Home / Lainnya / Suamiku, Lakon Sandiwara / Chapter 2 Rumah Asing

Share

Chapter 2 Rumah Asing

Author: Riskyara
last update Last Updated: 2025-05-31 19:20:06

Malam ini seperti malam yang panjang bagi Mala. Ia merasa sangat asing dengan rumah besar yang hanya diisi oleh segelintir orang. Matanya menyapu isi rumah yang interiornya putih dan emas yang mendominasi terkesan elegan. Tidak ada foto, tidak ada jejak keluarga, tidak ada suara, selain detak jam dinding yang berdetak lamban.

“Kenapa aku?” Suara Mala memecah keheningan.

“Karena kamu tersedia,” jawab Kara singkat.

“Aku kira kamu lebih selektif soal istri.” Mala tersenyum miring.

“Kita menikah bukan karena cinta, Mala. Kamu butuh uang dan aku butuh citra, itu saja.” Suara Kara terdengar tajam.

“Aku tidak punya waktu untuk drama romantis. Semua keperluanmu sudah diatur Bane. Termasuk aturan rumah, jangan melewati batas,” sambungnya

“Dan kalau aku butuh bicara denganmu?” Tanya Mala.

“Lewat Bane saja, kecuali saat di hadapan publik kita akan menjadi layaknya sepasang suami istri,” timbal Kara.

“Aku seperti karyawan magang, disini.” Mala tertawa kering.

“Kamu bukan istri sebenarnya, jadi jangan harap perlakuanku layaknya seorang suami.” Tatapan Kara tajam namun, tetap tenang

Perbincangan ini membuat suasana menjadi canggung dan diakhiri oleh sekakmat tajam dari Kara. Mala bisa saja merespons namun, ia tahan. Selesai makan, Mala kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

Baru sebentar tinggal di rumah ini rasa kesal sudah memenuhi tubuhnya. Mala menghempaskan tubuhnya ke ranjang, menutup wajahnya dengan bantal dan menjerit kesal. Ia mengingat kembali percakapan tadi.

“Tersedia? Dia kira gue barang?” gumamnya.

“Ya memang, gue butuh duit dan dia butuh citra. Tapi setidaknya bisa memanusiakan manusia ini.” Ia menunjuk dirinya di cermin besar.

Udara pagi merambat pelan melalui tirai kamarnya yang lebar. Mala membuka matanya dengan enggan. Ia merentangkan badannya sambil menguap. Suara detak jam terdengar sangat keras saking sepinya rumah ini. Ia bergegas mandi.

Setelah mandi, ia merias sedikit wajahnya agar tidak pucat. Menyiapkan tas dan laptopnya, ia siap untuk menjalani aktivitasnya. Tidak ada yang menghentikannya untuk keluar rumah. Tidak ada pula yang menanyakan ke mana ia akan pergi.

Kafe kecil di sudut kota menjadi pelarian Mala. Tempat itu bukan hanya menawarkan kopi yang enak, tetapi juga ketenangan yang tak menghakimi. Disudut dekat jendela, ia membuka laptop dan mulai bekerja. Beberapa desain poster untuk kliennya menumpuk di layar, menunggu untuk diberi sentuhan terakhir. Mala menikmati setiap detik menjadi dirinya sendiri.

Dua jam berlalu. Mala menutup laptop dan berdiri. Perjalanan pulang ia sempatkan untuk mampir ke supermarket. Ia mengambil beberapa kebutuhannya dan camilan ringan. Saat melewati rak minuman, ia terdiam. Sekilas, kenangan itu datang lagi, seperti film usang yang diputar ulang secara paksa.

Flashback pertemuan kedua, empat bulan lalu

Mala ingat benar saat Kara menghampirinya setelah event perusahaan tempatnya menjadi EO sukses digelar. Waktu itu ia hanya freelancer. Kini ia bisa bertemu dengan klien yang sama di event yang berbeda. Entah suatu kebetulan atau memang takdir sudah mempertemukan mereka.

“Mala!” Seru Kara.

“Ah iya, Pak?” Mala mendekat dengan sedikit membungkuk.

“Kau tertarik proyek jangka panjang?”

Mala mengira itu tawaran kerja, tapi mata Kara tidak menyiratkan urusan bisnis. Tatapannya tenang seperti seseorang yang sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum membuat keputusan aneh.

“Proyek?” Mala mengernyitkan dahinya.

“Pernikahan kontrak. Satu tahun.” Kara bahkan tidak berusaha menghaluskan perkataannya.

“Maksudnya Pak?” Mala tidak mengerti apa yang dibicarakan Kara.

“Temui saya di ruang VVIP, nanti asisten saya yang akan jelaskan.” Kara pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban dari Mala.

Mala semakin bingung. Pernikahan kontrak? Apa yang dia mau dari pernikahan ini? Banyak pertanyaan yang menghantuinya. Setelah ia selesai pekerjaannya, barulah dia bisa menghampiri Kara di ruang VVIP. Ruangan besar dengan meja yang penuh dengan hidangan lezat. Kursi yang tersusun rapi dan dekorasi yang mewah.

“Apakah kau yang bernama Mala?” Tanya seseorang.

“Iya betul, Pak. Saya ingin bertemu dengan Pak Kara, tadi beliau menyuruh saya kesini,” jelas Mala.

“Ah kebetulan saya ditugaskan untuk mengantar Anda untuk menemui Pak Kara.”

Terlihat dua orang sedang mengobrol santai. Mala masuk dan Kara langsung memberikan kode pada karyawannya untuk menyambut Mala. AC kali ini seperti menusuk kulit Mala, secara tidak sengaja tubuhnya bereaksi tidak nyaman.

“Langsung ke intinya ya, Bu Mala,” salah seorang membuka topik.

“Pak Kara sedang membutuhkan istri untuk sementara waktu, apakah Bu Mala bersedia?”

Mala mengernyitkan dahinya, mengira dua pria dihadapannya sedang bercanda.

“Ada apa ini?”

“Saya mendapat kabar jika kamu sedang membutuhkan uang banyak untuk melunasi hutang keluarga dan membiayai adikmu, benar?”

“Bagaimana Bapak bisa tahu?” Mala terkejut bukan main, tidak ada yang tahu soal ini.

“Pak Kara ingin menawarkan kamu kerja sama, yaitu pernikahan kontrak selama satu tahun. Nanti akan ada aturan dan tentunya apa pun yang kamu butuh kan akan terpenuhi, termasuk membebaskan hutang-hutang keluargamu,” jelasnya.

“Kau hanya perlu menghadiri pernikahan, tinggal di rumah saya dan berpura-pura sebagai istri, tidak lebih,” sambung Kara.

“Tapi-”

“Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, cobalah untuk berpikir lebih jernih lagi. Pak Kara akan membantumu dalam jeratan hutang dan kamu pun harus membantu Pak Kara untuk citra,”

Satu sisi Mala tertekan, ingin sekali pergi saat itu juga. Tapi sisi lain, yang lebih menekan adalah tumpukan tagihan yang tak pernah selesai. Mala tidak bisa menolak, ia terlalu tergiur dengan apa yang akan dia dapat.

Dan disanalah ia sekarang dalam rumah tangga Shankara. Dalam pernikahan yang tak terikat cinta, hanya kontrak.

Flashback off

Pikirannya terlempar kembali ketika kasir menyebutkan nominal belanjaannya. Mala menenteng kantong belanjanya dengan riang. Ponselnya berdering, ia mendapat pesan dari Bane jika Kara pulang malam ini, ia harus tetap berada di rumah sebelum Kara sampai.

Sesampainya di rumah, ia duduk di tepi ranjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Tenang, seperti pernikahannya. Tapi matanya selalu menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Nona, makan malam sudah siap.” Mbak Nila mengetuk pintu.

“Sebentar lagi saya ke bawah,” ucap Mala dengan sedikit berteriak, karena ia masih harus bersiap.

Udara malam kali ini terasa mencekam, karena kehadiran Kara di rumah. Kaki pun tak kuasa untuk menuruni anak tangga yang hanya berjarak beberapa meter saja. Sebelum bertemu, Mala menghembuskan napas panjang untuk merelaksasikan pikirannya.

Makan malam sudah tersedia dengan berbagai hidangan mewah. Tak ada siapa pun di sana. Mala duduk dengan tenang, menunggu suaminya datang untuk makan bersama. Tak lama Kara pun menghampiri meja makan.

“Apakah tidak berlebihan dengan lauk sebanyak ini?” Tanya Mala dengan suara pelan, tubuhnya mendekat ke meja agar Kara mendengar perkataannya.

“Makan, saja.” Jawab Kara sambil mengambil makanannya.

Mala hanya mengangguk, ia sangat menikmati hidangan di rumah ini setiap harinya. Meskipun merasa kesepian, tetapi ia masih bisa merasakan hangatnya perhatian dari Mbak Nila. Kara berdehem memecah keheningan. Suara alat makan yang berdenting seketika terhenti.

“Besok keluarga saya akan ada acara penting, baiknya kamu menjalankan apa yang sudah Bane jelaskan.”

“Acara apa?”

“Bane yang akan jelaskan,” jawabnya singkat.

“Kenapa tidak kamu saja yang jelaskan?”

“Cerewet! Ikuti saja.” Suara Kara terdengar lantang dan bergema di telinga Mala.

Selesai makan, Mala ke ruang baca yang sudah disiapkan. Buku tertata dengan rapi, layaknya perpustakaan. Ia menyusuri setiap inci buku yang ada di rak. Terbesit dalam benaknya, tentang menjalani hari yang akan memuakkan setiap harinya.

“Bagaimana perasaan istri sah pemilik perusahaan ternama yang muncul setelah badai?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku, Lakon Sandiwara   Chapter 27

    Lampu ruang tamu menyala samar. Karina duduk sendiri di ujung sofa, lutut dilipat, ponsel masih berada di genggaman. Wajahnya tanpa riasan, rambut diikat seadanya. Tapi bukan penampilannya yang berantakan melainkan pikirannya.Foto-foto Kara dan Mala masih terpampang di layar. Tawa mereka di bawah sinar matahari Cappadocia terus membayang.“Kenapa… kenapa bisa semudah itu? Dulu gue yang selalu bersama Kara. Gue yang menyaksikan dia jatuh dan gue juga yang menuntunnya bangkit. Tapi sekarang dia bisa jatuh cinta sama perempuan yang bahkan nggak tau siapa Kara di masa paling sulitnya?”Ia berdiri pelan, berjalan ke dekat jendela. Tirai disibakkan sedikit dan angin malam menerpa wajahnya. Tapi hawa dingin itu tak bisa menenangkan amarahnya.“Apa semua yang gue lakukan selama ini nggak ada artinya? Cuma karena gue ambil langkah mundur waktu itu… semua langsung dilupakan?”Ia kembali duduk, menyandarkan kepala ke punggung sofa. Tangannya mengusap wajah, tapi bukan karena lelah, melainkan me

  • Suamiku, Lakon Sandiwara   Chapter 26

    Chapter 26 Setelah kembali dari balon udara, mereka bertiga berjalan santai ke dalam hotel. Dingin pagi mulai mereda, menyisakan udara segar khas lembah. Kara melirik Mala yang tampak sumringah sejak tadi.“Kamu kayak anak kecil habis naik komidi putar,” celetuk Kara sambil menjentikkan ujung scarf Mala.Mala mencibir. “Ya ampun, aku baru sadar… ternyata kamu suka ngejek.”Kara tertawa. “Bukan ngejek, itu apresiasi.”Mereka tertawa ringan. Di tengah hotel yang tenang, suara canda mereka terasa seperti musik pagi. Kara berhenti di depan restoran hotel. “Ayp makan dulu.”Mala menahan langkahnya. “Nanti aja makannya.”Kara mengangkat alis. “Kamu nggak laper?”Mala menunjuk ke arah luar hotel, tepat ke jalan setapak yang mengarah ke pinggir sungai kecil di balik hotel. Alirannya tenang, jernih, dengan deretan batu besar di sisinya dan pohon-pohon cemara yang berbaris rapi.“Aku pengen kesana dul

  • Suamiku, Lakon Sandiwara   Chapter 25

    Chapter 25Udara pagi masih menggigit saat Kara, Mala dan Bane keluar dari hotel dengan jaket tebal membalut tubuh mereka. Sebuah van hitam telah menunggu di depan. Sopir lokal yang ramah menyambut mereka dalam bahasa inggris.“Good morning, welcome ballon tour,” sapa sopir.Mala naik terlebih dahulu, duduk di jendela. Kara duduk di sebelahnya, sementara Bane duduk di belakang. Saat van mulai bergerak melewati jalanan kecil yang menanjak, mala melongok ke luar. Jalanan sempit berkelok, melewati rumah-rumah batu khas Goreme dan lembah berbatu yang siluetnya mulai terlihat samah di balik kabut.“Dingin banget.” Mala merapatkan syalnya sambil menatap ke luar.Kara memberikan sarung tangan pada Mala. Mala menoleh. “Eh?”“Pakai, udara dingin.”Mala mengangguk dan mengambil sarung tangan itu.Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil cukup tenang. Hanya bunyi

  • Suamiku, Lakon Sandiwara   Chapter 24

    Chapter 24Malam di rooftop Cappadocia. Udara dingin menggigit lembut kulit, tapi langit malam benar-benar seperti lukisan. Taburan bintang terlihat jelas, langka di kota besar. Cahaya bulan mengintip malu dari balik awan. Menyinari daratan Cappadocia yang tenang, lembah dan batu-batu menjulang seperti dunia yang terlepas dari hiruk pikuk kehidupan. Mala menyelubung tubuhnya dengan jaket tebal. Syalnya melilit leher, sebagian menutupi dagu. Ia bersandar di pagar rooftop, matanya menatap langit dengan sorot kosong tapi damai.Tak lama, langkah kaki mendekat. Kara berdiri di sebelahnya, mengenakan mantel hitam. Ia menatap langit dengan tatapan yang tak jauh berbeda dari Mala, hampir seperti keduanya berbicara dengan cara yang sama, tanpa suara.“Langitnya jujur, ya?” Ucap Mala pelan.Kara melirik. “Kapan?”“Karena dia nggak pernah berusaha nutupin sesuatu. Nggak kayak kita yang tiap hari pura-pura baik-baik aja.”Ia ikut menyandarkan lengan di pagar. “Langit juga cuma bisa nunjukkin si

  • Suamiku, Lakon Sandiwara   Chapter 23

    Chapter 23Tibanya di Bandara Kayseri, Turki. Langkah Mala sedikit tertahan saat pintu pesawat terbuka dan udara dingin langsung menyergap kulit wajahnya. Angin Turki di bulan-bulan awal musim dingin terasa seperti bisikan. Namun, anehnya menenangkan.Bane merapatkan syal di lehernya. “Aduhhh… dinginnya menggigit, tapi seger juga, ya.”Kara menyipitkan mata, menatap langit cerah dan bersih di atas landasan. “Udara jernih begini yang bikin pikiran ikut bersih.”Mereka berjalan menyusuri lorong bandara, melewati imigrasi yang relatif cepat karena rombongan mereka kecil. Di area kedatangan, seorang pria berpakaian rapi memegang papan bertuliskan.“Mr. Shankara & Family - GOREME PRIVATE TRANSFER”“Selamat datang di Kayseri,” sapa sang sopir dalam bahasa inggris dengan aksen lokal. “Saya akan mengantar Anda langsung ke hotel di Cappadocia.”Mereka pun diarahkan ke sebuah van premium berwarna

  • Suamiku, Lakon Sandiwara   Chapter 22

    Chapter 22POV di kamar MalaLampu kamar dinyalakan dengan redup. Mala berdiri di depan cermin, membuka hoodie nya perlahan, lalu menyisir rambutnya yang sudah sedikit kusut. Di meja rias, sebuah koper sudah tertutup rapi. Tak ada yang tertinggal.“Semua sudah disiapkan… kecuali hati,” gumamnya pelan sambil mengoleskan pelembab ke wajah. Ia menatap bayangannya sendiri. Mata itu masih memendam banyak, tapi kali ini tidak ada air mata. Hanya kelelahan.“Mala, lo harus tenang. Jangan ikut terbawa permainan siapapun. Kara mungkin masih belum tau arah, tapi lo harus tau jalan lo sendiri.”Ia menghembuskan napas panjang lalu tersenyum, mencoba memeluk dirinya sendiri melalui pantulan cermin.“Besok… ayo kita pura-pura bahagia lagi. Tapi jangan lupa bawa cadangan sabar yang banyak.”Mala naik ke ranjang, menarik selimut sampai ke dagu. Lalu menatap langit-langit yang kosong. Tap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status