Pukul delapan malam, Aditama dan Vania tiba di rumah Kakek Hermanto.Melihat kedatangan keduanya, Hermanto dan Stephanie langsung menyambutnya dengan hangat.Setelah ngobrol basa-basi sebentar, kemudian Aditama dan Vania digiring ke meja makan untuk diajak makan malam bersama.Sembari menyantap makanan masing-masing, pun obrolan santai masih terdengar yang sesekali diselingi canda dan tawa, akhirnya Vania menyinggung maksud sang kakek mengundang dirinya dan sang suami untuk datang ke rumah ini. Selama sesaat, rahang Vania mengeras. Dia kemudian berkata. "Kakek ... memintaku dan Tama ke rumah karena hendak menyuruh kami untuk mencabut laporan Tama terhadap Paman, Bibi dan Mario, bukan?" ujar Vania dengan hati-hati, langsung menebak demikian. Hermanto agak sedikit terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Seketika menghentikan kegiatan menyuapkan nasi ke dalam mulut. Begitu pula dengan Stephanie. Keduanya lalu saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frekuensi atas pertanya
"Apa yang sedang Ayah pikirkan?" Suara Stephanie membuat Hermanto yang sedang duduk melamun di kursi depan rumah seketika menoleh ke arah sumber suara. Tampak Stephanie yang tengah berdiri di ambang pintu sebelum kemudian berjalan ke arah kursi satunya dengan membawa secangkir teh hangat untuknya. Diletakan secangkir teh hangat tersebut di atas meja, lalu ia mejatuhkan diri di kursi satunya. Selagi Stephanie menatap lekat sang Ayah—menunggu.Hermanto memalingkan muka ke depan lagi sambil menghela napas berat. Dia kemudian berkata. "Rumah jadi terasa sepi ya, Step karena sudah tidak ada Vania dan ... Aditama lagi," suara Hermanto melemah di ujung kalimat. Mendengar itu, terbit senyum tipis di bibir Stephanie. "Sudah saatnya mereka mencari makna hidup sendiri, Yah. Sudah saatnya mereka berpisah dengan kita karena sebentar lagi mereka akan membentuk sebuah keluarga baru." Hermanto kembali menatap Stephanie dengan memasang wajah murung. "Tapi kalau dipikir-pikir lagi ... ini sal
Bastian, Susan dan Mario benar-benar kecewa berat dengan Kakek Hermanto yang kini telah berubah.Jika dulu, setiap mereka mempunyai masalah dengan Aditama, pasti ia akan selalu berpihak pada mereka, tidak peduli mereka benar atau salah sekali pun. Tapi sekarang ... sudah tidak lagi! Mereka bertiga sengaja tidak memenuhi panggilan dari kepolisian karena Bastian sedang menunggu orang-orang suruhanya yang ia tugaskan untuk mencari bukti-bukti hubungan gelap antara Jauhar dengan Vania. Mereka sepenuhnya sadar dan tahu jika hal itu membuat para polisi nantinya akan mendatangi dan menjemput mereka secara paksa. Jika hal itu terjadi, maka, mereka akan malu. Oleh karena itu, Bastian menginginkan orang-orang suruhanya harus sudah menemukan bukti-bukti sebelum polisi menjemput secara paksa. Pada saat Bastian, Susan dan Mario fokus pada hal tersebut, mereka lupa sesuatu jika mereka telah membawa-bawa nama salah satu orang berpengaruh di kota Ferandia. Siapa lagi kalau bukan Jauhar—w
Sehari sebelumnya ... Aditama melihat dua orang tengah terduduk dengan keadaan tubuh terikat pada kursi selagi ia berjalan mendekat di sebuah gedung tak terpakai. Di kanan kirinya, dua laki-laki terlihat seperti sedang mengintrogasi dua orang itu. Mereka adalah tukang pukul Aditama. Menyadari kedatangan Tuan Mudanya, dua tukang pukul buru-buru menguasai diri untuk menyambutnya. Tiba di hadapan mereka, dua tukang pukul itu langsung menundukan badan masing-masing. Lalu, keduanya menegapkan tubuhnya lagi dan berkata. "Maafkan kami, Tuan. Kami belum berhasil membuat mereka berdua untuk buka mulut." Kata salah satu tukang pukul, menatap Aditama dengan perasaan bersalah bercampur takut seraya menunjuk-nunjuk dua orang yang dimaksud yang dibalas anggukan kepala oleh tukang pukul satunya. Aditama mengangkat tangan sambil mengangguk pelan, menandakan jika ia tidak mempermasalahkan hal itu.Seketika dua tukang pukul itu pun merasa lega. Pandangan Aditama lalu terfokus pada dua orang yang
Hermanto menjadi penasaran setelah melihat Bastian tampak begitu terkejut setelah mengecek sesuatu di tab milik Jauhar.Ia ingin bertanya mengapa putranya bersikap demikian, tapi akhirnya ia mengurungkan niat, memutuskan menunggu saja. Selagi Bastian terdiam shock, Jauhar angkat suara. "Dua orang itu ... adalah suruhan Anda, bukan, Pak Bastian? Yang Anda perintahkan untuk mengikuti saya dan Nona Vania?" Pertanyaan itu membuat Bastian tersadar. Sedangkan Hermanto mengerjap. Di saat ini, pria tua itu langsung teringat dengan perkataan Bastian tadi sewaktu di mobil yang mengatakan jika dia sedang mencari bukti. Kala memikirkan hal itu, Hermanto seketika memasang ekspresi wajah tak berdaya. Tentu saja mudah bagi Jauhar meringkus orang-orang suruhan Bastian tersebut.Di sisi lain, ia geram dengan apa yang dilakukan Bastian terhadap Jauhar dan Vania. Jauhar lanjut berkata. "Apa yang ingin Anda cari, Pak Bastian? Anda ingin mencari bukti-bukti jika saya dan Nona Vania memiliki hubungan
"Ternyata dua orang yang mengikutimu akhir-akhir ini adalah orang suruhanya Paman Bastian, sayang." Jelas Aditama kepada sang istri. Seketika Vania menghadap Aditama.Pasangan suami istri itu kini sedang duduk bersebelahan di sofa ruang bersantai. Aditama baru saja pulang dari kantor. Sedangkan Vania pulang lebih awal. Jadi, ia bisa menyambut kepulangan sang suami. Vania mendecakan lidah seraya menggeleng mendengarnya. Dia kemudian berkata. "Ya ampun ... sebegitu yakinya Paman jika aku dan Pak Jauhar memiliki hubungan?!" Wajah Vania mengernyit. Pun kesal. Ia tidak habis pikir dengan sang Paman, sepertinya rasa iri telah membutakan mata dan pikiranya.Aditama lanjut berkata. "Tapi kamu tak perlu khawatir, sayang ... karena orang-orang suruhan Paman Bastian itu sudah aku bereskan." Kemudian, rahangnya mengeras. "Jadi, mereka tidak akan bisa mengganggumu lagi!" Seketika terbit senyum di bibir Vania. "Terima kasih, Tama," Kemudian, matanya menyipit. "Aku jadi tidak takut lagi kalau p
Tiba di ruang tamu, Bastian, Susan dan Mario kompak terkejut melihat Aditama dan Vania sudah duduk di sana.Mereka pikir keduanya belum sampai, ternyata sudah sampai lebih dulu. Melihat kedatangan mereka bertiga, Aditama, Vania dan Hermanto kompak menoleh menatap mereka bertiga dengan dingin. Menginginkan segera mendapat simpati dari Vania dan Aditama, Susan buru-buru memasang ekspresi wajah sendu."Vania ... Aditama ... " panggil Susan, menatap keduanya bergantian selagi berjalan mendekat dan duduk di sofa dekat mereka. "Sudah lama kalian sampai di sini?" "Belum terlalu lama, Bi." Jawab Vania dingin, balik menatap sang Bibi. Sedangkan Aditama hanya diam saja. "Vania ... Aditama ... " sambung Bastian selagi berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. Diikuti Mario setelahnya yang kemudian duduk di sampingnya. "Paman benar-benar sangat menyesal—" "Santai saja dulu, Paman," sergah Aditama menyela perkataan Bastian yang membuat Bastian gelagapan sebelum akhirnya mengangguk pela
Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Hermanto membuka mata dan berkata. "Sekarang, Aditama sudah tidak bisa kalian anggap remeh lagi karena dia ... " Hermanto menggantungkan kalimatnya. Kemudian, dia menggelengkan kepala. "Bukan pria miskin lagi!" Mendengar itu, Bastian, Susan dan Mario secara perlahan mengangkat muka—beralih menatap Hermanto dengan kening berkerut. Apa maksud Hermanto mengatakan jika Aditama bukan orang miskin lagi? Sementara Aditama, Vania dan Stephanie tengah saling pandang satu sama lain dan saling melempar senyum. Mereka menduga jika Kakek Hermanto akan menyinggung soal Aditama yang mendapatkan warisan kepada mereka bertiga. Aditama sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Lagi pula, sebelumnya sang kakek sudah ijin padanya untuk mengatakan hal itu kepada mereka bertiga dan ia memperbolehkanya. Memang sudah seharusnya mereka mengetahui hal tersebut supaya mereka tidak menganggap dirinya hanya menumpang hidup di keluarga Hermanto saja. Selagi mereka ber