Share

Bab 2 : Ujian Hidup

Deru suara mobil mengejutkanku. Lagi-lagi, jantung ini rasanya berdetak semakin kencang. Kulirik yang datang dari balik tirai jendela. Itu dia, bersama ayahnya.

Abi menerima mereka dengan senyum semringah. Beliau yang paling antusias saat mendengar bahwa akan ada seorang pemuda yang datang untuk mengenalku lebih jauh. Padahal usiaku masih sembilan belas tahun, haruskah secepat ini?

Pertemuan kala itu berjalan lancar. Kami memutuskan untuk ke tahap selanjutnya, yaitu khitbah.

Dua minggu kemudian, lamaran diadakan. Dia datang bersama keluarganya.

Aku cukup terkejut saat melihat dirinya ada dua. Ya, dia kembar. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak ta'aruf, tapi tetap saja aku merasa terkejut melihatnya. Mereka sangat mirip. Sepertinya, hanya kaca mata saja yang membedakan antara keduanya.

Ustadzah Aminah ikut bersama rombongan mereka. Begitu juga dengan Maryam, aku senang sahabatku itu ikut ke sini.

Sebuah gamis polos ungu muda aku padukan dengan jilbab besar berwarna ungu tua. Ummi bilang aku cantik. Tentu saja, anak perempuan akan selalu terlihat cantik di mata ibunya, kan?

Di acara lamaran ini, kami juga memutuskan waktu pernikahan. Dan, satu bulan lagi. Ya Allah, secepat ini ternyata.

****

<span;>Keesokan harinya aku kembali ke pondok tempatku mengajar. Sudah pasti, Maryam paling bawel dalam hal ini. Dia tak henti-hentinya bertanya tentang perasaanku.

"Gimana rasanya mau nikah?" tanyanya untuk yang kesekian kali.

Kupegang dua pipi bakpaunya dengan telunjuk dan ibu jari. "Rasanya tuh ... ada deh pokoknya," ucapku sambil menarik kedua pipinya lalu berlari menjauh.

"Aduh, sakit tau!" Maryam mengejar.

****

"Aisyah, kamu beruntung, loh. Biasanya kalau belum setahun kan gak boleh keluar dari pondok dulu. Tapi kamu baru sepuluh bulan diizinin buat nikah," ujar Maryam sesaat sebelum kami tidur.

"Iya juga, ya. Mungkin, karena ustadzah Aminah yang mengenalkannya padaku." Wajah rupawan lelaki itu terlintas begitu saja hingga membuatku tersenyum.

"Harus pake senyum-senyum gitu, ya?"

Aku sedikit kaget lalu menoleh ke arah Maryam yang tengah menatapku dengan tatapan menggoda.

"Senyum-senyum apa?" Kututupkan selimut ke kepala sambil menahan malu.

Seminggu sebelum hari pernikahan, aku pamit pulang, dan itu berarti tugasku di pondok telah selesai.

Waktu rasanya mengalir begitu cepat. Insya Allah, besok aku akan menikah, kemudian menjadi seorang istri. Ah, benar-benar rencana Allah itu sungguh indah.

Kulihat abi tengah duduk di bangku belakang rumah yang menghadap langsung dengan sawah. Aku mengendap, lalu menutup matanya dari belakang dengan telapak tangan. Tampak seperti anak kecil, memang. Namun, aku suka melakukan ini kepadanya.

"Hemm ... calon pengantin kok belum tidur?"

Ah, abi, selalu bisa menebak. Kulepaskan tangan di matanya, lalu duduk di sebelah lelaki yang selalu ada dalam doaku itu.

"Abi lagi apa di sini malam-malam?"

"Lagi lihat bintang."

Aku menengadahkan wajahku ke langit. Tampak gemintang bertabur menghiasi malam.

"Aisyah," panggilnya pelan. Raut mukanya berubah serius.

"Iya, abi."

"Satu tugas abi hampir selesai. Setelah menikah, tanggung jawab abi terhadapmu berkurang satu," tuturnya dengan masih mengarahkan pandangannya ke langit.

Entah kenapa ada perasaan sedih menyelusup ke dalam hati.

"Abi percaya kamu bisa jadi istri yang baik. Tapi ...." Lelaki itu menatap lekat. Segurat kekhawatiran tak mampu ia sembunyikan dari wajahnya.

Kuraih tangannya yang kasar. "Abi jangan khawatir, insya Allah Aisyah akan baik-baik aja."

Lelaki itu tersenyum, lalu mengusap puncak kepalaku.

***

Lelaki itu mengucapkan ijab qabul menggunakan bahasa Arab dengan mantap. Setelah itu, kami pun telah sah menjadi suami istri.

Kulemparkan pandangan kepada lelaki yang selama sembilan belas tahun ini mengisi hatiku. Dia membalas tatapanku, lalu tersenyum. Di antara perasaan bahagia yang memenuhi hati, terselip perasaan sedih kala memandang wajahnya. Tanggung jawabnya telah beralih kepada lelaki yang mulai saat ini akan menghiasi hari-hariku.

Rasanya benar-benar canggung sekamar dengan lelaki yang baru menjadi suamiku itu. Aku hanya diam, tak memulai berbicara. Lelaki itu mendekat, lalu duduk di sebelahku.

"Alhamdulillah ... kamu bahagia?" tanyanya seraya menatapku.

Aku mengangguk pelan.

Jam dinding menunjukkan pukul 21:30 malam. Rumah sudah sepi, mungkin mereka lelah jadi tertidur lebih cepat.

"Bisa bikinkan susu?" tanyanya dengan seulas senyum.

Aku mengangguk, lalu beranjak ke dapur. Tak lama, aku kembali dengan segelas susu hangat di nampan. Lelaki itu mengambilnya, lalu menyerahkan kepadaku.

"Minumlah," titahnya.

Kuambil gelas itu dan meminumnya sedikit. Mas Faqih meraih gelas berisi susu yang kupegang, lalu meminumnya dari bekas bibirku.

Aku tersenyum, teringat kisah Rasulullah dan Aisyah yang melakukan hal yang sama.

Lelaki bermata teduh itu mengajak untuk salat dua raka'at, setelah itu dia meletakan telapak tangannya di ubun-ubunku dan berdoa.

Setelah serangkaian sunnah-sunnah dilakukan, kami pun melalui malam itu dengan indah.

Setelah seminggu di sini, aku pun di boyong ke Jogja. Kami mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan tempat mengajar Mas Faqih.

Seperti biasa, setiap akhir pekan kami menginap di rumah orang tua Mas Faqih yang kini juga menjadi otang tuaku. Mereka hanya tinggal berdua, karena Mas Fahim -kembarannya Mas Faqih- tinggal di pondok sebagai pengajar, hanya sesekali saja datang menjenguk.

Kulihat Mas Faqih tengah duduk di kursi yang menghadap ke jendela. Keisenganku muncul, aku mengendap di belakang lalu menutup kedua matanya dengan jemariku.

"Hayo tebak siapa?" tanyaku sambil cekikikan.

Aku merasakan dia kaget dengan yang kulakukan, dan itu membuatku ingin tambah berbuat iseng kepadanya.

"Tolong lepaskan," ujarnya pelan.

"Tebak dulu!" Konyol memang yang kulakukan, tentu saja dia tahu itu aku, tapi aku sedang ingin bercanda dengannya.

Dia terdiam tak merespon apa yang kulakukan.

"Aisyah." Terdengar suara seorang lelaki memanggil. Sontak aku melepaskan tangan dan menoleh ke belakang.

"Loh, kok." Aku kebingungan melihat Mas Faqih tengah berdiri di dekat pintu. Lalu ini ....

Lelaki yang tengah duduk di kursi itu bangkit seraya mengenakan kaca matanya. Aku terkejut, wajahku memerah menahan malu. Lalu berlari ke kamar meninggalkan kedua lelaki itu.

Tak lama, Mas Faqih masuk ke kamar. Dia menutup pintu lalu mendekat dan duduk di sampingku.

"Maaf, aku gak tahu," ucapku pelan. Sebulir bening lolos dari ujung netra tak mampu dibendung.

"Hey, kok nangis?"

Air mataku semakin deras. Dia meraih tubuhku dan mendekapnya. "Itu bukan salahmu, tadi mas lupa memberi tahu kalau Fahim datang ke sini." Lelaki itu berusaha menenangkanku yang merasa telah bertindak bodoh.

***

Tak terasa, lima bulan telah berlalu. Akhirnya aku berkesempatan mengunjungi orang tuaku. Lima jam perjalanan naik bis cukup membuat tubuh ini lelah.

Ummi dan Abi menyambut kami dengan gembira, begitu juga adik-adikku yang saat itu sedang berlibur dari pondok. Aku bercerita banyak hal kepada ummi dan abi, dengan setia mereka mendengarkan ocehanku diselingi tawa.

Rasanya waktu begitu cepat berlalu, hampir seminggu di rumah orang tua, rasanya berat meninggalkan mereka dan kembali ke Jogja. Ummi menyiapkan oleh-oleh untuk aku bawa pulang. Sama seperti saat aku masih mondok, beliau selalu menyiapkan oleh-oleh yang harus aku bawa untuk disantap bersama teman-teman.

"Mas Faqih ke mana?" Aku yang baru bangun tidur siang bertanya kepada ummi.

"Katanya mau beli makaroni pedas."

"Hah?" Aku baru teringat kalau tadi Mas Faqih bertanya apa yang aku inginkan untuk dibawa pulang, dan dia benar-benar akan membawakannya. "Naik motor sendiri?"

Ummi mengangguk.

Dua jam berlalu, tapi Mas Faqih belum juga datang. Sebenarnya di mana dia membelinya? Hatiku mulai gak enak. Apa mungkin dia nyasar? Ah, tapi rasanya gak mungkin.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan. Ah, itu pasti Mas Faqih. Dengan setengah berlari aku menuju pintu dan membukanya.

"Mas Pandu?" Tetanggaku yang juga pemilik bengkel di pinggir jalan berdiri dengan raut muka khawatir.

"Aisy."

"Iya, Mas. Ada apa?"

"Suamimu, dia ... kecelakaan."

"Apa?" Berita dari Mas Pandu terasa seperti petir yang menyambar. Lututku lemas dan tanganku bergetar.

Ummi datang menghampiri dan bertanya apa yang terjadi.

Ummi pun sama terkejutnya denganku.

Tak pikir panjang, aku segera berlari ke luar.

"Aisy, tunggu! Nanti bareng. Ummi mau cari abi dulu." Ummi berusaha menghentikanku.

"Aisy ingin segera ke sana. Aisy naik angkot aja." Dengan berusaha menahan tangis, aku berlari mencari angkot.

Ya Allah, tolong selamatkan suami hamba.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status