Share

Suamiku Bukan Manusia
Suamiku Bukan Manusia
Penulis: Widanish

Lalu Apa?

“Kalau bukan manusia, lalu apa?”

“Bisa jadi itu arwahnya. Coba perhatikan mana mungkin suami kamu bersikap baik begitu, berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat!”

Tiba-tiba saja ibu mertua membangunkanku di pagi buta dan mengatakan bahwa suamiku bukan manusia. Aku yang masih mengantuk tentu saja kaget dengan pernyataannya.

“Kalau tidak percaya, ayo ikut ibu!” Ibu Mertua lanjut mengajakku ke dapur, dengan semangat bercampur sedikit rasa takut tangannya yang gemetaran menarik tanganku agar mengikuti langkahnya.

Mas Burhan—suamiku—sedang sibuk mencetak pentol untuk jualan. Kami memang punya usaha pentol ojeg sebagai mata pencaharian, sudah dua tahun berjalan dan belum ada kemajuan, masih kecil-kecilan. Berbeda dengan pentol ojeg temanku yang kini sudah punya karyawan. Usahaku macet karena Mas Burhan sempat meninggalkanku selama setahun.

“Biarkan saja,” bisikku pada ibu mertua yang nampak tak percaya dengan pemandangan di depannya. “Mungkin setelah kejadian kemarin, Mas Burhan jadi sadar, makanya dia sekarang berubah. Lihat, kakinya menapak ke lantai jadi tidak mungkin dia hantu!” lanjutku.

“Tapi ibu masih tidak percaya. Mana mungkin orang yang sudah tenggelam di lautan dan hilang selama setahun bahkan sudah dinyatakan meninggal lalu tiba-tiba pulang ke rumah seakan tidak terjadi apa-apa. Apalagi wataknya berbeda sekali. Secara fisik memang itu Burhan—anak ibu, tapi secara watak, sikap, dan sifatnya ... ibu rasa itu bukan Burhan! Ibu kenal betul siapa Burhan, dan dia bukanlah sosok yang ada di hadapan kita sekarang!” Ibu Mertua kukuh dengan firasatnya.

Kurang lebih setahun yang lalu saat usia kehamilanku baru satu bulan, Mas Burhan kabur dengan wanita selingkuhannya yang bernama Risma. Mereka menjalin kasih sudah sangat lama dan baru ketahuan olehku pada waktu itu sehingga membuatku marah besar, akibatnya Mas Burhan muak padaku dan akhirnya kabur dari rumah. Menurut informasi yang kudengar saat itu, mereka kabur ikut naik perahu temannya yang seorang nelayan dan keesokan harinya aku menerima kabar tenggelamnya Mas Burhan beserta semua orang di atas perahu itu. Semua orang dari mulai nelayan hingga warga di sekitar pesisir pantai ikut mencari, bahkan melibatkan tim SAR. Pencarian dilakukan sampai hampir sebulan namun tidak ada hasil sama sekali, semua korban dinyatakan meninggal.

Semenjak kejadian itu, aku menjalani kehamilan seorang diri dan mengurus usaha pentol yang baru saja kurintis, namun karena dalam kondisi hamil aku hanya bisa berjualan di teras rumah dan hasilnya cukup untuk membiayai kebutuhan. Mertuaku yang punya ladang dan sawah juga sering menyumbang beras dan hasil kebun, karena anak lelakinya dinyatakan meninggal jadi mertuaku masih bertanggungjawab menafkahiku, apalagi aku tengah mengandung cucunya waktu itu.

Hari demi hari kulalui sampai akhirnya aku melahirkan secara sesar. Mertua yang membiayai dan mengurus semua keperluan, termasuk merawatku dan bayiku hingga sekarang, itulah sebabnya ibu mertua masih tinggal di rumahku sedangkan bapak mertua harus pulang karena pekerjaan.

Hingga seminggu yang lalu, tepat bayiku berusia tiga bulan, Mas Burhan pulang secara tiba-tiba. Dia langsung membuka pintu rumah tanpa mengucap salam dan tanpa berkata sepatah kata, melengos ke dapur dan minum segelas air putih. Aku dan ibu mertua yang tengah menonton TV waktu itu sangat kaget dan hanya bisa mematung, antara tak percaya dan takut karena Mas Burhan yang dinyatakan sudah meninggal tiba-tiba saja masuk rumah.

“Lita, aku ngantuk. Aku mau tidur. Siapkan sajadah di kamar salat, bangunkan aku sebelum azan asar.” Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan setelah kepulangannya. Masih terngiang di telingaku dengan sangat jelas hingga saat ini.

Setelah minum, Mas Burhan langsung tidur di kamar kami. Bayiku yang awalnya lelap tidur dalam gendonganku mendadak menangis kencang saat Mas Burhan masuk kamar. Aku pun disadarkan oleh tangisan bayiku sedangkan ibu mertua masih terpaku mematung. Keluar keringat dingin dari keningnya.

“Lita, kamu barusan lihat dan dengar sendiri kan siapa yang berbicara? Apa Cuma halusinasi ibu saja?” kata ibu mertua gemetaran waktu itu.

“Dia Mas Burhan, Bu,” jawabku tak kalah gemetaran.

Mas Burhan datang dengan begitu santuy-nya, sehingga membuatku dan ibu mertua heran, heran sekali, bingung, takut, dan tanda tanya besar!

Benarkah dia Mas Burhan? Dari fisik itu memang seratus persen Mas Burhan—suamiku, tapi sifat dan sikapnya jelas berbeda. Mas Burhan yang dahulu adalah seorang yang pemalas, kasar, acuh perhatian, masa bodo-an, hanya satu bagusnya yaitu dia tidak pelit kalau pas lagi punya uang. Sedangkan Mas Burhan yang sekarang dia sangat baik, rajin, bertanggungjawab, agak posesif terhadapku, royal, rajin beribadah. Pokoknya berbanding terbalik. Wajar kalau kami tidak percaya itu adalah Mas Burhan.

Sejak saat itu ibu mertua selalu waspada terhadap sosok Mas Burhan yang baru, dia merasa sosok itu adalah arwah alias hantu. Sedangkan aku lebih memilih menerimanya, mau itu Mas Burhan atau bukan yang penting aku tidak kehilangan sosok suamiku. Meski perselingkuhannya yang membuatku sakit hati masih membekas dalam ingatan, namun tak dapat kupungkiri aku merindukan Mas Burhan yang hilang selama setahun.

Suara piring jatuh membuyarkan lamunanku akan kejadian itu, tak sengaja ibu mertua menyenggol rak piring saat kami mengintip aktivitas Mas Burhan di dapur dini hari ini. Suamiku itu jadi menengok ke belakang, “sedang apa kalian di sini?” tanyanya.

“Ini Mas, aku dan ibu mau bantuin nyetak pentol, sekalian nyiapin yang lainnya juga untuk jualan,” jawabku spontan.

“Tidak usah. Urusan pekerjaan itu tanggungjawab suami. Banting tulang cari nafkah dari mulai persiapan, berangkat, hingga pulang lagi itu semua jadi urusan tanggungjawabku. Tugas kamu sebagai istri hanya di rumah saja, urus anak, urus suami, urus rumah, dan jangan lupa pula urus dirimu sendiri. Sudah sana, kembali ke kamar, rebahan istirahat sambil nunggu azan subuh berkumandang. Nanti kita salat berjamaah!” titah Mas Burhan.

Aku menelan ludah mendengar perintahnya, apalagi mendengar pernyataannya tentang tanggungjawab suami dan istri! Rasanya aneh aja gitu, Mas Burhan jadi sok bijaksana gitu bicaranya.

Apalagi ibu mertua, terlihat jelas rasa kaget campur tak percaya dari raut wajahnya. “Lita, kali ini ibu benar-benar yakin kalau dia bukan Burhan. Burhan itu anaknya tengil, manja, malas, enggak bijaksana seperti ini!” bisiknya.

“Sudah, Bu. Jangan mikir aneh-aneh dulu,” kataku berbisik. “Mending kita nurut aja.”

“Ibu juga, nanti pagi pulang saja ke rumah ibu. Kasihan bapak di rumah sendirian. Sudah cukup ibu menemani istri dan anakku, tiba giliran ibu untuk mengurus diri sendiri tidak direpotkan lagi dengan kami.” Giliran Mas Burhan bicara pada ibu mertua.

*

Pagi hari sekitar jam delapan-an, aku baru saja menandikan Syifa—bayiku—dan hendak menjemurnya di teras rumah yang tersinari matahari pagi. Sedangkan di halaman, Mas Burhan sedang menaikkan ‘gerobak’ pentol ke jok belakang motor dan mempersiapkan keperluan untuk jualan. Tampaknya sebentar lagi suamiku itu akan segera berangkat kerja.

Tiba-tiba ibu mertua duduk di sampingku sambil menenteng tas besar, aku tebak itu adalah baju-bajunya.

“Ibu mau kemana?” tanyaku heran.

“Pulang. Kan tadi Burhan nyuruh ibu pulang.”

“Jangan dulu, Bu. Aku takut, kalau dia bukan Mas Burhan yang asli bagaimana?” pintaku berbisik. Aku mulai merasa takut juga.

“Ya makanya mending ibu pulang aja. Di sini serem ih! Ada hantu.” Ibu malah menakut-nakutiku meski dia bicara serius sambil mengeluarkan ponsel dari saku tas nya dan menunjukkan layarnya padaku. “Nanti kalau hasil panen bapak sudah laku ibu mau beli ini,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah daster di keranjang belanja online nya. Meski sedang merasa takut, masih sempat pamer daster incarannya padaku. Mertuaku dua-duanya memang doyan belanja online.

Aku manggut-manggut saja mengiyakan, meski dalam hati merasa agak ngenes juga karena tahu niat ibu mertua mau memanasiku.

Suara mesin motor mulai menyala, Mas Burhan rupanya mau berangkat. Dia menghampiriku dan mencium Syifa, lalu mengelus ubun-ubun kepalaku dan mencium keningku.

“Mas berangkat dulu ya, sayang. Jaga dirimu baik-baik di rumah selama Mas pergi mencari nafkah. Nanti kalau Mas pulang mau dibelikan apa?” katanya padaku, membuatku melongo dengan sikap Mas Burhan.

“Bu—burhan?” Ibu sepertinya refleks bereaksi terhadap sikap Mas Burhan yang menggelikan.

“Kenapa, Bu? Ibu mau protes?” Mas Burhan menoleh pada ibu mertua. “Sebagai suami, aku sadar belum bisa membahagiakan istriku dengan harta, maka aku akan membahagiakannya dengan perhatian, cinta, dan kasih sayangku,” jelas Mas Burhan dengan begitu yakinnya.

Bugh!

Baik aku dan Mas Burhan sama-sama terkejut karena ibu mertua langsung jatuh pingsan hingga menimbulkan suara ‘bugh’ di teras rumah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Si ibu lucu pake pingsan segala hahahaha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status