“Tolong pinjamkan aku uang seratus juta, Pa,” pinta Esme dengan tubuh gemetar.
Tangan mungil gadis itu terkepal erat di sisi tubuh, berusaha membendung gelombang kepedihan. Di telinganya terpasang alat bantu dengar, membantunya menangkap suara-suara di sekeliling dengan lebih jelas.
“Mama butuh perawatan lanjutan. Dan, aku harus membayar biayanya paling lambat besok.”
Esme menahan napas saat ayahnya mengangkat wajah dari tumpukan berkas. Tatapan dingin itu menghantamnya lebih keras daripada kata-kata. Bukan iba yang tampak di wajah sang ayah, melainkan kejengkelan yang jelas terpancar.
“Perusahaan kita sedang dalam masa sulit. Kau pikir dari mana Papa bisa dapat uang sebanyak itu?” balas Tuan Rezam, seperti palu yang memukul habis harapan Esme.
Esme menggigit bibir bawahnya. Ayahnya jelas berbohong, tetapi ia tak mampu membuktikannya.
Di saat bersamaan, suara sinis yang tak diharapkannya terdengar di dalam ruangan.
“Esme, kalau kau memang butuh uang, ada satu cara,” ucap Nyonya Belinda.
Dengan sorot mata licik, perempuan paruh baya itu duduk di sofa sembari menyilangkan kakinya.
“Gantikan Wina menikah dengan Tuan Muda kedua dari keluarga Gunadi. Reinan Amadeo Gunadi. Ibunya akan memberikan mahar lima miliar pada keluarga mempelai.”
Nyonya Belinda kemudian mencodongkan tubuhnya ke depan, menatap Esme lebih dekat.
“Jika kau bersedia menjadi istri Reinan,” Nyonya Belinda menyeringai manis, “kau akan menerima satu miliar. Itu lebih dari cukup untuk menyelamatkan nyawa ibumu yang sedang koma.”
Seketika, darah Esme seolah surut dari wajah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak mendengar nama itu.
Ia memang tak bisa mendengar sejelas orang lain, tetapi rumor tentang ‘Tuan Muda Gunadi’ telah lama mengudara di berbagai penjuru kota. Pria itu dikabarkan kehilangan kewarasannya setelah mengalami kecelakaan tragis beberapa tahun lalu. Bahkan, ia bisa mengamuk saat ‘penyakit gilanya’ kambuh.
Tak ada perempuan yang mau dinikahkan dengan Tuan Muda Gunadi. Bahkan, keluarganya sendiri mulai kehilangan harapan, kecuali satu: menjadikan pernikahan itu sebagai alat transaksi.
Sebelum Esme sempat menjawab, terdengar tawa ringan dari arah pintu. Wina, adik tiri Esme, melangkah masuk sembari mengibaskan rambut panjangnya.
“Kenapa kau ragu, Kak Esme? Kau tuli dan sudah nggak suci lagi. Siapa pria waras di kota Caspia yang mau menikahimu?”
Gadis itu mendekat, tangannya menyentuh ringan daun telinga Esme. Senyum penuh ejekan merekah di bibir Wina, seolah menikmati dilema yang sedang dihadapi oleh kakak tirinya.
“Reinan Gunadi nggak akan tahu kau bukan perawan,” lanjut Wina santai. “Bukankah itu sempurna? Kau mendapatkan suami dan bisa memperpanjang umur Tante Joana. Kesempatan langka.”
Seketika, air mata Esme jatuh tanpa peringatan. Deras. Panas. Pedih.
Ucapan Wina bak pintu gerbang menuju kenangan yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
Dua tahun lalu. Malam penuh neraka. Saat dirinya yang dalam keadaan lengah dijebak oleh Wina ke sebuah kamar hotel.Pintu terkunci. Lampu padam. Dan, seorang pria asing tiba-tiba mencengkeram tangannya... lalu merenggut kesuciannya secara paksa.
Ia tak pernah tahu siapa pria itu. Nyonya Belinda dan Wina hanya tertawa keesokan harinya, mengatakan bahwa itu adalah kesalahan Esme sendiri yang keliru mendengar nomor kamar hotel.
Mengingat semua peristiwa pahit itu, Esme mengusap sudut matanya dengan ujung jari. Tak dapat dipungkiri bahwa apa yang dikatakan Wina memang benar. Ia harus rela mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa sang ibu.
“Kapan pernikahan itu akan dilangsungkan?” tanya Esme dengan suara parau.
“Besok pagi. Begitu papamu menelepon Nyonya Tania, maka uang satu miliar itu akan langsung ditransfer ke rekeningmu,” jawab Nyonya Belinda tersenyum licik.
Cairan bening kembali mengumpul di pelupuk mata Esme. Jika ini satu-satunya jalan keluar, ia bersedia mengambil risiko untuk menjadi menantu keluarga Gunadi.
“A-aku bersedia menikah dengan Reinan Gunadi. Asalkan… aku bisa segera mendapatkan uangnya.”
***
Gaun pengantin berwarna putih telah membungkus tubuh Esme dengan keanggunan. Namun, hatinya terasa berdenyut nyeri di dalam sana. Gadis itu hanya membisu ketika perias menurunkan veil dari puncak kepalanya untuk menutupi wajah.
“Bawalah bunga ini, supaya kau terlihat seperti pengantin sungguhan,” ujar Nyonya Belinda, menyodorkan seikat bunga ranunculus putih.
Esme menerima buket bunga itu dengan tangan gemetar. Hatinya tak ingin menyentuh, tetapi tubuhnya pasrah pada nasib.
“Waktunya kita berangkat,” timpal Tuan Rezam, menggamit lengan Esme.
Tanpa sepatah kata, pria paruh baya itu menggiring putrinya ke mobil yang terparkir di halaman. Mobil melaju menembus padatnya jalan raya, tetapi dada Esme justru terasa semakin sesak.
Dua puluh menit kemudian, kendaraan berhenti di depan bangunan tua di pinggir kota—gereja kuno yang tersembunyi di balik rindangnya pepohonan. Punggung Esme mendadak terasa dingin.
“Ayo, kita turun, Esme,” pungkas Tuan Rezam.
Begitu kaki Esme menyentuh tanah, ia melihat seorang pria bertubuh tegap sedang berdiri di depan pintu gereja. Ia adalah Nelson Gunadi, putra sulung keluarga Gunadi—tokoh dengan citra sempurna di mata publik.
Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik dalam balutan gaun berwarna merah—Vera, istri Nelson. Bibir wanita itu melengkung, membantuk seringai yang menilai sekaligus meremehkan.
“Ah, jadi ini calon adik iparku?” ujar Nelson, menatap Esme seperti meneliti barang dagangan. “Masuklah. Rein dan pendeta sudah menunggu.”
Esme hanya menunduk. Tenggorokannya terasa kering kerontang.
Tanpa protes sedikit pun, ia membiarkan dirinya dibimbing oleh sang ayah melewati pintu gereja. Lagu pengiring pengantin mulai dimainkan, menggema melalui pilar-pilar batu tua di sekelilingnya.
Semakin dekat ke altar, Esme bisa melihat sosok pria muda yang berdiri di sana. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, alis hitam pekat dan hidung mancung. Dalam balutan jas pengantin berwarna hitam, pria itu terlihat semakin menawan.
Esme yakin dia adalah Reinan Amadeo Gunadi, sang calon suami. Hanya saja, Reinan tak berdiri dengan tegap sebagaimana pengantin pria pada umumnya.
Pria itu justru tampak gelisah, berputar ke kiri dan ke kanan sambil menarik-narik ujung jasnya. Sesekali, ia mencopot bunga di dada, lalu memainkannya seperti anak kecil yang bosan mengikuti pesta.
Tangan kanan Reinan digenggam erat oleh seorang wanita paruh baya yang anggun—Nyonya Tania, ibunda Reinan. Wajahnya tersenyum sabar, tetapi auranya memancarkan kekuasaan penuh seorang bangsawan.
Reinan menggelengkan kepala keras-keras. “Aku bosan! Bosan sekali berdiri di sini!” serunya lantang, seraya merengek manja pada sang ibu.
“Aku mau main rumput di luar! Mau lari-lari, Ma!”
Dunia seakan berhenti berputar. Esme hanya bisa menatap ke arah Reinan dengan ekspresi tak percaya.
‘Ya Tuhan... inikah lelaki yang akan menjadi suamiku?’ pikirnya miris.
Walaupun Esme telah memejamkan mata selama beberapa menit, rasa kantuk tak kunjung datang. Ia mengatur napas perlahan, berharap suara detak jam atau desiran lembut pendingin ruangan bisa menenangkan pikirannya. Akan tetapi, kenyataan justru berbanding terbalik. Bukan lagi bayang-bayang Bella atau sosok Nelson yang mengusik, melainkan ada sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih menyayat.Hatinya gelisah.Barangkali karena aroma seprai hotel yang terlalu bersih, atau mungkin karena kenangan pahit yang tiba-tiba menyeruak.Ini bukan pertama kalinya Esme menginap di hotel. Namun inilah kali pertama ia menapakkan kaki di sebuah kamar hotel, setelah malam kelam itu. Dan, meski Reinan ada di sisinya, rasa tak nyaman itu kembali menjalar. Membuat punggung Esme mulai menggigil, seperti diselimuti hawa dingin.Sebelum trauma itu kian menguat, Esme memilih untuk mengalihkan perhatian. Mungkin, berbincang dengan Reinan bisa sedikit menenangkan hatinya.Tak lama berselang, Esme memb
Mobil berhenti perlahan di area parkir bawah tanah Hotel Artemis, mengikuti arahan dari petugas hotel. Mesin dimatikan, dan suasana menjadi sedikit hening. Hanya terdengar desau samar kendaraan lain yang melintas di kejauhan.Tanpa berkata apa-apa, Reinan meraih tas hitam yang disimpan di kursi belakang. Gerakannya cepat dan terkontrol. Ia membuka resleting tas itu dan mengeluarkan dua benda: sepasang kacamata berbingkai tebal dan masker biru muda. Dengan raut wajah serius, ia menyodorkannya pada Esme. “Pakai ini sebelum kita masuk,” ucapnya singkat.Esme mengerutkan kening heran. Ia menatap kacamata di tangannya, lalu melirik Reinan dengan bingung.“Untuk apa ini, Rein?” Reinan mendekat, suaranya diturunkan sedikit, seolah sedang membisikkan rahasia penting. “Penyamaran. Mama bilang aku nggak boleh tampil di tempat ramai. Bahaya kalau ada yang tahu aku Reinan Gunadi. Nanti aku bisa diculik oleh kelompok mafia internasional,” ujarnya penuh keyakinan.Esme menahan tawa yang menggelit
Esme baru saja keluar dari kamar mandi, segar dalam balutan gaun biru laut yang jatuh mengikuti lekuk tubuhnya. Gaun tersebut membuat warna kulitnya tampak semakin cerah, menyatu dengan kilau cahaya matahari yang masuk dari jendela.Saat melangkah ke dalam kamar, Esme melihat Reinan sedang duduk di sofa dengan raut serius. Pria itu sudah berganti baju dengan kemeja biru tua yang dimasukkan ke dalam celana panjang."Ayo, kita sarapan dulu. Aku sudah kelaparan," kata Reinan langsung berdiri dan tersenyum lebar.Tanpa menunda lagi, Reinan menarik lengan Esme untuk mengikutinya. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan kamar, gadis itu terbelalak kagum. Apartemen milik Reinan ternyata sangat luas, bernuansa hangat dengan lantai kayu yang mengilat.Jendela besar membingkai pemandangan kota yang masih berkabut. Dekorasinya elegan, penuh dengan sentuhan maskulin. Esme berpikir, mungkin Reinan sendiri yang menata setiap ruangan di apartemennya, sebelum ia mengalami kecelakaan.Ketika mereka
Di atas ranjang empuk berlapis seprai sutra, Vera menggeliat seperti kucing yang baru bangun dari tidur panjang. Setelah sekian lama, ia dapat beristirahat tanpa gangguan, tanpa omelan Nelson dan tanpa komando untuk tidur di sofa. Dia tidak harus melihat wajah masam sang suami, yang lebih sering mengintimidasi ketimbang mencintai.Hari ini, dunia terasa miliknya. Nelson masih di luar kota, dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi langkahnya. Wajah Vera merekah dengan senyum penuh kepuasan. Ia mengingat kembali kejadian kemarin—bagaimana Esme mabuk berat karena minuman yang secara ‘tidak sengaja’ ditawarkan oleh Chika dan Lisya. Ah, kemenangan kecil yang terasa manis! Dia berencana merayakannya sepanjang hari ini.Kalung berlian sudah terbayang melingkari lehernya. Rambut akan ia gulung tinggi dengan jepitan bunga kristal. Dan, ia akan pergi bersama teman-temannya, menghabiskan hari penuh tawa, belanja, dan mungkin sedikit bergosip di rooftop kafe yang sedang hits.Dengan semanga
Sinar pagi menelusup di balik tirai putih yang setengah terbuka.Esme terbangun perlahan, kepalanya berat seolah baru dihantam kenyataan pahit. Ia meringis sambil memegangi pelipisnya yang berdenyut. Kelopak matanya mengerjap, mencoba mengenali sekitar. Langit-langit ruangan itu tampak asing. Begitu pula dengan dinding kamar, ranjang, dan seprai tempat ia berbaring. Jelas ini bukan kamar di paviliun, yang biasa ia tempati bersama Reinan. “Di mana aku?” bisik Esme, kebingungan.Dengan tubuh lemah, Esme menoleh ke kanan dan kiri. Ketika matanya jatuh ke arah tubuhnya sendiri, rasa takut dan panik segera menyerbu. Ia telah berganti pakaian, dengan piyama putih longgar yang jelas bukan miliknya. Itu ukuran pria, dan aroma wanginya sangat maskulin. Jantung Esme seketika berdetak lebih cepat. Ia menarik selimut hingga ke dagu, menutupi tubuhnya seolah itu bisa menghapus kenyataan. Seseorang telah mengganti bajunya saat ia tidak sadar. Seseorang telah melihat dirinya tanpa perisai, tanp
Tanpa berkata apa-apa, Reinan segera menarik selimut dan menutupi tubuh Esme kembali. Ia pun menjauh dari ranjang sambil menarik napas dalam-dalam. Esme masih meracau, tangis lirihnya menggema, diselingi gumaman ketakutan“Jangan…jangan paksa aku.”Mendengar itu, Reinan mengepalkan tangan di sisi tubuh. Kini, ia mulai mengerti bahwa istrinya menyimpan luka yang tak pernah terucap. Luka yang mungkin tak bisa sembuh hanya dengan cinta, tetapi butuh waktu dan penerimaan.“Aku tidak akan menyakitimu lagi, Esme,” gumamnya lirih. Suara Reinan hampir tenggelam dalam bunyi detik jam di dinding.Untuk beberapa saat, Reinan hanya berdiri terpaku di sisi ranjang, menatap tubuh mungil istrinya yang masih menggeliat dalam mimpi buruk. Gadis itu tampak begitu rapuh. Meski mata Esme terpejam, kelopak matanya tampak bergetar dan dari sudut-sudutnya mengalir air mata yang tak mampu ia tahan. Reinan mengusap rambutnya sendiri dengan frustasi. Ia tidak bisa membiarkan Esme terus tertidur dengan pakai