Share

Bab 5

Penulis: Gilva Afnida
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 13:20:23

Aku menghapus air mataku yang kembali mengalir deras. Mengenang seseorang yang sudah tiada ternyata dapat menguras tenaga secara fisik maupun mental.

Aku memilih menaiki ranjang, berniat untuk tidur.

Ku surukkan kepalaku di bantal dan berusaha untuk memejamkan mata. Tapi ternyata tidak bisa. Berulang kali aku membolak-balikkan badan agar bisa terlelap tapi tetap saja sulit.

Akhirnya aku bangun dan memilih beranjak dari kasur. Aku harus membuat minuman, entah itu susu atau teh manis hangat. Aku masih ingat sewaktu berkunjung, di dapur Anindya pernah membuat minuman instan. Jadi aku memilih ke sana berharap ada sesuatu yang bisa kubuat.

Sesampainya di dapur, aku tidak menyalakan lampu. Kebetulan ada penerangan dari lampu teras yang membias masuk ke arah dapur.

Dan benar saja, di salah satu rak lemari dapur ada bermacam-macam jenis minuman instan. Aku mengambil salah satu susu cokelat lalu menyeduhnya dengan air hangat.

Saat aku mengaduk minuman, di belakangku terdengar suara denting dari sendok yang tiba-tiba beradu dengan lantai.

Aku pun menoleh ke belakang, aku terkejut mendapati ada sesosok hitam yang duduk di salah satu kursi ruang makan.

Aku berteriak, bahkan gelas yang ku pegang hampir terjatuh.

"Ssshh... ini aku." Ku dengar itu adalah suara Mas Edgar. Saat aku menyipitkan mata, aku baru bisa melihat keberadaannya dengan jelas.

"Sejak kapan kamu duduk di situ, Mas?" tanyaku sambil memegangi dada yang masih berdegup kencang.

"Dari tadi."

"Kenapa diam aja waktu aku masuk ke sini tadi?"

"Malas aja. Kirain kamu cuma buat minuman terus pergi ke kamar lagi."

"Maunya sih gitu, tapi kaget karena dengar suara sendok tadi."

Mas Edgar bergumam, "Penakut juga ya kamu rupanya."

"Kaget sama takut tuh beda arti ya..."

Mas Edgar tidak menanggapi soal itu. Dia malah bertanya soal lain, "Gak bisa tidur, Ya?"

Aku meliriknya. Tubuhnya yang berada di penerangan minim membuatku tak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas.

"Kamu juga gak bisa tidur kan? Minum apa itu? Teh? Atau Susu?"

"Teh yang dicampur dengan cream. Bukan susu." Entah mengapa aku merasa Mas Edgar sedang menyindirku.

"Kenapa emangnya kalau minum susu?"

"Bukan minumanku aja."

Aku terdiam, enggan menanggapi ucapannya.

"Dengar-dengar sih, kalau gak bisa tidur baiknya minum susu. Gak tahu itu benar atau enggak. Sebaiknya besok kamu kasih tahu aku, besok kamu bisa tidur atau enggak setelah minum susu itu," katanya lagi. Aku merasa nada suaranya terdengar menyebalkan. Seperti sedang mengejekku.

Karena kesal mendengar ucapannya, aku segera menghabiskan minumanku lalu menaruh gelas di atas meja dengan gerakan kasar.

"Gak usah dibuktikan, Mas. Mau aku minum susu atau obat tidur sekalipun, malam ini aku gak akan bisa tidur kalau pikiranku dipenuhi oleh masalah yang tidak masuk akal," ujarku sengaja menyinggung soal masalah yang kami perbincangkan di ruang perpustakaan.

"Ngapain dipikirin sampai gak bisa tidur? Jawab aja besok dengan jawaban 'tidak' lalu masalah selesai dan kamu malam ini jadi bisa tidur," ucapnya menantang.

Aku terperangah. Ucapannya benar-benar menusuk relung hatiku yang terdalam. Kalau aku menjawab permintaan Anindya besok di depan Tante Irna dengan 'tidak' pasti masalah akan selesai.

Tapi entah mengapa aku masih berpikir keras hingga kepalaku serasa ingin pecah. Bagaimanapun ini adalah permintaan sahabatku, mana mungkin aku tidak memikirkannya dengan baik-baik.

Karena tak ingin kalah darinya, aku pun menjawab, "Ini bukan perkara yang bisa dipikirkan secara logika, Mas."

Gegas setelah itu aku menegakkan kepala lalu berjalan cepat pergi meninggalkannya.

Ku dengar dia berteriak, "Yang jelas, yang tahu jawabannya ya diri kamu sendiri, Nara."

Aku pun membalas sebelum menaiki anak tangga, "Apapun itu, terima kasih karena telah membuka pikiranku. Aku yakin habis ini bisa tidur dengan nyenyak karena tidak perlu memikirkan masalah yang mudah untuk dijawab."

Selagi aku menaiki anak tangga, terdengar suara Mas Edgar yang tertawa.

Entah dia menertawakan aku atau bagaimana, yang jelas aku kembali kesal dibuatnya.

***

Keesokannya saat aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan, aku melihat salah satu pembantu di rumah ini yang bernama Mbok Sum tengah mengelap kaca jendela. Kebetulan dia melihatku lalu tersenyum ramah menyapa.

"Mau sarapan, Bu Nara? Kebetulan saya sudah menyiapkan roti panggang di atas meja," katanya menawariku.

Aku menatap ke sekeliling. "Mas Edgar kemana, Mbok?"

"Bapak sudah berangkat kerja tadi pagi-pagi sekali."

Aku menghembuskan napas lega. Karena dia tidak ada di rumah, aku bisa menikmati sarapan dengan tenang.

"Tapi nanti sekitar jam makan siang, Bapak sudah mau pulang kok, Bu," lanjutnya yang membuat keinginanku untuk sarapan menjadi lenyap.

Pasalnya aku sedang menghindarinya, laki-laki itu pasti akan menanyakan soal aku yang bisa tidur atau tidak setelah minum susu. Padahal nyatanya, aku sama sekali tidak bisa tidur. Kalau dia tahu aku tidak bisa tertidur, otomatis dia bisa menebak alasan apa yang tidak bisa membuatku tertidur.

Aku masih berpikir secara masak soal keinginan sahabatku itu. Persoalan itu selalu menari-nari di pikiranku hingga membuatku sulit terlelap.

Saat aku masih termenung, tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku takut kalau itu panggilan dari Mas Edgar, namun saat aku melihat layar ponsel ternyata panggilan itu dari Tante Irna.

"Halo, Tante?"

"Nara..." Tante Irna memanggilku begitu lembut. "Hari ini tante minta maaf karena tidak jadi datang ke situ. Semalam suami Tante muntah dan demam, sampai sekarang belum membaik jadi Tante harus segera membawanya ke dokter."

"Terus soal kemarin gimana, Tante?"

"Kamu sudah baca surat dari Anindya?" Tante Irna malah bertanya balik.

"Sudah, Tante."

"Apa jawabanmu, Nara?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 66

    Nyatanya saat di kamar, sama sekali tidak ada pembicaraan lanjut soal kasus Lusi yang belum selesai kami perbincangkan. Hanya ada suara lenguhan dan desahan yang saling beradu memenuhi ruangan kamar.Entah kenapa saat Mas Edgar menyentuhku, aku tidak sanggup untuk menolaknya. Padahal aku masih ingin tahu soal cerita Lusi darinya. "Eh, mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Edgar hendak masuk ke pintu penghubung setelah membersihkan diri."Aku ke ruang kerja dulu, Ya. Tadi kerjaanku tinggal dikit lagi, nanggung.""Ya udah, nanti kalau udah selesai langsung istirahat ya.""Iya, Sayang."Sepeninggalnya, aku membersihkan diri sebelum beranjak naik ke atas kasur.Malam memang belum larut, bahkan masih terbilang sore. Tapi entah kenapa tubuh ini rasanya begitu lelah, aku ingin merebahkan diri dulu sambil menunggu Mas Edgar menyelesaikan pekerjaannya. Barangkali dia masih ingin menceritakan soal Lusi padaku nanti.Tapi sebenarnya tanpa menunggu cer

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 65

    "Diminum dulu tehnya, Mas."Aku menyodorkan segelas teh hangat pada Mas Edgar yang sedang duduk di halaman belakang rumah. Sore hari ini terasa sangat sejuk karena air hujan baru saja mengguyur tanah kering yang seharian terkena terik sinar matahari."Makasih ya, Sayang." Mas Edgar meletakkan ponselnya di atas meja lalu meraih teh untuk diminum.Mungkin inilah saat yang tepat untuk bertanya soal Lusi padanya. Kemarin sewaktu pulang, Mas Edgar langsung Istirahat di kamar dan bilang sedang tidak ingin diganggu. Keesokannya, tanpa basa-basi dia langsung minta jatah di atas ranjang padaku. Setelahnya mengurung diri di ruang kerja karena masih ada kerjaan yang harus diselesaikan sebelum mengambil hari libur panjang. Jadi aku belum sempat berbincang santai dengannya sampai sore ini.Setelah menyesap teh, Mas Edgar kembali sibuk pada ponselnya dan terlihat serius. Aku pun berinisiatif memijit lengannya lalu perlahan naik ke bahu. Lama kelamaan wajahnya yang tadinya kaku men

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 64

    Setelah Nadya agak tenang, dia menyerahkan surat-surat yang ditulis oleh Azzam padaku untuk dibaca. Total surat hanya ada dua lembar. Setiap kalimat yang aku baca, membuat kedua tanganku bergetar karena ingatanku langsung kembali saat aku menerima surat dari Anindya.Isi suratnya hampir mirip. Sama-sama menginginkan perjodohan dengan orang yang mereka sayang, bedanya Azzam juga menitipkan harta warisannya pada Daniel.Aku jadi membayangkan bagaimana perasaan Daniel saat membaca surat-surat dari pamannya itu. Pasti dia merasa ada kesedihan dan juga berat karena harus menerima warisan yang ditinggalkan. Jika warisan yang diterima hanyalah harta, bisa dia gunakan atau habiskan. Tapi bagaimana jika warisan itu berbentuk seorang wanita yang perlu dijaga?Apalagi wanita tersebut merupakan tunangan pamannya.Tentu saja tanggung jawab di pundak Daniel jadi jauh lebih besar."Kamu tahu, Mbak? Daniel bilang surat itu sudah dia pegang selama lima tahun lamanya. Bukanny

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 63

    Malam saat waktu menunjukkan pukul tujuh, aku menatap pintu kamar yang ditempati Nadya dengan penasaran. Ini sudah waktunya makan malam, tapi Nadya belum juga terlihat batang hidungnya.Padahal seharian aku tidak melihatnya keluar kamar kecuali saat di dapur tadi pagi. Aku jadi semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi padanya selama aku pergi. Dengan ragu aku mengetuk pintu. "Nadya, ayo makan. Udah waktunya makan malam," kataku.Hening. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk pintu lagi, kali ini lebih keras. "Nadya."Aku sampai menempelkan daun telingaku ke pintu, berharap dapat mendengar sesuatu dari dalam. Tapi masih hening, tidak ada suara.Tidak menyerah. Aku mengetuk pintu lagi dan memanggil namanya berulang kali. Hingga entah sudah ke-berapa kalinya aku mengetuk pintu, sampai tak sadar kalau gagang pintu sudah digerakkan dari dalam dan pintu langsung terbuka, membuatku yang sedang menempel pada pintu hampir terjatuh. Untung ada Nadya yang langsung memegangiku

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 62

    Sudah hampir seminggu berlalu setelah aku pulang dari Surabaya tapi mas Edgar masih belum juga menyelesaikan kesibukannya di sana. Sebenarnya aku merasa sedikit sedih karenanya namun sebisa mungkin aku memilih menyibukkan diri dari pada duduk termenung sedih, menantikan kehadiran suami yang tak kunjung pulang.Untungnya aku tidak terlalu merasa kesepian karena Mas Edgar sudah menyuruh Nuning untuk menemaniku melakukan berbagai kegiatan. Banyak kegiatan yang bisa aku lakukan, seperti ikut kelas yoga ibu hamil, ikut kelas prenatal, berbelanja, memasak, dan lain sebagainya.Aku sungguh menikmati aktivitas harian yang menyenangkan itu. Jadi setidaknya pikiranku tidak terlalu terbebani dengan kesibukan Mas Edgar.Tapi terkadang saat malam tiba, aku tetap kepikiran soal Mas Edgar yang masih ada di Surabaya.Entah sebenarnya apa yang membuat suamiku itu masih sibuk di Surabaya, padahal janjinya di sana dia hanya seminggu saja. Ini sudah hampir dari dua minggu berlalu, meleb

  • Suami Wasiat Sahabatku   Bab 61

    "Ehem, maaf Pak Edgar, sepertinya saya mengganggu." Ethan yang baru saja membuka pintu, terlihag panik dan buru-buru menutup pintu. Sempat kulihat telinganya memerah, mungkin karena malu.Aku dan Mas Edgar terdiam, menatap ke arah pintu kamar selama beberapa detik karena sama-sama terkejut. Otakku masih sibuk mencerna apa yang barusan terjadi. Setelah tersadar, aku segera menjauhkan diri lalu membenahi kancing bajuku yang sudah terbuka tiga biji bagian atas."A-aku keluar dulu menemui Ethan," kata Mas Edgar dengan air muka yang sedikit tegang.Aku hanya mengangguk dan melihatnya berjalan cepat keluar kamar. Helaan napas panjang pun keluar dari mulutku.Perasaan malu dan juga kesal bercampur menjadi satu. Maksudku... kenapa saat aku sedang berciuman selalu kepergok oleh orang lain?Dulu kepergok oleh Daniel, sekarang Ethan?Huh... memikirkannya terus menerus semakin membuatku ingin menyembunyikan diri di balik selimut. Lain kali aku harus memastikan mengunci p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status