Mas Arya bekerja sebagai salah seorang teknisi di salah satu pabrik. Seseorang yang bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapat pekerjaan yang cukup bagus dengan persaingan keras di ibu kota.
Hal itu menjadi sesuatu yang sangat aku dan Mas Arya syukuri. Meskipun, tidak jarang suamiku mendapat perlakuan buruk serta fitnah dari rekan kerjanya sendiri. Tahu Mas Arya dipecat, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi ke tempat kerja Mas Arya untuk bertemu langsung dengan sang atasan. Bisa-bisanya di saat kondisi pegawainya mengalami musibah, perusahaan justru membuangnya. Hanya saja, sesampainya di sana, aku justru semakin merasa kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja menemukan sebuah fakta menyakitkan, bahwa ternyata rekan-rekan kerja Mas Arya sendiri lah yang sudah menghasut atasan mereka agar memecat Mas Arya. “Ungtung Pak Darko mau ikuti saran gue, jadinya itu orang sok suci dipecat juga sekarang!” “Iya, hahaha!” sahut orang-orang lainnya. Begitu aku melaporkan hal tersebut dan menuntut keadilan, hatiku semakin sakit karena atasan Mas Arya sama sekali tidak peduli. Dia justru memberiku amplop berisi beberapa lembar uang sebagai tambahan pesangon. Aku mengumpat dalam hati. Kuremas amplop berisi uang itu. Bukan hal seperti ini yang kuharapkan. Hatiku bergejolak, ingin sekali rasanya kulempar uang-uang itu ke wajah atasan Mas Arya. Namun, mengingat bahwa aku adalah orang yang jauh lebih terhormat daripada dia, aku pun urung melakukannya. Aku tarik napas dalam-dalam dan menaruh kembali uang-uang tadi ke atas meja. Ku dorong uang itu mendekat ke mantan atasan Mas Arya. “Terima kasih untuk niat baik Anda!” ucapku. “Saya memang butuh uang, akan tetapi saya tidak membutuhkan uang dari Anda. Terima kasih sudah memecat suami saya. suatu saat nanti saya yakin Anda akan menyesali keputusan Anda memecat suami saya. Permisi!” Aku berjalan keluar dari ruangan mantan atasan Mas Arya dengan punggung dan kepala yang tegak. Kuabaikan semua sorot mata yang menatapku aneh. “Huh!” Aku baru bisa bernapas lega begitu sudah keluar dari area pabrik. Lega rasanya, meskipun aku tidak bisa mendapatkan keadilan untuk suamiku, setidaknya aku sudah berusaha memperjuangkan haknya. Aku berusaha berpikir positif. Mungkin, memang seperti inilah cara Tuhan menjauhkan suamiku dari orang-orang jahat. Hanya saja, sekarang aku mulai bingung—aku mendudukkan diri di halte bus. Pengobatan Mas Arya di-cover asuransi perusahaan, sedangkan sekarang dia sudah dipecat. Mengandalkan uang pesangon, kurasa itu hanya akan bertahan hanya sampai tiga bulan ke depan. Aku dan Mas Arya masih punya uang tabungan. Namun, tabungan tersebut sudah kami alokasikan untuk sekolah dan kebutuhan Rico yang beberapa bulan lagi sudah masuk SD. Mau jual motor, motor saja sudah rusak. Mau jual emas, satu-satunya emas yang kupunya hanya cincin mahar pernikahanku dengan Mas Arya. Aku memperhatikan cincin di jari manisku sambil terus berpikir. “Haruskah?”. Pandanganku beralih ke jalanan ramai di hadapanku. Kendaraan yang berlalu-lalang menghipnotisku untuk mengeluarkan kembali ingatan-ingatan masa lalu. Ingatan tujuh tahun lalu di saat aku bertemu dengan Mas Arya untuk pertama kalinya. Aku yang tengah ikuti kegiatan volunteer kampus dipertemukan dengan seorang laki-laki pendamping anak-anak panti asuhan yang ada di dalam kegitan tersebut. Saat itu Mas Arya masih tinggal di panti asuhan, sehingga dia masih sering menggantikan para ibu panti dalam mendampingi anak-anak. Tidak kusangka, rupanya tiga hari yang begitu singkat dapat memberi kesan yang sangat mendalam untuk kami berdua. Aku yang waktu itu baru saja kehilangan sosok bapak lantas dipertemukan dengan sosok laki-laki pengganti bapak. Seorang pendamping hidup yang hebat seperti Mas Arya. Semangat Mas Arya itu mirip sekali dengan Bapak. Aku yang waktu itu baru pertama kali bertemu Mas Arya langsung bisa yakin bahwa aku telah menemukan laki-laki yang tepat. Walau di awal hubungan kami dulu sempat tidak berjalan lancar karena tersendat restu keluarga besarku. Namun, nyatanya takdir berhasil menyatukan kami hingga sekarang. CES! Bus yang berhenti di depanku membuyarkan Lamunanku. Aku bergegas bangkit meninggalkan halte dan melangkah masuk ke dalam bus. Setelah apa yang kualami hari ini, aku tidak bisa bersikap baik-baik saja. Kepalaku rasanya penuh. Aku juga tanpa sadar sering melamun. Kurasa Mas Arya menyadari sikapku yang aneh dan tidak biasa ini. Sehingga, di saat kami akan tidur, dia yang masih duduk bersandar di head board tiba-tiba membentangankan kedua lengannya. “Mau dipeluk?” tanyanya. Aku sontak membuang napas begitu mendapat tawaran tersebut. Tidak perlu berpikir, aku segera masuk ke dalam pelukan suamiku. “Kamu kayaknya capek banget hari ini,” kata Mas Arya. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. “Aku gak tahu hari ini kamu ke mana aja, bertemu siapa aja, dan mengalami apa aja, tapi seburuk apapun itu, kamu jangan khawatir! ada aku.” Luruh sudah air mataku. Mas Arya memang selalu menjadi tempat ternyaman untuk tempatku ‘pulang’. Aku yang awalnya mau merahasiakan kejadian hari ini, pada akhirnya gagal juga. Aku ceritakan semuanya pada Mas Arya, tentang teman-teman kerjanya dan atasannya. “Aku gak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi terlepas dari itu terima kasih sudah mau memperjuangkan hak Mas, ya!” ucap Mas Arya setelah aku menceritakan semuanya. Mas Arya lantas memberiku nasihat. Katanya, aku tidak boleh bertindak seperti hari ini lagi. “Mas gak mau kamu menghadapi orang-orang seperti mereka sendirian, Mas khawatir. Apalagi dengan kondisi Mas saat ini, Mas gak bisa banyak melindungi kamu. Jadi, sebisa mungkin jangan bertindak gegabah seperti hari ini!” “Iya, Mas, maaf!” ucapku penuh penyesalan. Setelah pembahasan mengenai apa yang kulakukan hari ini, akhirnya aku memberanikan diri mengajak Mas Arya untuk membahas tentang kondisi keuangan keluarga kami. “Mas!” “Hem?” “Uang kita yang sekarang cuma bisa untuk menghidupi kita dua sampai tiga bulan ke depan.” Mas Arya memberi respon dengan mengangguk-angguk. Aku dongakkan kepala agar bisa melihat wajah suamiku. “Mas, aku boleh kerja, gak?” Mas Arya menatapku, membuat kedua sorot mata kami saling bertemu. Namun, masih belum ada kata-kata yang diucapkan oleh Mas Arya, sepertinya dia masih enggan memberi jawaban. “Mas jangan tersinggung, ya! aku cuma mau Mas fokus sama penyembuhan,” terangku kemudian. “Iya, Mas gak tersinggung, hanya saja ... Mas khawatir kamu kelelahan, apalagi kalau kali ini kamu kerja, Mas gak bisa antar jemput kamu kayak dulu.” “Ya gak apa-apa, Mas jangan remehin aku, ya! aku sekarang ini sudah jadi emak-emak penguasa bumi, kalau Mas lupa.” Aku mencoba mencairkan suasana. Berhasil, kami berdua pun bercanda dan tertawa. Sampai pada akhirnya, Mas Arya memberiku anggukan. Dia mengizinkanku bekerja. “Kamu boleh bekerja, tapi kamu harus janji jaga diri, ya! nanti Mas juga akan cari pekerjaan yang bisa Mas kerjakan di rumah, sekalian bantu kamu urus rumah dan jaga Rico.” Aku mengangguk-angguk cepat—“Heem!” Setelah mendapat restu dari Mas Arya, aku pun mulai mencari kerja. Memasukkan lamaran ke sana ke mari, berharap CV-ku masih dilirik dan diminati. Tiga hari menunggu panggilan, akhirnya ada satu perusahaan yang menghubungiku melalui surel. Besok, mereka memintaku datang ke perusahaan mereka untuk wawancara. “Yes! akhirnya!” Keesokan harinya .... Walau bukan wawancara kerja pertamaku tapi rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melakukannya. Jadi, rasanya cukup gugup. Aku tarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk ke lobi perusahaan ritel besar yang memiliki fokus pada kebutuhan rumah tangga. Kuhampiri seorang satpam untuk bertanya di mana tempat wawancaranya. “Permisi, Pak, maaf mengganggu! saya ada wawancara kerja dan mau bertanya di mana—” “Mbak Rani?” Perkataanku terhenti dan aku langsung menoleh ke sumber suara yang menyebut namaku. Aku kaget—“Mas Rama?”Setelah mendapat pesan dari Mas Arya, kini pikiranku tidak bisa lagi fokus pada rapat. Ketika melihat foto perabotan-perabotan renovasi kamar Rico yang dikirim oleh Mas Arya, aku sadar akan sesuatu.Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal ke Mas Arya. Hanya bisa menghindarinya untuk sementara waktu dan menjadikan rapat sebagai alasan. Setelah rapat selesai, aku menyanding Rama, mengikuti langkahnya dan berjalan disampingnya. Aku tunjukkan foto dari Mas Arya kepada Rama. “Pak, Bapak yang kirim ini ke rumah saya?”Rama melihat foto itu. “Oh, sudah datang?”Aku sontak menatap Rama. Aku tidak mengerti. “Pak ... untuk apa?”“Bukannya kamu bilang Rico menyukai itu?”“I-iya, tapi ... tapi kenapa Bapak membelikannya?” “Tentu saja sebagai hadiah dari saya untuk Rico.” Rama lantas menghentikan langkahnya dan berbalik menghhadapku. “Saya harap kamu ataupun Mas Arya gak menolaknya. Saya tulus mau kasih hadiah ke Rico. Saya mau Rico senang.”Kami saling menatap mata satu sama lain cukup lama dan
Aku berbisik di dekat telinga Mas Arya. “Bersiaplah Mas ....” Lalu, kulumat mesra cupingnya.Ah, aku bisa mendengar helaan napas Mas Arya yang begitu sexy. Aku rindu, rasanya seperti sudah cukup lama tidak mendengarnya.Aku lepas lumatanku dan menjauhkan kepalaku darinya dengan posisi masih menduduki tubuh Mas Arya yang terbaring. Kupandangi wajahnya yang ada di bawahku. “Ternyata aku kangen banget sama kamu, Mas.”“Mas juga kangen sama kamu, Ran.”Kami sama-sama tersenyum. Aku tahu kami saling menginginkan satu sama lain. Sehingga, tanpa menunda lagi akhirnya kukecup bibir Mas Arya.Tidak cukup sekali, aku mengecupnya berkali-kali hingga lambat laun kecupan itu menjadi jauh lebih panas dan berubah jadi lumatan yang penuh gairah. Tanganku pun dengan reflek menarik tangan Mas Arya, menggenggam dan menjatuhkannya di samping kanan-kiri kepalanya. Malam ini ... aku yang memegang kendali.Puas dengan saling melumat di bibir, kini aku mulai menginginkan lebih. Aku mulai bergerak di atas Mas
Anakku, Rico, berlari menghampiriku dan memelukku. Dia lantas bertanya, “Ibun, Ibun kenapa makan di sini?”Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Kulihat Mas Arya hanya diam sambil menatapku.“Ibun ....” Baru aku mau mencoba memberi alasan, Mas Arya sudah lebih dulu menyela.“Rico, katanya mau es krim, ayo kita beli! Biar ibun di sini dulu selesaikan makannya.”“Iya, Yah,” ucap Rico pada Mas Arya. Setelah itu, dia kembali menatapku dan bicara. “Ibun, Rico beli es krim sama ayah dulu, ya. Ayo, Yah!” Mas Arya mengangguk sambil tersenyum. “Ayo.” Sementara Rico sudah berlari memasuki toko, Mas Arya berkata padaku, “Kamu habiskan dulu saja makananmu, gak usah buru-buru, aku tunggu. Nanti kita pulang bareng.”“Iya, Mas,” sahutku.Mas Arya berlalu meninggalkanku, menyusul Rico masuk ke dalam toko. “Sial!” umpatku dalam batin, “kenapa harus ketahuan?”Sepanjang perjalanan pulang sampai kami tiba di rumah, Mas Arya terlihat tidak banyak bicara. Dia bahkan hanya diam ketika kami hanya be
Sambil menikmati makan siang, Rama bercerita cukup banyak mengenai keluarganya. Hal itu membuatku tahu seperti apa posisi Rama di keluarga Saddam Rusli yang sebenarnya serta seperti apa hubungannya dengan Ashle. Mengenai status Rama di keluarga Rusli, semuanya persis seperti yang sebelumnya pernah diceritakan Amel padaku. Dan mengenai Ashle, dia adalah adik kandung Rama. Setelah meninggalkan keluarga Rusli, beberapa tahun kemudian mama Rama menikah dengan orang asing dan meninggalkan Indonesia. Dari pernikahan itulah Rama lantas memiliki Ashle sebagai adik perempuannya.Saat bercerai, kedua orang tua Rama sepakat bahwa Rama akan ikut mamanya. Meskipun papa Rama tidak setuju, tapi pada akhirnya dia membiarkan mantan istri keduanya membawa putra mereka. Barulah setelah mama Rama meninggal, Rama yang saat itu berusia belasan kembali diambil sang Papa dan dibawa pulang ke Indonesia. Keluarga besar Rusli tentu saja tidak sepenuhnya menerima kedatangan Rama. Walaupun pernikahan kedua ora
Mobil Rama sudah kembali terparkir di depan salah satu toko penjualan milik Glow-H. Ini adalah toko kedua yang kami datangi hari ini. “Ayo!” ajak Rama untuk turun dari mobil.“Rama, ini kita masih harus pura-pura jadi suami istri seperti tadi?” tanyaku. Rama pun mengangguk. “Tidak bisa kah kita pura-pura jadi saudara saja? atau, kalau tidak, kita sebagai diri sendiri saja, sebagai teman.”“Saudara dan teman macam apa yang ke store peralatan rumah tangga seperti ini?” balas Rama bertanya, “orang justru bisa curiga kalau kita sedang menyamar, atau mungkin mereka akan berpikir kita ini dua orang yang sedang berselingkuh dan tengah merencanakan tinggal bersama.”Perkataan Rama membuatku bergidik. Kalimat itu terdengar sangat menyeramkan. Namun, apa yang dikatakan Rama memang masuk akal. Jika aku jadi pelayan tokonya, mungkin aku juga akan berpikir bahwa kami adalah pasangan. Jika bukan pasangan sah, maka artinya pasangan selingkuh.“Sudah, ayo turun!” ajak Rama lagi.Kali ini aku tidak b
“Ibu pulang!”“Ibu!”Aku tiba di rumah dan langsung disambut oleh pelukan putra tersayangku. Sepertinya, situasi saat ini yang mengharuskanku meninggalkan rumah hampir setengah hari, sama-sama terasa asing untuk kami berdua yang biasa bersama hampir sehari penuh.Aku yang biasanya menemani Rico bermain, yang biasanya menemani dia tidur siang, dan yang biasa mengejarnya agar segera mandi sore tiba-tiba saja tidak melakukannya. Rasanya aneh, seperti aku telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah Rico juga merasakan perasaan aneh yang sama seperti yang kurasakan?“Anak ibu sudah makan malam belum?”—aku mengangkat kantung plastik yang kubawa—“ini, ibu bawa makanan Jepang buat Rico sama ayah, buat nenek juga.”“Yeay! Makanan Jepang!” Rico berseru senang, tapi tidak lama kemudian dia tampak berpikir. “Kayak gimana itu, Bu, rasanya makanan Jepang?” tanyanya kemudian.Aku dan Mas Arya tertawa karena gemas. Hanya saja, di balik tawa itu aku merasa sedikit sedih. Rico belum pernah mencoba berbagai m