“Aku ngga rela, Mas diputusin seperti ini,” tolak Bella egois. Ya, harus egois dong. Kalau ngga, mana bisa ia mempertahankan hubungan yang tampak tidak mungkin ini.Firdaus membuang tatapannya keluar mobil. Tangannya bertumpu di dagu. Pantulan wajahnya yang mengguratkan kesedihan terlihat samar dari kaca jendela. Tak ada pemandangan yang menarik di luar. Hanyalah ilalang yang bersiap menyambut embun malam.Firdaus membawa kekasihnya ini berkeliling kota lagi, mencari tempat sepi meskipun jauh. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus saja terkait di antara jemari gemuk Bella. Pikirannya masih kalut bagaimana caranya mengungkapkan kalau dia harus putus dengan Bella.Hingga terucaplah kata itu, “Sayang, kita harus putus,” cetusnya seraya menatap mata bulat Bella cukup dalam.Mulanya mata bulat kecoklatan milik Bella membesar, bergetar hebat seraya berkaca-kaca, lantas menunjukkan sorot mata amarah pada akhirnya.“Apa maksud, Mas? Kita putus?!” tanyanya ingin melepaskan tangan Firdaus, ya
Nisha terduduk di kursinya. Setelah mengeluarkan nada tinggi begitu, perasaannya memang sedikit lega, tapi malah jadi ngga enak sama teman-teman satu kantornya.Fadhil yang duduk bersebelahan dengannya sudah menyuruh Mbak Ade kembali ke mejanya. Nisha itu jarang sekali menunjukkan wajah kusut seperti ini, jadi Fadhil memilih untuk menjauhkan semua orang darinya. Biarkan Nisha untuk tenang terlebih dahulu.Seraya menghela napas panjang, Nisha melirik ke arah ponselnya yang bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar. Pesan dari Elza, ada namanya di sana.Nisha pun membuka pesan itu. Keningnya mengernyit. Beberapa buah foto yang dikirimkan oleh Elza sontak membuat jantungnya berdegup kencang.‘Aku ketemu, nih sosmednya Bella. Nih mukanya. Ternyata dia udah nikah, lho. Punya anak laki-laki masih seumuran Bahri kayaknya, sih.’Nisha pun membuka foto pertama. Deretan foto selfie Bella. Salah satunya berada di dalam mobil. Dari bantalan kursi, Nisha bisa mengenali mobil siapa itu. Tentu sa
“Nis, hari ini temenin Mama ke acara peresmian ya.” Suara terakhir dari Firdaus pagi ini ketika menelepon Nisha. Bukan menanyakan keadaan anak-anak apalagi Nisha, tapi malah memberikan tugas. Dikiranya Nisha itu ngga ada kerjaan apa.Tidak ada bosan-bosannya Salma meminta tolong pada menantunya, yang selalu siap kapan saja. Barusan dia menelepon Firdaus. Anak kandungnya itu bilang kalau sedang sibuk sekali, jadi ngga sempat menemani Mama-nya ini. Salma polos aja, sih mengira anaknya itu memang sibuk bekerja, padahal sedang asyik berselingkuh dengan Bella.“Ajak Nisha aja, lah, Ma. Nanti aku telepon dia, suruh antar Mama,” cetus Firdaus sekaligus menolak beberapa saat lalu.Bukan sekali dua kali, sih. Memang ngga pernah malah Firdaus menemani Salma sejak beristrikan Nisha. Selalu istrinya itu yang disuruhnya pergi. Sebenarnya Salma sudah menduga akan jawaban Firdaus itu.Lah, memangnya Salma tak punya anak lain lagi yang menemani? Kok ketergantungan melulu sama menantunya, yang kalau d
Di tahun 2005 pernikahan Nisha dan Firdaus belum satu tahun berjalan. Saat itu Nisha tengah hamil anak pertama mereka, Pratama. Kebetulan baru satu bulan menikah dia langsung hamil. Hal inilah yang dijadikan bahan bully-an beberapa teman sekolahnya, kalau dia hamil duluan sebelum melangsungkan pernikahan.Perutnya membuncit saat mengambil ijazah. Jelas saja menjadi tanda tanya bagi beberapa orang. Nisha berusaha tutup kuping akan semua itu.Namun, nahas. Sang bayi harus pergi terlebih dahulu sebelum sempat menghirup udara selain di rahim ibunya. Baru berumur tujuh bulan, janin malang itu terpaksa dikeluarkan.Malangnya, malah gosip buruk kian beredar. Pasti sudah sembilan bulan, memang sudah waktunya melahirkan, pikir para pemilik lidah setajam silet itu. Itu bayi paling sengaja digugurin, begitulah selentingan yang beredar.Nisha sedih. Bukan hanya karena gosip itu saja, yang membuatnya enggan ke luar rumah, tapi juga kehilangan sang bayi yang seharusnya sudah berada dalam dekapannya
Malam sudah sangat larut saat Firdaus membuka pintu kamar. Walaupun keadaan kamar tidak terlalu terang, namun masih dapat dilihatnya kedua anak mereka tertidur di sisi Nisha. Karena tinggal bersama orang tua, dua bocah kecil itu masih satu kamar dengan mereka.Kepala Firdaus sedikit pusing. Dia baru pulang nge-DJ, tidak lupa menegak segelas-dua gelas minuman alkohol.Malam itu, Bella tidak diajaknya ikut serta karena sedang malas saja membawa kekasihnya itu. Yang ada nanti malah berantem. Belakangan ini ujung-ujungnya ribut kalau bertemu Bella.Bella menuntut waktu lebih bersama Firdaus, sementara lelaki itu masih ingin pulang. Bagaimanapun dia merasakan rindu pada Nisha, walaupun sedikit.Melihat Nisha berbaring hanya mengenakan daster seperti ini, terus diperhatikan wajah istrinya itu, timbullah keinginan untuk memeluknya di benak Firdaus. Mungkin sudah hampir tiga bulan ia tak menafkahi batin istrinya itu karena tengah terlena akan kemolekan Bella.Setelah dilihat-lihat, walaupun
“Fa, Mama-mu mana? Suruh makan dulu, gih,” tanya sekaligus perintah dari Mariya. Tangannya sibuk menata piring lauk-pauk di atas meja. Setelah ini dia siap pergi, Firdaus biasanya agak sungkan kalau harus makan bersama mertuanya ini.Shareefa yang baru menginjak kelas lima sekolah dasar, tapi gayanya yang acuh tak acuh sekilas membuatnya terlihat lebih dewasa. “Di kamar, Mak. Lagi siap-siap,” jawabnya hanya melepaskan sekilas tatapan dari televisi.O, iya. Shareefa dan Bahri tidak memanggil kedua orang tua Nisha ini sebagai nenek atau kakek, tapi Emak dan Bapak—seperti Nisha dan Ana memanggil mereka. Sudah kebiasaan dari kecil.“Panggil, lah. Suruh sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor,” ujar Emak. Muka boleh judes tapi hatinya lembut sekali.Meskipun tengah asyik menonton televisi, Shareefa tetap menuruti perintah Mariya. Kaki jenjangnya melangkah menuju kamar Nisha.“Ma,” panggilnya saat melihat punggung Mama-nya. “Disuruh Emak sarapan,” lapor Efa lagi.Nisha berbalik. Ternyata d
10 tahun yang lalu,Mariya tersenyum tipis memerhatikan anak sulungnya. Sementara itu, dalam gendongannya Diana alias Ana baru berumur dua tahun saat itu. Tidak pernah melepaskan pelukannya sedetik pun. Karena rumah dalam keadaan sangat ramai, jadi ia merasa takut jika jauh dari ibunya.Jenisha penyuka warna biru, mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga cat kamar dan printilan kecil. Bahkan, di hari pernikahannya, tanpa ragu ia pun mengenakan kebaya biru. Make-up tidak terlalu tebal serta monoton. Pada dasarnya dia sudah cantik, jadi make-up tipis ini pas sekali untuknya. Terlihat natural.Begitu pula dengan Makhmud, yang takjub akan kecantikan anak gadisnya itu. Belum puas sebenarnya ia menjalani tugasnya sebagai seorang ayah.Akan tetapi, kedatangan keluarga Bakhtiar dua bulan yang lalu membuatnya tidak bisa berkutik.Jenisha saja sampai kaget sekali melihat kehadiran kekasihnya diikuti oleh orang tua kandung serta keluarga besarnya. Dia sama sekali tak menyangka Firdaus bisa seber
"Nis."Nisha yang baru mau keluar kamar tersentak di tempat. Sosok Mariya di ruang tamu mengagetkannya. Nisha tidak tahu sejak kapan ibu kandungnya itu duduk di sana. Dia kira Mariya sudah pergi ke pasar."Ada apa, Mak?" tanya Nisha seraya melanjutkan langkahnya meletakkan sepatu di depan pintu rumah."Firdaus ada nelpon?"Nisha menggeleng."Jangan telpon-telpon dia. Jaga harga dirimu, Nis.""Tapi, perhiasan itu, Mak?""Biarin aja. Uangnya ngga bakalan berkah. Mak bisa, kok ganti berkali-kali lipat dari yang dia ambil."Nisha menunduk. Dia merasa bersalah karena tidak memerhatikan Firdaus saat berkemas. Padahal, semua itu adalah haknya anak-anak, terutama Efa. "Apa aku kasih tahu Baba sama Mama aja, ya, Mak?"Mariya berdiri. "Ngga usah. Jangan sampai kita kayak orang ngemis ke mereka." Kemudian, dia berjalan menuju kamarnya. Sepertinya sudah puas mengeluarkan semua uneg yang mengganjal di dadanya.