Share

Baba 3 : Perpisahan Dengan Dunia

Lelaki yang menikahiku lima bulan yang lalu itu terbaring lemah, matanya tertutup, dengan sebagian kepala yang ditutupi perban. Hampir dua jam aku menungguinya, akan tetapi dia belum juga sadar. Perawat memberi tahukan bahwa Mas Faqih telah mendapatkan kamar. Akhirnya, lelaki bermata teduh itu dipindah ke ruang perawatan.

Kedua orang tuaku sampai di Rumah Sakit. Dengan tergopoh mereka menghampiri.

"Bagaimana keadaan Faqih? Kecelakaan di mana? Dia baik-baik aja kan?" cecar Ummi.

Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang mampu menerjemahkan bagaimana porandanya hatiku saat itu.

Ummi meraih dan memeluk tubuh ini yang terasa lemah. Sedang Abi mengusap punggungku berusaha menenangkan.

Hampir sebulan Mas Faqih dirawat, tetapi keadaannya masih tetap sama. Hanya bisa terbaring, dirinya begitu kesulitan meski hanya untuk menggerakan bagian tubuhnya.

Ibu mertuaku sudah tiga minggu di Rumah sakit, menunggui dan ikut merawat Mas Faqih. Karena keadaannya tak kunjung membaik, kami memutuskan untuk membawanya pulang dan hanya rawat jalan saja.

Ibu mertuaku berencana membawa Mas Faqih ke Yogya agar lebih leluasa merawatnya. Aku setuju, kami pun berangkat kembali ke kota kelahiran suamiku.

Mas Faqih kembali dibawa ke Rumah Sakit. Alhamdulillah, perkembangannya sedikit membaik, meski masih belum mampu untuk menegakkan tubuhnya.

Lelaki itu memandangku sendu. "Aisyah," ucapnya pelan.

"Iya, Mas."

"Maafkan, Mas, ya?" Mata lelaki di hadapanku itu mengembun.

"Minta maaf untuk apa? Mas gak salah apa-apa sama Aisyah."

"Mas gak bisa memenuhi kewajiban Mas sebagai seorang suami. Malah merepotkanmu seperti ini."

Aku menggeleng seraya tersenyum. "Ini sudah menjadi kewajiban Aisyah. Barangkali, ini adalah salah satu jalan Aisyah menuju Surga. Mas Faqih ridha dengan Aisyah itu sudah cukup."

"Tentu saja Mas Ridha kepadamu."

****

Hari ini kembarannya Mas Faqih pulang. Ummi menyambutnya dengan gembira. Saat ini aku sama Mas Faqih memang tinggal di rumah mertua.

Seperti biasa, lelaki itu tak banyak bicara. Dia memang lebih pendiam dibandingkan Mas Faqih. Kulihat, dia masuk ke kamar menemui suamiku.

"Aisyah, bantu ummi masak, ya. Biar Faqih ditemani Fahim aja."

"Iya ummi." Aku mengikuti ibu mertua menuju ke dapur.

Selesai masak, aku hendak menemui Mas Faqih. Namun, Mas Fahim masih ada di dalam. Entah apa yang mereka bicarakan, tampaknya serius sekali. Kuurungkan niat menemui Mas Faqih.

Malam menyapa, kupandangi lelaki yang semakin kurus itu. Perasaan sedih menyelinap di hati. Segera kutepis perasaan itu. Aku tak boleh berlarut dalam kesedihan, karena segala apa yang terjadi kepada Mas Faqih adalah takdir dari Sang Maha Kuasa. Aku yakin pasti ada hikmah di balik ini semua.

Aku mendekatinya.

"Mas, sudah salat Isya?" tanyaku pelan.

Lelaki itu tak membuka matanya.

"Mas." Kuletakan telapak tangan di lengannya.

Apa dia tidur?

"Mas." Kali ini kugoyangkan perlahan tangannya yang bersedekap di atas perut. Namun, lelaki itu tak juga bergerak.

Hatiku mulai diliputi rasa khawatir. Kuguncangkan tubuhnya lebih keras, dia masih tak merespon.

Dalam kalut, aku berlari ke luar kamar memanggil ummi.

"Ada apa Aisyah?" Ummi yang masih memakai mukena dengan tergesa menghampiri.

"Mas Faqih," ujarku dengan suara tertahan.

Setengah berlari ummi masuk ke kamar. Wanita paruh baya itu memanggil-manggil nama puteranya seraya mengguncang tubuh kurus itu. Tak lama berselang, datang abi dan Mas Fahim yang baru pulang dari masjid.

Mas Faqih diboyong lagi ke Rumah sakit. Dua jam kemudian lelaki itu membuka matanya. Dengan selang oksigen yang masih terpasang di mulutnya, Mas Faqih berusaha ingin mengatakan sesuatu. Ummi yang duduk disebelah menyentuh bahunya. "Istirahat dulu, Nak."

Keesokan harinya menjelang zuhur, kedua orang tuaku datang menjenguk.

"Setelah kami dapat kabar Nak Faqih ngedrop, kami langsung ke sini," ucap ummi sambil menggenggam jemariku.

Aku mengangguk. "Terima kasih," ucapku pendek. Saat itu, aku benar-benar tak ingin banyak bicara.

Kedua orang tua dan mertuaku tengah salat zuhur di masjid, sedang aku membantu mas Faqih yang ingin salat juga. Dalam kondisi apa pun, lelaki itu tak pernah meninggalkan salatnya. Dia pernah berujar bahwa salat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab di akhirat kelak. Jika salatmu baik, maka amalan yang lain pun akan baik. Itulah nasihatnya yang hingga saat ini aku ingat.

Selang beberapa menit, seorang perawat laki-laki datang memeriksa keadaan Mas Faqih.

"Kita lepas oksigennya ya, Pak?" tanya perawat itu.

Mas Faqih mengiyakan dengan isyarat matanya. Setelah selesai, perawat itu keluar kembali.

"Apa yang mas rasakan sekarang?" tanyaku seraya memgambil bubur yang baru diantarkan petugas Rumah Sakit.

Lelaki itu tersenyum sembari memandangiku. "Kamu cantik," ucapnya pelan.

Aku tersipu, ah bukannya menjawab pertanyaanku, kenapa dia malah bilang seperti itu dalam keadaan seperti ini?

Aku menyuapkan bubur sedikit demi sedikit. Baru dua sendok lelaki itu menolak suapan yang ketiga.

"Mas harus makan, biar cepat sehat," ucapku lembut.

"Sudah kenyang," timpalnya seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit.

Kutaruh bubur yang masih tersisa banyak.

"Mas."

"Ya." Mata indah yang kini terlihat sayu itu menatapku lekat.

"Mas harus sehat, ya."

"Tak ada yang bisa menjamin umur manusia, Aisyah. Segala yang terjadi kepada kita sudah ditulis sejak lima puluh ribu tahun sebelum kita diciptakan. Kita hanya bisa ikhtiar dan berdo'a, selanjutnya biarlah Allah yang menentukan."

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Faqih. Apa yang dikatakannya adalah benar, tapi kenapa hati ini belum bisa sepenuhnya ikhlas dengan apa yang terjadi padanya. Apa lagi jika sampai dia pergi, ah, tidak, kenapa aku berpikir sejauh itu.

Siang itu Mas Faqih menyampaikan banyak nasihat kepadaku. Wajahnya tampak cerah, bibirnya tak lepas dari senyum. Seolah hari itu adalah hari yang menggembirakan baginya. Orang tua dan mertuaku pun tampak senang, mereka berbincang dengan Mas Faqih dan Mas Fahim.

Malamnya, Mas Faqih meminta kami berkumpul. Katanya, ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Kami semua mengelilinginya. Tak seperti saat siang, malam ini Mas Faqih tampak kesulitan bernapas, abi menawarkan untuk dipasangkan oksigen, tapi lelaki itu menolaknya.

Mas Faqih menatap orang-orang yang mengelilinginya satu per satu.

"Aisyah," panggilnya pelan.

"Iya, Mas," jawabku seraya menggenggam jemarinya.

"Jika umurku tak panjang ... menikahlah dengan Fahim," bisiknya.

Mataku terbelalak mendengar ucapan Mas Faqih, begitupun kedua orang tua dan mertuaku. Sedang dia-Mas Fahim, hanya tertunduk, entah apa yang dipikirkannya, aku tak ingin menerka.

"Mas ... kenapa bilang begitu?" tanyaku dengan suara parau. Air mata ini sudah tak bisa dibendung lagi. Ia begitu saja keluar susul menyusul.

Mas Faqih tersenyum, dan mengeratkan genggamannya di jemariku.

"Aku ingin istirahat," ucapnya sembari melepaskan tanganku.

Ibu mertuaku membenahi selimut Mas Faqih. Lelaki yang terbaring lemah itu menatapnya, lalu tersenyum. "Makasih, Ummi," ucapnya diiringi mata yang berkaca-kaca.

Ummi menggeleng dan mengusap sudut matanya. Lalu mengecup kening anak sulungnya.

Malam itu aku bermimpi berada di sebuah padang rumput dengan bunga yang berwarna warni. Wajah Mas Faqih begitu cerah, dia menghampiriku dengan berlari. Ah, lelakiku itu sudah sembuh.

Mas Faqih tak bicara, dia hanya tersenyum lalu memberikan setangkai bunga kepadaku. Setelah aku menerima bunga, lelaki pemilik wajah tampan itu berjalan menjauh. Aku mengejarnya, tapi kaki ini tak juga sampai kepadanya, meski sekuat tenaga aku berlari.

Mas Faqih tersenyum, dan berjalan semakin jauh hingga aku tak bisa lagi melihatnya.

Aku terbangun, kulihat jam di layar ponsel menunjukkan angka tiga. Kuedarkan pandangan ke arah ummi dan mertuaku, keduanya masih terlelap. Sedang abi, abi mertua dan Mas Fahim tidur di ruang tunggu.

Aku bangkit dan mendekati Mas Faqih, wajahnya begitu tenang dengan seulas senyum kecil di wajahnya. Mimpi barusan rasanya begitu nyata.

Kuperhatikan dadanya, rasanya tak bergerak. Kutempelkan telinga di dada lelaki itu, tak terdengar detaknya. Perasaanku mulai tak menentu, bahkan air mata ini sudah jatuh tak mampu dibendung lagi.

"Ummi," ucapku pada ibu dan mertuaku seraya menggoyang tubuh mereka.

"Ada apa, Nak?" tanya Ummi.

"Mas Faqih."

Ibu mertuaku bergegas menghampiri putra sulungnya, sedang Ummi memanggil abi dan yang lainnya. Tak perlu menunggu lama, mereka sudah mengelilingi Mas Faqih. Seorang perawat menyusul masuk memeriksa keadaan Mas Faqih.

"Innalillahi w* inna ilaihi roji'un," ucap peraw*t itu diiringi ucapan serupa dari semua yang hadir di kamar.

Tubuhku terasa lemas, untung saja ummi menahan tubuhku. Air mata yang sejak tadi keluar, kini semakin menderas.

❤❤❤

FOV Faqih

*

"Aisyah."

"Iya, Mas," sahutnya lembut.

"Maafkan Mas, ya?"

"Minta maaf untuk apa? Mas gak salah apa-apa sama Aisyah," jawabnya. Wajah itu begitu tulus, membuat hatiku semakin diliputi rasa bersalah.

"Mas gak bisa memenuhi kewajiban Mas sebagai seorang suami. Malah merepotkanmu seperti ini."

Wanita berparas jelita itu menggeleng. "Ini sudah menjadi kewajiban Aisyah. Barangkali, ini adalah salah satu jalan menuju Surga. Mas Faqih ridha dengan Aisyah itu sudah cukup."

"Tentu saja Mas Ridha kepadamu," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya.

***

Terdengar suara pintu diketuk, lalu masuklah adikku Fahim. Lelaki bertubuh tinggi itu mencium punggung tangan dan menanyakan keadaanku. Kami membicarakan banyak hal, di mulai dari masa ketika masih kecil, hingga keadaanku yang hanya bisa terbaring di kasur.

"Apa kamu sudah punya calon, Him?" tanyaku.

Adikku itu menggeleng.

"Bagaimana kalau kamu menikahi Aisyah jika aku sudah tidak ada lagi di dunia ini?"

"Mas!" Fahim tampak terkejut mendengar pertanyaanku.

"Mungkin, hidupku tak akan lama lagi di dunia ini."

"Hidup dan mati itu urusan Allah, Mas. Bisa saja, aku yang mendahuluimu," timpalnya serius.

"Kamu benar, Him. Tapi ... jika aku yang pergi terlebih dahulu, maukah kamu menjaga Aisyah untukku?"

"Apa menjaga harus dengan menikahinya, Mas?" tanyanya, mata bening pemuda itu tampak mengembun.

Aku menghela napas. "Karena dengan menikahinya, kamu benar-benar bisa menjaganya."

Fahim menunduk tak menjawab.

"Aku tidak akan memaksamu, Fahim. Tapi jika kamu berjanji menikahinya, mungkin aku akan merasa sedikit tenang."

Fahim masih menundukkan kepalanya. Lalu, sebulir bening jatuh dari ujung  dagunya.

Pemuda yang duduk di dekatku itu mengangkat kepalanya.

"Kenapa Mas membicarakan hal ini sementara kita memiliki harapan yang besar akan kesembuhanmu. Apakah ini bentuk putus asamu, Mas? Bukankah sebagai muslim kita tak boleh berputus asa?" ujar Fahim, sorot matanya tegas menatapku.

"Mas tidak putus asa, Fahim. Jujur, Mas merasa bersalah kepada Aisyah karena tak bisa memberikan hak-hak yang seharusnya dia dapatkan," kujeda perkataanku agar Fahim bisa mencernanya. "Seperti yang Mas bilang tadi, Mas gak akan memaksamu."

Hening menyergap selama beberapa saat.

"Baiklah, Mas ... Jika dengan aku berjanji bisa membuatmu lebih tenang, aku berjanji akan ... menikahinya," ucapnya pelan.

****

Selepas salat Isya, rasanya dadaku menyesak. Aku kesulitan bernapas, pandangan mengabur, dan semuanya menjadi gelap. Saat terbangun, aku sudah berada di Rumah Sakit dengan selang oksigen terpasang di mulutku. Kulihat istri, adik dan orang tua di dekatku, juga kedua mertuaku. Hal itu membuat hati ini merasa sedikit lega.

Keesokan harinya, tubuhku merasa lebih baik. Seorang perawat melepaskan oksigen dari mulutku lalu ke luar lagi melanjutkan pekerjaannya.

"Apa yang Mas rasakan?" tanya Aisyah.

Aku tersenyum. "Kamu cantik," ucapku, membuat pipinya bersemu merah. Sungguh, itu menambah kecantikannya.

Maafkan aku Aisyah, tak bisa membahagiakanmu. Aku hanya bisa membuatmu susah.

Aisyah menyuapkan bubur, rasanya terasa pahit di lidah. Setelah dua sendok, rasanya perutku tak bisa lagi menerimanya.

"Mas harus makan, biar cepat sehat," ucapnya lembut ketika aku menolak suapan ketiga.

"Sudah kenyang," timpalku. Kutengadahkan kepala ke arah langit-langit.

"Mas."

"Ya." Kualihkan pandangan ke wajahnya.

"Mas harus sehat, ya," ucapnya penuh harap.

"Tak ada yang bisa menjamin umur manusia, Aisyah. Segala yang terjadi kepada kita sudah ditulis sejak lima puluh ribu sebelum kita diciptakan. Kita hanya bisa ikhtiar dan berdo'a, selanjutnya biarlah Allah yang menentukan," sahutku.

Aisyah menundukkan kepala. Aku tak bermaksud mematahkan harapannya. Bukankah apa yang kukatakan benar adanya?

Saat malam tiba, dadaku kembali terasa menyesak, napasku tersengal. Aku meminta orang tua dan mertuaku berkumpul, tentu saja Aisyah dan Fahim juga. Kupandangi wajah mereka satu per saru

"Aisyah."

"Iya, Mas," jawabnya seraya menggenggam jemariku.

Aku menghela napas yang terasa semakin menyesak.

"Jika umurku tak panjang ... menikahlah dengan Fahim," bisikku.

Mata Aisyah terbelalak, aku yakin dia sangat terkejut mendengar ucapanku.

"Mas ... kenapa bilang begitu?" tanyanya dengan suara parau.

Kusunggingkan senyum seraya mengeratkan genggaman di jemarinya. Sekejap saja, lalu kulepaskan lagi.

"Aku ingin istirahat."

Kurasakan tangan ummi menyentuh tubuhku saat dirinya membenahi selimut.

"Makasih, Ummi," ucapku seraya menatap wajah lembutnya.

Ummi tak menjawab, dia hanya menggeleng kemudian menyeka sudut matanya.

Kumulai pejamkan mata, dan memperbanyak dzikir, khawatir sewaktu-waktu Allah mengambil nyawaku.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status