Share

Bab 5 Bayar hutang dengan jual rumah

Hampir 3 tahun sudah Mas Bagas kembali menyibukan diri dengan pekerjaan sablonnya. Sampai sekarang belum ada kemajuan dan masih sering kekuarangan. 

"Jadi jual rumah ini aja ya Dek, daripada pusing tiap hari didatangi orang nagih,” ucap mas Bagas pasrah. 

“Kamu juga takut kan kalo mas lagi gak di rumah dan datang orang nagih?" lanjutnya. 

"Trus kita nanti tinggal di mana Mas?" tanyaku lesu. 

"Nanti hasil penjualan rumah ini buat nutup semua utang kita, trus kita cari rumah di pinggiran kota aja," terangnya. 

"Jangan cari di komplek perumahan biar lebih murah, sisanya buat modal usaha sablon,” ujar mas Bagas. 

“ Kalo masih ada sisa kita buka warung kecil-kecilan di rumah, gimana menurut kamu Dek?" lanjutnya penuh harap. 

"Sepertinya tidak buruk juga Mas, daripada tiap hari dikata-katain sama Penagih, sakit ati aku Mas," ujarku mendukung usulan mas Bagas.

"Tapi...apa mungkin Ibu akan setuju Mas? " tanyaku ragu. 

“mas akan bicarakan sama Ibu,mudah-mudahan Ibu ngerti keadaan kita,” jawab mas Bagas memberi harapan. 

"Besok mas berkunjung ke rumah Ibu,mas akan menyampaikan tentang ini," lanjutnya. 

"Kalau misalnya Ibu gak setuju, Mas ada cara lain gak?" ucapku ragu. 

"Apa mungkin mas Bagas bisa jual rumah ini tanpa persetujuan Ibu," batinku. 

"Kita coba dulu aja deh, nyatanya hanya ini jalan satu-satunya," jawab mas Bagas menyemangati. 

Rumah ini dibeli dengan dp dari uang pensiunan Ibu mertuaku.Cicilan selama 15 tahun juga Ibu mertua yang mencicil.

Memang dari awal aku menikah dengan mas Bagas,kami langsung menempati rumah ini,karena beberapa bulan sebelum kami menikah orang yang ngontrak rumah ini pindah. 

Sertifikat rumah juga atas nama Ibu, tapi dengan keadaan susahnya kehidupan anaknya seperti sekarang ini,mungkin saja Ibu akan menyetujui usulan ini.Apalagi selama ini kami yang merawat rumah ini. 

Sorenya Ibu menelepon mas Bagas,ternyata besok adalah jadwal Ibu kontrol ke rumah sakit. 

Setiap bulan Ibu memeriksakan kesehatannya karena Ibu punya asma dan usianya yang sudah sepuh membuatnya harus rutin periksa kesehatan. 

"Nanti mas ke rumah Ibu ya Dek, mas nginep di sana, Ibu bilang biar besok bisa berangkat pagi dan dapat nomor antrian yang awal," ucap mas Bagas dengan semangat. 

“Sekalian mas akan cerita tentang rumah ini, mudah-mudahan bisa sesuai harapan,” lanjutnya. 

"Iya Mas," jawabku singkat. 

Aku segera menyiapkan keperluan mas Bagas selama pergi ke rumah Ibu.

Sudah biasa setiap Ibu ada keperluan apapun selalu mas Bagas yang diperintahnya. 

Padahal mas Bagas bukan anak laki-laki Ibu satu-satunya, di rumah juga ada menantu laki-laki yang tinggal bersama Ibu.

Tapi adik perempuannya pun selalu saja memanggil mas Bagas untuk datang ketika dia butuh sesuatu, yah aku akui aku memang sering meminta kepada Ibu.

Ketika bayaran sekolah anak belum bisa terbayarkan karena penghasilan mas Bagas yang tidak menentu pasti Ibulah yang menolongku.

Berbeda dengan sodara laki-laki mas Bagas dia bahkan sering memberi Ibu uang karena pekerjaannya berpenghasilan bagus.

[ Nanti aku pulang bareng Ibu Dek, Ibu mau nginep di rumah, kamu masak yang enak ya.] 

Satu pesan masuk dari mas Bagas. 

[Oh.. iya Mas,kira-kira ada apa ya Mas, tumben Ibu nginep di sini, Mas udah crita yang masalah rumah?] balasku deg degan. 

[ Belum, rencananya nanti di rumah baru mau bahas]

[Oh.. Gitu, ya udah adek tunggu hati-hati ya Mas] 

[Iya Dek] balas mas Bagas singkat. 

“Ada hal penting apa sampai Ibu mau menginap di sini,” batinku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status