Tangan Esme mencengkeram buket bunga semakin erat, seperti ingin berlari dari realita yang menghantamnya. Ia nyaris tak sanggup menarik napas.
“Rein, ssssttt…,” tegur Nyonya Tania lembut. “Kalau kamu patuh, Mama akan membelikan mainan pesawat yang baru. Itu, lihatlah... istrimu sudah datang.”
Mata Reinan mengikuti arah jari sang ibu, lalu menatap wajah Esme yang tersembunyi di balik veil tipis. Senyumnya merekah, polos dan lugu.
“Siapa dia, Ma?” tanyanya riang. “Apa dia Cinderella? Seperti dongeng yang Mama ceritakan kemarin?”
Air mata menggenang di sudut mata Esme. Siapa sangka, ia akan dinikahkan dengan seorang pria dewasa yang bertingkah seperti anak kecil.
Meski begitu, Esme sama sekali tak berdaya. Digiring ayahnya tanpa tanya, kini ia sudah berdiri tepat di hadapan Reinan—pria yang akan menjadi suaminya dalam hitungan menit.
Tuan Rezam pun melangkah maju dan menyapa Nyonya Tania dengan penuh hormat.
“Inilah Esme, putri saya, yang akan menjadi istri Reinan,” ucapnya mantap.
Nyonya Tania hanya menanggapi dengan anggukan singkat, bahkan tak sudi memberikan seulas senyum. Tatapannya dingin seperti marmer.
Tanpa menunda lagi, Tuan Rezam meletakkan tangan Esme yang bergetar ke atas tangan Reinan.
“Reinan, aku serahkan Esme padamu,” katanya sebelum mundur dan duduk di bangku paling depan.
Esme menunduk, tak sanggup menatap pria di hadapannya, yang bersikap seolah ikatan ini tak berarti apa-apa.
“Kenapa kita harus bergandengan tangan?” tanya Reinan, dengan suara keras yang menggema di aula gereja.
“Apa aku jadi pangeran di cerita Cinderella?”
Nyonya Tania langsung tersenyum dan membenarkan, “Iya, kamu pangeran, Rein. Ucapkan apa yang sudah kita hafalkan semalam. Setelah ini, kamu boleh makan kue cokelat di rumah.”
Perempuan paruh baya itu membalik tubuh Reinan sedikit. Ia membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga sang putra, lalu menepuk pundaknya pelan. Mata Reinan berbinar terang, jelas terpicu oleh iming-iming hadiah manis dari ibunya.
Sementara itu, Esme tetap berdiri kaku. Ia tidak lagi merasa seperti pengantin, melainkan seperti boneka tangan yang dipentaskan oleh orang-orang yang tak menghiraukan perasaannya.
“Pendeta, silakan dimulai,” ujar Nyonya Tania.
Paham dengan kondisi Reinan, pendeta itu mempersingkat acara pembukaan. Tanpa berlama-lama, ia beralih pada bagian yang paling krusial: janji suci pernikahan.
“Saudara Reinan Amadeo Gunadi,” ucap pendeta dengan suara berat dan khidmat, “apakah engkau bersedia menerima Saudari Esmelin Raharja sebagai istrimu yang sah, mencintainya, menghormatinya, dan menjaganya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kalian?”
Hening membungkus ruang gereja. Jantung Esme berdentam keras saat melihat Reinan yang sibuk memutar kancing jasnya. Ia tak tahu, apakah pria ini akan menjawab—atau justru melompat dan bermain petak umpet di hadapan sang pendeta.
Namun tak disangka, Reinan menjawab dengan suara yang begitu tenang, “Ya, saya bersedia.”
Kalimat itu membuat hati Esme serasa ditusuk oleh ribuan jarum. Ia ingin menangis, ingin berlari dari pernikahan yang penuh sandiwara ini. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah tetap berdiri di samping Reinan.
Pendeta berbalik menatapnya.
“Saudari Esmelin Raharja, apakah engkau bersedia menerima Saudara Reinan Amadeo Gunadi sebagai suamimu yang sah, mencintainya, menghormatinya, dan menjaganya dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kalian?”
Lidah Esme terasa kelu. Ia tahu ada mata-mata tajam yang sedang mengawasi dirinya dari balik punggung. Sementara di sisinya, berdiri seorang pria dengan mental anak-anak yang tidak memahami makna dari janji suci pernikahan.
Di tengah pergolakan batin yang hebat, Esme sadar—tidak ada jalan keluar lagi.
Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Ya, saya bersedia.”
Pendeta lalu menatap pasangan pengantin itu, sebelum berkata dengan nada mantap.
“Dengan ini, saya menyatakan kalian sah sebagai suami dan istri. Saudara Reinan, silakan membuka veil dari wajah istrimu dan menciumnya.”
Esme menelan ludah kasar. Upacara sakral itu, yang dulu pernah ia bayangkan akan menjadi puncak kebahagiaan dalam hidupnya, kini terasa seperti sebuah penghakiman.
Reinan pun memiringkan kepala, menggaruk-garuk belakang telinganya dengan ekspresi bingung.
“Buka veil itu apa, ya? Kenapa harus dicium?”
Beberapa tamu tampak saling berpandangan sembari berbisik-bisik. Rasanya, Esme ingin tenggelam di lantai gereja saat itu juga.
Dalam situasi canggung tersebut, Nyonya Tania mendekat dan berbisik lagi di telinga putranya.
“Ayo, Rein... bukalah veil istrimu. Caranya seperti membuka bungkus hadiah ulang tahun. Lalu, kamu boleh menciumnya.”
Reinan mengangguk senang. “Oh, seperti buka kado,” celetuknya riang.
Dengan gerakan kaku, Reinan mengangkat veil yang menyelubungi wajah Esme. Tatkala tirai tipis itu terangkat, tatapan mata mereka bertemu.
Untuk kali pertama, Esme benar-benar menatap wajah suaminya dari dekat.
Ia tak menyangka bahwa di balik tingkah kekanak-kanakan Reinan, tersembunyi sepasang mata abu-abu gelap yang menghipnotis. Tatapan itu menguncinya, menyusup jauh ke dalam lubuk hati yang telah lama ia bentengi dari rasa percaya.
Pertemuan netra yang singkat itu mampu membuat Esme terpaku. Entah mengapa, ia merasa seakan berhadapan dengan sosok laki-laki dewasa yang penuh pesona.
Namun, semuanya buyar kala Reinan mengedip-ngedipkan matanya dengan lucu. Pria itu memiringkan kepala dan bertanya dengan nada polos.
“Cinderella... mencium itu bagaimana caranya?”
Wajah Esme seketika berubah merah padam. Hangatnya sorot Reinan tadi terasa bagai ilusi sesaat. Kembali, ia dihadapkan pada kenyataan pahit: suaminya bahkan tidak tahu cara mencium.
Seisi gereja menahan napas, sementara di salah satu sisi bangku, Nyonya Belinda dan Wina menutup mulutnya dengan tangan. Bahu mereka bergetar menahan tawa—jelas menikmati setiap detik penderitaan yang menimpa Esme.
Esme menunduk sejenak, lalu dengan suara serak ia berkata, “Tempelkan saja bibirmu di bibirku sebentar. Dan, tolong jangan panggil aku Cinderella. Namaku Esme.”
Reinan tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk seperti anak TK yang diajarkan aturan permainan baru.
“Menempelkan bibir. Baiklah, akan kulakukan.”
Perlahan, tubuh Reinan bergerak mendekat. Tak ada tepuk tangan, tak ada alunan musik lembut yang biasanya mengiringi momen penuh cinta. Sedangkan Esme hanya bisa mematung, tidak tahu harus merasa takut, gugup, atau terharu.
Detik berikutnya, hal yang tak diduga pun terjadi.
Reinan mengangkat tangannya dan memegang pipi sang istri. Sentuhannya sangat lembut, seolah-olah ia memegang kelopak bunga yang bisa gugur dalam waktu sekejap.
Sekejap kemudian, bibir Reinan telah menyentuh bibir Esme.
Reinan menegakkan bahu, dan segera mendekati Mr. Hayato. Ia sadar jika Isabella terus dibiarkan berbicara, maka akan semakin banyak pernyataan yang dapat memperkeruh suasana.“Mr. Hayato, mari kita berkeliling dulu untuk melihat produksi garmen kami,” tukas Reinan mengambil alih percakapan. “Saya ingin menunjukkan proses kerja yang menjadi kebanggaan Gala Corp.”Mata Mr. Hayato berbinar. “Tentu saja, Tuan Reinan.”Reinan mengarahkan langkah, diikuti seluruh rombongan. Mereka memasuki ruang produksi yang luas, di mana puluhan mesin jahit berderet rapi. Seorang supervisor dengan cepat menghampiri, lantas membuka lembar kain yang sudah disulap menjadi gaun koktail berwarna marun. Di sampingnya, terdapat jas pria berwarna biru tua, dengan lapisan satin hitam di kerah—menampilkan citra maskulin yang berkelas.“Desain untuk lini formal kami,” jelas Reinan, dengan suara tenang. “Gaun ini sedang disiapkan untuk koleksi musim semi, sementara jas akan dipasarkan khusus untuk acara korporasi da
Setelah kekacauan kecil yang sempat membuat seisi laboratorium gaduh, suasana perlahan kembali tenang. Esme telah menyelesaikan tugasnya dengan penuh konsentrasi. Ia membersihkan tumpahan cairan, dan melanjutkan percobaan baru. Kali ini, Esme bergerak hati-hati, menuang cairan bening ke dalam tabung kaca, lantas meneteskan esens bunga lili yang beraroma segar.Sesuai saran dari Jackson, Esme menambahkan sedikit esens bunga mawar putih. Perpaduan keduanya menciptakan aroma yang lembut sekaligus mewah, menyerupai sosok seorang putri. Esme menahan napas, lalu mencoba hasil racikan itu. Aroma baru tersebut langsung memenuhi ruangan di sekitarnya.Melihat hasil kerja Esme yang bagus, Jackson mengangguk puas.“Kamu berbakat, Esme. Hidungmu tajam, dan nalurimu kuat. Tapi ingat, keindahan parfum hanya lahir dari ketelitian. Jangan sampai satu kecerobohan menghancurkan hasil kerja kerasmu.”“Baik, Pak. Saya akan lebih hati-hati,” jawab Esme, menerima nasihat itu dengan hati tulus. Karena ja
Langkah Esme akhirnya sampai di ruang divisi perfumer. Suasana di laboratorium hening, hanya suara tetesan cairan dan bisikan diskusi antar perfumer yang terdengar.Ketika Esme akan duduk di meja, seorang pria berusia empat puluh tahunan menghampirinya. Dengan pembawaan yang berwibawa, ia memperkenalkan diri.“Saya Jackson, wakil kepala perfumer di sini,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Esme.“Hari ini, Bu Violin harus bertugas di pabrik sampai jam istirahat siang. Jadi, untuk sementara saya yang akan mendampingi kalian.”Jackson lantas menatap Disti yang berdiri tak jauh dari Esme.”Kamu bisa membantu Kirana di laboratorium. Dia sedang mengerjakan batch baru. Sedangkan Esme, ikut saya, kita mulai latihan dasar dulu.”“Baik, Pak,” jawab Disti patuh.Tanpa membuang waktu, Esme mengikuti langkah Pak Jackson menuju salah satu meja yang dipenuhi botol-botol kaca kecil dan kertas blotter. Pria itu mengambil sebuah botol parfum yang sudah jadi, membuka tutupnya, dan mengulurkan ke tangan E
Pukul enam tepat, Esme terbangun lebih dahulu dari Reinan. Tubuhnya masih terbungkus selimut hangat, sementara ingatannya kembali pada malam sebelumnya. Dia yakin dirinya ketiduran sambil belajar.Namun kini, buku yang semestinya berada dalam dekapannya telah lenyap. Esme tersentak panik. Tangannya meraba-raba permukaan ranjang, lalu ia cepat bangkit.Di atas nakas, kedua buku itu tergeletak rapi, jelas diletakkan di sana oleh seseorang.Esme menoleh ke samping. Reinan masih tertidur pulas, napasnya teratur dan wajahnya begitu damai.Senyum tipis merekah di bibir Esme. Hatinya menghangat karena ia tahu, sang suami-lah yang merapikan buku dan membaringkannya dengan penuh perhatian.Perlahan, Esme beringsut turun dari ranjang agar tidak menimbulkan suara. Tubuhnya bergerak lincah menuju wardrobe.Jemari mungil Esme memilih kemeja dan jas kerja milik Reinan, kemudian menyiapkan setelan blazer untuk dirinya sendiri.Sesudah itu, Esme menuju kamar mandi. Air dingin menyapa kulitnya, menyeg
Balkon lantai dua mansion disinari cahaya lampu yang temaram. Nelson duduk sendirian di sana dengan sikap malas. Tangannya memegang segelas anggur merah, sementara ekspresi wajahnya tampak kaku.Di meja kecil, sebuah ponsel berdering. Layarnya sesekali berkedip ketika ada notifikasi pesan masuk.Lagi-lagi yang muncul adalah pesan dari Wina. Gadis licik itu tak henti mengirimkan ancaman. Dia berkata akan menyerahkan liontin ke tangan Reinan, jikalau Nelson batal memberinya empat milyar.“Kau pikir akan semudah itu mendapatkan uang? Tidak lama lagi liontin keluarga Gunadi akan kuambil darimu, Wina,” gumam Nelson sembari memblokir nomor gadis itu.Nelson tetap menunggu. Bibirnya sesekali bergerak, tetapi tatapan matanya tak lepas dari ponsel. Hingga akhirnya layar berkelap-kelip, tanda panggilan yang ia nanti tiba. Lekas saja, Nelson meletakkan gelas anggurnya dengan bunyi dentingan ringan. Kemudian, ia meraih ponsel dan menempelkan ke telinga.“Apa saja yang kau dapat hari ini?” tanya
Setiba di parkiran basement, Esme melangkah pelan dengan jantung yang berdebar. Matanya meneliti sekeliling, memastikan tak ada seorang pun karyawan yang berkeliaran. Setelah merasa cukup aman, barulah ia mendekat ke arah mobil yang terparkir di sudut, mobil milik Reinan.Reinan yang sejak tadi menunggu di balik tirai tipis, diam-diam memperhatikan tingkah istrinya. Melihat Esme celingukan ke kanan dan ke kiri, Reinan menjadi gemas. Ia mendengus pendek, lalu tanpa menunggu lebih lama tangannya membuka pintu mobil.Begitu Esme berada dalam jangkauan, Reinan segera meraih pergelangan tangan sang istri dan menariknya masuk. “Rein!” Esme terpekik, nyaris kehilangan keseimbangan. Sekejap kemudian tubuh mungilnya sudah terduduk di jok kulit yang hangat.Klik. Suara pintu mobil yang dikunci terdengar jelas. Reinan memberi isyarat singkat pada sopirnya agar segera menjalankan mobil keluar dari basement. Tatapannya lalu beralih pada Esme, penuh dengan kerinduan.“Aku kangen.” Wajah Reinan men