Pagi ini adalah hari pertamaku terbebas dari semua hutang. Rasanya sedikit lega,yah hanya sedikit karena aku bukan hanya tak punya uang tapi juga tak punya rumah.
"Kita tinggal di rumah Ibu aja dulu ya Dek, setidaknya di sana mungkin uang kita gak keluar banyak, kamu mau Dek? " pinta mas Bagas dengan hati-hati.
"Jadi kalau nanti mas dapat orderan pendapatannya bisa difokuskan untuk tambahan buat beli mesin sablonnya," lanjutnya.
"Gimana menurutmu Dek?" tanya mas Bagas lembut.
Aku tak punya alasan lagi untuk menolak, ahirnya akupun menyetujui permintaan mas Bagas dengan menganggukan kepala.
"Iya Mas, seperti tujuan awal kita, bisa beli mesin baru," kataku menyemangati.
Mas Bagas memeluku erat dan mencium pucuk kepalaku.
"Maafkan mas ya belum bisa berikan yang terbaik buat Adek,"
"Adek bisa liat usaha Mas selama ini,bagi adek semua itu terbaik Mas," ucapku seraya membalas erat pelukannya.
"Ya sudah kita mulai bereskan barang-barang kita ya Dek, kita cuma dikasih waktu seminggu buat beres-beres sebelum pemilik rumah menempatinya."
"Iya Mas, tak seharusnya kita lemah,ayo kita berjuang bersama." ucapku sambil menunjukan kepalan tanganku dihadapannya.
"Kamu tuh, udah kaya mau perang aja," ucap mas Bagas sambil tertawa.
Aku melepas pelukan mas Bagas dan beranjak ke kamar untuk mengemasi pakaian. Ketika sedang fokus berkemas Adit masuk kamar.
"Mah,, apa gak papa tinggal sama Eyang? di sana nanti kan bareng sama tante Nisa?" tanya Adit anak pertamaku.
Adit sekarang kelas 5 SD usianya 11 tahun, dia sudah cukup tau permasalahan di sekitarnya. Dia sudah cukup paham mana yang baik dan tidak baik.
"Ya gak papa inshaAllah ini sementara aja kok Dit, lagian kenapa dengan tante Nisa?" tanyaku seraya mengulas senyum.
"Mamah gak usah sok kuat deh Mah, saat kita tinggal berjauhan aja tante Nisa suka sekali nyuruh-nyuruh Papah buat ngerjain segala keperluannya," ucap Adit emosi.
“Nanti kalo serumah bisa-bisa Mamah jadi babunya," tambahnya berapi-api.
"Kamu gak boleh suudzon gitu, gak baik nanti malah jadi fitnah," ucapku coba meyakinkan Adit.
Sebenarnya hal itu juga yang membuatku berat memutuskan tinggal di sana tapi anggap saja ini adalah perjuangan.
"Kita coba ya Mah, kalo ternyata di sana gak nyaman kita langsung keluar dari rumah eyang, bisa!?" tanya Adit tegas.
"Adit,, katanya ucapan adalah do'a maka kita sebaiknya berucap yang baik-baik saja." ucapku menenangkannya.
"Yah, terserah Mamah lah, ucapan baik harus disertai dengan usaha baik juga kan Mah?" ucap Adit merajuk.
"Adit keberatan tinggal sama Eyang?" tanyaku lembut sambil mengusap kepalanya.
"Adit tinggal di mana aja gak masalah Mah, Adit cuma gak suka kalau ada yang gak baik sama Mamah," ucapnya sambil memelukku.
"Mudah-mudahan gak seburuk seperti yang dikatakan adit." Batinku.
"Baik dan buruk itu relatif Dit, yang penting kita tetap berusaha menjadi baik," ucapku dengan senyum lebar untuk meyakinkan Adit bahwa aku baik-baik saja.
"Sekarang sebaiknya Adit bantuin Mamah beres-beres ya, Adit beresin barang-barang Adit bisa?" tanyaku menyemangati Adit.
"Ya udah Mah, Adit kemasi pakaian Adit dulu, Mamah kalau gak suka tinggal di rumah Eyang bilang aja, Papah pasti ngerti kok Mah," ucap Adit.
"Ok, siap Pak bos." ucapku seraya mengacungkan dua jempol dan tersenyum.
Ku dorong pelan tubuh Adit keluar kamar. "Ayuh beres-beres."
Sebelum Adit sampai di depan pintu, mas Bagas datang, dan berhasil membuatku terperanjat.
“Apakah mas Bagas mendengar percakapanku dengan Adit." Batinku.
"Alhamdulillah sekarang Rehan udah bisa pulang," ucapku seraya memeluk Rehan. "Ayah mana Bun? katanya mau jemput Rehan?" tanya Rehan seraya memandang arah pintu. "Mungkin sebentar lagi datang, atau sepertinya Ayah akan langsung menyusul ke rumah," jawabku menyemangati Rehan. "Tapi Rehan takut Ayah gak datang," ucap Rehan dengan tertunduk lesu. "Bunda telepon Ayah sekarang yah," ucapku seraya meraih hpku di tas. "Iya Bunda, telepon sekarang cepat, Rehan mau pulang sama Ayah," ucap Rehan begitu semangat. "Rehan mau pulang ke tempat Ayah?" tanyaku cemas. "Iya, kan kemarin Bunda bilang, kalau Rehan udah sembuh Rehan boleh ikut Ayah," jawabnya dengan mata berkaca. Aku seperti tak mau merelakan, tapi juga tak kuasa merusak kebahagiaan Rehan yang baru sembuh dari sakitnya. "Bunda akan tepati janji Bunda kan," ucap Rehan menyadarkanku. "Iya Iyah, tentu saja," jawabku gugup. "Kalo gitu Bunda telepon Ayah sekarang, Rehan pengin mainan sama Ayah cepet," ucap Rehan seraya menggoyang-go
"Mbak Sari aku minta nasehatnya aku minta sarannya aku lagi bingung banget Mbak," rengekku pada mbak Sari. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, sudah serahkan saja pada dokter tugas kamu sekarang tinggal berdo'a," jawab mbak Sari bijak. "Masalahnya sudah tiga hari panasnya belum turun juga, dan Rehan terus saja memanggil Ayahnya, dokter juga menyarankan untuk segera memanggil Ayahnya," ucapku ragu. "Apa gak sebaiknya kamu beritahu Bayu tentang keadaan Rehan sekarang," ucap mbak Sari memberi saran. "Itu dia masalahnya Mbak, aku sempat berfikir jika Rehan bisa melewati masa ini maka Rehan akan benar-benar bisa lepas dari Bayu," ucapku penuh harap. "Jika Rehan sudah bisa lepas dari Bayu maka aku akan segera mengajukan permohonan cerai,” ucapku ragu. “Tapi keadaan Rehan sekarang membuatku bingung juga, baiknya gimana ya Mbak," lanjutku dengan putus asa. "Aku tau ini hal yang berat untukmu, tapi ini juga berat buat Rehan, mungkin untuk saat ini, kamu ngalah dulu aja ya, biarkan Rehan
"Tania mau mampir dulu gak?" tanya Niar ketika sampai di rumah tantenya Niar. "Udah malam ya, besok-besok aja, udah main seharian mau istirahat dulu ya Tan," ucapku menolak. "Apa kita mampir dulu sebentar Yah, sebentar aja," rayu Tania padaku. "Kan udah main seharian ini, besok juga ketemu lagi sama tantenya," bujukku. "Sebentar aja, sebentaaaaar banget Yah," Tania terus saja merengek. "Ya sudah tapi bentaran aja," ucapku menyerah. "Oke, makasih Ayah," ucap Tania seraya ke luar mobil. Aku pun menepikan mobilku kemudian turun dari mobil. "Kayaknya ada tamu di dalam?" tanyaku seraya berjalan ke dalam. "Kayaknya si iya," jawab Niar dengan terus melanjutkan langkahnya. "Assalamu'alaikum," ucap kami serempak di depan pintu. "Wa'alaikumsalam.. " jawab serempak orang-orang dari dalam. Kemudian Niar membuka pintu dan masuk rumah, aku dan Tania lekas mengikutinya. "Niar ini Halim sudah lama nungguin kamu," ucap tantenya Niar. Aku mendekat menyalami semua orang di dalam tak lupa T
"Tunggu-tunggu, kok Mbak Niar bisa kenal juga sama suaminya Bening, dan berarti Bening masih punya suami?" ucap Nisa terlihat bingung. "Kan sudah ku bilang, gak ada yang gak aku ketahui," jawab Niar dengan khas sombongnya. "Tadi kebetulan kami lihat mereka di rumah makan yang kami datangi," jawabnya lagi menjelaskan. "Dia kayaknya masih berstatus istri orang tapi kemungkinan besar dia akan menceraikan suaminya, karena di lihat tadi dia sudah gak mau lagi peduli sama suaminya," ucap Niar yakin. Sekarang aku tau kenapa Niar begitu tertarik ingin tau masalah Bayu tadi, ternyata benar dia ingin membantu Nisa, aku yang kakanya bahkan tak ada usaha apapun untuk membantunya. "Terus untuk Rehan gimana Mbak, gimana kalau Bayu menuntut hak asuh anak juga," ucap Nisa khawatir. "Sebernarnya kalau Bayu terbukti dengan kuat dia selingkuh maka hak asuh anak akan jatuh padamu Nis," ucapku meyakinkan. "Tapi, percuma juga Rehan bersamaku kalau dia terus-terusan maunya sama ayahnya," keluh Nisa.
"Assalamu'alaikum.. " ucapku seraya mengetuk pintu rumah Nisa. "Wa'alaikumsalam.. Oh Om Ardi Rehan kira Ayah yang pulang," ucap Rehan sambil membuka pintu rumah.“Siapa yang datang Re?” tanya Nisa dari dalam. “Tania Bun,” jawab Rehan. "Eh Mas Ardi kok sama mbak Niar, ada Tania juga sini masuk," ucap Nisa mempersilahkan kami masuk. "Duduk Mas, Mbak aku ambil minum dulu ya," ucap Nisa seraya berjalan ke belakang. "Kopi ya Nis," ucap Niar sedikit berteriak. "Iya Mbak,Mas Ardi juga kopi?" ucap Nisa juga berteriak. "Ya boleh," jawabku. "Rehan kok sedih, Rehan gak suka ya aku datang ke sini?" tanya Tania murung. "Suka kok, aku cuma kangen Ayah, Ayah sudah lama gak pulang," ucap Rehan sedih. "Kamu telepon aja, vidio call sama Ayahmu," ucap Tania memberi saran. "Bunda sudah mencoba, tapi Ayah gak bisa di hubungi," jawab Rehan putus asa. "Pakai ponsel Ayahku aja sini," ucap Tania seraya menggandeng tangan Rehan mendekat padaku. "Ayah coba telepon Ayahnya Rehan Yah," pinta Tania pa
"Akhirnya bisa jalan-jalan dan makan di luar sama tante Niar, Tania seneng banget deh," ucap Tania semangat. "Jalan-jalannya memang udah tapi makannya belum, jangan bilang udah makan, tante lapar ini," ucap Niar seraya mengusap perutnya dengan ekspresi memelas. Niar nih lucu banget bersamanya bener-bener rame dan gak ada bosennya. "Oh iya kita baru mau makan ya, Tante jangan nangis dong yuk kita makan makanan kesukaan Tante," ucap Tania seraya menggandeng Niar ke dalam. "Mereka terlihat begitu kompak, Niar benar-benar memposisikan diri seperti teman bagi Tania," batinku. "Ayah kenapa senyum-senyum sendiri, ayo cepat masuk ini tante sudah kelaparan," ucap Tania mengagetkan dari lamunanku. "Aduh aw," teriak Niar karena tertabrak oleh orang tak di kenal. Untung saja aku sudah berada di dekatnya sehingga aku bisa menopang tubuhnya agar tidak jatuh. "Heh punya mata gak si, main tabrak aja!" teriak Niar. "Kamu gak papa?" tanyaku khawatir seraya membantunya berdiri tegak. "Heh berh