Share

Ikuti Kata Hati

[Sesuai dengan permintaanmu kemarin, aku sudah booking private room untuk nanti sore.]

Sydney yang sedang memakan salad sebagai menu sarapannya mengangguk ke layar ponsel.

"Jam berapa tepatnya? Apa kamu juga sudah menghubunginya?"

[Jam lima, aku juga sudah menghubungi-]

Tut!

Wanita itu terpaksa mengakhiri telepon bersama Barel ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Sudah pasti itu Sky yang juga hendak sarapan.

Tak ingin terjebak di ruangan yang sama dengan pria itu, Sydney memilih menyudahi sarapan paginya. Dia beranjak, namun ketika berbalik Sky berdiri di belakang tubuhnya.

"Kamu sudah tidak pernah lagi menyiapkan pakaian kerja untukku, dan aku harap kamu tidak melupakan kebiasaanmu yang setiap ada waktu selalu menawarkan diri untuk memasangkan dasi."

Pria itu memberikan dasi di tangannya yang beruntungnya diterima oleh Sydney meski dengan raut wajah datar tanpa ekspresi. Saat wanita itu memasangkan dasi, Sky mengambil kesempatan untuk menatap wajah cantiknya.

"Sampai kapan kita akan perang dingin seperti ini?" tanyanya.

Sky berharap Sydney mau menatapnya, namun sepertinya dasi di lehernya jauh lebih menarik dari pada orang yang mengenakannya. Entah kenapa, hal itu menimbulkan rasa iri di hatinya.

"Tidak perlu terus-menerus bertanya sampai kapan, karena selama kamu belum bersedia jujur padaku, maka bendera perang yang berkibar diantara kita tidak akan pernah aku turunkan!"

"Kita lihat saja, sejauh mana kamu mampu bertahan dengan semua ini!" Wanita itu tersenyum cantik, menepuk bahu Sky ketika selesai dengan tugasnya.

Sudah dua hari berlalu sejak Sydney meminta kejujuran dari sosok pria yang menjadi suaminya, namun Sky justru terdiam seribu bahasa. Hal itu jelas membuat dia mulai jengah dan memilih untuk hidup masing-masing meski keduanya tinggal satu atap.

"Nggun, bisa buatkan aku kopi!" pinta Sky.

Sydney yang sudah selesai menyimpulkan dasi, berlalu begitu saja mengabaikan permintaan Sky. Wanita itu hendak menaiki tangga, namun terdengar suara deru mesin mobil masuk ke pelataran rumahnya. Dia melangkah ke pintu, sesaat kemudian menyunggingkan senyuman manis kala mendapati siapa yang datang.

"Aunty!"

"Hai, Cantikku!"

Sydney berjongkok untuk mendekap gadis kecil yang menjadi keponakannya- Queen, putri semata wayang kakak iparnya, Syila.

"Tumben sekali kamu ada di rumah, Nggun."

Wanita itu beranjak, mendekap singkat Syila. "Iya, Kak. Jadwal bulan ini tidak terlalu padat."

Mereka masuk ke dalam rumah yang mendadak menjadi hangat, karena kehadiran Queen. Bahkan Sky pun rela menunda keberangkatannya ke kantor hanya demi melepas rindu pada keponakannya yang kini tinggal di Bandung.

"Rumah tangga itu ibaratkan kapal di lautan, Nggun."

Syila menatap adiknya yang sedang membawa putrinya bermain bersama seekor anjing. Bukan dirinya tidak mengetahui prahara rumah tangga adiknya, namun dia ingin melihat sejauh mana Sky sebagai nahkoda mampu membawa kapalnya melewati badai.

"Akan selalu ada badai menerjang. Entah itu datang dari dalam atau dari luar, tapi yang pasti kalian harus kerja sama untuk melewati badai itu."

Tidak ada yang salah dengan perkataan Syila. Sydney pun membenarkan hal itu, hanya saja masalah rumah tangganya tidaklah sesederhana seperti orang pikirkan.

"Satu setengah tahun, Kak. Selama itu aku selalu menjadi awak kapal yang selalu patuh dan ikut arahan dari nahkodanya. Tapi, ketika badai besar menerjang. Setengah mati aku mempertahankan kapal, sementara nahkodanya sendiri justru membiarkan kapal kami karam."

Wanita itu menelengkan kepalanya disertai senyuman manis diantara matanya yang berkaca-kaca.

"Apa yang harus aku lakukan, Kak? Apa aku harus ikut tenggelam atau aku selamatkan diriku sendiri?"

Syila tersenyum menenangkan dengan menggenggam tangan adik iparnya. Mereka sama-sama wanita, dan dia bisa merasakan perasaan Sydney saat ini.

"Bagaimana bila nahkodanya tidak bisa diajak bekerja sama dan justru memilih untuk melompat ke kapal lain?" tanya Sydney lagi seolah menuntut jawaban.

Dia butuh arahan dan pandangan akan masalah yang tengah dihadapinya saat ini. Jujur saja, dia sendiri pun masih bingung dengan langkah yang harus diambilnya dalam menyelesaikan prahara rumah tangganya.

Pengkhianatan adalah kesalahan yang menurut Sydney tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua.

"Ikuti kata hati kamu, Nggun. Dari banyaknya hal yang bisa membuat yakin dan percaya dengan semua yang ada di dunia ini, hanya hatimu yang tidak pernah mengkhianati dirimu sendiri. Jika hatimu berkatan 'lepas', maka lepaskanlah apapun yang tidak dikehendaki olehnya! Begitu juga sebaliknya, tapi kamu harus benar-benar bertanya hatimu, karena terkadang ego selalu mengecoh apa kata hati."

***

Sore hati, Sydney sudah siap untuk pergi. Dia mengenakan jumpsuit tangan pendek yang sangat pas di tubuhnya dengan rambut diikat setengah secara asal. Seperti obrolannya bersama Barel tadi pagi, Sydney akan bertemu dengan seseorang.

"Mau pergi ke mana?" tanya Sky.

Tatapannya memindai dari kaki sampai kepala sang istri dengan mata sedikit memicing curiga. Seingatnya hari ini Barel sedang mengambil cuti, tidak mungkin hari ini Sydney pergi kerja.

Apa mungkin wanita itu akan pergi bersama ...?

"Aku punya janji dengan seseorang. Aku pergi dulu!"

Setelah berpamitan, Sydney dengan anggun kembali menuruni tangga melewati suaminya yang jelas terkesiap mendengar jawabannya.

"Aku antar-"

"Tidak perlu, aku bisa bawa mobil sendiri!" sela Sydney tanpa menoleh.

Sky tidak bisa membiarkan berbagai prasangka buruk yang bercokol di dalam kepalanya terjadi, maka dari itu kakinya terayun menyusul Sydney yang sudah masuk ke garasi.

"Kamu berniat balas dendam padaku?" Pria itu mendorong kembali pintu mobil yang baru saja dibuka oleh Sydney.

Tuduhan yang dialamatkan padanya hanya ditanggapi dengan dengusan geli. Kekanakan sekali, bukan? Rasanya Sydney semakin tidak mengenal sosok suaminya.

"Balas dendam? Balas dendam untuk apa? Memang kamu membuat kesalahan fatal- oh, atau kamu sudah mengakui kalau kamu itu benar berselingkuh dengan-"

"Jangan pergi!" pinta Sky dengan cepat.

Sesaat setelahnya, pria itu merutuki mulutnya sendiri yang sudah melontarkan kata yang tak pernah terucap dari bibirnya. Membebaskan Sydney pergi ke mana dan bersama siapa, sudah menjadi kebiasannya- lebih tepatnya, dia sama sekali tidak peduli. 

Apakah tidak terasa aneh jika saat ini dirinya justru melarang dan meminta Sydney untuk tidak pergi?

"Aku tidak membatasi ruang gerakmu selama ini, Sky. Kamu bebas pergi ke mana pun sesuka hatimu tanpa larangan sedikit pun dariku, jadi kamu pun tidak berhak melarangku!"

Tidak ada lagi alasan untuk Sky menahan kepergian Sydney. Dia hanya mampu menatap mobil yang melaju meninggalkan dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.

Air mata mengiringi perjalanan Sydney, entah apa sebabnya. Ada rasa bersalah yang menghantam hatinya kala memperlakukan Sky dengan begitu kasar, namun dirinya sudah bertekad untuk tidak lagi luluh.

Cinta dan ego dalam dirinya berperang. Di satu sisi dia masih sangat mencintai, namun di sisi lain dia mulai lelah dengan rumah tangganya.

"Aku lelah bersikap seolah baik-baik aja, padahal rumah tanggaku yang sebenarnya sudah di ujung tanduk," gumamnya.

Tak terasa mobil telah membawanya masuk ke area parkiran restoran. Sydney menyeka air matanya, kemudian membenarkan riasan wajahnya agar tidak terlihat seperti habis menangis.

Dia masuk ke dalam restoran, meminta pelayan untuk mengantarkannya ke sebuah private room yang sebelumnya telah direservasi.

Ketika pelayan membukakan pintu ....

"Hai!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status