Share

Bab 8

Aku dan Bang Agam pulang bakda Asar. Sebelum ke rumah, kami menjemput Asti di rumah Rima. Anakku sudah mandi dan makan. Istri Alan memang sangat baik, aku beruntung memiliki ipar sepertinya. 

Sesampainya di rumah, Asti langsung mengerjakan PR, sedangkan aku memasak untuk makan malam. Bang Agam tiduran di lantai beralaskan karpet spon. Sepanjang perjalanan pulang tadi, aku tidak mengajaknya bicara, sengaja agar dia tersadar kalau ada yang berbeda dari istrinya. 

Namun, aku salah besar kalau Bang Agam akan sadar. Nyatanya, dia malah sibuk memainkan ponsel. Jarak ruang tamu dengan dapur tidaklah jauh dan tidak memakai sekat. Jadi, aku bisa melihat jelas apa yang tengah dilakukan Bang Agam. 

"Oh, iya, insyaallah besok saya ke sana." Bang Agam berbicara melalui telepon. 

Aku menajamkan telinga, ingin tahu siapa yang menelepon tadi. Apa itu Mita atau Pak Wijaya? Bayam yang sedang aku petik, menjadi tidak karuan. Aku meluapkan kekesalan pada sayuran itu. 

Mengapa aku jadi curigaan begini, sih! Mungkin karena aku kecapekan, jadi pikiranku ke mana-mana. Aku harus percaya kepada Bang Agam. Lagi pula, wanita mana yang mau sama lelaki yang gak punya uang banyak? Menurut info dari kang gosip, pelakor biasanya suka sama pria banyak duit. Tidak peduli lelaki itu sudah punya anak istri atau tua sekalipun. 

Aku melanjutkan lagi memasak, tetapi saat akan menumis bumbu, minyaknya sudah habis. Terpaksa aku harus ke warung. Mungkin, Asti bisa kusuruh beli dulu sebentar. 

Aku berjalan ke kamar Asti, anak itu tengah serius belajar. Aku tidak tega memintanya untuk ke warung. Sementara itu, aku tidak melihat Bang Agam, cepat sekali dia hilangnya. Perasaan, tadi suamiku itu sedang tiduran di sini. Aku mencari ke teras, ternyata dia sedang duduk bersandar ke tembok. 

"Cari apa, Dek?" tanya Bang Agam. 

"Emm ... cari Abang," jawabku jujur. 

Bang Agam malah tersenyum, entah kenapa. 

"Abang gak bakalan ke mana-mana. Kamu kenapa, sih, kayanya beda sekali semenjak pulang dari rumah Pak Wijaya." 

Aku terdiam, tidak berani untuk jujur. Malu dan takut. Iya, aku takut Bang Agam marah karena aku kesal gara-gara tadi melihat keakraban dia dan Mita. Lebih baik, aku cari alasan lain saja. 

"Aku mau ke warung dulu, Bang, minyak goreng habis." 

Aku segera berangkat sebelum Bang Agam bertanya lagi. Rasanya belum siap untuk mengutarakan ketidaksukaanku atas kejadian tadi. Jangan sampai karena cemburu buta, hubunganku dan Bang Agam renggang. Akan tetapi, kami bukan ABG yang tidak bisa berpikir bijak, 'kan? Aku rasa, dia tidak akan marah kalau aku cerita dengan jujur. Ya, sebaiknya nanti malam aku bicara dengan Bang Agam. 

Sesampainya di warung, ibu-ibu tengah berkumpul. Malas sekali sebenarnya, sebab mereka itu sudah terkenal tukang gosip. Lapor sana, lapor sini, tidak punya kerjaan. 

"Bu, beli minyak goreng satu liter, ya," ujarku. 

"Eh, Bu Risa. Tumben belanja, lagi banyak duit, ya?" tanya Bu Rika. 

Wajar saja jika dia bertanya begitu, sebab aku jarang sekali ke warung. Paling, aku belanja di tukang sayur keliling, itu pun hanya sedikit dan jarang. 

"Oh, iya, saya baru ingat. Kan Aksa kemarin pulang, ya. Tadi Ibu Tini ada cerita. Katanya, semua saudaranya diberi uang dan oleh-oleh," lanjut Bu Rika. 

Aku menoleh seketika. Diberi uang? Hah, Ibu benar-benar, ya. Apa maksudnya menyebarkan berita begitu. 

"Bu Tini juga bilang, katanya cuman Bu Risa dan Agam yang gak ngasih oleh-oleh sama Aksa." 

Si Bu Rik semakin menjadi-jadi. Aku tidak menyahut, biarkan saja. Tukang gosip dan tukang lapor, memang cocok. Iya, mertuaku tukang lapornya. Apa-apa pasti bilang sama tetangga. 

"Ini uangnya, Bu." Aku segera menyerahkan uang pas kepada si pemilik warung. 

"Eh, Bu Risa, kenapa diem aja? Malu, ya, diomongin jelek sama mertua sendiri?" 

"Bu Rik, saya tidak peduli, permisi!" 

"Hei, nama saya Rika, bukan Bu Rik!" teriaknya tidak terima. 

Aku berjalan cepat agar tidak mendengar lagi ocehannya. Hari ini benar-benar membuatku pusing. Dari mulai ribut di rumah Ibu, melihat kedekatan Bang Agam dan Mita, sekarang mendengar ucapan Bu Rika. Mengapa di dekatku orangnya aneh-aneh semua. 

Ini bukan pertama kalinya aku mendengar laporan seperti itu. Ibu tahu, kalau Bu Rika mempunyai level julid dan gosip yang sudah mendarah daging. Jadi, beliau sering bercerita mengharumkan nama Aksa dan merendahkan Bang Agam kepada Bu Rika agar ucapannya itu cepat menyebar.  

Pasti besok pagi akan semakin gempar soal pembagian uang dan oleh-oleh dari Aksa. Meskipun ini bukan hal yang pertama, tetapi aku tetap kesal mendengarnya. Mending kalau iya bagi-bagi uang, ini kan tidak. 

Ibu juga pernah bercerita kalau aku tidak pernah ikutan bayar listrik. Ya, dulu saat hidup menumpang di rumah beliau, aku dan Bang Agam tinggal gratis karena penghasilan suamiku itu tidak tentu, bahkan kadang kami menahan lapar. Jadi, jangankan ikut memberi untuk bayar listrik. 

Waktu itu, setiap kali tanggal pembayaran listrik tiba, Ibu pasti menyindirku. 

"Pak, besok bayar listrik, ya. Jangan sampai telat! Nanti listrik kita dicabut. Pake aja uang yang ada, mudah-mudahan ada rezeki lagi." 

Awalnya, aku biasa saja saat mendengar beliau berkata demikian. Mungkin, keuangannya memang sedang tidak baik, ya, walaupun kecil kemungkinannya. Lama-lama aneh juga. Setiap kali jatuh tempo, Ibu pasti bilang begitu di depanku yang tengah beberes rumah. Akhirnya, aku bicara dengan Bang Agam. 

"Bang, entah ini perasaanku atau memang benar ditujukan untuk kita." 

"Kenapa, Dek?" 

Aku ceritakan kepada Bang Agam soal Ibu yang selalu menyindir soal biaya listrik. Suamiku menghela napas berat, mungkin sama bingungnya. 

"Mungkin kebetulan aja, Dek. Masa iya Ibu tega sama anak sendiri. Beliau kan bisa lihat keadaan kita bagaimana. Lagi pula, Ibu itu uangnya selalu ada. Kamu tenang aja, ya. Gak udah dipikirkan." 

Aku terpaksa mengangguk. Bukan tidak ingin membantu Ibu bayar listrik, tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya, aku dan Bang Agam menguatkan hati dan menebalkan telinga selama serumah dengan Ibu. 

Aku langsung masuk ke dapur tanpa menoleh kanan kiri. Rasa kesal begitu terasa. Mau sampai kapan Ibu seperti itu? Kekurangan anak bukannya ditutup-tutupi malah diumbar. Ya Allah, lembutkanlah hati mertuaku. 

***

Makan malam telah selesai, aku dan Bang Agam duduk di atas kasur saling bersisian. Aku ragu untuk memulai percakapan. Ucapan Bu Rika tadi masih terngiang, membuat suasana hatiku semakin buruk. 

"Dek, kamu mikirin apa?" tanya Bang Agam seraya menggenggam jemariku. 

Aku menghela napas berat sebelum menjawab. 

"Kapan Ibu akan berubah, Bang? Beliau selalu saja merendahkan Abang. Parahnya, Ibu bercerita begitu di kepada Bu Rika. Tahu sendiri si Bu Rik itu gimana sifatnya," sahutku kesal. 

"Ibu bicara apa?" 

Aku jelaskan semuanya dari awal sampai akhir. Napasku menjadi memburu lagi karena sangat jengkel. Bang Agam mendengarkan sambil jarinya tidak bisa diam. Terus memainkan rambutku. 

"Biarkan saja, Dek. Jangan berikan penjelasan apa pun kepada Bu Rika atau tetangga lainnya. Biarkan mereka dengan prasangkanya." 

Aku terdiam, mencerna ucapan Bang Agam. Lelah sebenarnya menghadapi sikap Ibu dan Bapak, tetapi seburuk-buruknya mereka, tetaplah orang tua Bang Agam, orang tuaku juga. 

"Kapan, ya, kita jadi orang kaya, Bang?" tanyaku pada akhirnya. Aku sandarkan kepala di bahunya. 

"Dek, kamu tahu? Allah memuliakan umat Nabi Muhammad dengan 6 perkara," sahut Bang Agam. 

"Pertama; Allah jadikan mereka miskin sehingga hisab mereka ringan. 

Kedua; Allah jadikan mereka berbadan kecil, hingga nafkah mereka tidak berat 

Ketiga; Allah menjadikan mereka lemah, hingga mereka tidak sombong 

Keempat; Allah menjadikan umur mereka pendek sehingga dosa mereka sedikit. 

Kelima; Allah menjadikan mereka umat terakhir sehingga yang mereka lakukan tidak diinjak-injak oleh umat kemudian 

Keenam; Allah menjadikan mereka umat akhir zaman sehingga tempo mereka tinggal di alam kubur tidaklah lama." 

Aku bangun menatap matanya. Bang Agam tersenyum lembut, lalu kembali berucap, "Apa kamu paham, Dek?" 

Aku mengangguk, tidak seharusnya aku bertanya demikian. Allah menjadikanku miskin karena hisabnya ringan. Tidak terbayang seandainya Allah menitipkan banyak harta padaku, apa aku akan sanggup? 

"Abang, aku mau tanya, tapi Abang jangan marah." 

"Tanya apa, Istriku?" sahut Bang Agam sembari menoel pipiku. 

"Emm ... apa Abang sudah kenal lama dengan Mita? Aku perhatikan, kalian sangat akrab." 

Bang Agam tidak langsung menjawab. Dia terdiam cukup lama,  tanganku sudah basah karena keringat dingin. Jantungku sudah seperti habis lomba lari. 

"Mengapa kamu tanyakan itu?" Bang Agam malah balik bertanya. 

Jawaban yang tidak aku harapkan sama sekali. Rasa curigaku semakin besar. Bang Agam, jangan harap kamu bisa berpaling dariku! Aku akan mengingatkanmu betapa terjalnya jalan yang sudah kita lalui sebelum berada di titik ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status