Share

Lugu Tapi Menawan

Penulis: Risca Amelia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 00:07:25

Hangat. Itulah kesan pertama yang menyergap Esme. Bibir Reinanan terasa kontras dengan bibirnya sendiri yang membeku oleh rasa gugup.

Ia pikir ciuman itu akan berlangsung kaku dan cepat, sekadar formalitas demi menyenangkan Nyonya Tania. Namun, kenyataannya berbeda.

Bibir Reinan tak hanya menempel, tetapi mulai bergerak. Perlahan. Lembut. Seolah pria itu tahu apa yang sedang ia lakukan. 

Jantung Esme berdetak makin kencang. Perasaannya terombang-ambing antara keterkejutan, dilema, dan sebuah percikan emosi yang belum ia kenal. Ada sesuatu yang mengalir dari Reinan ke dirinya—entah ketulusan, atau sekadar khayalan yang terlalu berlebihan.

Tak ayal, semua mata tertuju pada peristiwa mencengangkan itu. Wina mendecak kesal, sedangkan Nyonya Belinda mengerjapkan mata. Ibu dan anak itu tak percaya bahwa lelaki yang mereka anggap bodoh ternyata mampu melakukan ciuman yang begitu nyata.

Ketegangan di ruang gereja baru mencair ketika terdengar tepuk tangan dari barisan bangku kanan. Seorang pria paruh baya berdiri dengan ekspresi bahagia. Ia adalah Kailash—pelayan pribadi Reinan, sekaligus mantan asisten setia mendiang Tuan Gunadi.

“Tuan Muda sangat hebat,” puji Kailash lantang. “Selamat atas pernikahannya.”

Tindakan Kailash menjadi aba-aba yang membangunkan para tamu dari kebisuan. Mau tak mau, mereka ikut bertepuk tangan, meski tak semua benar-benar paham pada apa yang terjadi.

Di tengah gemuruh tepuk tangan, Esme menundukkan kepala dalam-dalam. Pipinya masih hangat karena bekas ciuman Reinan. Sebelum ia bisa menenangkan diri, tangannya tiba-tiba ditarik ke depan.

“Mereka semua bertepuk tangan! Sekarang kita harus berdansa, seperti di cerita Cinderella!” ajak Reinan, penuh semangat.

Esme terbelalak. “Hah? Berdansa?”

Tanpa aba-aba, Reinan sudah lebih dulu memutar tubuh Esme, menggenggam kedua tangannya dan mulai berputar-putar ringan di depan altar. Gerakannya tidak elegan, malah seperti bocah yang sedang menari sembarangan di taman. 

Esme bingung harus berbuat apa. Ia hanya mengikuti gerakan Reinan, setengah terpaksa, setengah malu. 

Beruntung, Nyonya Tania segera maju untuk menyudahi pertunjukan aneh itu.

“Sudah waktunya pulang, Rein. Bi Leli menyiapkan kue cokelat kesukaanmu di rumah.”

Mendengar itu, Reinan berhenti berputar dan melepaskan tangan Esme. Matanya membesar penuh antusias. 

“Benarkah? Yang pakai taburan choco chips, Ma?”

“Iya, Sayang. Yang paling kamu suka,” jawab Nyonya Tania mengangguk lembut.

Reinanan tertawa kecil dan menatap Esme. “Apa Esme akan ikut?”

“Tentu saja. Dia sudah menjadi istrimu.”

Reinan tertawa riang, dan langsung melambaikan tangan kepada Kailash yang masih berdiri di bangku. 

“Paman Kailash, ayo kita pulang! Bawa mobilnya cepat! Aku mau makan kue!”

“Siap, Tuan Muda."

Dengan sigap, pria yang sebagian rambutnya telah memutih itu, menggandeng Reinan yang sesekali melompat kegirangan.

Sementara Reinan meninggalkan gedung gereja, Esme tetap berdiri di tempat. Tubuhnya membeku, jiwanya seperti menolak mengikuti pria yang belum memahami peran sebagai seorang suami.

Di dalam hati, Esme ingin tetap di sini—di bawah naungan langit-langit gereja yang sejuk, karena di luar kenyataan jauh lebih menyakitkan.

“Kenapa kamu hanya berdiri? Ikut suamimu sekarang,” tegur Nyonya Tania, membuyarkan lamunan Esme.

Melihat Nyonya Tania mulai marah, Tuan Rezam dan Nyonya Belinda mendekat dengan ekspresi penuh basa-basi.

“Maafkan putri kami, Nyonya Tania,” tutur Tuan Rezam dengan suara merendah. “Esme belum terbiasa menjadi menantu keluarga besar seperti keluarga Gunadi.”

“Benar,” timpal Nyonya Belinda. “Esme akan tinggal bersama Reinan selamanya. Seluruh pakaian dan barang milik Esme sudah kami kirimkan ke mansion keluarga Gunadi dari jam tujuh pagi.”

Ucapan sang ibu tiri bagaikan palu terakhir yang menentukan takdir Esme. Ia hanya bisa menarik napas panjang, lalu berjalan keluar dari gereja. Gaun pengantin panjangnya menyeret lantai, menyapu sisa bunga yang berjatuhan di sepanjang lorong.

Di hadapan semua orang, Esme memang telah menikah. Namun, di dalam hatinya hari ini bukan permulaan bahagia, melainkan sebuah perjalanan panjang untuk menjadi teman bermain Reinan Gunadi. 

***

Tak jauh dari gedung gereja, sebuah mobil hitam telah menanti Esme. Ketika ia mendekat, Kailash segera turun dari kursi penumpang dan membukakan pintu.

"Silakan, Nyonya Muda,” ucapnya penuh penghormatan.

Sedikit membungkuk, Kailash memegangi ujung gaun pengantin Esme yang menjuntai. Memastikan agar renda-renda halus tak tersangkut pada besi tajam di sisi pintu. 

Esme melangkah ke dalam kabin dengan hati-hati, lalu menutup gaun di pangkuannya. Di dalam mobil, ia melihat Reinan sedang larut dalam dunianya sendiri. Mata pria itu menatap penuh konsentrasi, sedangkan jemarinya yang panjang sibuk menekan beberapa tombol.

Duduk di samping Reinan membuat dada Esme kembali berdegup. Padahal, pria itu asyik sendiri dengan ponselnya, seolah tak peduli bahwa wanita yang baru saja ia nikahi ada di dekatnya.

Kailash sudah kembali ke kursi depan, duduk di sebelah sopir dan langsung memberikan perintah.

“Jalan pelan saja. Tuan Muda tidak suka guncangan mendadak.”

Roda pun bergulir meninggalkan halaman gereja.

Esme mengatupkan telapak tangannya yang dingin, sambil mencuri pandang ke arah Reinan. Ia berdehem kecil, sebelum mencoba membuka percakapan dengan sang suami.

“Rein, sedang main game apa?” 

Reinan menjawab cepat tanpa mengalihkan pandangannya. “Main ‘Shadow Patriot’. Ini tentang pahlawan yang menyamar jadi rakyat biasa, lalu menembaki penjahat pakai senjata laser. Aku paling suka membasmi penjahat.”

Mata Reinan membulat penuh semangat. “Mau lihat?”

Sebelum Esme menjawab, Reinan sudah mencodongkan tubuhnya untuk menunjukkan betapa seru permainan yang ia gemari.

Bersamaan dengan itu, sopir tiba-tiba mengerem mendadak karena seekor kucing liar menyeberang jalan. Alhasil, tubuh Reinan dan Esme kehilangan keseimbangan. Dalam satu hentakan singkat, mereka saling menabrak.

“Ah!” 

Esme terhuyung, dan tanpa sengaja—bibirnya menyentuh pipi Reinan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Obsesi Gila

    Isabella menatap wajah Reinan dengan mata berkaca. Jemarinya yang pucat masih mencengkeram lengan pria itu, seperti takut jika Reinan tiba-tiba menghilang lagi.“Kenapa semalam kamu pergi, Rein?” tanya Isabella dengan ekspresi sedih. “Apa kamu ingin menghindariku? Apa kamu keberatan kalau aku tidur di kamarmu?” cecar Isabella.Reinan menunduk sedikit. Ia balas menatap Isabella dengan wajah polos, yang biasa ia gunakan untuk menyamarkan kecerdasannya. “Nggak begitu, Bella. Aku sudah mengatakan semalam, kaamu boleh tidur di kamarku,”Isabella menggeleng cepat, tatapannya memanas. “Tapi, kenapa kamu malah pergi bersama Esme? Seharusnya, kamu menemaniku sepanjang malam.”Reinan tidak langsung menjawab. Ia bangkit sebentar, mengambil nampan di meja nakas yang masih penuh makanan tak tersentuh. Dengan gerakan tenang, Reinan kembali duduk di samping Isabella sambil menyendok mashed potato yang masih mengepulkan aroma hangat.“Makan dulu, tiga suap. Baru aku jawab pertanyaanmu.”Isabella me

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Cepat Pergi, Cepat Kembali

    Reinan menatap istrinya lekat-lekat, seolah ingin membaca isi hatinya yang terdalam. “Esme, kamu mendengar semuanya, kan?Esme mengangguk pelan. “Iya, aku mendengarnya.”Melihat kebimbangan di mata Reinan, Esme meraih tangan pria itu dan menggenggamnya erat. Ia yakin sang suami sedang mengalami dilema, antara keinginan menolong Isabella, tetapi juga khawatir membuatnya salah paham.“Pulanglah dan bantu Isabella, Rein. Dia teman masa kecilmu, pernah sangat dekat denganmu. Mungkin dia sangat kecewa karena kamu pergi tiba-tiba semalam,” tutur Esme. “Hanya kamu yang bisa membujuknya."Sorot mata Reinan meredup, tergores rasa bersalah dan kagum sekaligus. Tangannya terulur membelai pucuk kepala Esme dengan penuh kelembutan, seperti ingin mengabadikan kebaikan hati itu di dalam dirinya. “Kamu memang pantas menjadi Cinderella-ku,” tuturnya lirih. “Hati sebaik ini… hanya kamu yang punya.”Reinan merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam berkilau dari dalam dompet

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Pulanglah Sekarang!

    Pagi itu, Esme terbangun oleh aroma manis vanila yang hangat. Lalu, dalam kondisi setengah sadar, ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya. Tatkala membuka mata, wajah Reinan sudah begitu dekat. Pria itu memberikan ciuman, seolah ingin membangunkannya dengan cara paling indah di dunia.Esme mengerjap, kaget sekaligus malu. Tubuhnya refleks terbangun, tetapi seketika ia tersadar, tak ada suara yang bisa ditangkap telinganya. Dunia terasa sunyi.Reinan justru tersenyum hangat. Dengan penuh kesabaran, ia memasangkan alat kecil di kedua telinga Esme. "Aku sengaja melepasnya semalam, supaya kamu bisa tidur dengan tenang," tuturnya lembut sambil menyentuh bibir Esme sekali lagi.Wajah Esme merona. Ingatannya langsung melayang pada malam panas yang mereka habiskan, di mana jiwa dan raganya telah benar-benar ia serahkan pada Reinan. Sebelum Reinan menggodanya, Esme menenggelamkan wajahnya ke dalam selimut, ingin bersembunyi dari tatapan pria itu.Namun, Reinan tak memberi celah. Ia menyiba

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Kupasrahkan Diri dalam Dekapanmu

    Mendengar tawaran tak terduga dari bibir Esme, Reinan berbalik perlahan, seakan ingin memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Ia menatap wajah mungil sang istri yang terlihat berani sekaligus rapuh.Saat tatapan abu-abu itu menancap padanya, Esme hampir tak bisa bernapas. Ada bara hasrat yang berpendar di mata Reinan. Sorot itu bagaikan lingkaran api, mengurung Esme tanpa memberi jalan untuk lari.Wajah tampan Reinan terukir oleh bias cahaya redup lampu nakas, menambah aura misterius sekaligus menggetarkan. Senyum tipis yang muncul di sudutnya justru membuat Esme semakin berdebar. Mustahil ada wanita yang sanggup bertahan, bila ditatap penuh damba oleh seorang pria seindah itu. Dalam diam, Reinan bergeser mendekat, hingga jarak di antara mereka kian menipis. Esme merasa seluruh pertahanannya runtuh dalam sekejap. Degup jantungnya terdengar jelas di antara hening kamar.“Kalau aku menerima hadiahmu, kamu nggak bisa menariknya kembali,” tutur Reinan dengan suara rendah.Kepala Esme

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Aku Hadiahmu

    Lenguhan lirih dari bibir Esme membuat senyum Reinan merekah. Senyum itu tidak dingin, melainkan senyum seorang pria yang menemukan kepuasan, saat melihat betapa mudahnya ia meruntuhkan pertahanan sang istri.“Gambarmu mulai melenceng,” lirih Reinan tenang, seperti guru menggambar yang menegur muridnya. Tatapan Reinan pura-pura lugu, penuh kepolosan yang justru membuat Esme semakin salah tingkah..“Apa ada sesuatu yang membuatmu terganggu, hm? Sampai bersuara begitu?”Esme mengerucutkan bibir, menahan malu sekaligus dongkol. Ia tahu betul Reinan sengaja mempermainkannya. Untuk menutupi rasa kalut, Esme menggigit bibir erat-erat, bertekad tidak akan lagi kehilangan kendali.Meski begitu, tubuhnya masih bergetar setiap kali Reinan bergerak perlahan. Membuat perhatiannya terbelah antara goresan pena dan gejolak yang sulit ia jinakkan.Dengan sisa tenaga yang terkumpul, Esme akhirnya berhasil menuntaskan gambarnya. Napasnya tersengal saat ia menyerahkan kertas itu.“Sudah selesai.”Rein

  • Suamiku (Bukan) Tuan Muda Bodoh   Duduklah di Pangkuanku

    Mobil yang dikemudikan Kailash meluncur mulus, menembus jalan raya yang diterangi lampu-lampu malam. Di kursi belakang, Reinan duduk bersandar dengan tenang. Ia baru saja mematikan ponselnya, lalu memberi instruksi singkat pada Kailash.“Cari restoran yang menjual makanan berkuah, Paman.”Kailash mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia melajukan mobil hingga berhenti di depan sebuah restoran yang ramai.Reinan turun lebih dulu, lalu ia berputar dan menarik tangan Esme agar mengikutinya. Esme hampir tersandung karena langkah Reinan yang tergesa, jantungnya semakin berdebar. Sejak tadi pikirannya hanya dipenuhi satu hal, hukuman apa yang akan diberikan Reinan.“R-Rein,” panggil Esme parau. “Apa aku akan dihukum di sini? Di restoran ini?” Pertanyaan konyol itu lolos begitu saja, menandakan betapa gugup dirinya saat ini.Reinan pun menoleh ke arah Esme. Sudut bibirnya melengkung, membentuk seulas senyum samar. “Kamu pasti belum makan. Jadi, kenyangkan dulu dirimu supaya bisa menjalani hukum

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status