Share

Bab 6

Pukul lima pagi setelah shalat subuh, aku bersiap. Hanya tidur dua jam. Kalau orang lain, mungkin akan lemas. Tapi kalau aku sudah terbiasa. Entah di kantor Reyhan nanti, aku akan mengantuk atau tidak? Sepertinya si mengantuk. 

 

 

Sungguh, dihari pertama akan bekerja dengan Reyhan, perasaanku sangat senang dan begitu nervous. 

 

 

"Bu, masa iya aku kerjanya cuma nemenin, Reyhan aja sih," keluhku pada Ibu. 

 

 

"Siapa tahu kamu diajarin sesuatu. Kan kita nggak tahu," ucap Ibu. 

 

 

"Tapi kok rasanya deg-degan gini ya, Bu?" 

 

 

"Biasa itu, Han. Namanya juga hari pertama masuk kantor," ucap Ibu sambil membuat sereal yang dibelikan oleh Reyhan semalam. 

 

 

****

 

 

Hari semakin terang, matahari pun mulai menampakan sinarnya. Kulirik jam dinding sudah pukul 07.00 pagi. Tapi Reyhan belum juga datang. Mungkin dia kesiangan karena semalam tidur terlalu larut. Berbeda denganku yang terlalu bersemangat menyambut hari ini.

 

 

Tin …! Tin …! 

 

 

Terdengar suara kelakson. Dengan cepat aku bergagas keluar. 

 

 

"Wah, pake mobil? Kirain motor," lirihku.

 

 

"Udah sana! cepetan!" ucap Ibu. 

 

 

Reyhan turun dari mobil. Lalu berjalan menghampiri Ibu dan mencium punggung tangannya. "Kami berangkat dulu, Bu," pamitnya sopan. Aku pun segera mencium punggung tangan Ibu dan berlari kecil menghampiri Reyhan. 

 

 

"Hati-hati, ya!" triak Ibu. 

 

 

*****

 

"Siap kerja bareng aku?" tanyanya.

 

 

"Siap sih, tapi aku bingung. Takutnya nyusahin kamu. Emang beneran aku kerja sama kamu? Aku nggak ada kemampuan apapun dibidang perkantoran gitu," jelsku.

 

 

"Tenang aja. Aku bakal ngajarin. Yang penting kamu punya kemauan untuk bisa," ucapnya sambil terus fokus menyetir mobilnya. 

 

 

"Iya aku mau, Rey. Hanya saja takut nyusahin kamu. Gini-gini aku juga punya cita-cita masuk kantor," ungkapku.

 

 

"Soal gampang. Kecil itu mah bagi seorang, Reyhan. Yang penting kamu punya keinginan dan jangan takut untuk mencoba," ucap Reyhan. 

 

 

"Kalau aku ini kerjanya nemenin kamu, kaya sekretaris gitu? Atau asisten?" 

 

 

"Dua-duanya. Aku kurang sreg si sama sekretaris kantor yang Papa siapin kemaren. Malah lebih cocok sama kamu. Selama kamu belajar, jadi asisten pribadi Reyhan dulu," ucapnya sambil tersenyum.

 

 

"Yang penting aku nggak ikut kamu ke kamar kecil ya? Hheehhe." Aku tertawa. 

 

 

"Ya, enggaklah! Emang aku Ravi!" Dia pun ikut tertawa.

 

 

"Eh aku baru sadar lo, kamu terlihat sangat manis hari ini," pujinya. 

 

 

"Hish! Jangan bikin aku meleleh kaya es lilin, Rey," jawabku malu-malu. Baru kali ada yang muji aku. 

 

 

πŸ’¦

 

 

"Ada apa rame gitu di depan halaman kantor?" tanya Reyhan saat kami sudah tiba di depan kantor. Orang yang bergerumunan pun mulai menyingkir saat mobil Reyhan mulai memasuki halaman kantor. 

 

 

"Aku turun dulu. Kamu mau ikut?" tanyanya. Aku mengangguk tanda setuju.

 

 

"Ada apa ini? Kenapa rame-rame begini?" tanya Reyhan kesal apa lagi saat melihat wajah bapak tua mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. 

 

 

"Bapak kenapa?" tanya Reyhan lembut. 

 

 

"Gerobak bubur saya, tidak sengaja menabrak mobil, Mas ini pak!" Ia menunjuk pada seseorang yang sedang memeriksa pinggir mobilnya. 

 

 

"Terus? Karena saya tak punya uang untuk mengganti, Mas-nya menghajar saya. Untung saja, ada yang membantu saya agar berhenti dipukuli," jawabnya sambil takut-takut. Terlebih saat dia menatap dagangannya sudah berantakan. Grobaknya juga rusak, dagangannya sudah tak layak jual, matanya begitu merah tangan dan bibirnya gemetar. 

 

 

"Kamu bangun! Heh! Bangun!" bentak Reyhan menarik kerah kemeja bagaian belakang milik pria itu. 

 

 

"Apaan, si! Nggak usah ikut campur," ucap pria itu sambil memeriksa pinggir mobilnya tanpa melihat siapa yang memanggil. Suaranya mengingatkanku pada Mas Tama. Tapi mobilnya bukan mobil Mas Tama. Mobilnya masih baru. Pantas saja dia marah, ternyata ada kelecetan sedikit. Orang kaya yang angkuh memang begitu, lecet sedikit marahnya kelewatan. Apa jangan-jangan orang kaya baru? Meski banyak juga yang baik hati. Hanya ada beberapa yang seperti itu. 

 

 

"Gue bilang bangun lo! Bang*sat!" berang Reyhan.

 

 

"Sialan lo!" jawabnya lalu bangun dari jongkoknya dan menengok pada Reyhan.

 

 

"Mas Tama?!" ucapku. 

 

 

"Mas Reyhan?" lirih Mas Tama kaget. 

 

 

"Oh ternyata, Pak Tama. Apa ini, Pak?" tanyanya. 

 

 

"Em, itu saya kesal. Karena dia tidak berhati-hati. Dan saya terlanjur emosi, Mas." 

 

 

"Tapi tidak bisa seenaknya seperti ini! Menindas yang lemah! Ini apa-apaan si Bapak sampai bonyok begini? Tidak punya nurani anda, Pak Tama. Tadi anda hajar pakai apa?" tanya Reyhan. Wajahnya terlihat emosi. Semua orang hanya melihat tak berani melerai. Aku juga hanya diam menyaksikan. Biar saja! Biar Mas Tama tahu rasa. Dia memang sering seperti ini. Mobilnya kesenggol pengendara motor saja mulutnya sangat jahat. Kalau aku berbicara lebih baik mobilnya dikandang supaya tak lecet, dia pun tak terima. 

 

 

"Pakai helmet Agus," jawabnya. 

 

 

"Pak Agus, saya pinjam helmet-nya," ucap Reyhan. 

 

 

Buk! 

 

 

"Aw!" Pekik Mas Tama. Tiba-tiba saja Reyhan menghajar wajah Mas Tama menggunakan helmet itu. Kini wajah Mas Tama pun sama seperti wajah Pak Bubur. 

 

 

"Bagaimana, Pak Tama? Sakit? Sama! Yang Bapak inin rasakan juga sakit," ucap Reyhan menunjuk pada Pak Bubur. Mas Tama hanya diam. Tapi aku tahu, pasti di dalam hati dia mengumpat. 

 

 

"Sekarang, Pak Tama tidak usah masuk kantor. Kembali dan pergilah berobat." Tanpa mengucap sepatah katapun, Mas Tama langsung masuk ke mobilnya. Entah, dia melihat keberadaanku atau tidak. Yang pasti dia tidak melirikku sama sekali. Kasian sekali nasibku. Bahkan sudah berhadapan saja dia tidak menyapaku. 

 

 

"Pak, ini ada sedikit uang untuk, Bapak berobat dan memperbaiki gerobak yang rusak. Tolong diterima dan maafkan karyawan saya, Pak," ucap Reyhan membuatku kaget. 'Karyawan? Nggak salah? Bukannya Mas Tama direktur? Aih, aku jadi tak mengerti. Biar saja nanti kutanyakan pada Reyhan.

 

 

"Terima kasih banyak, Pak. Ini lebih dari cukup untuk memperbaiki grobak saya," ucapnya gemetar. Kasihan juga, Mas Tama tega banget sih, masa orang tua dihajar sampai babak belur cuma gara-gara mobil lecet sedikit. 

 

 

"Ambil, Pak. Rezeki Bapak karena tidak bisa berjualan hari ini. Ada anak istri menanti kepulangan, Bapak di rumah."

 

 

"Hati-hati, ya, Pak," ucapnya lalu membantu Pak Bubur mendirikan grobaknya. Sebelum berpamitan, Pak Bubur ingin membersihkan dulu tumpahan bubur yang berserakan. Namun, Reyhan melarangnya dan akan menyuruh OB kantor. Dari yang aku amati, dia sangat peduli dengan orang yang lemah. 

 

****

 

"Mas Tama itu karyawan kamu?" Aku memberanikan diri bertanya pada Reyhan sesampainya di ruangan kerjanya. 

 

"Iya. Kamu kenal?" Dia balik bertanya.

 

 

"Gimana nggak kenal, orang dia Ayah dari anak-anak ...," jawabku sedikit malas.

 

"Hah? Jadi Tama itu mantan suami kamu? Tapi, kenapa tadi seperti tak mengenalimu? Atau mungkin nggak ngeh ya?" 

 

"Enggak tahu, Rey. Biarin ajalah, nanti juga bakal sering-sering ketemu." Aku memikirkan cara agar bisa kembali mengambil hatinya. Aku ingin membuatnya menyesal telah mencampakkan aku. Bagaimana caranya? Yang pasti, menurut buku yang pernah aku baca jika ingin membuat mantan menyesal adalah, dengan cara berbuat baik. Tidak menaruh dendam apapun. Buktikan dengan prestasi, bukan dengan dendam yang menggebu. Intinya tetap berbuat baik meski dia jahat dan cuek alias jutek. 'Hem, jadi nggak sabar jumpa Mas Tama besok.'

 

"Heh! mulai belajar ini! Malah dia senyum-senyum sendiri," cetus Reyhan. 

 

"Aku itu lagi menyusun visi dan misi untuk besok dan seterusnya, Rey," jawabku sambil membereskan lembaran kertas yang Reyhan berikan.

 

"Visi dan misi apa?" tanyanya penasaran.

 

"Visi dan Misi membuat mantan menyesal. Aku yakin cara jitu ini akan berhasil. Maklum, abis baca cerita tentang Madu pembalasan istri pertama. Dimana, dia membalas perlakuan suaminya dengan cantik. Kisahnya mirip-mirip aku gini. Cuma bedanya, tokoh dalam cerita itu, perempuannya cerdas dan berpendidikan. Sedangkan aku, modal ijasah SMP-pun pas ulangan hasil nyontek." Kejujuranku membuat Reyhan tertawa hingga terpingkal-pingkal.

 

"Rey!" panggilku.

 

"Hem ...." 

 

"Kamu waras kan?" 

 

 

"Udah nggak usah bawel! Sekarang tugas kamu adalah, membaca ini dan pahami isinya. Kalau kurang paham, bisa tanya ke aku." Aku pun mulai membaca lembaran itu.

 

[Membuka surat masuk untuk pimpinan.]

 

[Menerima dikte.]

 

[Menerima dan melayani tamu serta bertamu mewakili pimpinan.]

 

[Menerima dan melayani telepon serta menelpon.]

 

[Menata arsip/surat.]

 

[Penghubung antara pimpinan dengan klien.]

 

"Rey! Begini ya tugasnya nemenin kamu? Bikin pusing," protesku setelah membaca. 

 

"Pokoknya lakuin aja. Sekarang kamu periksa berkas penting yang ada di meja. Itu ada bangku dan kursi kosong, jadi tempat kamu untuk kerja. Angkat telpon jika ada panggilan masuk. Jangan ganggu aku, aku mau mulai menandatangani banyak berkas," ucapnya seraya duduk di tempatnya. Sedangkan aku, masih termenung memandangi meja yang berisi banyak kertas, tempat pulpen, dan ada telpon. Tapi demi menambah wawasan, aku mau mempelajarinya. lagian, sepertinya itu mudah kok.

 

"Selamat kerja, Hany. Ingat, kalau kurang paham bisa tanya ke aku," ucap Reyhan. 

 

"Siap, Pak Reyhan," godaku sambil melangkah ke meja kerjaku. Sungguh, aku merasa seperti pegawai kantor. Ini sangat berbeda dan lebih terasa wah .... 

'Allhamdullillah, naik pangkat lagi ....'

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
his sdh dibuang, masih kepengen buat mantan tertarik dan balik lagi. aneh, nggak sakit ya dihina.berarti perasaannya tidak peka.
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
asyik akhirnya cita2 hany jd kary kantor terjawab sdh heheh awas kau tama
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
Mantap senang sekali cerita ini sangat penting untuk membaca nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status