Namaku Jingga. Kependekan dari Jingga Dewi Lestari. Orang lebih suka memanggilku dengan nama Jingga. Usiaku 23 tahun. Hanya lulusan SMA. Bekerja di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang produsen berbagai jenis makanan dan minuman. Sebagai seorang karyawan biasa.
Mungkin karena ijazahku yang hanya SMA, yang membuatku tidak bisa mengejar jabatan ke jenjang yang lebih tinggi. Meski hanya karyawan biasa. Tapi aku bersyukur bisa bekerja di sana. Sebab gaji yang diberikan kepada setiap karyawan jauh diatas rata-rata gaji UMR. Kata orang wajahku sangat cantik. Terbukti saat sekolah dulu, banyak yang menyukaiku. Namun hanya satu yang kucintai sejak dulu. Sejak aku kelas tiga SMA sampai sekarang. Dia adalah Niko. Teman setingkatku tapi beda sekolah. Dengan Mas Niko aku sudah menjalani hubungan pacaran selama lima tahun. Sebulan lagi kami berencana akan menikah. * Malam ini sepulang kerja, aku berjalan di koridor sebuah apartemen. Hari ini aku ingin menemui Mas Niko. Laki-laki yang akan mempersuntingku sebulan lagi. Sudah seminggu ini kami tidak bertemu. Karena kesibukan Mas Niko yang sedang dipromosikan jabatan di kantor. Membuat aku tersiksa, dibelenggu rindu yang menggebu pada laki-laki yang sudah mengisi hatiku sejak lima tahun lalu. Padahal baru seminggu yang lalu kami bertemu. Tapi aku merasa sudah berabad-abad lamanya. “Ah. Mas Niko. Aku kangen sekali padamu. Padahal seminggu kita tidak bertemu. Tapi rasanya sudah terlalu lama,” gumamku, tersenyum bahagia saat membayangkan pertemuan kami. Tingkahku sudah benar-benar seperti mengarah ke penyakit bucin akut. Tapi biarlah. Sama calon suami sendiri ini. Aku pergi ke apartemennya tanpa memberitahunya dulu. Ingin memberi kejutan kepada Mas Niko. Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Menurut perkiraan, Mas Niko belum pulang. Sebab tadi laki-laki itu mengirim chat WA ke nomorku. Katanya dia mau lembur. Dan akan pulang larut malam. Walau tahu dia lembur, tapi aku tetap pergi ke apartemennya. Ingin memasakkan makanan kesukaannya. Agar nanti saat dia pulang, dia tidak kelaparan. "Ah Mas Niko. Aku semakin tak sabar menjadi istrimu. Agar aku bisa memasakkan makanan untukmu setiap hari," gumamku. Kembali tersenyum bahagia. Sudah tidak sabar lagi ingin menjadi istrinya mas Niko. Hatiku semakin berbunga-bunga saat langkah kaki ini sebentar lagi akan sampai di apartemen kecintaanku itu. Mungkin hanya tiga pintu unit lagi yang harus aku lewati. Hingga akhirnya aku tiba di depan pintu apartemen milik calon suamiku itu. Aku mengambil kunci apartemen yang pernah Mas Niko berikan padaku sebagai akses agar bisa bebas keluar masuk apartemen pujaan hatiku. Ya Tuhan. Sebucin itu aku sama Mas Niko. Padahal di awal-awal kami hubungan, aku menerima Mas Niko hanya karena tidak ingin dibilang gadis tidak laku. Sebab sudah kelas tiga SMA statusku masih jomblo akut. Padahal banyak sekali yang menyukaiku. Tapi setelah berjalan satu tahun, malah aku yang bucin padanya sampai sekarang. Eh enggak Ding! Kami sama-sama bucin. Hihi... Sambil tertawa pelan, kuraih gagang pintu. Ingin memasukkan kunci cadangan yang berbetuk kartu yang diberikan Mas Niko kepadaku. Untuk aksesku masuk. Saat ku masukkan kunci, tanganku berpegangan pada gagang pintu. 'Eh. Kenapa pintunya bisa kebuka? Perasaan aku belum memasukkan kunci itu ke tempatnya. Apakah Mas Niko sudah datang? Apa dia tidak jadi lembur?' batinku, heran. 'Tapi kalau betulan tidak jadi lembur, syukurlah. Itu artinya aku bisa lebih cepat bertemu kekasihku. Calon imamku. Tanpa harus menunggu dia pulang dulu,' batinku lagi, tersenyum semakin merekah. Perlahan kubuka pintu apartemen dengan hati-hati. Takut kedatanganku terdengar oleh Mas Niko. Hari ini aku ingin memberi kejutan kepadanya dengan kedatanganku. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri. Membayangkan sambutan hangat dengan wajah bahagia penuh kerinduan yang akan Mas Niko perlihatkan nanti seperti biasanya saat kami sudah benar-benar bertemu. Ah. Rasanya aku sudah tak sabar lagi ingin melihat wajah tampan yang berhasil membuatku selalu merindu dan selalu tersenyum menjalani hari-hariku. Langkahku langsung menuju kamar calon suamiku itu. Laki-laki tampan yang sudah memacariku selama lima tahun terakhir ini. Dia cinta pertamaku yang tak kurencanakan. Aku tersenyum kembali saat melihat pintu kamar Mas Niko yang sedikit terbuka. Aku pikir mungkin saat ini Mas Niko terlalu capek. Sehingga datang-datang langsung masuk kamar tanpa menutup pintunya dengan benar. Hm. Atau mungkin Mas Noko sudah memiliki firasat kalau aku akan datang berkunjung tanpa bilang dulu. Sehingga dia membiarkan saja pintunya tidak terlalu tertutup dengan rapat. Namun saat tubuh ini sudah benar-benar berdiri di depan pintu kamar. Serta tanganku sudah meraih gagang pintu. Tiba-tiba langkahku terhenti. Kakiku terasa terpaku. Tidak bisa digerakkan saat ku dengar suara aneh dari dalam kamar. Suara yang membuat bulu kudukku merinding. Yang membuat bayangku melanglang buana kemana-mana. Suara itu sangat menyeramkan. Lebih menyeramkan dari suara hantu yang sering kudengar di film horor. "Ah Mas. Kamu memang hebat di atas ranjang, Mas. Aku suka." "Kamu juga, Sayang. Kamu mampu mengimbangi ku. Hingga membuatku menggila karena godaanmu." Dua kalimat intim dari dua suara yang berbeda jenis kelamin. Yang pastinya biasa dilakukan di atas ranjang. Dan dilakukan oleh sepasang suami istri. Ya. Di sana. Di dalam kamar Mas Niko. Aku mendengar suara desahan orang bercinta. Otakku semakin berputar kemana-mana. Membayangkan kejadian apa yang sedang berlangsung di dalam. Pikiran negatif mulai datang menghampiriku. Namun segera kutepis bayangan itu. Aku tidak boleh berburuk sangka. Selama ini Mas Niko sangat baik, setia dan sabar. Dia tidak pernah meminta lebih dariku. Karena sejak awal hubungan kita sudah berkomitmen kalau kita tidak akan melakukannya sebelum pernikahan. Jadi tidak mungkin dia berbuat macam-macam di belakangku. "Mas Niko. Aku yakin dia sedang menonton film dewasa. Mungkin dia sudah tidak sabar ingin segera melakukannya denganku," gumamku, tersenyum. Memikirkan hal positif tentang Mas Niko. Aku segera membuka pintu. Ingin mengejutkan Mas Niko. Aku ingin melihat dia malu-malu kucing karena ketahuan sedang menonton film tak biasa. Ceklek. Kubuka pintu lebar-lebar sambil berteriak ingin mengejutkannya, "Dor! Kejut....A_apa yang kamu lakukan Mas?"Beberapa jam setelah tindakan medis.Jingga masih belum sadar. Di sampingnya ada Putra yang sedang menunggunya dengan kecemasan masih menghantuinya.Meski dokter sudah mengatakan kalau Jingga dan calon anaknya selamat, tetap saja melihat istrinya belum sadar juga, Putra merasa khawatir. Apalagi melihat wajah Jingga yang pucat, semakin membuatnya khawatir. Sementara Jingga. Dia masih berada di dalam alam tak sadar saat detak mesin monitor terdengar samar di telinganya. Ada bau antiseptik yang menusuk hidung, membuat kesadarannya perlahan kembali. Cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya saat ia membuka kelopak matanya yang berat.Sekujur tubuhnya lemas, seolah baru kembali dari tempat gelap yang nyaris menelannya bulat-bulat."Aku dimana?" Bisik Jingga, serak. Masih belum sadar sepenuhnya dan belum menyadari apa yang terjadi. Mendengar bisikan Jingga, Putra yang duduk sambil melamun sambil memegang tangan Jingga, tersadar dari lamunannya. Segera menatap wajaah
Malam ini dengan tergesa-gesa Putra menaiki motornya yang sejak siang dia parkirkan di basemen apartemen Keysha. Karena dia merasa terlambat pulang. Dan takut Jingga marah. Sebenarnya Putra sudah berniat pulang lebih cepat hari ini. Pikirannya terus dipenuhi sosok Jingga yang sedang hamil muda. Kehamilan Jingga belum genap tiga bulan, dan ia tahu betul betapa sensitifnya masa-masa awal ini. Tapi hari ini… Azriel berulang tahun yang keempat. Dan anak kecil itu merengek ingin ditemani sampai malam. "Daddy. Ini kan ulang tahun Azil. Masa Daddy mau cepat pergi ninggalin Azil?" Protes Azriel saat melihat Putra bersiap-siap ingin pulang. "Tapi Daddy ada kerjaan, Sayang. Daddy harus pergi." Putra berusaha membujuk Azriel. "Tidak mau! Pokoknya Daddy harus do sini sampai Azil bobo." Azriel keras kepala."Jangan begitu, Azriel. Daddy banyak sekali kerjaan di luaran sana. Azriel ditemani mommy saja ya." Keysha berusaha ikut membujuk. Putra memang selalu merayakan ulang tahun Azriel setiap t
ApartemenJam 17.30 WIBJingga baru saja tiba di depan lobi apartemen. Dengan langkah gontai, dia melangkah masuk ke dalam. Matanya sembab, merah, jelas menandakan bahwa ia habis menangis sepanjang perjalanan. Kepalanya tertunduk, seperti tak ingin bertemu tatapan siapa pun.Tanpa berhenti, Jingga langsung menuju pintu lift. Ia menekan tombol menuju lantai lima, tempat unit apartemennya bersama Putra berada. Pintu lift tertutup. Jingga berdiri diam, menatap kosong ke arah pintu. Pikirannya berputar kacau, tak tahu harus memercayai apa dan siapa.Ting!Suara bel lift berbunyi. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan ruang lift yang kosong.Dengan langkah berat, Jingga masuk ke dalam. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding lift, memejamkan mata sejenak, mencoba menahan tangisnya. Namun hatinya terlalu sesak. Air matanya kembali jatuh, satu per satu, tanpa bisa dicegah.Saat pintu lift hampir tertutup kembali, sebuah tangan cepat menahan. Seorang pria masuk. Ia mengenakan topi hitam dan ma
Azriel yang sedang bermain mobil-mobilan, mengangkat wajahnya. Tanpa sengaja melihat Putra. Dia langsung berdiri dan tersenyum. Sambil berlari, dia berseru,"Daddyyyy!" Seketika Jingga menoleh ke arah yang dituju Azriel. Dan langsung terkejut,"Dia????" Jingga terdiam sejenak. Merasa familiar dengan sosok jangkung yang di hampiri Azriel. "Dia?" Jingga kembali menyebut kata dia sambil melihat ke arah Keysha. "Dia Daddy nya Azriel?" Namun Keysha menggeleng. "Bukan. Dia bukan Daddy nya Azriel. Dia Mas Hendrik. Pengawal papa yang biasa diam-diam mengikuti kami. "Tapi Azriel memanggilnya Daddy?" "Entahlah. Kenapa Azriel memanggilnya Daddy," jawab Keysha, mengangkat bahunya. Jingga pun terdiam sambil menatap pria yang dipanggil Hendrik itu. Sementara Azriel. Dia berlari ke arah Putra tadi berdiri. Yang kini sudah digantikan oleh Hendrik. "Azriel! Sini sama Om!" Ucap Hendrik sambil merentangkan tangannya ke arah Azriel. "Tidak mau. Azil mau sama Daddy," tolak Azriel. Tidak mau mene
"Kamu ada hubungan khusus dengan Pak Adrian?" Tanya Jingga, hat-hati saat dirinya sedang mengerjakan tugas dibantu Yani. "Iya. Kenapa? Kamu pasti iri ya? Hh. Makanya jangan sok suci dan sok jual mahal. Pakai pilih-pilih segala. Akhirnya dapat tukang ojek," jawab Yani, selalu saja bersikap judes dan menghina Jingga, setiap ada kesempatan. Jingga hanya tersenyum. Telinganya sudah kebal mendengar julidan mulut Yani. "Enggak juga. Buat apa itu. Walaupun tukang ojek asal kamu tahu mas Putra itu selalu membuat aku bahagia. Dia memperlakukan aku baik sekali." Jingga memuji Putra, suaminya."Ya jelas baik lah. Dia kan cuma tukang ojek. Kamu sekretaris perusahaan besar. Kalau enggak baik, bisa didepak dia. Di luaran sana, mana ada sekretaris mau menikah dengan tukang ojek." Yani masih dengan mulut pedasnya. Tidak pernah bosan menghina Jingga dan Putra. Jingga tetap tersenyum meskipun dalam hati, ia sedikit perih mendengar perkataan Yani yang terus saja meremehkan Putra. Tapi satu hal yang
Hari terus berlalu. Tanpa terasa sudah dua bulan Adrian menjabat sebagai CEO baru di perusahaan Sagara Grup.Walaupun belum disahkan di depan karyawan dan belum dikenalkan kepada klien perusahaan tersebut oleh Hendrawan, namun kedudukan Adrian sudah seperti CEO yang sudah dilantik. Segala keputusan Adrian, mutlak wajib di laksanakan. Sementara Jingga. Masih tetap menjadi sekretaris Adrian. Meski dalam keadaan hamil muda, dia masih tetap bekerja seperti biasa. Hanya saja entah kenapa Jingga merasa sejak mengetahui kalau dirinya hamil, Adrian seperti tidak memberikan pekerjaan yang terlalu berat pada Jingga. Jingga merasa Adrian mengurangi beban pekerjaannya. "Pak. Walaupun saya hamil, tapi insyaallah saya sehat. Jadi bapak jangan sungkan saat memberikan pekerjaan kepada saya." Protes Jingga saat Adrian hanya memberikan pekerjaan ringan kepadanya. "Tidak bisa, Jingga. Saya paling tidak bisa memberikan pekerjaan yang berat-berat kepada orang hamil. Takut terjadi apa-apa sama ibu dan c