Share

Bab 7

Jantungku jadi berpacu dengan cepat saat mendengar percakapan antara Mita dengan lawan bicaranya. Entah mengapa, perasaanku semakin curiga dengan Bang Agam. Lelaki yang selalu aku banggakan karena selalu menundukkan pandangannya, mungkin kah kali ini dia berpaling?

Mobil sudah melaju lagi. Mita terlihat santai, sedangkan aku gelisah. Pikiranku berkecamuk, tidak tahu harus melakukan apa. 

"Ris, rumah bos suami kamu di mana?" Suara Mita memecah keheningan. 

"Di-di jalan itu, Mit." Aku menunjukkan jalannya. 

"Beneran ke situ?" tanya Mita, raut wajahnya tidak terbaca. Ada keterkejutan di sana, aku yakin itu. 

Aku mengangguk untuk meyakinkan. Mita tersenyum manis, kuyakin setiap lelaki yang melihatnya akan jatuh hati. 

"Aku juga akan pindah ke daerah sini, Ris," ujar Mita saat mobilnya sudah memasuki perkampungan tempat Bang Agam bekerja. 

"Untuk memperbaiki hubunganku dengan suami, Papa meminta kami untuk tinggal di sini. Mudah-mudahan suamiku bisa setia, Ris." Nada sedih terdengar jelas. 

"Aamiin. Kamu yang kuat dan sabar, Mit. Jangan menyerah!" Aku memberi dukungan kepada sahabatku itu. 

Beberapa menit kemudian, aku meminta berhenti di depan rumah berpagar hitam tinggi menjulang. Tidak lupa, sebelum turun aku mengucapkan terima kasih kepada Mita. Namun, alangkah terkejutnya aku saat dia pun ikut turun. 

"Kamu kenapa ikut turun, Mit?" tanyaku penasaran. 

Belum juga Mita menjawab, Bang Agam langsung membuka pagar. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum lebar. Akan tetapi, saat matanya menatap Mita, bola mata Bang Agam langsung membulat sempurna, pun dengan Mita. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. 

"Loh, Agam? Kamu ternyata ...." Tunjuk Mita, dia terkekeh pelan. 

"Iya, Nona, saya yang akan bekerja di sini," jawab Bang Agam. 

Hah, dunia terasa sangat sempit bagiku. Ternyata, Mita mengenal suamiku, bahkan menjadi pekerja di rumahnya. Bibirku agak kaku untuk tersenyum. Tidak bisa aku pungkiri, Mita sangat cantik dan baik, apalagi rumah tangganya sedang goyah, bukan tidak mungkin kalau Bang Agam atau Mita sendiri akan saling jatuh cinta karena seringnya bertemu. Ya Allah, mengapa hatiku merasa sakit? 

Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk. Bukan kah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Aku harus berpikir positif agar apa yang terjadi dalam hidupku, sesuatu yang baik juga. 

"Jadi, anak Pak Wijaya itu kamu, Mit?" ujarku berusaha menepis rasa cemburu. 

"Iya, Ris. Suamiku anaknya Papa Wijaya." 

Bang Agam mempersilakan Mita masuk, pun denganku. Kedua orang itu berjalan berdampingan, sedangkan aku tertinggal di belakang. Langkahku semakin pelan saat melihat Mita begitu akrab dengan suamiku. Sepertinya, Bang Agam lupa kalau ada istrinya di sini. Aku berjalan cepat untuk mengejar langkah mereka. Jangan sampai ada celah untuk Mita dan suamiku berdeketan. Setan akan mudah masuk, lalu membujuknya untuk terjerumus. 

Mita berpamitan untuk keliling dalam rumah. Bang Agam dan aku menuju kolam renang yang ada di taman bekalang. Kulirik dia, wajahnya cerah, seperti tidak mempunyai beban hidup. Padahal, baru tadi pagi dia kesal dengan sikap orang tuanya. 

"Dek, kamu rapikan tanaman, ya. Gunting daun-daun yang sudah rusak. Lalu, semprot menggunakan obat yang ada di botol warna hijau," ujar Bang Agam. 

Aku mengangguk tanpa menjawab, saat melewati tubuhnya, tangannya meraih jemariku. Kami bersitatap, dadaku berdebar sekaligus berdenyut ngilu. Aku sangat takut dia berselingkuh. 

"Kamu kenapa? Apa yang terjadi di rumah Ibu?" 

Bukan di rumah Ibu, Bang, tapi di sini. Di tempat ini, aku tidak suka kamu terlalu dekat dengan wanita mana pun termasuk Mita. Apalagi dia itu majikan baru kamu. Seharusnya, kamu bisa menjaga jarak dan pandangan kamu. 

Rasanya ingin sekali aku menjawab seperti itu. Akan tetapi, tidak enak rasanya kalau ribut di rumah orang lain, nanti Mita mendengarnya dan malah terjadi kesalah pahaman. 

"Gak apa-apa, Bang. Aku hanya gak enak badan saja." 

Bang Agam langsung menyentuh dahiku, raut wajahnya sangat khawatir. Melihatnya seperti ini, rasanya tidak mungkin dia berpaling. 

"Gak panas, kok. Yasudah, kamu istirahat aja. Biar aku kerja sendiri. Kamu lihatin aja dari sana." Bang Agam menunjuk kursi besi yang ada di taman. 

"Aku masih, kuat, kok. Cuman pusing dikit, Abang tenang aja, ya." 

Aku mengulas senyum sebelum meninggalkan Bang Agam. Lalu, mengambil peralatan untuk mengurus tanaman. Mataku berbinar saat melihat berbagai macam bunga tumbuh dengan subur. Pekerjaan ini sangat cocok untukku karena aku suka sekali bercocok tanam. Aku bersenandung sembari bekerja, sambil sesekali melihat Bang Agam yang tengah mengelap kaca dekat kolam renang. 

Tidak berapa lama, Mita datang kembali. Dia mengajak ngobrol Bang Agam. Diam-diam aku memperhatikan keduanya. Tawa Mita sangat lepas, apa mungkin kehadiran suamiku menjadi pelipur lara untuknya? Aku menjadi penasaran, seperti apa wajah suami Mita. 

Aku tidak bisa membiarkan Bang Agam terlalu dekat dengan majikannya, aku bergegas ke sana. 

"Abang, aku sudah selesai. Sekarang apa lagi?" tanyaku lembut. 

"Sudah selesai? Wah, istriku memang hebat," puji Bang Agam sembari tersenyum manis. 

"Sekarang, kita pindah ke lantai dua, Dek. Beresin setiap ruangan." 

Aku mengangguk semangat, lalu menggandeng lengan Bang Agam. Tidak lupa berpamitan kepada Mita kalau kami akan ke lantai dua. Sebenarnya, aku malu harus melakukan ini di depan orang lain. Kesannya, seperti kekanak-kanakan. Akan tetapi, apa boleh buat? Dari pada nanti ada setan lewat, lalu mereka terjebak, lebih baik aku secepatnya turun tangan. 

Lantai dua rumah Mita begitu megah. Ada tiga pintu, balkon yang cukup luas, serta ruang tamu mungkin, sebab ada sofa besar di tengah-tengah ruangan. Hiasan yang dipakai pun berkelas semua. Bang Agam memintaku membersihkan kamar utama, yaitu kamar yang akan ditempati Mita dan suaminya. 

Aku bergegas masuk. Kamar ini sangat luas, bahkan lebih luas dari rumahku. Meja riasnya sangat cantik, belum lagi sofa berwarna biru turkis sangat lucu. Ranjangnya sangat besar, sepertinya muat dipakai empat orang juga. 

Aku mulai mengganti seprai, menyapu, mengepel, serta membersihkan kamar mandi. Aku begitu takjub melihat semua ini. Betapa enaknya menjadi orang kaya. Makan tinggal makan, pakai baju tidak perlu mencuci dulu, ingin belanja, ya, tinggal berangkat, betapa sempurnanya hidup mereka yang terlahir kaya. Namun, itu hanya dalam pandangan si miskin macam diriku. Nyatanya, orang kaya itu jauh lebih pusing. Buktinya Mita, dia pusing memikirkan suaminya agar tidak selingkuh lagi. Padahal, Mita sangat cantik, jadi wanita seperti apalagi yang dicari suaminya. 

Membersihkan satu ruangan saja begitu melelahkan. Aku istirahat sejenak dengan duduk di kursi yang ada di balkon. Semilir angin begitu sejuk. Aku memandangi pemandangan dari sini, sangat indah. Apalagi kalau dilihat waktu malam, pasti akan jauh lebih bagus. 

Setelah sepuluh menit beristirahat, aku keluar dari kamar itu. Mencoba mencari Bang Agam untuk bertanya aku harus bantu apa lagi. Aku menyusuri setiap ruangan, kubuka sedikit pintunya, tetapi Bang Agam tidak ada. Lalu, aku melihat pintu terakhir terbuka sedikit, aku mendekatinya dengan berjalan pelan. Sebab, samar-samar aku mendengar dua orang sedang berbicara. 

"Mau sampai kapan kamu menyembunyikan semua ini, Gam?" 

Mataku seketika memanas menahan tangis saat mendengar jelas siapa yang bertanya, itu suara Mita. 

"Ini belum saatnya, Mit," jawab Bang Agam. 

"Tapi, Gam, kasihan Risa. Aku gak tega melihatnya--" 

"Dia wanita yang kuat, Mit. Kamu tidak usah khawatir!" potong Bang Agam cepat. 

Aku tidak sanggup harus mendengarkan lebih lama lagi. Rasanya, jantungku seperti diremas kuat dan dipaksa keluar, sangat sakit. Aku secepatnya turun, sambil menutup mulut. Jangan sampai suara tangisku terdengar oleh mereka. 

Aku terduduk di lantai dapur,  menangis tanpa suara. Apa yang mereka bicarakan sebenarnya? Mengapa aku merasa kalau mereka sedang membahas soal perasaan? Ya Allah, apa benar aku ini kuat? Aku rasa tidak! Istri mana yang kuat melihat suaminya menyukai wanita lain. 

Cukup lama aku menangis, tetapi tidak ada tanda-tanda Bang Agam mencariku. Apa dia terlalu asyik berbincang dengan Mita. Aku tidak boleh seperti ini. Aku bergegas bangun, lalu mencuci muka. Tidak akan aku biarkan siapa pun mengusik rumah tanggaku. Cukup ini yang terakhir aku menangis. Jika Bang Agam terbukti selingkuh, aku akan menyadarkannya dengan cara yang berbeda. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status