Aku menghapus air mataku yang kembali mengalir deras. Mengenang seseorang yang sudah tiada ternyata dapat menguras tenaga secara fisik maupun mental.
Aku memilih menaiki ranjang, berniat untuk tidur. Ku surukkan kepalaku di bantal dan berusaha untuk memejamkan mata. Tapi ternyata tidak bisa. Berulang kali aku membolak-balikkan badan agar bisa terlelap tapi tetap saja sulit. Akhirnya aku bangun dan memilih beranjak dari kasur. Aku harus membuat minuman, entah itu susu atau teh manis hangat. Aku masih ingat sewaktu berkunjung, di dapur Anindya pernah membuat minuman instan. Jadi aku memilih ke sana berharap ada sesuatu yang bisa kubuat. Sesampainya di dapur, aku tidak menyalakan lampu. Kebetulan ada penerangan dari lampu teras yang membias masuk ke arah dapur. Dan benar saja, di salah satu rak lemari dapur ada bermacam-macam jenis minuman instan. Aku mengambil salah satu susu cokelat lalu menyeduhnya dengan air hangat. Saat aku mengaduk minuman, di belakangku terdengar suara denting dari sendok yang tiba-tiba beradu dengan lantai. Aku pun menoleh ke belakang, aku terkejut mendapati ada sesosok hitam yang duduk di salah satu kursi ruang makan. Aku berteriak, bahkan gelas yang ku pegang hampir terjatuh. "Ssshh... ini aku." Ku dengar itu adalah suara Mas Edgar. Saat aku menyipitkan mata, aku baru bisa melihat keberadaannya dengan jelas. "Sejak kapan kamu duduk di situ, Mas?" tanyaku sambil memegangi dada yang masih berdegup kencang. "Dari tadi." "Kenapa diam aja waktu aku masuk ke sini tadi?" "Malas aja. Kirain kamu cuma buat minuman terus pergi ke kamar lagi." "Maunya sih gitu, tapi kaget karena dengar suara sendok tadi." Mas Edgar bergumam, "Penakut juga ya kamu rupanya." "Kaget sama takut tuh beda arti ya..." Mas Edgar tidak menanggapi soal itu. Dia malah bertanya soal lain, "Gak bisa tidur, Ya?" Aku meliriknya. Tubuhnya yang berada di penerangan minim membuatku tak bisa melihat ekspresi wajahnya dengan jelas. "Kamu juga gak bisa tidur kan? Minum apa itu? Teh? Atau Susu?" "Teh yang dicampur dengan cream. Bukan susu." Entah mengapa aku merasa Mas Edgar sedang menyindirku. "Kenapa emangnya kalau minum susu?" "Bukan minumanku aja." Aku terdiam, enggan menanggapi ucapannya. "Dengar-dengar sih, kalau gak bisa tidur baiknya minum susu. Gak tahu itu benar atau enggak. Sebaiknya besok kamu kasih tahu aku, besok kamu bisa tidur atau enggak setelah minum susu itu," katanya lagi. Aku merasa nada suaranya terdengar menyebalkan. Seperti sedang mengejekku. Karena kesal mendengar ucapannya, aku segera menghabiskan minumanku lalu menaruh gelas di atas meja dengan gerakan kasar. "Gak usah dibuktikan, Mas. Mau aku minum susu atau obat tidur sekalipun, malam ini aku gak akan bisa tidur kalau pikiranku dipenuhi oleh masalah yang tidak masuk akal," ujarku sengaja menyinggung soal masalah yang kami perbincangkan di ruang perpustakaan. "Ngapain dipikirin sampai gak bisa tidur? Jawab aja besok dengan jawaban 'tidak' lalu masalah selesai dan kamu malam ini jadi bisa tidur," ucapnya menantang. Aku terperangah. Ucapannya benar-benar menusuk relung hatiku yang terdalam. Kalau aku menjawab permintaan Anindya besok di depan Tante Irna dengan 'tidak' pasti masalah akan selesai. Tapi entah mengapa aku masih berpikir keras hingga kepalaku serasa ingin pecah. Bagaimanapun ini adalah permintaan sahabatku, mana mungkin aku tidak memikirkannya dengan baik-baik. Karena tak ingin kalah darinya, aku pun menjawab, "Ini bukan perkara yang bisa dipikirkan secara logika, Mas." Gegas setelah itu aku menegakkan kepala lalu berjalan cepat pergi meninggalkannya. Ku dengar dia berteriak, "Yang jelas, yang tahu jawabannya ya diri kamu sendiri, Nara." Aku pun membalas sebelum menaiki anak tangga, "Apapun itu, terima kasih karena telah membuka pikiranku. Aku yakin habis ini bisa tidur dengan nyenyak karena tidak perlu memikirkan masalah yang mudah untuk dijawab." Selagi aku menaiki anak tangga, terdengar suara Mas Edgar yang tertawa. Entah dia menertawakan aku atau bagaimana, yang jelas aku kembali kesal dibuatnya. *** Keesokannya saat aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan, aku melihat salah satu pembantu di rumah ini yang bernama Mbok Sum tengah mengelap kaca jendela. Kebetulan dia melihatku lalu tersenyum ramah menyapa. "Mau sarapan, Bu Nara? Kebetulan saya sudah menyiapkan roti panggang di atas meja," katanya menawariku. Aku menatap ke sekeliling. "Mas Edgar kemana, Mbok?" "Bapak sudah berangkat kerja tadi pagi-pagi sekali." Aku menghembuskan napas lega. Karena dia tidak ada di rumah, aku bisa menikmati sarapan dengan tenang. "Tapi nanti sekitar jam makan siang, Bapak sudah mau pulang kok, Bu," lanjutnya yang membuat keinginanku untuk sarapan menjadi lenyap. Pasalnya aku sedang menghindarinya, laki-laki itu pasti akan menanyakan soal aku yang bisa tidur atau tidak setelah minum susu. Padahal nyatanya, aku sama sekali tidak bisa tidur. Kalau dia tahu aku tidak bisa tertidur, otomatis dia bisa menebak alasan apa yang tidak bisa membuatku tertidur. Aku masih berpikir secara masak soal keinginan sahabatku itu. Persoalan itu selalu menari-nari di pikiranku hingga membuatku sulit terlelap. Saat aku masih termenung, tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku takut kalau itu panggilan dari Mas Edgar, namun saat aku melihat layar ponsel ternyata panggilan itu dari Tante Irna. "Halo, Tante?" "Nara..." Tante Irna memanggilku begitu lembut. "Hari ini tante minta maaf karena tidak jadi datang ke situ. Semalam suami Tante muntah dan demam, sampai sekarang belum membaik jadi Tante harus segera membawanya ke dokter." "Terus soal kemarin gimana, Tante?" "Kamu sudah baca surat dari Anindya?" Tante Irna malah bertanya balik. "Sudah, Tante." "Apa jawabanmu, Nara?"Perbuatan kami semalam membuat Mas Edgar tertidur pulas di kamarku hingga menjelang pagi.Pelan-pelan Mas Edgar menuruni kasur tanpa tahu kalau sebenarnya aku sudah bangun. Ku tatap punggungnya yang semakin lama semakin hilang di balik pintu.Pada saat itulah aku baru tersadar ada sesuatu dalam hatiku yang merekah soal pria itu. Tadi malam aku menyerahkan keperawanan--yang tadinya aku sendiri tidak menyangka. Akhirnya, kami menggenapi hubungan suami-istri seutuhnya.Setelahnya, aku turun dari ranjang dengan perasaan ngilu di bagian selangkangan. Ku tatap darah keperawanan yang ada di atas sprei lalu berdiri mematung di depan meja rias. Penampilanku begitu berantakan, pipiku memerah dan mataku seperti berkabut.Sekelebat ingatan soal malam panas tadi malam membuatku meneteskan air mata. Entah apa yang sebenarnya ku rasakan. Mungkin karena menyadari kalau aku telah kehilangan mahkota kesucian yang selama ini ku jaga.Aku berusaha untuk tidak menyesalinya, hanya mer
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa."Sekarang dugaanmu itu lucu, Mas.""Jadi gak benar ya?""Ya enggaklah. Sifatku ini emang gak mau kalah, tapi cuma sekedar buat menunjukkan kalau aku ini juga punya otak yang bisa bekerja."Kali ini giliran Mas Edgar yang tertawa."Kok ketawa?" tanyaku."Gak boleh? Katamu aku bisa ngelakuin apa aja di rumahku sendiri. Mau aku tidur di atas genteng atau tertawa terbahak-bahak, ini kan di rumahku sendiri," jawabnya sambil tertawa. "Jadi aku mau nunggu di sini sampai Daniel masuk ke kamar juga gak akan ada yang melarang, Kan?"Merasa capek berdebat. Aku pun menggeser tubuhku agar Mas Edgar bisa berbaring di sampingku. "Ya udah cepat berbaring sini."Setelahnya, aku mencari remot untuk mematikan lampu utama dan digantikan dengan lampu tidur.Mas Edgar terlihat sudah berbaring di sampingku. Keheningan pun terjadi. Lidahku terasa kelu. Hanya ada suara musik dari ruang tengah yang terdengar."Musik DJ y
Kali ini giliran Mas Daniel yang tertawa. "Sepertinya kesegaran wajahku kalah oleh wanita yang sehabis melalui bulan madu di depanku ini."Mendengar itu, wajahku seketika memanas. Lekas aku mengalihkan topik pembicaraan. Untungnya Mas Daniel tidak menyadarinya. Kami membahas soal kerjaan yang baru saja diselesaikannya. Sesekali kami tertawa bahkan terbahak-bahak bersama.Mas Edgar yang baru datang pun ikut duduk di sebelah kananku. "Apa yang bikin kalian keliatan asyik?""Pengalamanku di Jogja, Mas," sahut Mas Daniel. "Maklum, baru pertama kali kesana.""Pasti tingkahmu yang selalu menggampangkan sesuatu, seperti gak mau disopiri seseorang sampai salah jalan. Ya, Kan?" kata Mas Edgar menebak."Itu salah satunya." Mas Daniel menyeringai.Kami bertiga pun larut dalam pembicaraan. Mula-mula Mas Edgar hanya tersenyum tidak terlalu menanggapi percakapan, namun saat membicarakan urusan bisnis, Mas Edgar menjadi sosok yang mendominasi.Hal itu membuatku bosan da
Sulit bagiku menyadari kalau rumah dua lantai yang berlapis cat emas di depanku itu, kini berada dalam genggamanku sebagai istri dari Mas Edgar.Awal-awal aku mengalami kesulitan karena menjalani kehidupan yang berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Seperti berada di lingkungan yang sibuk dengan usaha, urusan bisnis, acara makan dengan pejabat, bahkan mengadakan turnamen golf. Padahal aku terbiasa bangun pagi lalu berangkat ke kantor. Singkatnya, dunia ini bukanlah duniaku.Selain itu, hal yang paling berat adalah penyesuaianku dengan Mas Edgar sebagai suamiku. Awal masuk ke rumah ini, aku tidak mau menempati kamar bekas Anindya. Kubiarkan kamar itu tetap seperti semula tanpa ada yang ku ubah sampai Tante Irna marah melihat kelakuanku."Kamar itu harusnya jadi milikmu, Nara," begitu katanya saat berkunjung ke rumah. "Singkirin aja barang-barang dari Anindya ke gudang.""Enggak, Ma. Aku akan tetap tidur di kamar yang dulunya aku tempati."Sejak menikah, aku mem
"Aku malah tiap hari ngerasa gak enak sampai pekerjaanku keganggu." Jawabannya cukup membuatku terkejut."Kayaknya Mas Edgar bukan tipe orang yang mudah terpengaruh sama hal-hal yang gak masuk akal sehat.""Gak masuk akal sehat gimana?" tanyanya memotong ucapanku dengan cepat. "Ini permintaan istriku sendiri. Aku ngerasa bersalah kalau mengabaikan permintaan itu begitu saja... Lagipula apa kamu tidak terusik setelah ciuman kita sebulan yang lalu?"Aku terdiam, menatap lagi matanya yang hitam sepekat malam."Jangan bilang kalau kamu tidak memikirkannya." Mas Edgar menatapku dengan dalam. "Nara... Meskipun ada banyak hal-hal lainnya diantara kita yang tidak cocok, bagaikan langit dan bumi. Tapi untuk satu hal itu... sepertinya kita jadi cocok." Suara Mas Edgar terdengar lembut.Aku semakin kehilangan kata-kataku. Perkataan Mas Edgar membuat bara panas di pipiku. Kenapa juga waktu itu aku dengan mudahnya larut dalam cumbuan-cumbuannya? Apa benar aku termasuk orang yang mesum?Tiba-tiba M
Masih seperti habis pulang dari kantor tadi, aku keluar menemui Mas Edgar yang duduk tenang di ruang tamu rumah orangtuaku.Wajahku masih berminyak, rambutku agak berantakan karena mengendarai motor sepulang dari kantor.Meski aku tahu tamuku itu ingin semua hal nampak rapi, apik dan anggun, termasuk penampilan orang, tapi aku tidak peduli.Kenapa juga aku harus tampil sesuai yang disukainya? Memangnya dia siapa?Sembari berpikir seperti itu, aku menyalaminya. "Apa kabar, Mas?" "Aku biasa-biasa aja," jawabnya datar."Kapan datang dari Jakarta?" "Kemarin pagi. Kebetulan ada urusan pekerjaan di sini tapi udah selesai tadi pagi. Sekarang aku mampir kesini karena ada hal yang ingin aku sampaikan.""Apa itu, Mas?""Kita ngobrolnya di restoran luar aja. Gimana? Mau, kan?""Aku capek, Mas. Aku mau istirahat.""Tapi udah makan malam belum?""Belum." Aku menjawab apa adanya."Gak lapar?""Ya lapar... tapi jujur aja kalau yang ingin aku lakuin sekarang itu mandi dengan air hangat, makan, habi