Share

Bab 4 : Lembaran Baru

"Innalillahi w* inna ilaihi roji'un, Allahumma'jurni fii mushibati w* akhlifli khaira minhaa," lirih kuucapkan do'a itu.

Sekuat tenaga menahan kesedihan. Walau bagaimanapun, ini adalah takdir dari yang Maha Kuasa. Namun, tetap saja, rasa kehilangan yang teramat membuat tubuhku terasa lemah.

Tak disangka, begitu banyak sekali orang yang datang untuk takziah. Yang mengikuti shalat jenazah pun begitu banyak hingga ke luar masjid. Bahkan syaikh dari Madinah yang Mas Faqih menimba ilmu kepadanya pun mengucapkan bela sungkawa melalui telepon kepada abi, tak lupa do'a-do'a terbaik mengalir dari lisan mereka.

Sungguh, dunia itu memang fana. Pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya. Tak berguna lagi segala harta dan jabatan, hanya amal yang menemani dan menjadi penerang di gelapnya kubur.

Ummi menggenggam lenganku berusaha menguatkan. Dia menceritakan kisah tentang kesabaran Ummu Sulaim saat ditinggal wafat anaknya. Kisah itu cukup membuatku tenang, meski kesedihan masih berusaha menyerang hati.

"Yang sabar ya, Aisyah. Kamu ingat, kan, perkataan Hudzaifal Ibnul Yaman? Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan sesuatu melainkan dari yang kecil hingga yang besar kecuali musibah. Adapun musibah, Allah menciptakannya dari keadaan besar kemudian akan menjadi kecil." Kata Ustadzah Aminah yang datang untuk takziyah.

"Allah menciptakan segala sesuatu ... misalnya penciptaan manusia melalui tahapan dari kecil hingga beranjak dewasa. Tapi musibah tidaklah demikian. Musibah datang dalam keadaan besar, yakni terasa berat. Akan tetapi, lambat laut akan menjadi ringan jika seseorang mau bersabar." Lanjutnya.

"Iya ustadzah ... terima kasih nasihatnya."

Selang berapa lama, Ustadzah Aminah beserta beberapa guru dan teman dari pesantren tempatku mengajar dulu pamit untuk pulang.

"Aisyah, aku juga mau pulang, ya." ujar Maryam sahabatku berpamitan.

Aku pun mengangguk seraya tersenyum.

"Yang sabar ya, Aisyah."

"Insya Allah aku akan kuat, Maryam. Oh ya, sering-sering main ke sini, ya. Sekarang kan tempat mengajarmu gak terlalu jauh dari sini."

"Insya Allah."

****

Selama menjalani masa iddah, aku tinggal di rumah mertua. Itu berarti aku di sini selama empat bulan sepulih hari. Ummi sangat perhatian, sikapnya tak pernah berubah dari dulu, dia tetap menyayangiku meskipun Mas Faqih telah tiada.

"Aisyah, ummi sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Ummi harap kamu mau tinggal disini menemani ummi.

"Ummi," kugenggam jemarinya. "Aisy juga sudah anggap ummi seperti ibu kandung Aisy sendiri, tapi Aisy gak bisa selamanya tinggal di rumah ini."

"Ummi mengerti. Tapi, kamu mau kan sering-sering nengokin ummi?"

Aku mengangguk.

"Emm ... Aisyah. Soal itu ...." ummi menghentikan kalimatnya.

"Soal apa, Ummi?"

"Ah, enggak nanti aja."

***

Tak terasa masa iddah hampir selesai. Itu berarti aku akan segera pulang ke rumah orang tuaku. Begitu banyak kenangan di sini, bahkan tiap jengkalnya mengingatkan kepada Mas Faqih.

Abi datang menjemput, koper pun sudah dimasukan ke dalam bagasi mobil yang sengaja abi sewa untuk menjemputku. Ummi Afifah -mertuaku menangis kemudiam memelukku.

"Sehat-sehat, ya. Jangan lupakan kami di Jogja," ucapnya sembari mengusap air mata.

"Aisy gak mungkin lupa sama ummi. Insya Allah, Aisy akan main lagi ke sini."

Kami pun pamit.

Tak ada setahun aku tinggal di sini, kini dengan berat hati harus meninggalkannya, dengan setumpuk kenangan yang akan terus tersimpan di dalam sini.

Tak sampai lima jam akhirnya sampai di kota kelahiranku. Ummi menyambut dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Kehidupan baru menanti. Berharap setelah ini akan lebih banyak kebahagiaan menghampiri.

Sebulan sudah aku tinggal bersama keluarga lagi. Rasanya masih sama seperti dulu, hanya saja, kini aku merasa seperti ada sebagian dari jiwaku yang hilang.

Sesekali, aku membantu ummi bekerja di sawah. Itu membuat kulitku sedikit berwarna coklat. Ummi memang sering melarang, tapi aku memaksa untuk membantunya. Di sore hari, aku mengajar anak-anak mengaji di masjid.

Tring!

Ponselku berbunyi, sebuah pesan dari Maryam mendarat di aplikasi hijau milikku.

[Assalamu'alaikum, Aisyah, gimana kabarnya?]

[Alhamdulillah baik, kamu gimana?]

Chating kami pun berlanjut, hingga Maryam menawariku untuk mengajar di sebuah pondok pesantren tempat dirinya mengajar. Itu adalah pesantren yang baru berjalan selama satu tahun, masih rintisan. Aku menimbang-nimbang tawaran Maryam. Sebenarnya aku juga sudah rindu dengan suasana pondok.

Kuceritakan tawaran Maryam kepada Ummi dan Abi. Mereka menyerahkan keputusannya kepadaku. Baiklah, mungkin ini adalah jalan bagiku untuk memulai semuanya lagi.

Setelah mengirimkan berkas-berkas persyaratan, beberapa hari kemudian aku mendapat telepon bahwa aku diterima dan siap mengajar pekan depan.

***

"Aisyah, sudah siap?" Ummi menghampiriku yang tengah membereskan pakaian yang hendak dibawa.

"Tinggal ini aja."

"Aisyah ... boleh ummi bertanya, Nak?"

Aku mengangguk. Ummi meyuruhku untuk duduk di tepi ranjang bersebelahan dengannya.

"Nak, sebelum Faqih meninggal, dia memberikan wasiat kepadamu, kan? Jadi ... apa yang akan kamu lakukan?"

Aku terdiam, sebenarnya aku pun tak tahu harus bagaimana dengan wasiat itu.

"Aisyah." Ummi menyentuh pundakku.

"Aisy gak tahu, Mi. Aisy gak mau pikirin itu dulu."

" Ya udah kalo begitu, hayuk, abi sudah nunggu."

Hari itu, aku berangkat lagi ke kota Yogya ditemani abi. Rasanya hampir sama seperti dulu, saat lelaki paruh baya itu mengantarku kala menuntut ilmu. Dia akan berpesan agar aku menjaga diri, dan agar selalu ingat bahwa Allah Maha Melihat. Dia mengetahui apa pun yang dikerjakan hamba-Nya. Nasihat yang berulang, tapi aku tak pernah bosan mendengarnya.

***

Akhirnya sampai di tempat yang dituju, abi tak mengantar ke dalam. Katanya ada urusan yang harus dilakukan.

Dari kejauhan, kulihat Maryam melambaikan tangan di depan gerbang masuk. Aku pun membalas lambaiannya seraya mempercepat langkah.

"Aiiiisy!" serunya riang.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai."

"Istirahat dulu, yuk!" ajak Maryam.

Aku mengangguk. Maryam mendorong pagar yang tingginya melebihi kami. Saat hendak masuk, aku menangkap sesosok lelaki yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia menatapku, saat kedua mata kami saling beradu, buru-buru dia mengalihkan pandangannya.

Mas Faqih? ... ah tidak! Itu Mas Fahim. Sedang apa dia di pondok ini?

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status