PoV Ucok.Kepalaku sudah kena pukul entah berapa kali, akan tetapi aku tetap coba melawan. Segenap kekuatan kukerahkan. Sementara Salsa terus-menerus saja menjerit-jerit. Satu pukulan telak menghantam pelipisku, aku terhuyung dan jatuh ke tanah. Samar-samar kulihat seorang pria mengangkat kayu balok. Aku sudah tak bisa menghindar. Pasrah kini, aku telungkup di tanah sambil memegangi kepalaku. Dorrr ...Terdengar suara letusan senjata api, lalu terdengar suara benda jatuh ke bumi. Lalu ada yang membalikkan badanku, kubuka mataku ternyata Salsabila. Gadis itu memelukku sambil menangis. Kulihat ke kanan, seorang pria terkapar dengan darah yang berceceran. Sementara Amir masih terkapar di tanah. Lalu ada beberapa pria memborgol Amir. Aku coba berdiri. Ternyata tempat itu sudah ramai polisi, Amir dan seorang temannya yang kakinya ditembak polisi diangkut ke mobil polisi."Ada satu lagi, Pak," kataku kemudian."Rekan kami sudah mengejarnya ke sana," kata Polisi tersebut.Butet dan Om Fi
Butet ini memang kadang-kadang bikin kesal, padahal tadinya Mamak sudah mulai melunak, datang lagi Butet mengompori. "Ucok, apa Mamak bilang soal berduaan dengan cewek," kata Mamak."Bukan gitu, Mak, kan Salsa mau investasi, Itu niatnya baik lo, Mak, dia mau beli tanah, Salsabila sudah berubah lo, Mak," jawabku."Ucok, yang Mamak tanya apa hukumnya berduaan dengan yang bukan mahram? Kami kan ngaji, seharusnya kamu yang paling tahu," kata Mamak lagi.Aku terdiam, tak tahu harus bilang apa lagi. Memang aku tahu hukumnya, akan tetapi keinginan untuk membantu Salsabila itu sangat kuat, entah kenapa aku selalu merasa bersalah dengan yang terjadi padanya. Dan satu lagi, ada rasa entah bagaimana menjelaskannya bila aku berduaan dengannya. Rasa itu seperti berbunga-bunga. Apakah ini yang dinamakan cinta? Benar, ini cinta, seperti kata Ayah, cinta bisa mengubah segalanya."Ucok!" Mamak membentak lagi."Darurat, Mak," kataku akhirnya. Teringat perkataan ustadz Rizal, jika darurat yang haram pu
PoV NiaEntah apa yang terjadi dengan anakku ini, Ucok tiba-tiba saja berani' adu argumen. Biasanya dia hanya iya-iya saja, kali ini dia berani mendebatku. Aku sangat kesal Saat tahu dia sembunyi-sembunyi bertemu Salsa lagi, aku tahu justru dari HP. Saat itu iseng-iseng aku buka Facebook Salsabila, penasaran juga pada gadis itu yang Ucok bilang sudah berubah. Akan tetapi aku tidak melihat perubahan itu. Dia masih saja buat story dengan pakaian minim.Aku terkejut, ada siaran langsung Blbaru yang menandai Salsabila, makin terkejut karena kulihat Ucok ada di situ. Siaran langsung itu sepertinya dibuat salah satu fans Salsabila."Ada Salsabila makan di warung pinggir jalan," begitu kata orang yang buat siaran langsung, terlihat di videonya Salsabila lagi duduk bersama Ucok, duduk mereka rapat sekali. Aku geram, segera kusuruh Butet memanggilnya.Ucok sampai marah' pada adiknya juga, tak biasa Ucok seperti ini. Akhirnya aku mengalah, sepertinya cara keras tidak akan berhasil."Cok, sini,
PoV UcokAku lolos lewat jalur undangan, Jakarta akan jadi tempat tinggalku berikutnya. Akan tetapi aku kurang bersemangat. Aku ikut daftar kuliah di Jakarta hanya karena Salsabila. Gadis cantik yang terjerumus. Salsabila, Gadis Itu sudah banyak mengalami penderitaan batin. Ibunya bunuh diri, ibu tirinya ternyata selingkuh. Banyak lagi cobaan hidupnya.Aku ingin jadi pahlawan baginya, entah kenapa ada rasa bersalah dia sampai terjerumus. Aku pilih kuliah di Jakarta hanya karena ingin menyelamatkan gadis cantik tersebut.Akan tetapi sungguh aku kecewa, teramat kecewa saat dia begitu mudahnya bilang sudah tiga kali gonta-ganti pacar di Jakarta. Dan satu lagi dia memutuskan berhenti jadi artis, ingin meniru Ayahku punya lahan dan ternak sapi. Untuk apa lagi kelulusan ini?Mamak pun tiba-tiba ingin mundur dari jabatannya, entahlah, padahal Mamak kepala desa terbaik, setidaknya begitu kata bupati. Dan aku melihat Mamak mencintai pekerjaannya. Kenapa tiba-tiba mengundurkan diri, padahal sak
PoV UcokDi lingkungan desa kami, aku adalah pemuda idaman. Banyak ibu-ibu yang bilang aku adalah calon menantu idaman. Akan tetapi Butet, adikku sendiri ternyata menganggapku hanya orang yang punya mata satu di tengah-tengah orang buta. Aku paham maksudnya Butet, karena ini desa, Pemuda di sini pun hanya puluhan orang. Tentu saja aku yang paling idaman, aku putra kepala desa. Orang terkaya di desa ini."Mak, jangan karena aku mamak mundur dari jabatan," kataku pada mamak. Saat itu aku bawa mamak jalan-jalan sore. Mamak sudah mulai bisar berjalan pelan-pelan. Ustadz Rizal bilang musti sering dilatih. Yang tidak boleh mamak lakukan adalah menunduk, berpaling dengan cara memutarkan badan. Mamak hanya diam, beliau justru terus berjalan sambil memegangiku. "Mak, aku sudah ikut menandatangani petisi, menolak mamak mundur," kataku lagi.Sebagai kelua remaja masjid, kami memang ikut demontrasi ke kota, aku akhirnya ikut tanda tangan. "Itulah kau, Cok, memang sukanya membantah," kata mamak
Urusan bicara Butet memang selalu bisa diandalkan, karena itu aku langsung mengangkat dia jadi juru bicara ketika mamak memberikan amanah ini padaku. Sekali ngomong dia langsung bisa membuat orang kena mental. Harus aku akui, Butet memang jago.Sidang pun lanjut, Pak Angga pun menuturkan keberatannya tanah warisan mereka dikuasai adiknya. Dia minta setengahnya, yang katanya itu sebagai haknya. "Saya minta pemerintah desa ini membantu saya mendapatkan hak saya sebagai ahli waris," kata Angga."Baiklah, kita dengarkan penuturan Pak Anggi," kataku kemudian. Pak Anggi berdiri, lalu mulai salam dan kata-kata pembukaan."Kami dua orang bersaudara, ayah kami sudah meninggal sejak lama, sekitar dua puluh tahun lalu, Abangku Angga mau merantau ke pulau Jawa, Ibu kami saat itu sudah tua dan sakit-sakitan, dia minta modal merantau ke ibu kami, aku ingat saat itu, Bang Angga bilang, aku jual bagianku, lagi pula aku tidak ada niat kembali' ke sini lagi," begitu kata Bang Angga." "Keberatan, sa
Pada akhirnya Pak Angga kalah argumen, kalah dukungan, tak ada warga yang mendukungnya. Semua mendukung sang adik. "Baiklah, aku terima opsi pertama tadi, kita selesaikan secara kekeluargaan," kata Pak Angga."Jangan mau, Bang!" seorang warga berteriak dari kerumunan orang."Aku terima berapa saja pun diberikan," kata Pak Angga lagi."Jangan, Pak!" lagi-lagi seorang warga yang menjawab. Mungkin warga desa sudah kesal dengan ulah Angga ini. Akhirnya Pak Angga memohon supaya dikasih ongkos pulang ke Jawa saja, adiknya itu menyetujui memberikan sejumlah uang. Sidang pun ditutup, lega rasanya, tugasku sebagai kepala desa berjalan lancar.Aku sudah resmi lulus dari SMA, pengumuman kelulusan sudah lewat. Kini saatnya aku harus melengkapi berkas pendaftaran ulang. Akan tetapi aku mulai ragu. Jabatan kepala desa tak resmi ini mulai kusukai. Ada rasa bangga saat berpapasan dengan warga, mereka akan menunduk seraya menyapa ...."Pak Kades," Padahal ini tidaklah resmi, sesuai hukum yang berla
Rasa cemburu ini makin membara saat Salsabila bersikap manja kepada pria tersebut. Dia bergelayut di lengan pria itu. "Baru ini nemu kepala desa semuda ini, bukankah calon kepala desa minimal dua puluh lima tahun?" kata pria itu lagi."Kalian mau bahas umur kepala desa ya, jauh-jauh ke mari?" kataku lagi."Aku mau investasi, Bang Ucok," jawab Salsabila."Kalau boleh minta tolong, tolong pertemukan kami dengan yang punya tanah itu, ada nomor telepon tertulis di situ tapi gak bisa dihubungi," kata Pria itu kemudian."Itu tanah bermasalah, gak akan dijual," kataku menegaskan. Aku tahu karena tanah yang mereka maksudkan adalah milik Pak Anggi, mungkin Pak Angga dulu memasang pengumuman dijual di situ, jadi belum sempat dicopot."Ya, Udah, kami permisi dulu, Bang Ucok," kata Salsabila seraya menggandeng tangan pria itu keluar.Aku memandangi mereka pergi dari kantor desa, laki-laki itu membuka pintu mobil untuk Salsa. Ada rasa cemburu, marah, ada rasa kasihan, ada juga rasa bersalah. Sals