Home / Romansa / Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh / Bagaimana Cara Mencium?

Share

Bagaimana Cara Mencium?

Author: Risca Amelia
last update Last Updated: 2025-06-21 23:13:51

Tangan Esme mencengkeram buket bunga semakin erat, seperti ingin berlari dari realita yang menghantamnya. Ia nyaris tak sanggup menarik napas.

“Rein, ssssttt…,” tegur Nyonya Tania lembut. “Kalau kamu patuh, Mama akan membelikan mainan pesawat yang baru. Itu, lihatlah... istrimu sudah datang.”

Mata Reinan mengikuti arah jari sang ibu, lalu menatap wajah Esme yang tersembunyi di balik veil tipis. Senyumnya merekah, polos dan lugu.

“Siapa dia, Ma?” tanyanya riang. “Apa dia Cinderella? Seperti dongeng yang Mama ceritakan kemarin?”

Air mata menggenang di sudut mata Esme. Siapa sangka, ia akan dinikahkan dengan seorang pria dewasa yang bertingkah seperti anak kecil.

Meski begitu, Esme sama sekali tak berdaya. Digiring ayahnya tanpa tanya, kini ia sudah berdiri tepat di hadapan Reinan—pria yang akan menjadi suaminya dalam hitungan menit.

Tuan Rezam pun melangkah maju dan menyapa Nyonya Tania dengan penuh hormat.

“Inilah Esme, putri saya, yang akan menjadi istri Reinan,” ucapnya mantap.

Nyonya Tania hanya menanggapi dengan anggukan singkat, bahkan tak sudi memberikan seulas senyum. Tatapannya dingin seperti marmer.

Tanpa menunda lagi, Tuan Rezam meletakkan tangan Esme yang bergetar ke atas tangan Reinan.

“Reinan, aku serahkan Esme padamu,” katanya sebelum mundur dan duduk di bangku paling depan.

Esme menunduk, tak sanggup menatap pria di hadapannya, yang bersikap seolah ikatan ini tak berarti apa-apa.

“Kenapa kita harus bergandengan tangan?” tanya Reinan, dengan suara keras yang menggema di aula gereja.

“Apa aku jadi pangeran di cerita Cinderella?”

Nyonya Tania langsung tersenyum dan membenarkan, “Iya, kamu pangeran, Rein. Ucapkan apa yang sudah kita hafalkan semalam. Setelah ini, kamu boleh makan kue cokelat di rumah.”

Perempuan paruh baya itu membalik tubuh Reinan sedikit. Ia membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga sang putra, lalu menepuk pundaknya pelan. Mata Reinan berbinar terang, jelas terpicu oleh iming-iming hadiah manis dari ibunya.

Sementara itu, Esme tetap berdiri kaku. Ia tidak lagi merasa seperti pengantin, melainkan seperti boneka tangan yang dipentaskan oleh orang-orang yang tak menghiraukan perasaannya.

“Pendeta, silakan dimulai,” ujar Nyonya Tania.

Paham dengan kondisi Reinan, pendeta itu mempersingkat acara pembukaan. Tanpa berlama-lama, ia beralih pada bagian yang paling krusial: janji suci pernikahan.

“Saudara Reinan Amadeo Gunadi,” ucap pendeta dengan suara berat dan khidmat, “apakah engkau bersedia menerima Saudari Esmelin Raharja sebagai istrimu yang sah, mencintainya, menghormatinya, dan menjaganya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kalian?”

Hening membungkus ruang gereja. Jantung Esme berdentam keras saat melihat Reinan yang sibuk memutar kancing jasnya. Ia tak tahu, apakah pria ini akan menjawab—atau justru melompat dan bermain petak umpet di hadapan sang pendeta.

Namun tak disangka, Reinan menjawab dengan suara yang begitu tenang, “Ya, saya bersedia.”

Kalimat itu membuat hati Esme serasa ditusuk oleh ribuan jarum. Ia ingin menangis, ingin berlari dari pernikahan yang penuh sandiwara ini. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah tetap berdiri di samping Reinan.

Pendeta berbalik menatapnya.

“Saudari Esmelin Raharja, apakah engkau bersedia menerima Saudara Reinan Amadeo Gunadi sebagai suamimu yang sah, mencintainya, menghormatinya, dan menjaganya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kalian?”

Lidah Esme terasa kelu. Ia tahu ada mata-mata tajam yang sedang mengawasi dirinya dari balik punggung. Sementara di sisinya, berdiri seorang pria dengan mental anak-anak yang tidak memahami makna dari janji suci pernikahan.

Di tengah pergolakan batin yang hebat, Esme sadar—tidak ada jalan keluar lagi.

Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Ya, saya bersedia.”

Pendeta lalu menatap pasangan pengantin itu, sebelum berkata dengan nada mantap.

“Dengan ini, saya menyatakan kalian sah sebagai suami dan istri. Saudara Reinan, silakan membuka veil dari wajah istrimu dan menciumnya.”

Esme menelan ludah kasar. Upacara sakral itu, yang dulu pernah ia bayangkan akan menjadi puncak kebahagiaan dalam hidupnya, kini terasa seperti sebuah penghakiman.

Reinan pun memiringkan kepala, menggaruk-garuk belakang telinganya dengan ekspresi bingung.

“Buka veil itu apa, ya? Kenapa harus dicium?”

Beberapa tamu tampak saling berpandangan sembari berbisik-bisik. Rasanya, Esme ingin tenggelam di lantai gereja saat itu juga. 

Dalam situasi canggung tersebut, Nyonya Tania mendekat dan berbisik lagi di telinga putranya.

“Ayo, Rein... bukalah veil istrimu. Caranya seperti membuka bungkus hadiah ulang tahun. Lalu, kamu boleh menciumnya.”

Reinan mengangguk senang. “Oh, seperti buka kado,” celetuknya riang.

Dengan gerakan kaku, Reinan mengangkat veil yang menyelubungi wajah Esme. Tatkala tirai tipis itu terangkat, tatapan mata mereka bertemu. 

Untuk kali pertama, Esme benar-benar menatap wajah suaminya dari dekat.

Ia tak menyangka bahwa di balik tingkah kekanak-kanakan Reinan, tersembunyi sepasang mata abu-abu gelap yang menghipnotis. Tatapan itu menguncinya, menyusup jauh ke dalam lubuk hati yang telah lama ia bentengi dari rasa percaya.

Pertemuan netra yang singkat itu mampu membuat Esme terpaku. Entah mengapa, ia merasa seakan berhadapan dengan sosok laki-laki dewasa yang penuh pesona. 

Namun, semuanya buyar kala Reinan mengedip-ngedipkan matanya dengan lucu. Pria itu memiringkan kepala dan bertanya dengan nada polos.

“Cinderella... mencium itu bagaimana caranya?”

Wajah Esme seketika berubah merah padam. Hangatnya sorot Reinan tadi terasa bagai ilusi sesaat. Kembali, ia dihadapkan pada kenyataan pahit: suaminya bahkan tidak tahu cara mencium.

Seisi gereja menahan napas, sementara di salah satu sisi bangku, Nyonya Belinda dan Wina menutup mulutnya dengan tangan. Bahu mereka bergetar menahan tawa—jelas menikmati setiap detik penderitaan yang menimpa Esme.

Esme menunduk sejenak, lalu dengan suara serak ia berkata, “Tempelkan saja bibirmu di bibirku sebentar. Dan, tolong jangan panggil aku Cinderella. Namaku Esme.”

Reinan tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk seperti anak TK yang diajarkan aturan permainan baru.

“Menempelkan bibir. Baiklah, akan kulakukan.”

Perlahan, tubuh Reinan bergerak mendekat. Tak ada tepuk tangan, tak ada alunan musik lembut yang biasanya mengiringi momen penuh cinta. Sedangkan Esme hanya bisa mematung, tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau terharu.

Detik berikutnya, hal yang tak diduga pun terjadi.

Reinan mengangkat tangannya dan memegang pipi sang istri. Sentuhannya sangat lembut, seolah-olah ia memegang kelopak bunga yang bisa gugur dalam waktu sekejap. 

Sekejap kemudian, bibir Reinan telah menyentuh bibir Esme.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
nawsas
waduh kasian banget jadi esme
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Keluarga Kecil yang Bahagia (THE END)

    Setelah peristiwa itu, Esme dan Reinan kembali ke mansion. Mereka hidup dalam ketenangan dan kedamaian yang sudah lama mereka rindukan. Kondisi kesehatan Nyonya Nirmala, ibu Esme, kini jauh membaik. Meski masih harus duduk di kursi roda, ia sudah bisa berbicara dan tertawa pelan bersama putrinya. Setelah dokter menyatakan aman, Esme membawa sang ibu pulang untuk tinggal di mansion. Hari-hari mereka kembali hangat oleh kasih sayang keluarga.Esme yang tengah hamil besar menghabiskan waktu di dapur, menyiapkan sarapan untuk Reinan, lalu duduk di ruang kerja kecil yang ia ubah menjadi ruang parfum.Bersama ibunya, ia kembali meracik aroma baru yang menenangkan jiwa. Terkadang, Esme mencoba melakukan beberapa eksperimen yang bisa dijadikan produk parfum baru di Gala Corp. Namun siang itu, perut Esme tiba-tiba kram hebat disertai sensasi hangat yang mengalir di antara kedua kakinya. Esme terperanjat. Pandangannya menurun dan mendapati lantai sudah basah oleh cairan bening.“Mama, air ke

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Melepaskan Kebencian

    Usai mendapatkan sambutan meriah dari para tamu, Esme duduk kembali di kursinya. Jantungnya masih berdebar kencang setelah mendengar namanya disebut di hadapan begitu banyak orang. Sementara itu, Reinan masih berdiri tegak di podium. Suaranya berubah lebih lembut dan bergetar oleh emosi yang dalam.“Terakhir, saya ingin mempersembahkan parfum ‘Eternal Mother’ untuk mengenang sosok wanita yang lembut, pengertian, dan selalu menyayangi saya tanpa syarat. Di adalah ibu kandung saya, Tiffany Gunadi.”Sekejap, suasana berubah menjadi senyap. Bahkan, kamera wartawan yang sedari tadi berkilat pun berhenti.Reinan menatap layar besar di belakangnya, dan di sana muncul sebuah foto lama, seorang wanita muda yang menggendong bayi laki-laki dengan senyum lembut.Wanita itu mirip sekali dengan Tania Gunadi, yang dikenal publik sebagai ibu kandung Reinan. Namun, bagi yang memperhatikan dengan seksama, perbedaannya jelas terlihat.Tiffany memiliki lesung pipi halus di sisi kiri, rambutnya berwarna l

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Cinta di dalam Aroma

    Pagi itu adalah hari yang sangat penting untuk Esme. Hari di mana hasil karya pertamanya akan diperkenalkan kepada publik. Dari pantulan kaca meja rias, tampak Reinan sedang mencoba setelan jas yang baru dikirim dari butik langganannya. Jas yang dikenakan Reinan berwarna sage green, dipadukan dengan kemeja putih gading. Warna itu tidak terlalu mencolok, tetapi memancarkan kesan lembut sekaligus maskulin.“Sayang, biar aku bantu,” ujar Esme sambil mendekat. Ia mengeluarkan dasi dari kotak dan melingkarkannya di leher Reinan dengan cekatan. Reinan menatap wajah istrinya di cermin, matanya menyimpan senyum kecil. “Aku bisa pakai sendiri. Lebih baik kamu lanjut berdandan, Sayang.”Esme terkekeh kecil. “Aku sudah selesai. Tinggal ganti baju dan menyisir rambut.”Setelah memastikan dasi Reinan terpasang dengan sempurna, Esme berbalik menuju ranjang. Ia mengambil gaunnya yang berwarna mint pastel, serasi dengan jas yang dikenakan sang suami.Saat Esme sedang mengenakan gaun tersebut, ia

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Istri Saya adalah Esme

    Langit siang di atas gedung Gala Corp terasa begitu terik, tetapi di dalam laboratorium aroma parfum memenuhi udara.Esme berdiri di depan meja kerjanya, mengenakan sarung tangan lateks dan kacamata pelindung. Ia mencoba menenangkan pikiran, menghapus bayangan wajah Isabella yang menuduhnya di depan umum.Esme tidak ingin menjadikan luka itu alasan untuk berhenti. Ia menatap cairan bening di dalam vial kecilnya dengan tekad bulat. Rekan-rekannya di divisi perfumer tampak memahami suasana itu. Tak satu pun dari mereka menyinggung kejadian pagi tadi di lobi.Mereka bekerja dalam diam, saling bertukar aroma, menakar tetesan, dan mencatat formula. Hingga akhirnya, Esme berhasil membuat racikan yang cocok untuk tema ‘wedding fragrance’.Setelah berdiri lama, rasa pegal di pinggang Esme semakin terasa. Ia pun melepaskan jas lab dan berjalan ke ruang administrasi.Duduk di kursi, Esme menyandarkan punggungnya, memejamkan mata sejenak.Hatinya bimbang—entah Reinan akan menepati janjinya untuk

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Selamat Tinggal Kenangan

    Setelah mengetahui Reinan akan datang, Isabella segera memesan hidangan yang dulu menjadi favorit mereka. Semua itu ia siapkan, untuk menghidupkan kembali kenangan manis di antara mereka.Sambil menunggu, Isabella mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. Ia memoles wajah dengan bedak, merapikan lipstik, lalu menyisir rambut dengan jari. Pantulan dirinya di cermin menatap balik dengan penuh keyakinan — cantik, elegan, dan siap menaklukkan hati pria yang pernah menjadi miliknya.“Reinan hanya butuh diingatkan,” gumam Isabella tersenyum sendiri.Jarum jam terus berputar. Lima belas menit, dua puluh menit, hingga akhirnya jarum panjang mendekati pukul sebelas siang.Jantung Isabella berdegup makin kencang. Ia menatap pintu kafe berulang kali, seolah setiap tamu yang masuk adalah Reinan.Tak berselang lama, seorang pria menawan muncul di pintu kafe. Reinan, dengan ketampanan yang semakin matang dan wibawa seorang CEO, membuat para pelayan di kafe itu menoleh serempak.Tatapan Reinan menyapu

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Tak Bisa Diremehkan

    Lobi kantor Gala Corp kini menjadi panggung yang menegangkan.Di tengah ruangan yang berdinding kaca, dua sosok perempuan berdiri saling berhadapan—Esme dan Isabella. Setiap tatapan karyawan menancap pada mereka seperti ribuan jarum yang menusuk.Isabella terus melancarkan serangan kepada Esme. Namun kali ini, Esme memutuskan untuk tidak mengalah lagi. Cukup lama ia hidup dalam diam, menjadi sasaran fitnah dari orang-orang yang memanfaatkan dirinya. Maka dengan tekad yang baru, Esme menegakkan kepala, menatap Isabella dengan sorot yang tegas.“Cukup, Isabella! Sampai kapan kau mau memutarbalikkan fakta?” sahut Esme. “Kau hanya berpura-pura hamil, demi merebut suami wanita lain.”Seisi lobi sontak membeku ketika Esme menyebut kata ‘suami’. Situasi yang awalnya tidak berpihak pada Esme, kini telah berubah arah. Mereka semua bertanya-tanya, mungkinkah pernyataan Esme adalah pengakuan tersirat bahwa Reinan Gunadi adalah suaminya? Meski begitu, sebagian masih meragukan bahwa seorang per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status