LOGINHangat. Itulah kesan pertama yang menyergap Esme. Bibir Reinan terasa kontras dengan bibirnya sendiri yang membeku oleh rasa gugup.
Ia pikir ciuman itu akan berlangsung kaku dan cepat, sekadar formalitas demi menyenangkan Nyonya Tania. Namun, kenyataannya berbeda.
Bibir Reinan tak hanya menempel, tetapi mulai bergerak. Perlahan. Lembut. Seolah pria itu tahu apa yang sedang ia lakukan.
Jantung Esme berdetak makin kencang. Perasaannya terombang-ambing antara keterkejutan, dilema, dan sebuah percikan emosi yang belum ia kenal. Ada sesuatu yang mengalir dari Reinan ke dirinya—entah ketulusan, atau sekadar khayalan yang terlalu berlebihan.
Tak ayal, semua mata tertuju pada peristiwa mencengangkan itu. Wina mendecak kesal, sedangkan Nyonya Belinda mengerjapkan mata. Ibu dan anak itu tak percaya bahwa lelaki yang mereka anggap bodoh ternyata mampu melakukan ciuman yang begitu nyata.
Ketegangan di ruang gereja baru mencair ketika terdengar tepuk tangan dari barisan bangku kanan. Seorang pria paruh baya berdiri dengan ekspresi bahagia. Ia adalah Kailash—pelayan pribadi Reinan, sekaligus mantan asisten setia mendiang Tuan Gunadi.
“Tuan Muda sangat hebat,” puji Kailash lantang. “Selamat atas pernikahannya.”
Tindakan Kailash menjadi aba-aba yang membangunkan para tamu dari kebisuan. Mau tak mau, mereka ikut bertepuk tangan, meski tak semua benar-benar paham pada apa yang terjadi.
Di tengah gemuruh tepuk tangan, Esme menundukkan kepala dalam-dalam. Pipinya masih hangat karena bekas ciuman Reinan. Sebelum ia bisa menenangkan diri, tangannya tiba-tiba ditarik ke depan.
“Mereka semua bertepuk tangan! Sekarang kita harus berdansa, seperti di cerita Cinderella!” ajak Reinan, penuh semangat.
Esme terbelalak. “Hah? Berdansa?”
Tanpa aba-aba, Reinan sudah lebih dulu memutar tubuh Esme, menggenggam kedua tangannya dan mulai berputar-putar ringan di depan altar. Gerakannya tidak elegan, malah seperti bocah yang sedang menari sembarangan di taman.
Esme bingung harus berbuat apa. Ia hanya mengikuti gerakan Reinan, setengah terpaksa, setengah malu.
Beruntung, Nyonya Tania segera maju untuk menyudahi pertunjukan aneh itu.
“Sudah waktunya pulang, Rein. Bi Leli menyiapkan kue cokelat kesukaanmu di rumah.”
Mendengar itu, Reinan berhenti berputar dan melepaskan tangan Esme. Matanya membesar penuh antusias.
“Benarkah? Yang pakai taburan choco chips, Ma?”
“Iya, Sayang. Yang paling kamu suka,” jawab Nyonya Tania mengangguk lembut.
Reinan tertawa kecil dan menatap Esme. “Apa Esme akan ikut?”
“Tentu saja. Dia sudah menjadi istrimu.”
Reinan tertawa riang, dan langsung melambaikan tangan kepada Kailash yang masih berdiri di bangku.
“Paman Kailash, ayo kita pulang! Bawa mobilnya cepat! Aku mau makan kue!”
“Siap, Tuan Muda."
Dengan sigap, pria yang sebagian rambutnya telah memutih itu, menggandeng Reinan yang sesekali melompat kegirangan.
Sementara Reinan meninggalkan gedung gereja, Esme tetap berdiri di tempat. Tubuhnya membeku, jiwanya seperti menolak mengikuti pria yang belum memahami peran sebagai seorang suami.
Di dalam hati, Esme ingin tetap di sini—di bawah naungan langit-langit gereja yang sejuk, karena di luar kenyataan jauh lebih menyakitkan.
“Kenapa kamu hanya berdiri? Ikut suamimu sekarang,” tegur Nyonya Tania, membuyarkan lamunan Esme.
Melihat Nyonya Tania mulai marah, Tuan Rezam dan Nyonya Belinda mendekat dengan ekspresi penuh basa-basi.
“Maafkan putri kami, Nyonya Tania,” tutur Tuan Rezam dengan suara merendah. “Esme belum terbiasa menjadi menantu keluarga besar seperti keluarga Gunadi.”
“Benar,” timpal Nyonya Belinda. “Esme akan tinggal bersama Reinan selamanya. Seluruh pakaian dan barang milik Esme sudah kami kirimkan ke mansion keluarga Gunadi dari jam tujuh pagi.”
Ucapan sang ibu tiri bagaikan palu terakhir yang menentukan takdir Esme. Ia hanya bisa menarik napas panjang, lalu berjalan keluar dari gereja. Gaun pengantin panjangnya menyeret lantai, menyapu sisa bunga yang berjatuhan di sepanjang lorong.
Di hadapan semua orang, Esme memang telah menikah. Namun, di dalam hatinya hari ini bukan permulaan bahagia, melainkan sebuah perjalanan panjang untuk menjadi teman bermain Reinan Gunadi.
***
Tak jauh dari gedung gereja, sebuah mobil hitam telah menanti Esme. Ketika ia mendekat, Kailash segera turun dari kursi penumpang dan membukakan pintu.
"Silakan, Nyonya Muda,” ucapnya penuh penghormatan.
Sedikit membungkuk, Kailash memegangi ujung gaun pengantin Esme yang menjuntai. Memastikan agar renda-renda halus tak tersangkut pada besi tajam di sisi pintu.
Esme melangkah ke dalam kabin dengan hati-hati, lalu menutup gaun di pangkuannya. Di dalam mobil, ia melihat Reinan sedang larut dalam dunianya sendiri. Mata pria itu menatap penuh konsentrasi, sedangkan jemarinya yang panjang sibuk menekan beberapa tombol.
Duduk di samping Reinan membuat dada Esme kembali berdegup. Padahal, pria itu asyik sendiri dengan ponselnya, seolah tak peduli bahwa wanita yang baru saja ia nikahi ada di dekatnya.
Kailash sudah kembali ke kursi depan, duduk di sebelah sopir dan langsung memberikan perintah.
“Jalan pelan saja. Tuan Muda tidak suka guncangan mendadak.”
Roda pun bergulir meninggalkan halaman gereja.
Esme mengatupkan telapak tangannya yang dingin, sambil mencuri pandang ke arah Reinan. Ia berdehem kecil, sebelum mencoba membuka percakapan dengan sang suami.
“Rein, sedang main game apa?”
Reinan menjawab cepat tanpa mengalihkan pandangannya. “Main ‘Shadow Patriot’. Ini tentang pahlawan yang menyamar jadi rakyat biasa, lalu menembaki penjahat pakai senjata laser. Aku paling suka membasmi penjahat.”
Mata Reinan membulat penuh semangat. “Mau lihat?”
Sebelum Esme menjawab, Reinan sudah mencodongkan tubuhnya untuk menunjukkan betapa seru permainan yang ia gemari.
Bersamaan dengan itu, sopir tiba-tiba mengerem mendadak karena seekor kucing liar menyeberang jalan. Alhasil, tubuh Reinan dan Esme kehilangan keseimbangan. Dalam satu hentakan singkat, mereka saling menabrak.
“Ah!”
Esme terhuyung, dan tanpa sengaja—bibirnya menyentuh pipi Reinan.
Setelah peristiwa itu, Esme dan Reinan kembali ke mansion. Mereka hidup dalam ketenangan dan kedamaian yang sudah lama mereka rindukan. Kondisi kesehatan Nyonya Nirmala, ibu Esme, kini jauh membaik. Meski masih harus duduk di kursi roda, ia sudah bisa berbicara dan tertawa pelan bersama putrinya. Setelah dokter menyatakan aman, Esme membawa sang ibu pulang untuk tinggal di mansion. Hari-hari mereka kembali hangat oleh kasih sayang keluarga.Esme yang tengah hamil besar menghabiskan waktu di dapur, menyiapkan sarapan untuk Reinan, lalu duduk di ruang kerja kecil yang ia ubah menjadi ruang parfum.Bersama ibunya, ia kembali meracik aroma baru yang menenangkan jiwa. Terkadang, Esme mencoba melakukan beberapa eksperimen yang bisa dijadikan produk parfum baru di Gala Corp. Namun siang itu, perut Esme tiba-tiba kram hebat disertai sensasi hangat yang mengalir di antara kedua kakinya. Esme terperanjat. Pandangannya menurun dan mendapati lantai sudah basah oleh cairan bening.“Mama, air ke
Usai mendapatkan sambutan meriah dari para tamu, Esme duduk kembali di kursinya. Jantungnya masih berdebar kencang setelah mendengar namanya disebut di hadapan begitu banyak orang. Sementara itu, Reinan masih berdiri tegak di podium. Suaranya berubah lebih lembut dan bergetar oleh emosi yang dalam.“Terakhir, saya ingin mempersembahkan parfum ‘Eternal Mother’ untuk mengenang sosok wanita yang lembut, pengertian, dan selalu menyayangi saya tanpa syarat. Di adalah ibu kandung saya, Tiffany Gunadi.”Sekejap, suasana berubah menjadi senyap. Bahkan, kamera wartawan yang sedari tadi berkilat pun berhenti.Reinan menatap layar besar di belakangnya, dan di sana muncul sebuah foto lama, seorang wanita muda yang menggendong bayi laki-laki dengan senyum lembut.Wanita itu mirip sekali dengan Tania Gunadi, yang dikenal publik sebagai ibu kandung Reinan. Namun, bagi yang memperhatikan dengan seksama, perbedaannya jelas terlihat.Tiffany memiliki lesung pipi halus di sisi kiri, rambutnya berwarna l
Pagi itu adalah hari yang sangat penting untuk Esme. Hari di mana hasil karya pertamanya akan diperkenalkan kepada publik. Dari pantulan kaca meja rias, tampak Reinan sedang mencoba setelan jas yang baru dikirim dari butik langganannya. Jas yang dikenakan Reinan berwarna sage green, dipadukan dengan kemeja putih gading. Warna itu tidak terlalu mencolok, tetapi memancarkan kesan lembut sekaligus maskulin.“Sayang, biar aku bantu,” ujar Esme sambil mendekat. Ia mengeluarkan dasi dari kotak dan melingkarkannya di leher Reinan dengan cekatan. Reinan menatap wajah istrinya di cermin, matanya menyimpan senyum kecil. “Aku bisa pakai sendiri. Lebih baik kamu lanjut berdandan, Sayang.”Esme terkekeh kecil. “Aku sudah selesai. Tinggal ganti baju dan menyisir rambut.”Setelah memastikan dasi Reinan terpasang dengan sempurna, Esme berbalik menuju ranjang. Ia mengambil gaunnya yang berwarna mint pastel, serasi dengan jas yang dikenakan sang suami.Saat Esme sedang mengenakan gaun tersebut, ia
Langit siang di atas gedung Gala Corp terasa begitu terik, tetapi di dalam laboratorium aroma parfum memenuhi udara.Esme berdiri di depan meja kerjanya, mengenakan sarung tangan lateks dan kacamata pelindung. Ia mencoba menenangkan pikiran, menghapus bayangan wajah Isabella yang menuduhnya di depan umum.Esme tidak ingin menjadikan luka itu alasan untuk berhenti. Ia menatap cairan bening di dalam vial kecilnya dengan tekad bulat. Rekan-rekannya di divisi perfumer tampak memahami suasana itu. Tak satu pun dari mereka menyinggung kejadian pagi tadi di lobi.Mereka bekerja dalam diam, saling bertukar aroma, menakar tetesan, dan mencatat formula. Hingga akhirnya, Esme berhasil membuat racikan yang cocok untuk tema ‘wedding fragrance’.Setelah berdiri lama, rasa pegal di pinggang Esme semakin terasa. Ia pun melepaskan jas lab dan berjalan ke ruang administrasi.Duduk di kursi, Esme menyandarkan punggungnya, memejamkan mata sejenak.Hatinya bimbang—entah Reinan akan menepati janjinya untuk
Setelah mengetahui Reinan akan datang, Isabella segera memesan hidangan yang dulu menjadi favorit mereka. Semua itu ia siapkan, untuk menghidupkan kembali kenangan manis di antara mereka.Sambil menunggu, Isabella mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. Ia memoles wajah dengan bedak, merapikan lipstik, lalu menyisir rambut dengan jari. Pantulan dirinya di cermin menatap balik dengan penuh keyakinan — cantik, elegan, dan siap menaklukkan hati pria yang pernah menjadi miliknya.“Reinan hanya butuh diingatkan,” gumam Isabella tersenyum sendiri.Jarum jam terus berputar. Lima belas menit, dua puluh menit, hingga akhirnya jarum panjang mendekati pukul sebelas siang.Jantung Isabella berdegup makin kencang. Ia menatap pintu kafe berulang kali, seolah setiap tamu yang masuk adalah Reinan.Tak berselang lama, seorang pria menawan muncul di pintu kafe. Reinan, dengan ketampanan yang semakin matang dan wibawa seorang CEO, membuat para pelayan di kafe itu menoleh serempak.Tatapan Reinan menyapu
Lobi kantor Gala Corp kini menjadi panggung yang menegangkan.Di tengah ruangan yang berdinding kaca, dua sosok perempuan berdiri saling berhadapan—Esme dan Isabella. Setiap tatapan karyawan menancap pada mereka seperti ribuan jarum yang menusuk.Isabella terus melancarkan serangan kepada Esme. Namun kali ini, Esme memutuskan untuk tidak mengalah lagi. Cukup lama ia hidup dalam diam, menjadi sasaran fitnah dari orang-orang yang memanfaatkan dirinya. Maka dengan tekad yang baru, Esme menegakkan kepala, menatap Isabella dengan sorot yang tegas.“Cukup, Isabella! Sampai kapan kau mau memutarbalikkan fakta?” sahut Esme. “Kau hanya berpura-pura hamil, demi merebut suami wanita lain.”Seisi lobi sontak membeku ketika Esme menyebut kata ‘suami’. Situasi yang awalnya tidak berpihak pada Esme, kini telah berubah arah. Mereka semua bertanya-tanya, mungkinkah pernyataan Esme adalah pengakuan tersirat bahwa Reinan Gunadi adalah suaminya? Meski begitu, sebagian masih meragukan bahwa seorang per







