur pulas di atas ranjang,memiringkan badannya ke arahku yang berada di sampingnya. Rasanya tidak ada celah antara dua orang ini, antara Mas Adji dengan pengusaha viral itu. Apakah mungkin, mereka orang yang sama? Argh, bodohnya aku menyamakan pengusaha terkenal dengan suamiku yang hanya bekerja sebagai pedagang sayur keliling ini.

Aku bangkit dari ranjang, lalu duduk di bangku kerjaku. Berusaha berpikir matang untuk merencanakan tugas yang baru diberikan atasan tadi sore. Kubuka situs laman pada g****e, mencari berita tentang pengusaha yang baru saja viral. Kuketik pada pencarian “Kusuma Adjipto Saherza” dan seketika pula munculah foto pengusaha yang sedang viral itu. Ku screenshoot beberapa gambar yang tertera. Dengan cekatan tanganku menggoreskan tinta pulpen pada kertas, mencatat semua informasi yang tertera pada web.

“Aduh, laper!” Aku memegangi perutku yang berbunyi tanda meminta jatahnya. Arlojiku telah menunjukkan pukul satu malam. Aku belum bisa tertidur karan kepikiran tugas dan total bonus yang akan kuterima jika berhasil menjalankan tugas ini.

Aku pun pergi ke dapur untuk mencari makanan, mungkin masih ada. Mas Adji tidak akan pernah tidak menyisakan makanan untukku jika dia tahu kalau aku belum makan di rumah. Kubuka lemari yang biasa menjadi tempat Mas Adji menyisakan makanan untukku. Benar, ada di dalamnya makanan satu piring penuh dengan lauk.

Aku pun mengambil nasi dalam rice cooker dan membawa makananku itu kembali ke dalam kamar.

“Nay, masih kerja?” tanya Mas Adji yang telah duduk di bibir ranjang.

“Iya, Mas,” jawabku datar sembari menyuap nasi ke mulutku menggunakan sendok.

“Ga istirahat dulu?” tanyanya lagi.

“Tanggung, Mas. Kamu tidur aja!”

“Ada yang bisa Mas bantu? Biar pekerjaannya cepat selesai,” tawarnya lagi.

Mas Adji, mau bantu pekerjaanku. Itu dia katakan setiap kali mengetahui aku belum tidur tengah malam karna masih sibuk bekerja. Meski setiap kali aku menghinanya karna tidak akan mungkin dia mengerti dengan pekerjaanku. Komputer? Dia tidak akan paham. Kali ini, aku ingin mengetesnya, membuktikan bahwa dia itu tidak bisa melakukan apa pun. “Bener, kamu mau bantu Naya?” tanyaku yang sebenarnya menguji.

Mas Adji beranjak dari bibir ranjang, lalu menuju ke arahku yang sedang duduk di kursi menatap layar laptop.

“Coba, apa yang bisa Mas bantu? Kali aja, Mas tahu?” ujarnya sembari memijat bahuku.

“Eum, ini Mas. Emang kamu tahu cara gunain laptop?” Sengaja laptop kumatikan, ingin kulihat bagaimana Mas Adji menggunakan laptop sembari aku mengulum tawaku.

“Eum, emangnya kamu lagi nyelesain tugas apa dari kantor?” Mas Adji menekan tombol on pada laptop. Aku terperangah, kok bisa? Kan Mas Adji ga pernah nyentuh laptop. Hiduplah laptop dan muncul foto pengusaha viral itu. Sengaja, aku mau lihat ekspresinya saat melihat orang yang sangat mirip dengannya itu. Dan pastinya aku berkesempatan untuk menghina kastanya lagi dan lagi.

Mas Adji mengangkat keningnya, menatap wajah pengusaha yang sedang viral itu. “Nay, ini siapa?” tanyanya memicingkan mata ke arahku.

“Bacalah, Mas!”

Mas Adji terlihat mengeja. “Pengusaha viral tahun ini,” ejanya. “Ganteng, ya, Nay. Mirip aku.”

Mataku membulat, baru kali ini dia memuji dirinya sendiri di depanku. Selama menikah dengannya, inilah kali pertama dia bertingkah sedemikian rupa. “Apaan, sih. Ga lah. Dia ganteng, kalau Mas Adji enggak.” Aku menarik laptopku.

“Masa sih gantengan dia? Buktinya saat ini aku yang jadi suamimu, kan? Berarti gantengan aku, dong.” Mas Adji berbangga diri.

Suasana menjadi cair, wajahku yang biasanya terlihat kecut saat bicara dengannya kini tertawa renyah. Sudah lama sekali tidak seperti ini, dulu waktu awal pernikahan kami selalu tertawa bersama. Tapi, setelah hidup bersama, dan ibu dengan Kak Andin datang tinggal di rumah kami, kebutuhan ekonomi semakin melunjak. Saat itu pula aku mempermasalahkan pekerjaan Mas Adji yang tidak mau mencari pekerjaan jauh lebih bagus dengan gaji yang tinggi pula. Tapi, mana bisa? Dia bukan manusia yang berpendidikan sepertiku.

“Nay, selalu lah tersenyum seperti ini!” Mas Adji mengelus lembut pipiku.Aku terdiam, mata kami saling menatap dalam.

“Argh, Mas. Apaan sih, sudah sana. Aku mau nyelesain kerjaanku!” Wajahku kembali seperti sedia kala, kecut.

“Kamu cepetan istirahatnya!” Mas Adji kembali ke atas ranjang dan merebahkan badannya memunggungiku.

Aku menatapnya dari bangku. Terlihat hentakan napasnya berirama. Sebenarnya ada rasa menyesal di hatiku karna selalu menghinanya, tapi entah kenapa saat aku melihat wajahnya dengan kepolosannya itu, aku malah ingin selalu menghinanya habis-habisan.

***

"Ma, Naya berangkat ke kantor!" teriakku dari depan rumah yang telah siap menunggangi kendaraanku.

"Iya, hati-hati." Mama keluar dari dalam rumah.

"Kak Andin mana, Ma? Perasaan dari kemarin siang ga nongol?" tanyaku sembari mencium punggung tangan Mama.

"Kayak ga tau sama kakakmu aja, Nay. Dia tidur di kamar setiap waktu."

"Coba Mama suruh Kakak cari kerja aja, atau cari suami yang kaya raya gitu."

"Sudah, ah. Nay cepetan berangkat ke kantor! Sudah jam berapa ini."

"Iya, iya. Naya berangkat dulu."

***

Aku tidak langsung pergi ke kantor, aku pergi berjalan-jalan dahulu dengan harapan menemukan sosok pengusaha viral itu lagi. Entah di mana? Tapi, semoga saja ketemu.

Aku berkeliling di mall tempat kemarin aku bertemu dengannya, kali aja kan dia kembali lagi ke mall ini. Setelah berkeliling sembari memilah-milih pakaian tapi tak kunjung jua aku menemukan dia lagi di sini.

"Terimakasih, Mbak," ucapku saat kasir memberikan bungkusan belanjaanku padaku. Aku memutuskan untuk keluar dari mall ini dan mencarinya di tempat lain.

Entah nasib apakah yang akan menimpaku kali ini, tapi semoga saja nasib baik yang beruntung.

Kutatap arlojiku yang telah menunjukkan pukul dua belas siang. Cuaca di luar restoran ini terlihat menyala karna panasanya sinar matahari. Aku menyeruput ice creamku yang kupesan pada restoran ini. Mencoba mencari inspirasi serta jalan agar mendapatkan ide yang cemerlang dalam menyelesaikan tugas.

"Hai," ucap seorang lelaki yang berdiri di seberang mejaku, berbaju kaos casual dengan wajah yang tertutup oleh topi.

Apa dia sedang menyapaku? Aku menengok ke kanan dan ke kiri.

"Hai, juga. Siapa ya?" tanyaku berusaha mengintip wajahnya.

"Kosong?" tanyanya menunjuk kursi yang berseberangan denganku.

Aku mengangguk membenarkan. "Iya."

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya lagi.

"Tentu, silakan saja!"

Dia pun duduk pada kursi itu, lalu dia mengulurkan tangannya ke arahku. "Maaf untuk yang kemarin."

"Maaf?"

"Apa kau tidak mengenaliku?" Langsung saja dia membuka sedikit topinya yang menampakkan sebagian dari wajahnya.

Aku terperangah tak percaya. "Kamu?"

Bersambung.....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Billen Loing
penasaran.... ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   ENDING

    Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Jaga Anakku

    Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Dia adalah Ibu Kandungmu

    Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Selamat hari Ibu

    Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Pembunuh

    Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "

  • Suami Terhinaku Seorang Miliuner   Sinta Datang

    Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status