"Ya ampun Azriel! Mommy kan sudah bilang, jangan lari-larian di sini. Jadi jatuh kan! Kalau kamu luka, bagaimana? Daddy kamu bisa marah, Azriel!" Terdengar seseorang bersuara saat seorang anak kecil menubruk dan jatuh ke lantai.Jingga langsung menoleh ke arah suara. Terlihat seorang wanita cantik berusia sekitar awal 23 -an, seumuran dirnya, datang menghampiri sang anak. Dari wajahnya terlihat khawatir bercampur panik. Ia langsung memeluk anak kecil yang ternyata adalah Azriel, ana Keysa yang baru beberapa hari kebaikan ke Indonesia. . "Mommy, maaf. Azil enggak akan nakal lagi," ucap anak kecil itu, pelan. Seperti merasa bersalah terhadap ibunya."Iya. Mommy maafkan. Tapi lain kali nurut sama mommy. Lihat Tante yang kamu tubruk. Untung tidak apa-apa. Kamu juga harus minta maaf padanya," perintah wanita itu seraya melepas pelukannya di tubuh Azriel. Azriel mengangguk. Segera mendekati Jingga yang sudah berdiri kembali. Saat sudah dekat dengan Jingga, Azriel meraih tangan Jingga d
Yani masuk ruangan. Di sana ada Angela yang menunggunya. "Gimana? Kamu sudah melihat Adrian?" Tanya Angela. Yani menggeleng seraya menghembus nafas kasar. Wajahnya terlihat kecewa. "Kenapa bisa sampai tak bertemu? Apakah Pak Adrian nya sedang keluar?" Dahi Angela mengernyit. Lagi Yani menggeleng. Menghampiri Angela. Meletakkan map berisi dokumen yang sudah ditandatangani di meja Angela."Pak Adrian ada di ruangannya. Tapi saya tidak bisa masuk ke ruangannya, Bu." Yani baru menjelaskan . "Hah! Kenapa tidak bisa masuk?" "Perempuan yatim piatu itu tidak membiarkan saya masuk, Bu." Angela mengerutkan dahinya. "Perempuan yatim piatu?""Iya. Si Jingga. Dia tidak memperbolehkan saya masuk ruangan Pak Adrian. Katanya takut mengganggu Pak Adrian." Yani menjelaskan kejadian tadi saat pergi ke ruangan Adrian yang dihadang oleh Jingga."Memangnya siapa dia sampai melarang saya masuk ruangan Pak Adrian?" Gerutu Yani, kesal. Rasa penasaran nya terhadap sosok Adrian yang membuatnya kesal saat
"Sayang. Kamu yakin akan pergi ke kantor?" Tanya Putra saat Jingga sudah rapih memakai seragam sekretaris nya. "Yakin dong Mas." Jingga menjawab penuh semangat. "Bukannya tadi tubuh kamu lemas?""Itu kan tadi. Sebelum aku dapat kabar menyenangkan ini. Udah ah! Aku harus cepat-cepat ke kantor," ujar Jingga sembari mengambil tas kerjanya. "Nanti dulu. Kamu sarapan dulu." Putra menghentikan istrinya yang hendak langsung ke luar rumah. "Sudah siang Mas. Nanti terlambat," tolak Jingga. Putra melihat jam dipergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi. "Baru jam 8 Sayang. Belum terlambat. Pokoknya kamu harus sarapan dulu. Tadi Mas sudah buatkan nasi goreng buat kamu." Mata jingga melotot. "Serius? Mas sudah bikinkan nasi goreng buat aku?" Putra mengangguk. "Memangnya bisa?" Jingga menatap suaminya, tak percaya. "Tentu bisa dong. Mas sering memperhatikan kamu saat bikin nasi goreng. Terus mas juga pernah coba-coba buat saat kamu kerja." "Wah. Mas hebat. Ya udah ayo kit
Jingga melotot tak percaya. “A_apartemen? Kita pindah ke apartemen?"Jingga lagsung mematung, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut suaminya. Bibirnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar.Putra tersenyum melihat reaksi istrinya. “Iya, Sayang. Apartemen beneran. Bukan kontrakan numpang atau kosan sempit kaya sekarang."Namun tak lama Jingga mematung. Karena akhirnya Jingga terkekeh sambil menepuk lengan suaminya. "Hehe ... Jangan bercanda Mas. Kamu mau hibur aku ya dengan bilang mau pindah ke apartemen?""Menurut kamu Mas seperti bercanda?" Bukannya menjawab, Putra malah balik bertanya. Jingga tidak langsung merespon ucapan Putra. Yang dilakukannya dia menatap mata suaminya dalam-dalam. Ingin memastikan apakah suaminya itu sedang bercanda atau serius. Namun saat dilihat tatapan juga wajah serius dari suaminya, kening Jingga langsung berkerut. "Jadi ini beneran Mas? Kita mau pindah ke apartemen?" "Tentu saja, Sayang. Aku beneran. Bukan sedang bercanda."
Suasana kantor mulai lengang. Yani tengah membereskan meja kerjanya, menyusun dokumen yang akan dibawa pulang. Di sisi lain, Angela juga sibuk merapikan barang-barangnya. Mereka bersiap untuk pulang setelah hari kerja yang cukup melelahkan.Angela melirik Yani. "Yani. Kamu sudah tahu tentang calon CEO baru yang akan menggantikan Pak Hendrawan?”Yani menghentikan kegiatannya menyusun dokumen. Menoleh fokus kepada atasannya itu. “Tahu Bu. Tapi saya belum bertemu. Hanya mendengar desas desus saja." "Aku tadi siang bertemu dia." "Hah! Benarkah Bu?" Tanya Yani, kaget. "Ibu tadi bertemu dimana? Bagaimana orangnya?" Yani terlihat antusias. "Hm...." Angela meletakkan jari telunjuk dan ibu jarinya di bawah dagu dengan membentuk huruf V. Matanya menerawang. Seperti sedang membayangkan sesuatu. “Namanya Adrian. Tadi saat makan siang di restoran langgananku, aku melihat dia bertemu Jingga.” jawab Angela dengan senyum penuh arti. “Orangnya masih muda. Namanya juga anak Pak Hendrawan. Pasti mas
"Saya hanya ingin mengatakan kalau Adrian..... Masih jomblo. Padahal usianya sudah mau 28 tahun," jawab Pak Hendrawan, mengulum senyum. "Barangkali kamu mau mempertimbangkannya. Saya sangat senang kalau wanita seperti kamu yang akan menjadi pendamping anak saya.""Hah!" Jingga kaget. Dia langsung melongo mendengar ucapan Pak Hendrawan.Apa ini? Apa maksud Pak Hendrawan berkata seperti itu? Apa Pak Hendrawan sedang mencoba melamarnya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di hatinya. "Eh-hm!" Pak Hendrawan berdehem. Membuyarkan lamunan Jingga. "Bagaimana jawabanmu, Jingga?" Tanyanya, mengulang. "Hah! A_apanya yang bagaimana Pak?" Tanya Jingga, kaget. Otaknya masih belum terkoneksi dengan maksud Pak Hendrawan. "Iya. Bagaimana jawabanmu tentang permintaan saya? Apakah kamu akan mempertimbangkannya?" Dahi Jingga mengernyit. Dengan tatapan bingung, dia bertanya, "mempertimbangkan apa, Pak? Tentang kesediaan saya menjadi istri Pak Adrian, anak Bapak?" Pak Hendrawan mengangguk. "Secara tidak l