Share

Bab 5 : Kehilangan, Memang Menyakitkan

Semilir angin menerpa wajah, sekelebat kenangan bersama Mas Faqih terputar kala melihat wajah itu.

Astaghfirullah, segera aku memalingkan muka. Aisyah, dia bukan Mas Faqih-mu!

"Ada apa, Aisy?" tanya Maryam keheranan.

"Gak apa-apa. Ayuk, masuk!"

Deretan rumah tempat tinggal untuk para pengajar berderet rapi memanjang. Maryam memberi tahu bahwa rumah yang agak besar diperuntukan bagi yang sudah berkeluarga, sedang yang mirip kamar bagi yang masih lajang, dan aku memilih tinggal sekamar dengan Maryam.

"Istirahat dulu, gih! Besok ada rapat untuk semua staf pengajar dan karyawan."

Aku mengangguk. "Oh ya, Maryam. Tadi aku lihat ada adiknya Mas Faqih."

"Oh iya, aku lupa bilang. Ustadz Fahim juga akan mengajar di pesantren ini."

"Benarkah?"

Maryam mengangguk. Aku cukup terkejut, padahal dulu dia mengajar di pondok pesantren yang cukup terkenal, tetapi sekarang lebih memilih mengajar di pesantren yang masih baru dan dalam proses rintisan ini.

Keesokan harinya, kami bersiap untuk mengadakan rapat. Hijab dibentangkan untuk memisah antara laki-laki dan perempuan. Wajah yang begitu kuhapal itu sekilas terlihat saat melewati hijab yang sedikit terbuka. Dengan segera aku merapihkannya. Entah kenapa, saat melihatnya, bayangan Mas Faqih kembali berkelebat dalam ingatan.

"Tiga hari ke depan, kita akan mengadakan stadium general bagi para wali santri. Thafadhal, disiapkan segalanya," ujar Ustadz Irwan selaku mudir Pesantren sekaligus ketua yayasan mengakhiri rapat hari itu.

Setelah melafalkan do'a kafaratul majlis, masing-masing dari kami membubarkan diri.

"Hayuk!" Maryam menarik lenganku.

"Tunggu, di sana ada siapa aja?" Aku menunjuk ke tempat ikhwan dengan dagu.

"Gak tahu, kayanya udah keluar semua. Kenapa? Aaa ... Takut ada Ustadz Fahim, ya?" tanya Maryam diikuti cekikikan khasnya yang menurutku lebih mirip kuntilanak.

"Ish, siapa juga yang takut?" Aku mencebik.

"Aku mengerti perasaan kamu, kok. Saat melihatnya kamu ingat ...." Maryam menghentikan kalimatnya. "Tapi dia emang ganteng, kok. Bisa-bisa nanti kamu jatuh cinta sama dia," lanjutnya sembari berlari.

"Iihh ... hei tunggu!" Kukejar gadis bertubuh gemuk itu, saat melewati tempat para ustadz aku dikejutkan dengan seorang lelaki berkaca mata yang masih terduduk di sana.

"Astaghfirullah." Rasa terkejut sekaligus malu berebut menguasai diri.

"Mar, Maryam ... tunggu!" Aku berlari ke luar sambil menutup wajah.

Aku dan Maryam duduk di bawah pohon. Mencoba mengatur napas dan detak jantung yang tak karuan. Kupejamkan mata, tak terasa air mata luruh melewati pipi.

"Hei, kamu nangis?" tanya Maryam sedikit panik. "Kamu kenapa? Apa aku salah? Aku minta maaf, ya."

Aku menggeleng. "Aku juga gak tahu kenapa aku nangis," ujarku diiringi tawa.

Maryam meraih jemariku. "Kamu boleh bercerita apapun padaku, barangkali setelah kamu cerita akan membuatmu lega."

Air mata yang tadi berhenti kini meluncur lagi tak terbendung.

"Aku gak nyangka akan melihatnya di sini, tiap aku melihatnya, kenanganku bersama Mas Faqih kembali hadir. Aku rindu dia, Maryam."

Gadis dengan pipi bulat itu memeluk dan mengelus punggungku. "Ini sudah takdir, Aisyah. Allah pasti punya rencana indah untukmu."

***

Hari saat stadium general pun tiba. Ustadz Irwan maju ke depan memberikan sambutan, kemudian mulai menjelaskan tentang pondok pesantren kami kepada para wali santri. Setelah selesai, giliran Mas Fahim maju ke depan untuk memaparkan program-program sekolah. Pemuda tinggi berkaca mata itu diberi amanah untuk menjadi mudir Madrasah Tsanawiyah.

Tiba-tiba saja aku teringat dengan pesan Mas Faqih saat di rumah sakit. Apakah lelaki yang tengah berdiri di podium itu mengingat pesan Mas Faqih?

Aku memejamkan mata sejenak. Sungguh, aku tak mengharapkan lelaki itu benar-benar menikahiku, karena hingga kini rasa cintaku masih terus mengalir untuk Mas Faqih. Jika pun lelaki itu benar-benar akan menikahiku, aku tak yakin dengan perasaan ini. Setiap aku melihatnya, aku merasa seolah-olah dia adalah jelmaan dari Mas Faqih.

"Maaf, ustadzah, lihat anak perempuan lewat sini gak?" Pertanyaan seorang lelaki membuyarkan lamunanku.

"Ah, anak perempuan? Maaf, gak lihat."

"Syukron." Lelaki itu mengangguk lalu berlari, pandangannya mengarah ke sekeliling.

Maryam berlari dengan tergopoh ke arahku.

"Aisy, lihat anak perempuan lewat ke sini?" tanyanya dengan napas terengah.

"Enggak, emang ada apa?"

"Hilma, anak baru hilang. Padahal dia baru datang ke sini sama papanya."

Kami berpencar mencari anak itu. Hingga acara stadium general selesai, gadis berusia sebelas tahun yang baru akan masuk Madrasah Tsanawiyah itu belum juga ditemukan.

Aku mulai berpikir kira-kira kemana tempat untuk seorang anak perempuan bersembunyi? Jika ke luar pondok, tentu satpam akan mengetahuinya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, hingga berakhir di sebuah gedung yang belum selesai di bangun. Gedung itu rencananya akan digunakan untuk kantor ustadz dan ustadzah.

Kulangkahkan kaki dengan perlahan, gedung dua lantai itu dipenuhi bambu penyangga. Aku mulai menaiki tangga yang terbuat dari bambu. Tangga itu dibuat untuk mengecor lantai dua beberapa hari yang lalu. Setelah sampai di atas, tampak seorang anak perempuan berjilbab merah muda tengah terduduk memeluk lutut.

Aku mendekatinya perlahan. Dia menyadari kehadirankanku lalu mengangkat wajahnya. Matanya menatapku tajam.

"Hilma, sedang apa di sini, sayang?"

Dengan hati-hati aku mendekatinya.

"Jangan mendekat!" perintah gadis itu.

Aku menghentikan langkah. Lalu duduk menghadapnya, jarak kami sekitar tiga meter. Kuambil ponsel dengan sembunyi-sembunyi, lalu mengirim pesan kepada Maryam bahwa aku sudah menemukan Hilma. Aku berpesan agar mereka jangan khawatir, dan jangan dulu mendekat, biar aku yang membujuknya supaya mau turun.

"Subhanallah, langitnya mendung, ya? Sepertinya mau hujan," ujarku memecah kebisuan.

Gadis berjilbab merah muda itu mengabaikan ucapanku.

"Hilma, ada apa sayang? Kamu bisa cerita sama ustadzah kalau ada apa-apa."

Hilma masih terdiam, sesekali mengusap pipinya yang basah. Bingung juga apa yang harus kulakukan. Sudahlah, aku akan mengajaknya bicara saja.

"Dulu, waktu ustadzah seusia kamu, ustadzah belajar di pondok pesantren juga. Awalnya gak kenal siapapun, takut, dan khawatir jauh dari orang tua, tapi lama-lama jadi banyak teman. Ternyata, mondok itu menyenangkan. Tidur bareng, makan bareng, belajar bareng, main bareng. Ah, pokoknya seru," tuturku panjang lebar.

Aku melirik gadis itu, tapi dia masih menundukan wajahnya. Aku memang tidak tahu alasan kenapa anak ini sampai kabur dan bersembunyi di sini.

"Apa ustadzah juga dibuang orang tuanya ke pesantren?" tanyanya tiba-tiba.

Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya. Kupikir, dia mengira bahwa anak yang belajar di pesantren itu tengah dibuang orang tuanya.

"Ustadzah boleh mendekat?" tanyaku pada gadis itu. Dia pun mengangguk.

Aku duduk di sebelahnya, lalu mengelus bagian belakang kepala anak itu.

"Saat orang tua mengirim anaknya ke pesantren, bukan berarti mereka sedang membuang anaknya, tapi mereka ingin anaknya belajar tentang agama, agar anaknya bisa bahagia di dunia dan di akhirat."

"Tapi papa ingin membuangku karena mama sudah gak ada, dia gak ingin merawatku makanya dia mengirimku ke sini." Hilma menangis tersedu.

"Memangnya Hilma tahu dari mana kalau papanya ingin membuang Hilma?"

"Aku dengar sendiri kalau papa gak mau merawatku." Gadis itu semakin tersedu.

Aku bingung harus bicara apa, karena aku tidak tahu masalah yang terjadi antara Hilma dan papanya. Yang ingin aku lakukan sekarang adalah mengajaknya untuk turun dari sini.

"Bagaimana kalau kita sekarang turun dulu? lalu kita bicara sama papanya Hilma."

"Gak mau!"

Hujan tiba-tiba turun dengan cukup deras, terdengar suara papanya Hilma memanggil dari bawah. Namun, anak ini masih enggan untuk turun.

"Hilma, kalau di sini terus nanti kamu sakit. Kita turun, yuk?" ajakku untuk kesekian kalinya.

"Gak mau, ustadzah aja yang turun."

Aku menarik napas. "Kalau gitu ustadzah akan temani di sini sampai kamu mau turun."

Jujur, aku benar-benar takut saat ini. Hujan semakin deras, angin pun berembus terasa cukup kencang di atas sini.

"Hilma." Papa Hilma yang bernama Fawwaz datang. "Ayo kita turun, Nak." Bujuknya.

Hilma malah memelukku erat. "Gak mau!"

Aku berusaha membujuk Hilma agar mau turun, tapi rupanya anak ini cukup keras kepala. Aku mencoba menyelami perasaan anak ini, berusaha memposisikan diri sebagai dirinya.

"Hilma, ustadzah tahu kamu marah dengan papa. Hilma kecewa mendengar itu, tapi apakah dengan Hilma melakukan ini masalah akan selesai? Percaya sama ustadzah! Ustadzah akan bantu Hilma. Sekarang, kita turun dulu, ya?"

Akhirnya Hilma luluh juga, dengan hati-hati kami menuruni tangga yang terbuat dari bambu. Beberapa orang yang menunggu kami di bawah pun tampak lega.

Setelah berganti pakaian, kami berkumpul untuk menyelesaikan masalah Hilma dan papanya. Aku, Maryam, Mas Fahim, Hilma dan papanya, berkumpul di rumah ustadz Irwan.

Pak Fawwaz menjelaskan apa yang terjadi.

"Mama Hilma meninggal enam bulan yang lalu, Hilma begitu kehilangan orang yang dicintainya. Suatu ketika, Hilma mendengar pembicaraan saya dengan tantenya. Saya memang salah, waktu itu saya bilang tidak bisa merawat Hilma karena harus bekerja. Hilma menganggap kalau saya memasukkan dia ke pesantren ini karena ingin membuangnya."

"Papa jahat!" sela Hilma.

Kuelus punggung anak yang duduk di sebelahku agar lebih tenang.

Pak Fawwaz mencoba memberi pengertian kepada Hilma, begitupun Ustadz Irwan dan Mas Fahim. Hilma masih cemberut, aku tahu bahwa anak ini terlalu di manja dulunya, dan dia belum bisa menerima kepergian sang ibu sepenuhnya. Aku pun pernah merasakan berada di posisinya, kehilangan seseorang yang begitu berharga memang menyakitkan. Namun, kini aku sudah ikhlas akan semua yang terjadi. Harapanku akan Hilma pun demikian.

Gadis dengan lesung pipi itu mulai luluh, meski mungkin dia masih marah sama papanya.

"Aku mau tidur sama ustadzah Aisyah, gak mau di asrama!" pintanya dengan bibir yang dimanyun-manyunkan.

"Iya, malam ini Hilma tidur sama ustadzah, ya."

Pak Fawwaz pamit pulang, tak lupa dia memberi nasihat untuk putrinya. Mungkin, sangat berat baginya untuk berpisah dengan Hilma, tapi insya Allah keputusannya menitipkan putri semata wayangnya di pesanten ini sudah tepat.

"Titip Hilma ya, Ustadzah."

Aku mengangguk.

"Ayo kita pulang," ajakku kepada Hilma dan Maryam.

Kami pun berpamitan kepada ustadz Irwan dan istrinya.

"Nah ini asrama untuk para ustadz dan ustadzah. Kamu boleh menginap di sini hanya malam ini saja, ya. Besok kamu tidur sama teman-temanmu," ujar Maryam kepada Hilma. Anak itu hanya mendelik tak menjawab.

Saat hendak membuka pintu yang terkunci, seseorang dari belakang berdeham. Seketika kami pun berbalik. Mas Fahim? Dia mau apa?

"Ehm ... ini." Dia menyodorkan sebuah botol kepadaku, kulihat itu adalah sebuah minuman seperti jamu. "Agar tubuhmu hangat," lanjutnya tanpa menatapku, lalu pergi begitu saja menuju asramanya.

Aku masih tak percaya dengan yang terjadi, Mas Fahim yang dingin dan tak banyak bicara memberikanku sebuah minuman hangat. Mungkin, karena tadi aku hujan-hujanan.

"Yaelah, malah pose jadi patung. Orangnya dah masuk, trus kita juga ikutan jadi patung di sini?" Omel Maryam.

"Ah, iya, ayo masuk."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status