Dari pesan mas Bagas terahir, pemeriksaan sudah selesai tinggal menunggu antrian obat,kemungkinan sebentar lagi sampai.
"Assalamu'alaikum.... "
ucap mas Bagas dan Ibu berbarengan.“Wa'alaikumsalam.. “
Aku langsung bangkit dari sofa mendekat ke pintu utama dan mencium punggung tangan Ibu dan mas Bagas."Mari Bu langsung makan saja mumpung masih anget, Sari masak kesukaan Ibu ini lho." Aku mempersilahkan Ibu langsung ke meja makan.
“Kebetulan ini sudah siap semua,” lanjutku sambil menarik kursi untuk Ibu.
Sementara mas Bagas membawa tas Ibu ke kamar.
Selesai makan kami duduk di ruang tengah sambil menikmati cemilan.
Aku dan mas Bagas saling pandang dan menganggukan kepala berniat melancarkan rencana.
"Bu, Bagas mau bicara Bu," ucap mas Bagas dengan pelan.
"Ya bicara aja Gas, kenapa pake pamit, ada apa?" tanya Ibu terlihat penasaran.
"Ibu kan tahu hutang Bagas banyak, Bagas bingung mau gimana nutupnya, Bagas sudah mencoba berbagai upaya tapi nyatanya masih belum ketutup juga."
" Terus...?" tanya Ibu sambil menatap mas Bagas lekat.
Ahirnya tanpa basa basi lagi mas Bagas mengatakan niatnya untuk menjual rumah ini.Dan berniat mengarahkan ke mana uang hasil penjualannya.
Dengan hati-hati mas Bagas berucap berharap Ibu tidak salah paham dan menyetujui usulan mas Bagas.
" Alhamdulillah... sukur kalo begitu," Ibu berucap lega sembari mengembangkan senyumnya.
Jujur aku bingung kenapa Ibu terlihat begitu bahagia, aku senang jika Ibu menyetujuinya tetapi ini di luar perkiraan dan justru terkesan menakutkan.
"Jadi Ibu setuju? " tanya mas Bagas kegirangan.
"Sebenarnya sebelum Bapakmu meninggal Bapak pernah menyampaikan impiannya untuk pergi haji,tetapi karena keadaan keuangan ahirnya sampai meninggalnya Bapak gak kesampaian pergi ke tanah suci," jelas Ibu.
"Ibu ingin badal haji untuk Bapak tapi Ibu juga gak tau uang dari mana, Ibu sempat kepikiran pengin jual rumah ini tapi takut kamu keberatan," Ibu berucap dengan semangatnya.
"Ooh... Gitu,ya udah gak papa Bu,bagus itu Bu jadi cita-cita Bapak bisa kesampaian,kalo gak salah biaya badal haji sekitar 40 jutaan ya Bu? " mas Bagas juga menanggapi dengan antusias.
"Iya nanti rencananya Ibu juga mau umroh, terus masjid di samping rumah kan lagi dibangun nanti Ibu juga akan Infaq ke masjid itu atas nama Bapak, paling tidak 50 juta cukup lah ya? " Ibu berucap dengan semangat.
"Selama ini orang-orang selalu menganggap Bapak itu orang yang dermawan jadi meskipun Bapak sudah meninggal Bapak akan tetap dikenang sebagai orang dermawan kan Gas?" ucap Ibu sembari menerawang ke depan.
"Dan pas sekali kamu juga berniat menjual rumah ini," lanjutnya.
Aku dan mas Bagas saling pandang, kemudian Ibu melanjutkan lagi kalimatnya.
" Ya itu aja sih yang Ibu minta, badal haji Bapak, umroh Ibu, dan infaq 50 juta ke masjid, sisanya dibagi aja buat berempat. "
Jeddarrr... serasa ada petir menyambar di siang bolong.
"Ini adalah tipe perumahan kecil harganya tidak sampai 500 juta, setelah diambil sejumlah yang Ibu sebutkan tadi terus dibagi 4 kebagian berapa mas Bagas."
"Mana cukup buat beli rumah apalagi ditambah modal usaha, aah... rasanya mau pingsan." Batinku.
"Kalo begitu gimana bisa buat beli rumah lagi Bu? " ucap mas Bagas memelas.
"Ya gimana, nyatanya harta Ibu memang cuma itu, dan anak Ibu ada 4 kamu gak boleh nguasain harta Ibu sendirian harus dibagi sama adik-adikmu juga kan? " jawab Ibu tegas.
“Sekarang kamu bikin banner buat di pasang di depan rumah biar orang-orang tau rumah ini mau dijual!” perintah ibu tidak sabar. “Jangan lupa kamu foto rumah ini dan unggah di sosial mediamu biar lebih cepat laku,” lanjutnya lagi. Kami masih diam mematung. “Ayok cepat lakukan, malah diam,mau cepet lunas utang-utangmu gak?” ucap Ibu agak keras. “Iya Bu,” jawab mas Bagas sembari bangkit dari duduknya dan meraih hpnya untuk mengambil foto rumah ini. "Iklannya di sosmed ajalah Bu, gak usah bikin banner segala, masa rumah masih ditinggali mau ditulis dijual," ucap mas Bagas tak terima."Lha terus mau kamu gimana? kamu mau pindah dulu baru rumahnya dijual, lha terus pindahnya mau pake apa, duit aja gak punya kok!" ucap Ibu ketus. "Iya iya terserah Ibu aja lah," jawab mas Bagas sambil ke luar rumah hendak mengambil foto. **"Dek, apa kita ngontrak rumah aja nanti, kalo buat beli kayaknya uangnya belum cukup deh, kita juga harus punya modal buat usaha kan?" ujar mas Bagas ketika kami se
"Jadi ini pas masing-masing mendapat 75 juta ya, trus hutang-hutang mas Bagas ke Nisa selama ini Nisa hitung-hitung ada 10 juta ya Mas." Anisa adik bungsu mas Bagas menimpali. "Jadi ini bagian Mas, Nisa ambil 10 juta dan utangmu sama Nisa lunas ya Mas." Nisa lanjut berujar.Aku memandang ke arah mas Bagas berharap dia mengajukan keberatannya karena kami harus cari tempat tinggal juga, dan ditanggapi baik oleh mas Bagas. "Jangan sekaranglah Nis, maskan butuh uang buat modal juga,atau setengahnya dulu aja, gimana?" mas Bagas coba bernegosiasi. "Mau kapan lagi Mas, ini aja udah utang dari taun kapan coba, inikan mumpung Mas Bagas ada uang," jawab Nisa tak mau kalah."Habis ini jadi tenang udah gak punya utang lagi sama Nisa, besok-besok kalau butuh pinjeman lagi juga pasti larinya sama Nisa juga kan Mas?" Nisa berucap dengan sombongnya. "Yang ke Tuti gak lupa kan Mas, yang 5 juta." Hastuti adik ke dua mas Bagas tak mau kalah ikut juga angkat suara. "Dibayar sekalian ya Mas, bener ka
Aku dan mas Bagas masih duduk di ruang tamu tanpa ada obrolan apapun, sedang yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. "Gimana Dek menurut kamu, seandainya tinggal bareng Ibu kamu keberatan gak?" ucap mas Bagas di sela keheningan. "Masalahnya bukan keberatan atau enggak, kalau kita bisa tinggal sendiri ya akan lebih baik jika kita gak bareng Ibukan Mas?" jawabku datar. "Mas juga maunya begitu, tapi... untuk saat ini mungkin akan sulit,kalau untuk sementara aja gak papa Dek?" ucap mas Bagas ragu. "Mending Mas bayarin utang-utangnya dulu deh nanti liat ada sisa uang berapa," ucapku masih kesal. "Aku kawatir utangnya jadi dua kali lipat ke Bu Rahayu kalo makin kelamaan gak dibayar," jawabku seraya menarik nafas dalam. Bu Rahayu adalah rentenir di komplek sebelah yang kami pinjam uangnya."Kalau dihitung-hitung total utang kita dari pinjol dan Bu Rahayu akan sampai 30 jutaan ya Mas?" ucapku menerawang. "Ya kurang lebih sekitar itu Dek setelah ditambah pembengkakan karena mulur
Pagi ini adalah hari pertamaku terbebas dari semua hutang. Rasanya sedikit lega,yah hanya sedikit karena aku bukan hanya tak punya uang tapi juga tak punya rumah. "Kita tinggal di rumah Ibu aja dulu ya Dek, setidaknya di sana mungkin uang kita gak keluar banyak, kamu mau Dek? " pinta mas Bagas dengan hati-hati. "Jadi kalau nanti mas dapat orderan pendapatannya bisa difokuskan untuk tambahan buat beli mesin sablonnya," lanjutnya. "Gimana menurutmu Dek?" tanya mas Bagas lembut. Aku tak punya alasan lagi untuk menolak, ahirnya akupun menyetujui permintaan mas Bagas dengan menganggukan kepala."Iya Mas, seperti tujuan awal kita, bisa beli mesin baru," kataku menyemangati. Mas Bagas memeluku erat dan mencium pucuk kepalaku."Maafkan mas ya belum bisa berikan yang terbaik buat Adek,""Adek bisa liat usaha Mas selama ini,bagi adek semua itu terbaik Mas," ucapku seraya membalas erat pelukannya. "Ya sudah kita mulai bereskan barang-barang kita ya Dek, kita cuma dikasih waktu seminggu bua
"Makan dulu yuk, papah beli nasi goreng kesukaanmu tuh, ayok kita makan ayok Mah," ucap mas Bagas sambil menggandeng tangan Adit keluar kamar. Aku menyiapkan piring untuk nasi goreng yang barusan dibeli mas Bagas, dan menatanya di meja makan. "Mas udah cerita sama Ibu, kalau kita mau tinggal di sana?" tanyaku disela makan. "Udah kok, mas udah telepon Ibu," jawab mas Bagas. "Ibu bilang apa Mas?" tanyaku penasaran. "Ya gak bilang apa-apa, memang Ibu pengin kita tinggal di sana kan?" jawab mas Bagas santai. "Adit udah tahukan kita akan tinggal di rumah Eyang?" tanya mas Bagas seraya menatap Adit. "Kalau misalnya nanti di sana Adit gak betah boleh gak kita pindah Pah?" tanya Adit tampak ragu. "Gak betahnya kenapa Dit?" tanya mas Bagas pelan. Aku menatap mata Adit seraya menggelengkan kepala pelan, berharap Adit tidak mengatakan apapun tentang Nisa, untungnya Adit paham. "Ya itukan misalnya saja Pah, entah karena jarak ke sekolah jadi jauh atau mungkin..." Adit menjeda kalimatnya
"Assalamu'alaikum... " ucapan kami serempak sambil melangkah masuk ke dalam rumah Ibu. "Wa'alaikumussalam.... " jawab Ibu juga Anisa dari dalam. Mereka menyambut ke depan dan kami saling bersalaman. Beberapa orang mengangkut barang dan memasukannya ke dalam rumah. "Barang-barang ini masukan ke gudang sebelah pojok sana ya Pak," ucap Anisa sambil menunjuk alat kerja mas Bagas.Bapak-bapak pengangkut barang nurut saja. "Silahkan menikmati es teh buatan sheff Mamah," ucap Adit pada semua orang di ruang tivi sambil membawa nampan berisi es teh yang aku buat. "Dan silahkan menikmati camilan keripik pisang buatan tetangga lamaku," ucapku mengikuti gaya Adit yang ditanggapi dengan tawa dari kami semua. Sebenernya perutku sudah keroncongan minta di isi tapi tak enak mau makan belum dipersilahkan, sampai akhirnya Adit buka suara. "Mah.. laper nih..," lirih Adit tapi masih cukup bisa didengar semua orang di ruangan ini sambil mengelus perutnya. "Goreng telur aja sana ada tuh di kulkas,"
"Sari ini kok gak kamu masukin ke mesin cuci sekalian," tanya Ibu sambil menunjuk tumpukan baju Nisa. "Kita inikan keluarga tinggal bersama ya apa-apanya sama-sama ya, saling membantu," lanjut Ibu sebelum aku sempat menjawab. "Tohkan pakai mesin cuci inih, tinggal masukin trus jemur gak repot," ucap Ibu sebelum akhirnya ke depan meninggalkanku. Ahirnya aku kerjakan juga semuanya, daripada banyak omong. Baru duduk minum air Ibu datang. "Sari.. sayurannya ibu taruh sini ya, nanti masak ikannya jangan pedes-pedes Rehan gak bisa makan pedes," kata Ibu sambil berlalu pergi."Baru juga mau istirahat," batinku. Karena aku sangat lapar, dari pagi belum makan apa-apa ku putuskan untuk masak mi instan. Sebenernya pagi tadi sudah masak nasi goreng tapi karena sibuk ngurusi Rafif, ahirnya belum sarapan nasi goreng sudah keburu habis. Ketika mi instan baru setengah ku makan Ibu masuk dapur. "Kok malah makan sendiri ini gimana, ini lho dimasak dulu udah siang ini, bisa-bisa gak keburu mate
Ketika terdengar adzan maghrib aku beranjak ke belakang hendak berwudhu, saat melewati gudang ada genangan air yang mengalir dari dalam.Karena penasaran aku membuka pintunya. "Astaghfirullah.... Mas... Mas Bagas... " teriaku dari depan pintu gudang. Mas Bagas dan yang lainnya berlari menghampiriku. "Ada apa Dek? " tanya mas Bagas sambil mendekat ke depan pintu gudang. "Ya Allah bagaimana ini, alat-alat kerjaku rusak semua keguyur hujan". Mas Bagas segera masuk ke dalam berusaha menyelamatkan barang-barangnya."Kalau alat-alatnya memang bagus pasti akan baik-baik aja Mas, tinggal besok dijemur dikeringkan," ucap Nisa tanpa beban. "Gak semudah itu Nisa,yang dari bahan besi memang tak masalah tapi cetakan-cetakan dari kayu dan kain bisa rusak," jawab mas Bagas lesu. “sholat dulu yuk Mas, keburu waktu magrib habis,nanti kita coba pilih barang-barang yang masih bisa digunakan,” ajakku dengan hati-hati. "Kok bisa bocor sampe sebesar itu ya Mas?" tanyaku setelah selasai sholat. "Mu