Hampir 3 tahun sudah Mas Bagas kembali menyibukan diri dengan pekerjaan sablonnya. Sampai sekarang belum ada kemajuan dan masih sering kekuarangan.
"Jadi jual rumah ini aja ya Dek, daripada pusing tiap hari didatangi orang nagih,” ucap mas Bagas pasrah.
“Kamu juga takut kan kalo mas lagi gak di rumah dan datang orang nagih?" lanjutnya.
"Trus kita nanti tinggal di mana Mas?" tanyaku lesu.
"Nanti hasil penjualan rumah ini buat nutup semua utang kita, trus kita cari rumah di pinggiran kota aja," terangnya.
"Jangan cari di komplek perumahan biar lebih murah, sisanya buat modal usaha sablon,” ujar mas Bagas.
“ Kalo masih ada sisa kita buka warung kecil-kecilan di rumah, gimana menurut kamu Dek?" lanjutnya penuh harap.
"Sepertinya tidak buruk juga Mas, daripada tiap hari dikata-katain sama Penagih, sakit ati aku Mas," ujarku mendukung usulan mas Bagas.
"Tapi...apa mungkin Ibu akan setuju Mas? " tanyaku ragu.
“mas akan bicarakan sama Ibu,mudah-mudahan Ibu ngerti keadaan kita,” jawab mas Bagas memberi harapan.
"Besok mas berkunjung ke rumah Ibu,mas akan menyampaikan tentang ini," lanjutnya.
"Kalau misalnya Ibu gak setuju, Mas ada cara lain gak?" ucapku ragu.
"Apa mungkin mas Bagas bisa jual rumah ini tanpa persetujuan Ibu," batinku.
"Kita coba dulu aja deh, nyatanya hanya ini jalan satu-satunya," jawab mas Bagas menyemangati.
Rumah ini dibeli dengan dp dari uang pensiunan Ibu mertuaku.Cicilan selama 15 tahun juga Ibu mertua yang mencicil.
Memang dari awal aku menikah dengan mas Bagas,kami langsung menempati rumah ini,karena beberapa bulan sebelum kami menikah orang yang ngontrak rumah ini pindah.
Sertifikat rumah juga atas nama Ibu, tapi dengan keadaan susahnya kehidupan anaknya seperti sekarang ini,mungkin saja Ibu akan menyetujui usulan ini.Apalagi selama ini kami yang merawat rumah ini.
Sorenya Ibu menelepon mas Bagas,ternyata besok adalah jadwal Ibu kontrol ke rumah sakit.
Setiap bulan Ibu memeriksakan kesehatannya karena Ibu punya asma dan usianya yang sudah sepuh membuatnya harus rutin periksa kesehatan.
"Nanti mas ke rumah Ibu ya Dek, mas nginep di sana, Ibu bilang biar besok bisa berangkat pagi dan dapat nomor antrian yang awal," ucap mas Bagas dengan semangat.
“Sekalian mas akan cerita tentang rumah ini, mudah-mudahan bisa sesuai harapan,” lanjutnya.
"Iya Mas," jawabku singkat.
Aku segera menyiapkan keperluan mas Bagas selama pergi ke rumah Ibu.Sudah biasa setiap Ibu ada keperluan apapun selalu mas Bagas yang diperintahnya.
Padahal mas Bagas bukan anak laki-laki Ibu satu-satunya, di rumah juga ada menantu laki-laki yang tinggal bersama Ibu.
Tapi adik perempuannya pun selalu saja memanggil mas Bagas untuk datang ketika dia butuh sesuatu, yah aku akui aku memang sering meminta kepada Ibu.
Ketika bayaran sekolah anak belum bisa terbayarkan karena penghasilan mas Bagas yang tidak menentu pasti Ibulah yang menolongku.
Berbeda dengan sodara laki-laki mas Bagas dia bahkan sering memberi Ibu uang karena pekerjaannya berpenghasilan bagus.
[ Nanti aku pulang bareng Ibu Dek, Ibu mau nginep di rumah, kamu masak yang enak ya.]
Satu pesan masuk dari mas Bagas.[Oh.. iya Mas,kira-kira ada apa ya Mas, tumben Ibu nginep di sini, Mas udah crita yang masalah rumah?] balasku deg degan.
[ Belum, rencananya nanti di rumah baru mau bahas]
[Oh.. Gitu, ya udah adek tunggu hati-hati ya Mas]
[Iya Dek] balas mas Bagas singkat.
“Ada hal penting apa sampai Ibu mau menginap di sini,” batinku."Alhamdulillah sekarang Rehan udah bisa pulang," ucapku seraya memeluk Rehan. "Ayah mana Bun? katanya mau jemput Rehan?" tanya Rehan seraya memandang arah pintu. "Mungkin sebentar lagi datang, atau sepertinya Ayah akan langsung menyusul ke rumah," jawabku menyemangati Rehan. "Tapi Rehan takut Ayah gak datang," ucap Rehan dengan tertunduk lesu. "Bunda telepon Ayah sekarang yah," ucapku seraya meraih hpku di tas. "Iya Bunda, telepon sekarang cepat, Rehan mau pulang sama Ayah," ucap Rehan begitu semangat. "Rehan mau pulang ke tempat Ayah?" tanyaku cemas. "Iya, kan kemarin Bunda bilang, kalau Rehan udah sembuh Rehan boleh ikut Ayah," jawabnya dengan mata berkaca. Aku seperti tak mau merelakan, tapi juga tak kuasa merusak kebahagiaan Rehan yang baru sembuh dari sakitnya. "Bunda akan tepati janji Bunda kan," ucap Rehan menyadarkanku. "Iya Iyah, tentu saja," jawabku gugup. "Kalo gitu Bunda telepon Ayah sekarang, Rehan pengin mainan sama Ayah cepet," ucap Rehan seraya menggoyang-go
"Mbak Sari aku minta nasehatnya aku minta sarannya aku lagi bingung banget Mbak," rengekku pada mbak Sari. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, sudah serahkan saja pada dokter tugas kamu sekarang tinggal berdo'a," jawab mbak Sari bijak. "Masalahnya sudah tiga hari panasnya belum turun juga, dan Rehan terus saja memanggil Ayahnya, dokter juga menyarankan untuk segera memanggil Ayahnya," ucapku ragu. "Apa gak sebaiknya kamu beritahu Bayu tentang keadaan Rehan sekarang," ucap mbak Sari memberi saran. "Itu dia masalahnya Mbak, aku sempat berfikir jika Rehan bisa melewati masa ini maka Rehan akan benar-benar bisa lepas dari Bayu," ucapku penuh harap. "Jika Rehan sudah bisa lepas dari Bayu maka aku akan segera mengajukan permohonan cerai,” ucapku ragu. “Tapi keadaan Rehan sekarang membuatku bingung juga, baiknya gimana ya Mbak," lanjutku dengan putus asa. "Aku tau ini hal yang berat untukmu, tapi ini juga berat buat Rehan, mungkin untuk saat ini, kamu ngalah dulu aja ya, biarkan Rehan
"Tania mau mampir dulu gak?" tanya Niar ketika sampai di rumah tantenya Niar. "Udah malam ya, besok-besok aja, udah main seharian mau istirahat dulu ya Tan," ucapku menolak. "Apa kita mampir dulu sebentar Yah, sebentar aja," rayu Tania padaku. "Kan udah main seharian ini, besok juga ketemu lagi sama tantenya," bujukku. "Sebentar aja, sebentaaaaar banget Yah," Tania terus saja merengek. "Ya sudah tapi bentaran aja," ucapku menyerah. "Oke, makasih Ayah," ucap Tania seraya ke luar mobil. Aku pun menepikan mobilku kemudian turun dari mobil. "Kayaknya ada tamu di dalam?" tanyaku seraya berjalan ke dalam. "Kayaknya si iya," jawab Niar dengan terus melanjutkan langkahnya. "Assalamu'alaikum," ucap kami serempak di depan pintu. "Wa'alaikumsalam.. " jawab serempak orang-orang dari dalam. Kemudian Niar membuka pintu dan masuk rumah, aku dan Tania lekas mengikutinya. "Niar ini Halim sudah lama nungguin kamu," ucap tantenya Niar. Aku mendekat menyalami semua orang di dalam tak lupa T
"Tunggu-tunggu, kok Mbak Niar bisa kenal juga sama suaminya Bening, dan berarti Bening masih punya suami?" ucap Nisa terlihat bingung. "Kan sudah ku bilang, gak ada yang gak aku ketahui," jawab Niar dengan khas sombongnya. "Tadi kebetulan kami lihat mereka di rumah makan yang kami datangi," jawabnya lagi menjelaskan. "Dia kayaknya masih berstatus istri orang tapi kemungkinan besar dia akan menceraikan suaminya, karena di lihat tadi dia sudah gak mau lagi peduli sama suaminya," ucap Niar yakin. Sekarang aku tau kenapa Niar begitu tertarik ingin tau masalah Bayu tadi, ternyata benar dia ingin membantu Nisa, aku yang kakanya bahkan tak ada usaha apapun untuk membantunya. "Terus untuk Rehan gimana Mbak, gimana kalau Bayu menuntut hak asuh anak juga," ucap Nisa khawatir. "Sebernarnya kalau Bayu terbukti dengan kuat dia selingkuh maka hak asuh anak akan jatuh padamu Nis," ucapku meyakinkan. "Tapi, percuma juga Rehan bersamaku kalau dia terus-terusan maunya sama ayahnya," keluh Nisa.
"Assalamu'alaikum.. " ucapku seraya mengetuk pintu rumah Nisa. "Wa'alaikumsalam.. Oh Om Ardi Rehan kira Ayah yang pulang," ucap Rehan sambil membuka pintu rumah.“Siapa yang datang Re?” tanya Nisa dari dalam. “Tania Bun,” jawab Rehan. "Eh Mas Ardi kok sama mbak Niar, ada Tania juga sini masuk," ucap Nisa mempersilahkan kami masuk. "Duduk Mas, Mbak aku ambil minum dulu ya," ucap Nisa seraya berjalan ke belakang. "Kopi ya Nis," ucap Niar sedikit berteriak. "Iya Mbak,Mas Ardi juga kopi?" ucap Nisa juga berteriak. "Ya boleh," jawabku. "Rehan kok sedih, Rehan gak suka ya aku datang ke sini?" tanya Tania murung. "Suka kok, aku cuma kangen Ayah, Ayah sudah lama gak pulang," ucap Rehan sedih. "Kamu telepon aja, vidio call sama Ayahmu," ucap Tania memberi saran. "Bunda sudah mencoba, tapi Ayah gak bisa di hubungi," jawab Rehan putus asa. "Pakai ponsel Ayahku aja sini," ucap Tania seraya menggandeng tangan Rehan mendekat padaku. "Ayah coba telepon Ayahnya Rehan Yah," pinta Tania pa
"Akhirnya bisa jalan-jalan dan makan di luar sama tante Niar, Tania seneng banget deh," ucap Tania semangat. "Jalan-jalannya memang udah tapi makannya belum, jangan bilang udah makan, tante lapar ini," ucap Niar seraya mengusap perutnya dengan ekspresi memelas. Niar nih lucu banget bersamanya bener-bener rame dan gak ada bosennya. "Oh iya kita baru mau makan ya, Tante jangan nangis dong yuk kita makan makanan kesukaan Tante," ucap Tania seraya menggandeng Niar ke dalam. "Mereka terlihat begitu kompak, Niar benar-benar memposisikan diri seperti teman bagi Tania," batinku. "Ayah kenapa senyum-senyum sendiri, ayo cepat masuk ini tante sudah kelaparan," ucap Tania mengagetkan dari lamunanku. "Aduh aw," teriak Niar karena tertabrak oleh orang tak di kenal. Untung saja aku sudah berada di dekatnya sehingga aku bisa menopang tubuhnya agar tidak jatuh. "Heh punya mata gak si, main tabrak aja!" teriak Niar. "Kamu gak papa?" tanyaku khawatir seraya membantunya berdiri tegak. "Heh berh