Malam ini seperti malam yang panjang bagi Mala. Ia merasa sangat asing dengan rumah besar yang hanya diisi oleh segelintir orang. Matanya menyapu isi rumah yang interiornya putih dan emas yang mendominasi terkesan elegan. Tidak ada foto, tidak ada jejak keluarga, tidak ada suara, selain detak jam dinding yang berdetak lamban.
“Kenapa aku?” Suara Mala memecah keheningan. “Karena kamu tersedia,” jawab Kara singkat. “Aku kira kamu lebih selektif soal istri.” Mala tersenyum miring. “Kita menikah bukan karena cinta, Mala. Kamu butuh uang dan aku butuh citra, itu saja.” Suara Kara terdengar tajam. “Aku tidak punya waktu untuk drama romantis. Semua keperluanmu sudah diatur Bane. Termasuk aturan rumah, jangan melewati batas,” sambungnya “Dan kalau aku butuh bicara denganmu?” Tanya Mala. “Lewat Bane saja, kecuali saat di hadapan publik kita akan menjadi layaknya sepasang suami istri,” timbal Kara. “Aku seperti karyawan magang, disini.” Mala tertawa kering. “Kamu bukan istri sebenarnya, jadi jangan harap perlakuanku layaknya seorang suami.” Tatapan Kara tajam namun, tetap tenang Perbincangan ini membuat suasana menjadi canggung dan diakhiri oleh sekakmat tajam dari Kara. Mala bisa saja merespons namun, ia tahan. Selesai makan, Mala kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Baru sebentar tinggal di rumah ini rasa kesal sudah memenuhi tubuhnya. Mala menghempaskan tubuhnya ke ranjang, menutup wajahnya dengan bantal dan menjerit kesal. Ia mengingat kembali percakapan tadi. “Tersedia? Dia kira gue barang?” gumamnya. “Ya memang, gue butuh duit dan dia butuh citra. Tapi setidaknya bisa memanusiakan manusia ini.” Ia menunjuk dirinya di cermin besar. Udara pagi merambat pelan melalui tirai kamarnya yang lebar. Mala membuka matanya dengan enggan. Ia merentangkan badannya sambil menguap. Suara detak jam terdengar sangat keras saking sepinya rumah ini. Ia bergegas mandi. Setelah mandi, ia merias sedikit wajahnya agar tidak pucat. Menyiapkan tas dan laptopnya, ia siap untuk menjalani aktivitasnya. Tidak ada yang menghentikannya untuk keluar rumah. Tidak ada pula yang menanyakan ke mana ia akan pergi. Kafe kecil di sudut kota menjadi pelarian Mala. Tempat itu bukan hanya menawarkan kopi yang enak, tetapi juga ketenangan yang tak menghakimi. Disudut dekat jendela, ia membuka laptop dan mulai bekerja. Beberapa desain poster untuk kliennya menumpuk di layar, menunggu untuk diberi sentuhan terakhir. Mala menikmati setiap detik menjadi dirinya sendiri. Dua jam berlalu. Mala menutup laptop dan berdiri. Perjalanan pulang ia sempatkan untuk mampir ke supermarket. Ia mengambil beberapa kebutuhannya dan camilan ringan. Saat melewati rak minuman, ia terdiam. Sekilas, kenangan itu datang lagi, seperti film usang yang diputar ulang secara paksa. Flashback pertemuan kedua, empat bulan lalu Mala ingat benar saat Kara menghampirinya setelah event perusahaan tempatnya menjadi EO sukses digelar. Waktu itu ia hanya freelancer. Kini ia bisa bertemu dengan klien yang sama di event yang berbeda. Entah suatu kebetulan atau memang takdir sudah mempertemukan mereka. “Mala!” Seru Kara. “Ah iya, Pak?” Mala mendekat dengan sedikit membungkuk. “Kau tertarik proyek jangka panjang?” Mala mengira itu tawaran kerja, tapi mata Kara tidak menyiratkan urusan bisnis. Tatapannya tenang seperti seseorang yang sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum membuat keputusan aneh. “Proyek?” Mala mengernyitkan dahinya. “Pernikahan kontrak. Satu tahun.” Kara bahkan tidak berusaha menghaluskan perkataannya. “Maksudnya Pak?” Mala tidak mengerti apa yang dibicarakan Kara. “Temui saya di ruang VVIP, nanti asisten saya yang akan jelaskan.” Kara pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban dari Mala. Mala semakin bingung. Pernikahan kontrak? Apa yang dia mau dari pernikahan ini? Banyak pertanyaan yang menghantuinya. Setelah ia selesai pekerjaannya, barulah dia bisa menghampiri Kara di ruang VVIP. Ruangan besar dengan meja yang penuh dengan hidangan lezat. Kursi yang tersusun rapi dan dekorasi yang mewah. “Apakah kau yang bernama Mala?” Tanya seseorang. “Iya betul, Pak. Saya ingin bertemu dengan Pak Kara, tadi beliau menyuruh saya kesini,” jelas Mala. “Ah kebetulan saya ditugaskan untuk mengantar Anda untuk menemui Pak Kara.” Terlihat dua orang sedang mengobrol santai. Mala masuk dan Kara langsung memberikan kode pada karyawannya untuk menyambut Mala. AC kali ini seperti menusuk kulit Mala, secara tidak sengaja tubuhnya bereaksi tidak nyaman. “Langsung ke intinya ya, Bu Mala,” salah seorang membuka topik. “Pak Kara sedang membutuhkan istri untuk sementara waktu, apakah Bu Mala bersedia?” Mala mengernyitkan dahinya, mengira dua pria dihadapannya sedang bercanda. “Ada apa ini?” “Saya mendapat kabar jika kamu sedang membutuhkan uang banyak untuk melunasi hutang keluarga dan membiayai adikmu, benar?” “Bagaimana Bapak bisa tahu?” Mala terkejut bukan main, tidak ada yang tahu soal ini. “Pak Kara ingin menawarkan kamu kerja sama, yaitu pernikahan kontrak selama satu tahun. Nanti akan ada aturan dan tentunya apa pun yang kamu butuh kan akan terpenuhi, termasuk membebaskan hutang-hutang keluargamu,” jelasnya. “Kau hanya perlu menghadiri pernikahan, tinggal di rumah saya dan berpura-pura sebagai istri, tidak lebih,” sambung Kara. “Tapi-” “Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, cobalah untuk berpikir lebih jernih lagi. Pak Kara akan membantumu dalam jeratan hutang dan kamu pun harus membantu Pak Kara untuk citra,” Satu sisi Mala tertekan, ingin sekali pergi saat itu juga. Tapi sisi lain, yang lebih menekan adalah tumpukan tagihan yang tak pernah selesai. Mala tidak bisa menolak, ia terlalu tergiur dengan apa yang akan dia dapat. Dan disanalah ia sekarang dalam rumah tangga Shankara. Dalam pernikahan yang tak terikat cinta, hanya kontrak. Flashback off Pikirannya terlempar kembali ketika kasir menyebutkan nominal belanjaannya. Mala menenteng kantong belanjanya dengan riang. Ponselnya berdering, ia mendapat pesan dari Bane jika Kara pulang malam ini, ia harus tetap berada di rumah sebelum Kara sampai. Sesampainya di rumah, ia duduk di tepi ranjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Tenang, seperti pernikahannya. Tapi matanya selalu menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Nona, makan malam sudah siap.” Mbak Nila mengetuk pintu. “Sebentar lagi saya ke bawah,” ucap Mala dengan sedikit berteriak, karena ia masih harus bersiap. Udara malam kali ini terasa mencekam, karena kehadiran Kara di rumah. Kaki pun tak kuasa untuk menuruni anak tangga yang hanya berjarak beberapa meter saja. Sebelum bertemu, Mala menghembuskan napas panjang untuk merelaksasikan pikirannya. Makan malam sudah tersedia dengan berbagai hidangan mewah. Tak ada siapa pun di sana. Mala duduk dengan tenang, menunggu suaminya datang untuk makan bersama. Tak lama Kara pun menghampiri meja makan. “Apakah tidak berlebihan dengan lauk sebanyak ini?” Tanya Mala dengan suara pelan, tubuhnya mendekat ke meja agar Kara mendengar perkataannya. “Makan, saja.” Jawab Kara sambil mengambil makanannya. Mala hanya mengangguk, ia sangat menikmati hidangan di rumah ini setiap harinya. Meskipun merasa kesepian, tetapi ia masih bisa merasakan hangatnya perhatian dari Mbak Nila. Kara berdehem memecah keheningan. Suara alat makan yang berdenting seketika terhenti. “Besok keluarga saya akan ada acara penting, baiknya kamu menjalankan apa yang sudah Bane jelaskan.” “Acara apa?” “Bane yang akan jelaskan,” jawabnya singkat. “Kenapa tidak kamu saja yang jelaskan?” “Cerewet! Ikuti saja.” Suara Kara terdengar lantang dan bergema di telinga Mala. Selesai makan, Mala ke ruang baca yang sudah disiapkan. Buku tertata dengan rapi, layaknya perpustakaan. Ia menyusuri setiap inci buku yang ada di rak. Terbesit dalam benaknya, tentang menjalani hari yang akan memuakkan setiap harinya. “Bagaimana perasaan istri sah pemilik perusahaan ternama yang muncul setelah badai?”Karina dalam balutan blazer putih, tampak elegan dan percaya diri. Setelah melihat Mala dari kejauhan, ia mendekat ke arah Kara dengan senyum yang dibuat tulus. “Dia datang juga, ya. Padahal aku pikir bakal ngumpet setelah berita yang berhembus kemarin.”Kara hanya menatap ke arah lain, menyesap minumannya perlahan. Tak menjawab.“Kamu nggak takut citramu rusak, Ra? Istrimu dibicarakan banyak orang, katanya genit lah, suka cari sorotan lah, atau kamu memang suka begini biar dramanya makin kuat di mata publik?” suara Karina terdengar menurun tapi tajam.Kara menoleh singkat, tak berekspresi. “Aku kira kamu di sini buat kerja, bukan untuk jadi akun gosip dadakan.”Karina tertawa kecil. “Santai, aku cuman peduli. Kalau bukan aku yang jaga image mu siapa lagi? Mala, dia masih terlalu polos buat main di dunia kayak gini. Bisa-bisanya kamu ikut terseret kalau dia nggak paham cara bermain.”Kara tak membalas, ia hanya memutar gelas di tangannya, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Diam
Di dalam mobil, Kara duduk sendiri. Lagu klasik pelan mengalun. Tangan Kara membuka galeri ponsel, ia melihat tangkapan layar itu sekali lagi. Captionnya begitu sinis, tapi yang paling mengganggunya adalah fakta bahwa Mala terlihat sendirian. Padahl ia tahu, Mala tak salah apa-apa.“Kau pikir bisa main cantik, Karina? Baiklah. Aku bisa lebih dari itu,” batin Kara.Tapi belum sekarang, karena Kara memilih menjadi lelaki yang diam. Untuk sementara.Dua hari menuju eventHari itu rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Mala duduk di sofa ruang tengah, membolak-balik brosur digital event fashion art yang akan digelar dua hari lagi. Sebenarnya itu bukan acara besar, tapi cukup eksklusif. Undangannya hanya terbatas pada influencer terpilih dan brand partner termasuk, entah kenapa dia.Mala menatap layarnya agak lama“Kenapa undangan ini bisa sampai ke gue? Apa karena gue istri Kara? Atau ada nama Karina di belakang layar lagi?”Mala menghela napas. Tepat saat Bane datang membawa nampan beri
Langit mulai berubah warna saat mobil hitam memasuki halaman rumah. Sepanjang perjalanan pulang, kara hanya diam menatap ke luar jendela. Mala duduk di sampingnya, tangan di pangkuan, sesekali mencuri pandang ke arah Kara tapu urung membuka percakapan. Sesampainya di rumah, Kara langsung masuk ke kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Mala menurunkan tas dan menghela napas. Mencoba menetralisir gejolak yang tadi masih tersisa di dada. Ia melangkah pelan ke dapur, dan seperti biasa Bane sudah berdiri di sana. Memotong buah dengan ekspresi seolah tahu segalanya.“Udah pulang?” Tanya Bane.Mala mengangguk, mengambil segelas air. “Iya.. capek juga ternyata senyum di depan kamera.”Bane menyeringai. “Senyum yang dipaksakan emang paling makan energi.”Mala tersenyum miring.Bane menatap Mala lebih serius. “Tadi Karina dateng, ya?”“Kok tahu?”“Dari auranya,” jawab bane setengah bercanda.“kalau rumah ini tiba-tiba berasa dingin padahal AC mati, biasanya dia lewat.”Mala tertawa kecil.“Tapi
Bane mendapat kabar bahwa paket besar berisi perlengkapan photoshoot untuk promosi produk terbaru sudah sampai di rumah. Di dalamnya, ada undangan photoshoot khusus untuk pasangan Kara dan Mala. Dengan jadwal yang sudah di tentukan oleh Karina.Mala yang melihat namanya tercetak di undangan itu, sempat terpaku. Di pojok bawah kertas undangan, ada catatan kecil bertuliskan tangan.“Tolong hadir ya. Dunia luar perlu lihat versi kalian yang paling indah. -K”Kayaknya yang ini bakal jadi panggung duel tak langsung,” gumamnya.Mala menyipitkan matanya. Ia tahu, permainan ini belum selesai.Sesi photoshoot pertama - Studio dalam ruanganRuangan studio dipenuhi pencahayaan putih yang menyilaukan. Background berganti sesuai konsep. Dari hitam minimalis hingga abu pucat bertekstur marmer. Beberapa kru sibuk menyempurnakan pencahayaan, sementara fotografer tengah mengatur sudut bidikannya.Kara duduk di kursi makeup, diam tanpa banyak komentar. Setelan jasnya rapi seperti biasa, tapi wajahnya
Mala menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menopang tubuh Kara agar lebih nyaman, lalu perlahan membaringkannya di sampingnya. Ia tak tahu harus mulai dari mana, tapi tubuh Kara terasa sangat panas. Panik mulai menyelinap. “Pak Bane…“ Mala sempat ingin memanggil, tapi ia urungkan. Kara sendiri yang bilang tak ingin diganggu. Lagipula, dia sudah di sini. Ia berjalan cepat ke kamar mandi, membasahi handuk kecil. Lalu kembali dan menempelkannya di dahi Kara. Lelaki itu hanya mengerang pelan, matanya tetap terpejam. Setelah memastikan Kara sedikit lebih tenang, Mala meraih ponsel dari nakas. Ia mencari informasi tentang pertolongan pertama saat demam tinggi. Ia juga mengetik pesan singkat ke Bane. “Pak Bane, Kara ada di kamar saya. Dia demam tinggi, tolong siapkan sup untuk makan Kara, termometer dan obat demam, tapi jangan masuk ke kamar dulu. Biar saya yang urus.” Tak lama kemudian, Mbak Nila mengetuk pintu. Menyerahkan teh panas dan sekotak obat dalam nampan. “Terima kasih, Mba
Rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu gantung di ruang utama dibiarkan redup, hanya terdengar detak pelan dari jam dinding. Mala baru saja selesai membersihkan riasan wajahnya. Berdiri di depan cermin kamar, memandangi bayangannya sendiri. Ia mengingat lagi percakapan di mobil, gestur hangat Kara dan tatapan Karina. Semua bercampur dalam pikirannya, seperti hujan yang tak kunjung reda.“Andai senyumnya bukan bagian dari skenario, mungkin aku bisa percaya sedikit,” gumamnya pelan.Sementara itu, di ruang kerja. Kara duduk sendiri, jasnya sudah terlepas dengan dasi yang longgar. Ia membuka ponselnya, melihat foto-foto gala dinner yang sudah mulai tersebar di media sosial. Salah satunya, gambar saat ia tersenyum pada Mala. Sementara Karina berada di sisi lain, tersingkir dari frame. Bibirnya terangkat sedikit mengulas senyum. Suara ketukan halus terdengar di pintu, “Masuk aja,” gumam Kara.Bane melongokkan kepala, lalu masuk dengan senyum tipis. “Pers malam ini aman, kayaknya l