"Adit ke mana Dek?" tanya mas Bagas menyusulku ke dapur.
"Di ajak Andi main futsal," ucapku acuh.
"Kamu kenapa Dek, jutek amat."
"Kamu yang kenapa Mas, pulang malam mabok juga, sejak kapan kamu jadi suka mabok-mabokan gitu," ucapku emosi.
"Pusing banget Dek, narik seharian gak dapat duit,malah Santo ngajakin hiburan jadi aku ngikut,” ucapnya santai sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Maaf Dek gak lagi-lagi deh," lanjutnya tanpa dosa.
"Daripada pusing mending pacaran ya Mas?" sindirku sinis.
"Pacaran apaan aku sama Santo kok Dek,"
"Liat ini! sini!" bentakku sambil menariknya kedepan cermin.
"Apa ini Mas!?" ucapku emosi sambil menunjuk bekas merah di lehernya kasar.
"Aku gak tau Dek, beneran, aku gak ngapa-ngapain, semalam aku cuma bertiga sama Santo dan Aris,” kata Mas Bagas ngotot.
“Kamu juga kenal mereka kan coba deh kamu telpon mereka dan pastikan."
Mas Bagas tampak menghubungi seseorang dan mengaktifkan loudspeaker.
"Halo Gas sudah sadar kamu?"
"Ceritakan yang terjadi semalam cepat!"
"Memangnya apa yang terjadi." Terdengar suara tawa dari sana.
"Santo! Lo masih nganggep gue temen gak!" bentak mas Bagas.
"Ok ok sabar bro, jadi semalam Anita ke sini trus ngasih kita duit dan nyuruh gue sama Aris pergi,” suaranya terjeda.
“Gue butuh duit buat setoran jadi gue terpaksa ikuti maunya, gue bener-bener minta maaf,"
"Emang lo bener-bener gak ingat kejadian semalam?"
"Kayaknya dia pake obat tidur atau apalah itu makanya lo sampe gak sadar, bahkan pulangnya kan gue anterin abis sampe gue langung pulang bonceng Aris."
"Gue mau bantuin lo masuk tapi gue liat istri sama anak lo keluar gue jadi takut diomelin,keliatannya dia marah banget soalnya."
Mas Bagas langsung memutuskan panggilannya. Aku masih diam tanpa komentar.
"Maafkan mas Dek, ini di luar kendaliku," ucap Mas Bagas memelas.
"Sudah ku bilang mana ada hubungan laki-laki dan perempuan cuma duduk-duduk ngobrol Mas, gak masuk akal!" bentakku.
"Tapi dari awal Mas sudah bilang padanya Mas sudah punya istri dan gak akan bisa macam-macam, dan dia bilang dia cuma butuh teman ngobrol sebagai hiburan dari penatnya pekerjaannya."
"Terserah!" potongku sambil berlalu ke kamar.
"Dek sabar Dek, ingat janin di perutmu, kamu gak boleh marah-marah begitu.”
Aku tak bisa menjawab apa-apa hanya bisa menangis.
"Maaf Dek maaf, ini bukan kemauanku,lagipula akukan gak sadar pasti aku gak lakuin yang tidak-tidak." Mas Bagas mencoba terus membujukku.
"Mungkin tanda ini sengaja dibuatnya biar kita ribut, tapi aku yakin aku gak melakukannya kan aku gak sadar Dek, mana bisa melakukannya dalam keadaan tidur begitu," lanjutnya.
"Tolong jangan diam begini Dek, pukul aku bentak aku caci maki aku asal jangan diamkan aku begini Dek," ucap mas Bagas sambil berlutut di depanku seraya menangis.
"Kalau aku bilang Mas berhenti dari pekerjaan ini bisa!" ucapku tegas.
"Kalau itu bisa buat Adek merasa lebih baik akan mas lakukan, mas akan coba mulai nyablon lagi."
"Mas minta maaf ya Dek," ucap mas Bagas sambil memelukku.
Aku rasa aku harus memberinya kesempatan lagipula selama ini mas Bagas tidak pernah melakukan kesalahan yang fatal.
"Aku mau Mas berhenti narik angkot berhenti berhubungan dengan siapapun yang berhubungan dengan angkot kemarin," teriakku dengan penuh emosi.
"Iya iya Dek akan mas lakukan, Adek jangan marah-marah lagi, takutnya nanti ada apa-apa dengan janin di perutmu Dek."
"Mas janji gak akan lakuin hal-hal kaya gini lagi, aku gak masalah Mas jadi kuli angkat barang ato kuli bangunan, yang penting jangan seperi ini," teriakku penuh emosi.
"Iya iya mas janji, besok mas langsung kembalikan angkotnya."
Esok harinya mas Bagas mengembalikan angkotnya, dan kembali ke aktifitas sebelumnya menyibukan diri dengan pekerjaan sablon.
Hampir 3 tahun sudah Mas Bagas kembali menyibukan diri dengan pekerjaan sablonnya. Sampai sekarang belum ada kemajuan dan masih sering kekuarangan. "Jadi jual rumah ini aja ya Dek, daripada pusing tiap hari didatangi orang nagih,” ucap mas Bagas pasrah. “Kamu juga takut kan kalo mas lagi gak di rumah dan datang orang nagih?" lanjutnya. "Trus kita nanti tinggal di mana Mas?" tanyaku lesu. "Nanti hasil penjualan rumah ini buat nutup semua utang kita, trus kita cari rumah di pinggiran kota aja," terangnya. "Jangan cari di komplek perumahan biar lebih murah, sisanya buat modal usaha sablon,” ujar mas Bagas. “ Kalo masih ada sisa kita buka warung kecil-kecilan di rumah, gimana menurut kamu Dek?" lanjutnya penuh harap. "Sepertinya tidak buruk juga Mas, daripada tiap hari dikata-katain sama Penagih, sakit ati aku Mas," ujarku mendukung usulan mas Bagas."Tapi...apa mungkin Ibu akan setuju Mas? " tanyaku ragu. “mas akan bicarakan sama Ibu,mudah-mudahan Ibu ngerti keadaan kita,” jawab
Dari pesan mas Bagas terahir, pemeriksaan sudah selesai tinggal menunggu antrian obat,kemungkinan sebentar lagi sampai. "Assalamu'alaikum.... "ucap mas Bagas dan Ibu berbarengan.“Wa'alaikumsalam.. “Aku langsung bangkit dari sofa mendekat ke pintu utama dan mencium punggung tangan Ibu dan mas Bagas. "Mari Bu langsung makan saja mumpung masih anget, Sari masak kesukaan Ibu ini lho." Aku mempersilahkan Ibu langsung ke meja makan.“Kebetulan ini sudah siap semua,” lanjutku sambil menarik kursi untuk Ibu. Sementara mas Bagas membawa tas Ibu ke kamar. Selesai makan kami duduk di ruang tengah sambil menikmati cemilan.Aku dan mas Bagas saling pandang dan menganggukan kepala berniat melancarkan rencana. "Bu, Bagas mau bicara Bu," ucap mas Bagas dengan pelan. "Ya bicara aja Gas, kenapa pake pamit, ada apa?" tanya Ibu terlihat penasaran. "Ibu kan tahu hutang Bagas banyak, Bagas bingung mau gimana nutupnya, Bagas sudah mencoba berbagai upaya tapi nyatanya masih belum ketutup juga." "
“Sekarang kamu bikin banner buat di pasang di depan rumah biar orang-orang tau rumah ini mau dijual!” perintah ibu tidak sabar. “Jangan lupa kamu foto rumah ini dan unggah di sosial mediamu biar lebih cepat laku,” lanjutnya lagi. Kami masih diam mematung. “Ayok cepat lakukan, malah diam,mau cepet lunas utang-utangmu gak?” ucap Ibu agak keras. “Iya Bu,” jawab mas Bagas sembari bangkit dari duduknya dan meraih hpnya untuk mengambil foto rumah ini. "Iklannya di sosmed ajalah Bu, gak usah bikin banner segala, masa rumah masih ditinggali mau ditulis dijual," ucap mas Bagas tak terima."Lha terus mau kamu gimana? kamu mau pindah dulu baru rumahnya dijual, lha terus pindahnya mau pake apa, duit aja gak punya kok!" ucap Ibu ketus. "Iya iya terserah Ibu aja lah," jawab mas Bagas sambil ke luar rumah hendak mengambil foto. **"Dek, apa kita ngontrak rumah aja nanti, kalo buat beli kayaknya uangnya belum cukup deh, kita juga harus punya modal buat usaha kan?" ujar mas Bagas ketika kami se
"Jadi ini pas masing-masing mendapat 75 juta ya, trus hutang-hutang mas Bagas ke Nisa selama ini Nisa hitung-hitung ada 10 juta ya Mas." Anisa adik bungsu mas Bagas menimpali. "Jadi ini bagian Mas, Nisa ambil 10 juta dan utangmu sama Nisa lunas ya Mas." Nisa lanjut berujar.Aku memandang ke arah mas Bagas berharap dia mengajukan keberatannya karena kami harus cari tempat tinggal juga, dan ditanggapi baik oleh mas Bagas. "Jangan sekaranglah Nis, maskan butuh uang buat modal juga,atau setengahnya dulu aja, gimana?" mas Bagas coba bernegosiasi. "Mau kapan lagi Mas, ini aja udah utang dari taun kapan coba, inikan mumpung Mas Bagas ada uang," jawab Nisa tak mau kalah."Habis ini jadi tenang udah gak punya utang lagi sama Nisa, besok-besok kalau butuh pinjeman lagi juga pasti larinya sama Nisa juga kan Mas?" Nisa berucap dengan sombongnya. "Yang ke Tuti gak lupa kan Mas, yang 5 juta." Hastuti adik ke dua mas Bagas tak mau kalah ikut juga angkat suara. "Dibayar sekalian ya Mas, bener ka
Aku dan mas Bagas masih duduk di ruang tamu tanpa ada obrolan apapun, sedang yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. "Gimana Dek menurut kamu, seandainya tinggal bareng Ibu kamu keberatan gak?" ucap mas Bagas di sela keheningan. "Masalahnya bukan keberatan atau enggak, kalau kita bisa tinggal sendiri ya akan lebih baik jika kita gak bareng Ibukan Mas?" jawabku datar. "Mas juga maunya begitu, tapi... untuk saat ini mungkin akan sulit,kalau untuk sementara aja gak papa Dek?" ucap mas Bagas ragu. "Mending Mas bayarin utang-utangnya dulu deh nanti liat ada sisa uang berapa," ucapku masih kesal. "Aku kawatir utangnya jadi dua kali lipat ke Bu Rahayu kalo makin kelamaan gak dibayar," jawabku seraya menarik nafas dalam. Bu Rahayu adalah rentenir di komplek sebelah yang kami pinjam uangnya."Kalau dihitung-hitung total utang kita dari pinjol dan Bu Rahayu akan sampai 30 jutaan ya Mas?" ucapku menerawang. "Ya kurang lebih sekitar itu Dek setelah ditambah pembengkakan karena mulur
Pagi ini adalah hari pertamaku terbebas dari semua hutang. Rasanya sedikit lega,yah hanya sedikit karena aku bukan hanya tak punya uang tapi juga tak punya rumah. "Kita tinggal di rumah Ibu aja dulu ya Dek, setidaknya di sana mungkin uang kita gak keluar banyak, kamu mau Dek? " pinta mas Bagas dengan hati-hati. "Jadi kalau nanti mas dapat orderan pendapatannya bisa difokuskan untuk tambahan buat beli mesin sablonnya," lanjutnya. "Gimana menurutmu Dek?" tanya mas Bagas lembut. Aku tak punya alasan lagi untuk menolak, ahirnya akupun menyetujui permintaan mas Bagas dengan menganggukan kepala."Iya Mas, seperti tujuan awal kita, bisa beli mesin baru," kataku menyemangati. Mas Bagas memeluku erat dan mencium pucuk kepalaku."Maafkan mas ya belum bisa berikan yang terbaik buat Adek,""Adek bisa liat usaha Mas selama ini,bagi adek semua itu terbaik Mas," ucapku seraya membalas erat pelukannya. "Ya sudah kita mulai bereskan barang-barang kita ya Dek, kita cuma dikasih waktu seminggu bua
"Makan dulu yuk, papah beli nasi goreng kesukaanmu tuh, ayok kita makan ayok Mah," ucap mas Bagas sambil menggandeng tangan Adit keluar kamar. Aku menyiapkan piring untuk nasi goreng yang barusan dibeli mas Bagas, dan menatanya di meja makan. "Mas udah cerita sama Ibu, kalau kita mau tinggal di sana?" tanyaku disela makan. "Udah kok, mas udah telepon Ibu," jawab mas Bagas. "Ibu bilang apa Mas?" tanyaku penasaran. "Ya gak bilang apa-apa, memang Ibu pengin kita tinggal di sana kan?" jawab mas Bagas santai. "Adit udah tahukan kita akan tinggal di rumah Eyang?" tanya mas Bagas seraya menatap Adit. "Kalau misalnya nanti di sana Adit gak betah boleh gak kita pindah Pah?" tanya Adit tampak ragu. "Gak betahnya kenapa Dit?" tanya mas Bagas pelan. Aku menatap mata Adit seraya menggelengkan kepala pelan, berharap Adit tidak mengatakan apapun tentang Nisa, untungnya Adit paham. "Ya itukan misalnya saja Pah, entah karena jarak ke sekolah jadi jauh atau mungkin..." Adit menjeda kalimatnya
"Assalamu'alaikum... " ucapan kami serempak sambil melangkah masuk ke dalam rumah Ibu. "Wa'alaikumussalam.... " jawab Ibu juga Anisa dari dalam. Mereka menyambut ke depan dan kami saling bersalaman. Beberapa orang mengangkut barang dan memasukannya ke dalam rumah. "Barang-barang ini masukan ke gudang sebelah pojok sana ya Pak," ucap Anisa sambil menunjuk alat kerja mas Bagas.Bapak-bapak pengangkut barang nurut saja. "Silahkan menikmati es teh buatan sheff Mamah," ucap Adit pada semua orang di ruang tivi sambil membawa nampan berisi es teh yang aku buat. "Dan silahkan menikmati camilan keripik pisang buatan tetangga lamaku," ucapku mengikuti gaya Adit yang ditanggapi dengan tawa dari kami semua. Sebenernya perutku sudah keroncongan minta di isi tapi tak enak mau makan belum dipersilahkan, sampai akhirnya Adit buka suara. "Mah.. laper nih..," lirih Adit tapi masih cukup bisa didengar semua orang di ruangan ini sambil mengelus perutnya. "Goreng telur aja sana ada tuh di kulkas,"