Lagi, Cintya tak memperdulikan Bara. Hingga koper itu penuh, dia masih enggan bicara.
"Cintya." Bara seolah mengemis pada Cintya.
"Kamu pilih aku atau Aisya?" tukas Cintya tajam.
Bara meraup wajahnya kasar. Dia tidak bisa memilih salah satunya. Keduanya sangat berarti bagi Bara.
Bara langsung mendekap Cintya. Biasanya, Cintya akan luluh saat Bara memperlakukannya dengan manis. Bara tak peduli, meskipun Cintya berontak minta lepas. Justru, Bara semakin menjadi. Didekati wajah istrinya itu, lalu menghujaninya dengan ciuman.
"Lepaskan aku!" Cintya mencoba berontak.
"Berjanjilah, kamu tidak akan meminta berpisah lagi!" Paksa Bara.
Cintya menggeleng. Dia tidak ingin sakit hati terlalu dalam lagi. Baginya, dengan melepas Bara, setidaknya tidak akan menambah sakitnya.
"Kumohon, lepaskan aku!"
Air mata mulai mengalir membasahi pipi putihnya. Dia merasa jijik, ketika Bara menciuminya. Cintya selalu terbayang, Bara sekarang bukan hanya miliknya. Bahkan, baru tadi malam Aisya dan Bara melakukan malam pertama. Hatinya kian nelangsa mengingat itu semua.
Tak sampai di situ, Bara berbuat lebih. Di pagi ini, dia kembali menuntaskan hasrat setelah semalam melakukan kewajibannya bersama Aisya.
Dia tidak peduli, walaupun air mata Cintya mengalir deras. Otaknya sudah dikendalikan oleh hasrat yang membara.
Bara terkapar tak berdaya. Tubuhnya terbalut selimut tebal bermotif bunga. Tak lama, dengkuran haluspun mulai terdengar.
Cintya memungut pakaiannya yang tercecer dengan air mata berderai. Dia berjalan ke kamar mandi dengan terseok. Ia harus melakukan mandi wajib sesuai ajaran agamanya. Air dari shower terus mengguyur tubuhnya. Tangisnya tertelan gemericik air. Lebih dari setengah jam, dia di bawah guyuran air. Dia tak peduli, meskipun tubuhnya telah menggigil kedinginan. Dia hanya ingin menghilangkan bekas sentuhan Bara, di setiap inci tubuhnya. Dia benar-benar merasa jijik, karena tangan Bara tak hanya membelainya. Cintya menggosok kuat-kuat sabun yang ia pegang, sampai hancur.
Bara terbangun dari tidur lelapnya. Dikenakannya baju yang tadi berserakan, lalu langsung berjalan ke kamar mandi. Diputarnya knop, namun pintu terkunci dari dalam."Cintya, masih lama?" teriak Bara. Bara berjalan ke arah balkon, sambil menunggu Cintya keluar kamar mandi. Dia teringat, kalau ada Aisyah di kamar tamu. Bergegas ia turun, mencari istri mudanya. Dengan setengah berlari, dia menuruni anak tangga. Pikirannya berkecamuk karena telah meninggalkan Aisya cukup lama. KrietPintu kamar utama dibuka. Disapunya penjuru kamar, namun tak menemukan Aisya."Aisya," panggil Bara.Tak ada sahutan. Bara mengecek di kamar mandi yang terletak di kamar, tapi nihil. "Ke mana kamu, Aisya?" gumam Bara sambil melangkah keluar. Dilewatinya ruang tamu, lalu menuju ke ruang tengah. Bara kembali ke kamarnya, untuk mengambil baju. Dia ingin segera mandi. "Cintya, belum selesai?" teriak Bara di depan pintu. Sudah tidak ada gemericik air, tapi Cintya tak kunjung keluar. Kandung kemihnya sudah pe
"Aisya, tolong buatkan teh panas, dan bawa ke kamar atas!" perintah Bara. Tanpa menunggu persetujuan Aisya, Bara kembali berlari menaiki anak tangga. Sementara Aisya langsung menuang air panas dari dispenser, lalu melakukan apa yang Bara perintahkan.Bara membetulkan selimut tebal yang membungkus Cintya. Telapak kakinya dibalur minyak kayu putih cukup banyak. Setelah dirasa cukup, Bara kembali menutup selimut. Dengan tergesa, Aisya menaiki tangga. Tangan kanannya memegang gelas berisi teh panas. PrangBunyi benda jatuh mengagetkan Bara maupun Cintya. Aisya tak sengaja menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Pemandangan di depan matanya sungguh menyakitkan. Bara tengah memeluk Cintya. "Aisya," panggil Bara. Bara langsung melepas pelukan pada Cintya. "Maaf." Aisya berkata lirih. Netranya berkabut. Detik itu juga, cairan bening lolos dari mata indahnya. Bara langsung menghampiri Aisya yang berjongkok membersihkan pecahan beling. Tangannya kepanasan, terkena air teh. Tak sengaja, jarin
"Baiklah, kita bicarakan saja di bawah. Oh iya, aku minta tolong buatkan kami teh hangat!" perintah Cintya seraya meninggalkan mereka berdua. Antara sedih dan bingung, Aisya akhirnya pergi. Bara meraup muka kasar. Dia bingung, siapa yang harus ditemani sekarang. Mau menemani Cintya, pasti Aisya cemburu. Dia tahu, pasti Aisya sedang menahan luka yang dibuat Cintya. Dia kembali meremas rambutnya kuat. Kepalanya pusing. Poligami yang menurutnya jalan terbaik, justru membuat kepalanya serasa pecah. Cintya melangkah keluar kamar mengenakan jaket tebal, yang dibelinya saat jalan-jalan ke kota Batu, Jawa Timur. Jaket ini hadiah ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Cintya menuruni tangga tanpa menggubris Bara. Seolah suaminya tak ada di situ. Bara tahu, istrinya masih kesal, makanya dia tidak mencoba merayunya. Cintya langsung duduk di sofabed yang menghadap televisi berukuran cukup besar. Meskipun televisi itu jarang di tonton, karena kesibukan masing-masing. Bara yang sibuk denga
Cintya tak percaya, suaminya bisa semarah itu. Sementara Aisya, menunduk ketakutan melihat suaminya sangat marah. Selama ini, Bara tak pernah marah kepadanya. Cintya mendadak diam. Dia begitu terkejut melihat Bara semurka ini. Namun, bukan Cintya namanya, kalau mengalah begitu saja. Baginya, Bara yang salah. "Aku kepala rumah tangga di sini, tolong hargai aku!" Bara tak semarah tadi. Dia sadar telah melakukan kesalahan besar dengan membentak Cintya. Padahal Cintya paling tidak bisa dibentak. Cintya enggan menjawab. Hatinya terlanjur sakit. "Cintya, aku menikahi Aisya bukan semata karena nafsu. Aku ingin menolongnya." Bara masih berusaha memberi pengertian ke Cintya. Cintya mengambil gelas berisi cairan teh beraroma Melati, lalu menyesapnya perlahan. Dia tak lantas meletakkan kembali, meskipun sudah selesai. Diremasnya cangkir bermotif bunga teratai dengan kuat. "Aku tak mungkin menyakiti hatimu, Cintya. Bukankah kita menginginkan hadirnya anak? Aku yakin, Aisya jalan keluar dari
Cintya mulai beraktivitas seperti biasa. Meskipun separuh jiwanya ada yang hilang, namun tak mempengaruhi kinerjanya sebagai dosen sekaligus wanita karir. Kini dia sengaja lebih menyibukkan diri di luar. Bahkan, di hari libur pun dia sengaja keluar bersama teman-temannya, untuk mengurangi rasa penat. Seperti sekarang ini, dia sengaja ke villa tanpa mengajak Bara. Di akhir pekan, biasanya villanya selalu ramai pengunjung. Tak sampai setengah jam, mobilnya sudah terparkir rapi di pelataran The Citra vila. Vila yang dia rintis dengan Bara kini sudah mulai ramai pengunjung. Deburan ombak disertai angin sepoi-sepoi menerbangkan ujung pasminanya. Sejenak, Cintya memejamkan mata, karena di dalam otaknya kembali terlintas peristiwa pahit kala itu. Cintya menghela nafas pelan.Cintya melangkah, melewati halaman yang sudah dipenuhi pasir pantai. Dulu, dia dan Bara selalu menghabiskan akhir pekan di sini. Hatinya kembali sakit, saat mengingatnya. Cintya memejamkan mata, mencoba berdamai dengan
Selesai menurunkan barang, pak Udin lantas menyelesaikan tugasnya, membersihkan halaman. Sementara itu, Cintya masuk ke dalam kamar. Dibukanya jendela yang langsung menghadap ke pantai. Semilir angin memainkan anak rambutnya. Lama sekali dia termenung. Beberapa kali dia mengembuskan nafas berat. Banyak sekali yang mengganjal di pikirannya. Dipandangnya kasur di mana dia dan Bara sering memadu kasih di situ. Lagi-lagi hatinya nyeri, mengingat kini Bara bukan hanya miliknya. "Permisi Bu, saya antar es kelapa muda." Suara pak Udin membuyarkan angannya. Cintya lantas menyematkan pasminanya. Seperti biasa, tanpa diminta pak Udin selalu menyiapkan es kelapa muda saat ia berkunjung ke sini. Diletakannya satu butir kelapa muda di atas meja. Pohon kelapa memang banyak tumbuh di halaman belakang vila. Jadi tak heran, stok kelapa muda tak pernah habis kalau hanya dinikmati sendiri. Kadang, kalau banyak kelapa yang sudah tua, Pak Udin akan menjualnya di Pasar Sandana. Cintya maupun Bara sudah
"Pak Udin tahu sesuatu tentang Aisya 'kan?" cecar Cintya. Udara pantai mulai terasa panas, sepanas hatinya sekarang. Cintya merasa dimainkan oleh keadaan. Cintya mulai geram. Pak Udin meremas ujung kaos, yang bertuliskan nama partai di punggungnya. Dia tak berani menatap Cintya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Tak mungkin juga harus berkata jujur, karena akan menyakiti perasaan majikannya. Bara juga sudah meminta untuk tidak mengatakan apapun soal ini. "Bapak tahu 'kan, siapa itu Aisya?" Cintya tak sabar, karena pak Udin hanya diam saja. Pak Udin semakin bingung. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. TinAda yang membunyikan klakson mobil. Cintya dan pak Udin kompak menoleh. Ada satu mobil hitam mengkilat berhenti tak jauh dari pintu gerbang. "Saya permisi dulu, Bu." Dengan nafas lega, pak Udin meninggalkan Cintya. Dia bergegas membuka gerbang dan mempersilakannya masuk. Rupanya tamu yang akan menginap datang lebih awal. Untung saja pak Udin selalu membersi
"Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung."Kamu benar Cintya 'kan?" Orang asing tersebut justru bertanya balik. "Iya, saya Cintya. Maaf Anda siapa?" tanya Cintya bingung, karena tiba-tiba ada orang sok kenal. "Ya ampun Cintya, kamu enggak ingat aku siapa?"Lelaki di depan Cintya tertawa renyah. Kaos putih dengan celana bergambar pantai sangat pas di tubuhnya yang atletis. Cintya mencoba mengorek memorinya. Namun tak terlintas sedikitpun ingatannya tentang pria di depannya. "Dulu kita satu sekolah saat SMA. Bahkan dulu kita pernah ...." Lelaki itu menggantung ucapannya. Cintya mencoba mengingat masa SMA. Selintas terbersit memori saat dirinya masih mengenakan seragam putih abu-abu. "Kak Niko?" tebak Cintya ragu. Lelaki yang disebut Niko tersebut matanya berbinar bahagia. Ternyata Cintya masih mengingat dirinya. "Kamu beneran kak Niko?" Kini Cintya balik bertanya. Sementara Niko hanya mengangguk seraya tersenyum. Cintya menggeleng tak percaya. Niko yang dulu kerempeng dan tak ter