Share

Suamiku Sangat Perhitungan
Suamiku Sangat Perhitungan
Penulis: Nabila Fahrezi

Kesabaran

"Mas , besok Nindy harus bayar uang buku pendamping" kataku pada mas Arman.

"Ya bayarlah.. kamu kan tiap bulan juga udah aku kasih uang? Aku kasih kamu 1 juta lho. Setengah dari gaji yang aku dapat." Bentak mas Arman.

Kalau sudah seperti ini aku hanya bisa diam. Aku menikah dengan mas Arman 6 tahun yang lalu. Dan selama 6 tahun ini aku harus putar otak agar dapurku tetap mengepul. Bagaimana tidak mas Arman memberiku 1 juta untuk semua kebutuhan rumah. Dia selalu mengatakan aku harus bersyukur dia memberiku setengah dari gajinya padahal aku hanya di rumah mengurus rumah saja. Dia yang capek bekerja harus rela membagi upahnya padaku. Itulah yang dia katakan setiap kali aku mengatakan kalau uang dapurku habis.

Untuk menghindari pertengkaran dengan mas Arman aku membuka jasa laundry untuk ibu - ibu di sekitar rumah. Aku bahkan juga menanam sayuran di pekarangan untuk makan kami , tepatnya makan aku dan Nindy karena mas Arman tidak suka sayur. Mas Arman selalu makan dengan ayam , ikan atau paling apes makan telur itu pun pasti dengan mulut yang tidak pernah berhenti mengeluh. Padahal aku dan Nindy hanya makan sayur bayam yang ku tanam di pekarangan samping rumah.

Terkadang terbesit keinginan untuk meninggalkan mas Arman. Bukan karena nafkah yang dia berikan kurang , tapi karena mas Arman tidak pernah menghargaiku sebagai istrinya. Setiap kali ada acara di kantor aku dan Nindy tidak pernah diajak ikut menghadiri. Padahal temanku yang juga teman mas Arman di kantor mengatakan kalau semua karyawan membawa keluarganya masing - masing.

"Ma, Nindy lapar." Kata anak perempuanku satu - satunya membuyarkan lamunanku.

"Iya sayang , ayo mama suapin." Kataku menggendong Nindy ke meja makan.

"Lauknya apa ma?" Tanya Nindy.

"Kita makan sayur bayam ya sayang." Aku melihat Nindy melirik ayam kecap yang sudah aku siapkan untuk mas Arman.

"Ma , Nindy mau ayam kecap." Kata Nindy polos.

"Sayang , ayam kecap itu buat papa. Karena papa bekerja makanya papa harus makan ayam biar tenaganya kuat pas kerja nanti." Kataku membujuk Nindy.

"Dikit aja ma.." Nindy mengiba. Membuatku tidak tega melihatnya.

"Tidak boleh..kamu sama mama kamu itu dirumah tidak butuh makanan enak seperti ini." Tiba - tiba mas Arman muncul dari kamar. Sepertinya dia baru saja mandi.

"Mas.." kataku melotot. Aku melirik Nindy yang ketakutan dengan wajah sendu. Kasihan anakku, ingin makan ayam kecap saja sampai harus mendengar kata - kata jahat suamiku.

Aku segera menyuapi Nindy makan dengan sayur bayam yang kami petik dari kebun tadi. Setiap hari hanya itu yang bisa aku berikan pada Nindy. Untuk lauk mas Arman aku harus berbelanja minimal 30 ribu sehari karena harus ada ayam , tahu tempe dan sambal. Selain itu mas Arman akan marah - marah dan menuduhku boros sehingga tidak bisa mengatur keuangan. Aku mengatakakan pada Nindy agar mau makan sayur biar sehat. Hanya itu yang bisa aku katakan pada Nindy tidak mungkin aku mengatakan kalau ayahnya tidak mengijinkan siapapun menyentuh makanannya.

Aku beruntung Nindy anak yang sangat patuh. Dia tidak pernah membantah apapun perkataanku. Bahkan saat teman - temannya jajan Nindy hanya bisa melihat. Terkadang aku menangis di sela sujudku agar suatu saat suamiku di sadarkan dan berubah lebih menyayangi keluarga.

" Ma , Nindy gak beli buku nggak papa kok ma. Nanti biar Nindy belajar di rumah Dara. " kata Nindy kasihan melihatku tadi di bentak ayahnya. Hatiku mencelos menatap putri kecilku. Langsung aku peluk putri kesayanganku itu untuk menyembunyikan air mataku yang mulai merembes dari pelupuk mataku. Aku tidak ingin terlihat menangis di depan Nindy. Aku selalu mengajarkan Nindy menjadi pribadi yang tangguh.

"Besok mama akan bilang pada ibu guru biar buku Nindy bisa di cicil ya sayang. Nindy jangan sedih , pasti akan mama usahakan beli buku itu karena untuk keperluan belajar kamu sayang." Kataku masih memeluk Nindy.

"Beneran ma?" Nindy langsung mengurai pelukanku dan menatapku dengan mata berbinar.

"Iya , sayang. Mama janji besok mama akan bicara pada bu guru ya. " kataku tersenyum melihat putri kecilku bahagia.

"Nindy sekarang mau ke rumah Dara bentar ya ma."" Kata Nindy bahagia. Aku tahu dia pasti akan berbagi berita bahagia ini. Tapi aku juga takut , bagaimana jika nanti guru Nindy menolak permintaanku. Itu berarti aku akan membuat kecewa putriku.

"Marni.. " teriak suamiku dari dalam rumah.

"Iya mas." Sahutku .

"Kalau dipanggil suami itu segera datang. Jangan hanya menyahut." Mas Arman masih berteriak dari dalam rumah.

"Iya mas, ini juga lagi jalan. Ada apa?" Tanyaku saat sudah berada di sampingnya.

"Pijitin badanku pegel semua." Katanya sembari membaringkan tubuhnya di kasur lapuk di depan tv.

Tanpa kata aku segera memijit badannya. Aku tidak mau dia bicara ngelantur kemana - mana hanya karena aku tidak menuruti permintaannya. Selesai memijat aku melihat mata mas Arman tertutup sepertinya ia tertidur karena keenakan di pijit.

Aku mencuci tangan lalu keluar rumah berniat melihat Nindy di rumah Dara. Saat keluar aku melihat putriku hanya duduk terdiam sambil sesekali meneguk liurnya sendiri melihat teman - temannya jajan es krim 2 ribuan yang biasa lewat di depan rumah saat sore. Karena merasa kasihan aku mendekati Nindy dan bertanua padanya.

"Nindy mau es krim?" Tanyaku.

"Nggak ma, besok kan mama mau bayar buku Nindy. Nindy nggak apa - apa kok ma." Kata Nindy.

Ya Allah , aku sangat bangga pada Nindy. Jiwanya sangat dewasa , dia tahu kalau aku sedang kesusahan sehingga bisa mengerem keinginannya untuk jajan. Mungkin anak seumuran Nindy belum tentu bisa melakukan yang putriku lakukan.

"Kita pulang yuk sayang , nanti kita mewarnai gambar yang kamu gambar kemarin." Hiburku pada Nindy.

"Ayo ma." Mata Nindy langsung berbinar begitu tahu akan aku ajak mewarnai. Memang Nindy mempunyai hobi menggambar dan mewarnai. Tak jarang di saat yang teman yang lain jajan di sekolah Nindy hanya berdiam di kelas menggambar. Aku memang hanya bisa memberikan uang saku 2 ribu pada Nindy. Dan itu selalu utuh, bahkan Nindy mempunyai celengan yang aku buat dari kaleng biskuit yang aku lubangi sendiri.

"Ma , tadi Nindy cerita pada Dara kalau besok Nindy akan beli buku yang sama seperti Dara. " kata Nindy riang.

"Oh ya, terus bagimana reaksi Dara? " tanyaku merespon cerita anakku.

"Kata Dara nggak mungkin mama bisa beliin Nindy buku itu, karna buku itu mahal dan mama nggak punya uang." Binar di mata putriku langsung redup.

"Sudah sayang jangan menangis. Mama janji besok akan belikan buku itu karena penting untuk kegiatan belajar mengajar kamu." Kataku membujuk Nindy.

"Apa? Kamu nggak dengar perkataanku ya? Sudah aku bilang aku susah cari uang jangan menghambur - hamburkan dengan membeli yang tidak penting!" Teriak mas Arman tiba - tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status