Aku dan mas Bagas masih duduk di ruang tamu tanpa ada obrolan apapun, sedang yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing.
"Gimana Dek menurut kamu, seandainya tinggal bareng Ibu kamu keberatan gak?" ucap mas Bagas di sela keheningan.
"Masalahnya bukan keberatan atau enggak, kalau kita bisa tinggal sendiri ya akan lebih baik jika kita gak bareng Ibukan Mas?" jawabku datar.
"Mas juga maunya begitu, tapi... untuk saat ini mungkin akan sulit,kalau untuk sementara aja gak papa Dek?" ucap mas Bagas ragu.
"Mending Mas bayarin utang-utangnya dulu deh nanti liat ada sisa uang berapa," ucapku masih kesal.
"Aku kawatir utangnya jadi dua kali lipat ke Bu Rahayu kalo makin kelamaan gak dibayar," jawabku seraya menarik nafas dalam.
Bu Rahayu adalah rentenir di komplek sebelah yang kami pinjam uangnya.
"Kalau dihitung-hitung total utang kita dari pinjol dan Bu Rahayu akan sampai 30 jutaan ya Mas?" ucapku menerawang.
"Ya kurang lebih sekitar itu Dek setelah ditambah pembengkakan karena mulur dari jatuh temponya," jawab mas Bagas.
"Ya udah mas langsung beresin semuanya dulu sekarang ya Dek." ucap mas Bagas seraya bangkit dari duduknya bersiap pergi.
“Iya Mas hati-hati, Mas uangnya jangan ngepas bawanya, barangkali ada pembengkakan jadi gak bolak-balik," ucapku berpesan.
"Iya mas tau, ini juga mas lebihkan, mas pergi sekarang ya Assalamu'alaikum..."
Mas Bagas segera mengenakan jaketnya sambil menyambar kunci motor di meja dan langsung tancap gas.
"Wa'alaikumsalam... iya Mas hati-hati," jawabku sembari berjalan mengiringi langkah mas Bagas ke depan.
**Hari sudah semakin malam tapi Mas Bagas belum juga pulang, apa selama itu cuma membayar hutang saja.
"Assalamu’alaikum, kopi ya Dek,"
pinta mas Bagas seraya menjatuhkan bokongnya di sofa diiringi helaan nafas berat."Wa'alaikumsalam... iya Mas, " ucapku segera sembari mendekat mencium punggung tangan mas Bagas.
"Sepertinya ada yang tidak baik-baik saja," batinku.Aku segera ke dapur membuatkan kopi untuknya.
"Gimana Mas? Udah beres semua? " tanyaku sambil meletakan kopi di meja dan duduk bersisian dengan mas Bagas.
"Sudah ku bayar semua hutang-hutang kita, total 40 juta,kurang dikit," jawab mas Bagas sambil menyeruput kopinya yang masih panas.
"Kok jadi membengkak segede itu Mas?" tanyaku kaget seraya merubah posisi duduku menghadap mas Bagas di sebelah.
"Ya kamu kan tahu resiko hutang sama rentenir Dek,apalagi memang kita mundur dari jatuh temponya," jawab mas Bagas dengan helaan nafas berat.
"Untung gak ada barang yang disita, yang penting kita sudah bebas gak ditagih-tagih lagi, kamu juga bisa tenang kan?" ujar mas Bagas sambil mengulas senyum terbaiknya.“Ya tenang ya gak tenang juga,” jawabku asal dengan membuang nafas kasar.
"Mudah - mudahan setelah ini kita gak hutang - hutang ke rentenir lagi ya Dek," lanjutnya sambil mengusap lembut kepalaku."Amiin.. mudah-mudahan Allah memudahkan segala urusan kita Mas," jawabku ragu.
"Kok Adek kayak gak percaya gitu si jangan pesimis gitu dong," ucap mas Bagas terlihat kecewa.
"Tapi, uang kita tinggal 20 juta Mas, mau buat beli mesin atau buat ngotrak rumah, bukannya Mas bilang harga mesinnya 20 jutaan? " tanyaku lesu.
"20 juta itu harga pokok mesinnya aja, nanti kita perlu bayar jasa ahli untuk pengoperasiannya, sekitar 3 sampai 5 juta dan tentu biaya kirim barang juga ada," jawab mas Bagas.
"Lha terus gimana dong Mas,gimana aku gak pesimis coba!?" aku bertanya dengan frustasi.
Pagi ini adalah hari pertamaku terbebas dari semua hutang. Rasanya sedikit lega,yah hanya sedikit karena aku bukan hanya tak punya uang tapi juga tak punya rumah. "Kita tinggal di rumah Ibu aja dulu ya Dek, setidaknya di sana mungkin uang kita gak keluar banyak, kamu mau Dek? " pinta mas Bagas dengan hati-hati. "Jadi kalau nanti mas dapat orderan pendapatannya bisa difokuskan untuk tambahan buat beli mesin sablonnya," lanjutnya. "Gimana menurutmu Dek?" tanya mas Bagas lembut. Aku tak punya alasan lagi untuk menolak, ahirnya akupun menyetujui permintaan mas Bagas dengan menganggukan kepala."Iya Mas, seperti tujuan awal kita, bisa beli mesin baru," kataku menyemangati. Mas Bagas memeluku erat dan mencium pucuk kepalaku."Maafkan mas ya belum bisa berikan yang terbaik buat Adek,""Adek bisa liat usaha Mas selama ini,bagi adek semua itu terbaik Mas," ucapku seraya membalas erat pelukannya. "Ya sudah kita mulai bereskan barang-barang kita ya Dek, kita cuma dikasih waktu seminggu bua
"Makan dulu yuk, papah beli nasi goreng kesukaanmu tuh, ayok kita makan ayok Mah," ucap mas Bagas sambil menggandeng tangan Adit keluar kamar. Aku menyiapkan piring untuk nasi goreng yang barusan dibeli mas Bagas, dan menatanya di meja makan. "Mas udah cerita sama Ibu, kalau kita mau tinggal di sana?" tanyaku disela makan. "Udah kok, mas udah telepon Ibu," jawab mas Bagas. "Ibu bilang apa Mas?" tanyaku penasaran. "Ya gak bilang apa-apa, memang Ibu pengin kita tinggal di sana kan?" jawab mas Bagas santai. "Adit udah tahukan kita akan tinggal di rumah Eyang?" tanya mas Bagas seraya menatap Adit. "Kalau misalnya nanti di sana Adit gak betah boleh gak kita pindah Pah?" tanya Adit tampak ragu. "Gak betahnya kenapa Dit?" tanya mas Bagas pelan. Aku menatap mata Adit seraya menggelengkan kepala pelan, berharap Adit tidak mengatakan apapun tentang Nisa, untungnya Adit paham. "Ya itukan misalnya saja Pah, entah karena jarak ke sekolah jadi jauh atau mungkin..." Adit menjeda kalimatnya
"Assalamu'alaikum... " ucapan kami serempak sambil melangkah masuk ke dalam rumah Ibu. "Wa'alaikumussalam.... " jawab Ibu juga Anisa dari dalam. Mereka menyambut ke depan dan kami saling bersalaman. Beberapa orang mengangkut barang dan memasukannya ke dalam rumah. "Barang-barang ini masukan ke gudang sebelah pojok sana ya Pak," ucap Anisa sambil menunjuk alat kerja mas Bagas.Bapak-bapak pengangkut barang nurut saja. "Silahkan menikmati es teh buatan sheff Mamah," ucap Adit pada semua orang di ruang tivi sambil membawa nampan berisi es teh yang aku buat. "Dan silahkan menikmati camilan keripik pisang buatan tetangga lamaku," ucapku mengikuti gaya Adit yang ditanggapi dengan tawa dari kami semua. Sebenernya perutku sudah keroncongan minta di isi tapi tak enak mau makan belum dipersilahkan, sampai akhirnya Adit buka suara. "Mah.. laper nih..," lirih Adit tapi masih cukup bisa didengar semua orang di ruangan ini sambil mengelus perutnya. "Goreng telur aja sana ada tuh di kulkas,"
"Sari ini kok gak kamu masukin ke mesin cuci sekalian," tanya Ibu sambil menunjuk tumpukan baju Nisa. "Kita inikan keluarga tinggal bersama ya apa-apanya sama-sama ya, saling membantu," lanjut Ibu sebelum aku sempat menjawab. "Tohkan pakai mesin cuci inih, tinggal masukin trus jemur gak repot," ucap Ibu sebelum akhirnya ke depan meninggalkanku. Ahirnya aku kerjakan juga semuanya, daripada banyak omong. Baru duduk minum air Ibu datang. "Sari.. sayurannya ibu taruh sini ya, nanti masak ikannya jangan pedes-pedes Rehan gak bisa makan pedes," kata Ibu sambil berlalu pergi."Baru juga mau istirahat," batinku. Karena aku sangat lapar, dari pagi belum makan apa-apa ku putuskan untuk masak mi instan. Sebenernya pagi tadi sudah masak nasi goreng tapi karena sibuk ngurusi Rafif, ahirnya belum sarapan nasi goreng sudah keburu habis. Ketika mi instan baru setengah ku makan Ibu masuk dapur. "Kok malah makan sendiri ini gimana, ini lho dimasak dulu udah siang ini, bisa-bisa gak keburu mate
Ketika terdengar adzan maghrib aku beranjak ke belakang hendak berwudhu, saat melewati gudang ada genangan air yang mengalir dari dalam.Karena penasaran aku membuka pintunya. "Astaghfirullah.... Mas... Mas Bagas... " teriaku dari depan pintu gudang. Mas Bagas dan yang lainnya berlari menghampiriku. "Ada apa Dek? " tanya mas Bagas sambil mendekat ke depan pintu gudang. "Ya Allah bagaimana ini, alat-alat kerjaku rusak semua keguyur hujan". Mas Bagas segera masuk ke dalam berusaha menyelamatkan barang-barangnya."Kalau alat-alatnya memang bagus pasti akan baik-baik aja Mas, tinggal besok dijemur dikeringkan," ucap Nisa tanpa beban. "Gak semudah itu Nisa,yang dari bahan besi memang tak masalah tapi cetakan-cetakan dari kayu dan kain bisa rusak," jawab mas Bagas lesu. “sholat dulu yuk Mas, keburu waktu magrib habis,nanti kita coba pilih barang-barang yang masih bisa digunakan,” ajakku dengan hati-hati. "Kok bisa bocor sampe sebesar itu ya Mas?" tanyaku setelah selasai sholat. "Mu
"Sari tolong ini setrikakan baju ini ya, mau dipakai arisan nanti siang jam tiga," kata Ibu sambil meletakan gamis di kursi dapur. "Iya Bu, nanti Sari selesaikan masak dulu," jawabku. Setelah selesai masak dan semua makanan siap di meja makan, aku ambil gamis yang Ibu kasih tadi untuk disetrika. Ketika ku bentangkan di meja setrika. "Kok ini seperti punya Nisa, mungkin mereka memang punya sama'an," pikirku. Setelah selesai setrika langsung ku menuju kamar Ibu mengantarkan bajunya. "Benar kan Bu Nisa bilang, bakal ada untungnya kalau mereka tinggal di sini,” ucap Nisa begitu semangat. “Kita cuma keluar modal buat makanan mereka dikit dan kita gak perlu lagi bayar pembantu buat urus rumah," lanjutnya. "Ya idemu memang cemerlang Nis," jawab Ibu. "Mas Bayu jadi bisa fokus ngurus toko di pusat kota,yang di sini ada mas Bagas yang bantuin kalo butuh tenaga buat angkat yang berat-berat," lanjut Nisa. "Tapi kasihan Bagas, Nis kalau terlalu berat gitu kerjanya," ucap Ibu. "
Kalau Bayu yang berlaku buruk pada mas Bagas mungkin wajar karena mereka hanya ipar. Tapi Anisa,bagaimana bisa tega dia berbuat seperti itu pada mas Bagas.Padahal selama aku kenal mas Bagas, mas Bagas adalah kakak yang baik dan selalu memberikan apapun permintaan Nisa. “Mana hpnya Dek?” ucap mas Bagas mengagetkanku. “Sejak kapan Mas di sini?” tanyaku kaget. “Kamu di minta ambilin HP malah matung di sini,” ucap mas Bagas sambil nyengir. “Iya maaf Mas,Adek anu.. “Aduh aku bingung harus jawab apa ya Allah. “Ya udah Adek samperin Rafif aja tuh, kayaknya udah bangun, manggil tadi,” ucap mas Bagas sambil masuk warung. “Iya Mas Adek masuk sekarang,” ucapku langsung buru-buru masuk rumah. "Sepertinya salah jika Aku berfikir tinggal di sini untuk berbakti pada suami dan orang tua, suamiku semakin susah jika kami terus di sini," batinku. Tapi bagaimana cara menyampaikan pada mas Bagas. Esok harinya. Hari ini Ibu mengeluh sakit kepala,aku ke kamarnya membawakan teh hangat dan bubur.
"Dek,, Ibu kan sedang sakit, jadi kita ngalah dulu ya, biarlah Ibu bicara apa, kita iyakan saja," ucap mas Bagas ketika kami sudah di kamar. Aku hanya menganggukan kepala, bingung mau jawab apa. Niat hati ingin mengajak mas Bagas pindah dari rumah Ibu, malah semakin susah karena Ibu sakit. "Adek sudah berusaha melakukan yang terbaik yang adek bisa Mas, tapi kenyataanya tidak semua orang bisa menerimanya dengan baik," kataku ragu.“Mas bisa lihat itu semua, karena itu mas sampaikan hal itu tadi,” ucap mas Bagas seraya menunjukan senyum terbaiknya. “ya udah mas kembali ke warung ya, banyak yang harus di bereskan di warung,” ucap mas Bagas sambil melangkah keluar kamar. "Mas,, kalau bantu-bantu di warung di kasih upah berapa?" tanyaku ragu. Mas Bagas menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ku. Mas Bagas tampak berfikir."Mas cuma melakukan hal kecil Dek, cuma sebatas bantu yang mas bisa, belum bisa jadi karyawan beneran," jawab mas Bagas pun ragu. Melihat keraguan mas Bagas