Home / Romansa / Suamiku Bukan Petani Teh Biasa / 2. Ibu Kandung Rasa Ibu Tiri.

Share

2. Ibu Kandung Rasa Ibu Tiri.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2023-04-03 21:23:17

"Kamu sekarang sudah mulai berani melawan Ibu ya, Lara? Sudah merasa hebat ya kamu?" Bu Ningsih yang sengaja berhenti di tengah lorong rumah sakit, menoyor geram kening Lara. 

Lara menggigit bibirnya keras. Ia bertahan bungkam dalam kesedihan. Lara sadar, tidak ada gunanya ia membantah. Karena apapun yang ia katakan, tidak akan bisa melembutkan hati sang ibu.

"Hajar terus, Mbok. Si Lara ini sekarang memang tidak tahu diri. Sudah salah, melawan lagi. Lara tidak ada sopan-sopannya pada Mbok Ningsih." Sesil memanas-manasi hati pengasuhnya. 

"Eh, jawab! Kamu punya mulut 'kan?" Bu Ningsih mendorong punggung Lara kasar. Ia makin emosi karena dipanas-panasi Sesil. 

Lara tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia semakin mempercepat langkahnya menuju tempat parkir. Di mana sang ayah menunggu mereka semua.

"Dasar benar-benar anak durhaka ya kamu, Lara? Orang tua berbicara hanya dianggap angin lalu belaka. Sini kamu!" Bu Ningsih mengejar Lara yang hampir mencapai parkiran. Ia menjambak keras kuncir kuda Lara yang memang sudah melorot akibat dijambak sebelumnya oleh Sesil.

"Sudah, Bu. Sudah! Lara Ini anak kandungmu sendiri. Kenapa kamu memperlakukannya seperti maling begini?" Pak Yono yang sedang merokok, membuang rokolnya begitu saja. Tergopoh-gopoh Pak Yono menarik Lara ke sisinya. Mencegah sang istri yang begitu bengis memukuli anak kandungnya sendiri.

"Dia memang maling, Pak? Makanya Ibu malu karena telah gagal mendidik anak. Anakku menjadi maling di rumah majikan yang telah memberinya makan dan tempat berlindung. Ibu malu, Pak. Ibu malu!" Bu Ningsih menepuk dadanya sendiri.

"Siapa yang bilang kalau Lara maling?" tukas Pak Yono gusar.

"Memang Lara maling kok, Pak. Buktinya di rumah tadi Bapak juga lihat 'kan kalau jam baru gue ada di tas Lara. Maling itu cocoknya di penjara, Pak."

Yang menjawab pertanyaan Pak Yono adalah Sesil. Berbeda Mbok Ningsih yang selalu membelanya, Pak Yono ini tidak pernah memihaknya.

"Betul tadi Bapak melihat kalau di tas Lara ada jam Non Sesil. Tapi itu bukan satu-satunya bukti untuk menjadikan Lara tertuduh. Non Sesil tidak melihat dengan mata dan kepala Non sendiri kalau Lara yang mencuri jam itu bukan?" tantang Pak Yono. Ia sudah mengetahui pencuri yang sebenarnya dari Pak Daus. Satpam rumah yang baru saja memeriksa CCTV. 

"Gue memang tidak melihat dengan mata dan kepala gue sendiri. Tapi siapa lagi mencurinya kalau bukan Lara?" tuding Sesil geram.

"Non Sesil lah yang paling tahu siapa pencurinya. Bapak sudah meminta Pak Daus untuk memeriksa CCTV. Di sana terlihat jelas siapa yang mencurinya. Non ingin melihat pencurinya tidak?" tantang Pak Yono. Air muka Sesil seketika berubah. Pak Yono sudah memegang kartu As-nya. 

"Kata Non Sesil tadi maling itu cocoknya di penjara bukan? Bapak akan mewujudkan keinginan Non Sesil secepatnya. Bapak akan memberikan rekaman CCTV itu pada Bu Shinta. Dengan demikian--"

"Jangan, Pak!" seru Sesil panik. Jikalau ibunya melihat rekaman CCTV itu, dirinya pasti akan dihukum. Dirinya memang ceroboh karena lupa mematikan CCTV saat akan beraksi memfitnah Lara. 

"Kita sudahi saja masalah jam sampai di sini. Tidak perlu dibahas-bahas lagi. Kita pulang saja, Pak. Gue sudah lapar." Sesil berupaya mengubah topik pembicaraan. 

"Baik. Bapak tidak akan melaporkan soal maling yang sebenarnya ini kepada Bu Shinta. Tapi Non Sesil harus meminta maaf dulu kepada Lara. Karena Non Sesil sudah memfitnahnya. Setelahnya Non Sesil harus menjelaskan perkara ini pada Bu Shinta. Karanglah cerita sesuka Non Sesil. Yang penting Bu Shinta tahu kalau Lara bukanlah seorang pencuri." 

Pak Yono memberi persyaratan pada Sesil. Pak Yono ingin mengembalikan nama baik dan harga diri putrinya.

"Tidak sudi!" Sesil memberengut. 

"Kalau begitu, Bapak akan memperlihatkan rekaman CCTV itu pada Bu Shinta," ancam Pak Yono tegas.

"Oke... oke... Gue akan minta maaf." Sesil mengangkat tangannya ke udara tanda menyerah. Ia memutuskan untuk mengalah saja kali ini. Hitung-hitungannya akan lebih mudah kalau ia meminta maaf, daripada ia harus mendapat hukuman dari sang ibu.

"Gue minta maaf!" Sesil meminta maaf dengan suara ketus. Seumur hidupnya ia tidak pernah minta maaf kepada siapapun kecuali kedua orang tuanya. Meminta maaf kepada anak pembantunya seperti ini, membuat harga dirinya terjun bebas.

"Yang tulus kalau meminta maaf, Non. Sebutkan pula apa alasan Non meminta maaf. Kalau tidak, Bapak akan memberitahu semua orang siapa pencuri yang sebenarnya." 

Walau diucapkan dengan nada suara datar, ancaman Pak Yono sangat terasa.

"Baik. Gue minta maaf karena sudah menuduh lo mencuri. Padahal gue yang silap meletakkan jam itu di tas lo!" Dengan wajah merah padam karena malu, Sesil mengakui perbuatannya.

Lara meradang. Berarti Sesil dengan sengaja memfitnahnya.

"Jadi Non Sesil memang berniat memfitnah saya? Kenapa Non begitu keji pada saya? Apa yang sudah saya lakukan sampai Non membenci saya sampai sedemikian rupa?" 

Lara mempertanyakan motif Sesil memfitnahnya. Ia benar-benar penasaran. Ia ingin tahu apa yang sudah diperbuatnya sampai Sesil selalu berniat jahat padanya. Bukan sekali dua kali Sesil memfitnah dan mencuranginya. Lara ingin tahu apa sebabnya. Barangkali ada perbuatannya yang tidak sengaja menyakiti Sesil, maka ia akan memperbaikinya.

"Sudah, Lara. Jangan diperpanjang lagi. Non Sesil toh sudah meminta maaf. Orang 'kan sekali-sekali bisa silap juga." Bu Ningsih melerai perdebatan Lara dan Sesil. 

"Ibu juga minta maaf pada Lara." Pak Yono menatap Bu Ningsih tajam. Ada ketegasan tak terbantahkan di matanya. 

"Ibu minta maaf, Lara. Ayo sekarang kita semua pulang. Pekerjaan Ibu di rumah masih banyak." Bu Ningsih mendekati mobil yang terparkir dan duduk di kursi penumpang. Sesil tanpa banyak bicara mengikuti dengan lesu. Ia kesal karena hari ini kembali kalah dengan anak pembantunya ini. 

Namun ketika melirik ke arah Lara, Sesil tersenyum culas. Lara tampak sedih dan kecewa pada ibunya. Sesil tahu kalau Lara itu sebenarnya iri padanya. Karena ibu kandungnya sendiri lebih sayang padanya, yang nota bene adalah anak majikannya. 

Satu rencana pembalasan dendam kembali tersusun dalam benak Sesil. Ia boleh saja kalah dalam masalah jam. Namun dalam hal kasih sayang, ia akan membuat Lara menangis darah karena cemburu.

"Mbok, gue duduk di belakang dengan Mbok saja ya? Kepala gue pusing banget." Sesil pura-pura mengernyitkan dahinya. Membuat ekspresi kesakitan yang seketika membuat mbok Ningsih panik.

"Hah, Non Sesil sakit? Sini... sini... tiduran saja di bahu Mbok." Bu Ningsih menggeser duduknya. Memberi tempat untuk Sesil duduk. Setelahnya ia merebahkan kepala Sesil dalam buaiannya. Memijat-memijat kening Sesil lembut dan meminta Sesil untuk tidur saja.

"Mau berapa lama kamu bengong di situ, Lara? Ayo masuk ke dalam mobil. Kamu duduk di depan dengan ayahmu saja," bentak Bu Ningsih tidak sabar. 

Dengan air mata tergenang, Lara masuk ke dalam mobil. Sesungguhnya ia juga tidak enak badan. Kulit kepalanya perih karena tadi dijambak kasar oleh Sesil. Pipinya juga berdenyut karena ditampar oleh ibunya. Ia juga ingin dipeluk oleh ibunya. Hanya saja Lara tidak berani mengatakannya. Ia takut kalau ibunya akan naik darah. Dalam tidur pura-puranya Sesil tersenyum. Ia puas sekali membuat Lara menderita. Lara ini cuma anak pembantu. Sudah seharusnya dirinya sebagai anak majikan yang memperoleh semua priviledge di dunia ini bukan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Aji Saputro
bapa Lara jangan berubah ya, tetap seperti ini selalu menyayangi dan membela Lara
goodnovel comment avatar
Mul Yani
sesil dn ningsih contoh wanita najis menjijikan attitude nya
goodnovel comment avatar
rumah dhena
ada ya ibu kayak Ningsih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   110. Akhir Bahagia ( END)

    Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108. Penghakiman Di Dunia.

    "Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108..Berani Berbuat, Berani Bertanggung Jawab.

    "Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   107. Menjalani Sisa Takdir.

    "Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   106. Kebahagiaan Lara.

    "Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   105. Mencicil Takdir.

    "Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status