Share

Part 6

SUAMIKU PURA-PURA LUMPUH UNTUK MEMBALAS IBUNYA (6)

"Apa Mas Zain?" tanyaku pada diri sendiri sambil menatap suamiku intens.

Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa semakin hari, semakin banyak kejadian aneh yang terjadi di rumah ini.

Seolah-olah mengarti dengan tatapanku, akhirnya Mas Zain mengeluarkan suara.

"Bukan aku!" katanya.

Mendengar jawaban Mas Zain, akhirnya aku memilih percaya saja walau sedikit ragu.

Apa salah jika aku curiga? Di mulai dari kiriman makanan mewah yang entah dari siapa, ponsel yang aku temui kemarin dan sekarang benda itu telah lenyap entah kemana, dan kiriman barang-barang mewah serta kejadian sekarang. Kurasa polisi tidak akan tahu kejadian kemarin jika tidak ada orang yang melaporkan.

"Pak! Aku bisa jelaskan! Kemarin aku tidak sengaja," kata Clara mencoba membela dirinya.

Sebenarnya aku tahu sengaja atau tidaknya dia, ya pasalnya aku sudah biasa mendapatkan perlakuan sedemikian rupa dari saudara-saudara ibu, jelas mereka sengaja, karena mereka tidak suka padaku, ya! Benar mereka membenciku.

"Kami tidak bisa mendengar alasan anda, mari ikut kami," kata pria itu.

Clara menatapku seolah-olah ingin aku membantunya.

"Lepaskan dia Pak, dia tidak salah." Mendengar pembelaanku, dua polisi itu hanya tersenyum pelan.

"Tidak bisa begitu, kami harus menjalankan tugas kami sesuai perintah," katanya lalu menarik Clara dan membawa wanita itu pergi.

Setelah mobil dinas aparat kepolisian menjauh, tiba-tiba ibu menarik rambutku begitu kuat.

"Apa yang kau lakukan hah?" teriak ibu marah.

"Aku tidak melakukan apa pun, Bu, aku berani bersumpah," jawabku.

"Sudahlah, Bik, memangnya salahnya di mana, toh si Clara sudah salah," Kak Dewi alias kakak sepupu Mas Zain berujar.

Wanita itu menarik tangan ibu agarmelepaskan cekraman pada rambutku kemudia ia mengajak semua orang untuk masuk ke dalam.

"Awas jika terjadi sesuatu pada Clara."

***

"Shanti," seseorang memanggil namaku, aku menoleh dan mendapati Kak Dewi di belakang.

Selama ini aku tidak pernah bertemu dengan wanita ini, aku hanya sering mendengar cerita-cerita tentangnya pasalnya Kak Dewi selama ini menetap di Jerman setelah menikah dengan laki-laki berkelahiran negara Jerman. Mungkin ini kali pertama dia ke rumah ini dan aku baru mengenalnya, menurutku dia berbeda dari sepupu-sepupu suamiku yang lain.

"Bagaimana kabarmu Zain?" tanya Kak Dewi, aku tersenyum mempersilahkan Kak Dewi untuk duduk di atas lantai yang sudah aku gelar ambal kecil.

"Ah, aku lupa kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku," jawab Kak Dewi lagi.

Aku hendak menjelaskan bahwa sebenarnya Mas Zain tidak bisu, ia hanya lumpuh, namun Mas Zain mencegahnya lelat tatap mata.

"Kamu beruntung mendapatkan Shanti," katanya.

"Walau pun dia jelek tapi dia sangat baik dan setia," katanya sambil terkekeh, aku tidak ambil hati ucapannya, aku tahu dia suka bercanda.

"Aku keluar dulu," kata Kak Dewi lalu pergi.

***

Aku tersenyum melihat keharmonisan keluarga ibu, andai saja aku diterima dengan baik di sini, mungkin aku akan duduk di antara mereka sambil bercerita-cerita seperti yang lain, akan tetapi aku tidak bisa melakukan semua itu. Aku tidak pernah di anggap di sini.

Ibu mulai membagikan baju seragam keluarga untuk acara pesta pernikahan Kak Tania.

Aku pikir aku tidak akan dapat bagiaan, tapi ternyata aku salah, ibu memanggilku.

"Ini untukmu," katanya membuat semua orang tertawa, pasalnya baju yang diberikan padaku adalah baju jelek yang sudah dimakan rayap, di tambah lagi warna yang merah padam.

"Ini cocok untukmu," katanya sambil tertawa.

Aku hanya diam, memilih menjauh dan menyerahkan kembali baju itu pada ibu.

"Hei! Dadar tidak tahu terima kasih," katanya namun benar-benar tidak peduli.

****

Aku menangis sesegukan sambil masuk ke dalam gudang yang sudah aku jadikan kamar, namun aku terkejut saat melihat Mas Zain menatpku, aku pikir dia sudah tertidur, tapi ternyata aku salah.

"Siapa yang membuatmu mengangis?" tanya Pria itu dingis dengan ekspresi wajah datar serta beberapa kerutan yang terlihat jelas di keningnya.

"Tidak ada, Mas, tadi aku mengiris banyak bawang," kataku.

"Bohong!" katanya.

Dia seperti memaksaku untuk menceritakan semua yang terjadi.

Selama ini aku memang tidak pernah menceritakan apa pun padanya, namun kali ini saat menyadari kepeduliaan yang ditunjukkan oleh Mas Zain begitu besar, akhirnya aku memutuskan untuk sedikit membagi kesedihan.

Aku mulai menceritakan dari awal hingga akhir.

Dia hanya diam saja mendengarkan tanpa menjawab sepatah katapun sampai aku selesali menceritakan semua itu padanya.

"Tidak ada maaf untuk orang yang telah membuatmu menangis!"

katanya geram.

Mas Zain sudah sangat berubah sekarang, dia sudah begitu sering berbicara padaku, tapi dengan orang lain dia hanya diam bersikap seolah-olah bisu.

"Tunggu saja. Hari H dia yang akan menangis darah, dendamku tidak pernah main-main."

"Aku bisa diam jika mereka memeperlakukanku dengan buruk, tapi aku tidak bisa diam jika ada yang menyakiti dan membuatmu menangis," katanya menggebu-gebu seperti sedang menahan amarah.

"Apa benar kau lumpuh, Mas?"

Bersambungg ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status