Share

Keterlaluan

"Mas.." aku langsung melotot pada mas Arman. "sayang kamu masih kamar dulu ya Mama dan papa mau bicara dulu." kataku beralih pada Nindy.

"iya ma." kata Nindy sambil menatapku dan berbalik masuk ke kamarnya.

"Mas, sudah berapa kali aku bilang jangan pernah mengajakku bertengkar di depan Nindy. Dia itu anakmu mas. Apa kamu tidak khawatir kalau kita bertengkar di depannya itu bisa membunuh mental Nindy."Itulah yang pernah aku baca dalam sebuah artikel. Pertengkaran orang tua bisa merusak mental anak. Dan aku sudah mengatakan itu berulang kali pada mas Arman. Tapi mas Arman seakan tidak peduli dia tetap memulai pertengkaran tanpa mengenal tempat dan waktu.

Sebenarnya aku sudah jenuh menghadapi mas Arman. Tetapi aku sadar, mas Arman adalah pria pilihanku sendiri. Aku malu pada orang tuaku jika harus meninggalkan mas Arman. Dulu aku di jodoh dengan putra teman baik ayah. Sayangnya saat itu aku sudah menjalin kasih dengan mas Arman. Jadi aku menolak lelaki pilihan Ayahku itu.

Hidup selama 6 tahun bersama mas Arman membuatku banyak belajar bersabar. Aku selalu mengalah karena aku tidak mau terlibat pertengkaran dengan mas Arman. Aku tidak mau Putriku Nindy merasa sedih setiap kali melihat aku dan papanya bertengkar.

Ingin rasanya aku berpisah dengan mas Arman.Bukan masalah nafkah yang ia berikan padaku kurang, tetapi sikap keterlaluannya itu yang membuatku tidak betah. Dia selalu menuduhku hambur-hamburkan uangnya. Padahal ia hanya memberiku uang satu juta rupiah itu pun harus bertahan satu bulan belum lagi kalau beras habis, gas habis atau listrik habis. Bukannya aku tidak bersyukur atas naskah pemberian mas Arman. Tapi cara dia memperlakukan aku udah Nindy sangat membekas di hatiku.

Jujur aku tidak akan pernah mengeluh andai saja mas Arman menghargaiku. Aku selalu salah di matanya. Bahkan Nindy pun kadang menjadi bahan amukan suamiku.Aku selalu meminta di setiap sujudku agar suamiku segera diberi kesadaran dan bisa menyayangi Nindy seperti layaknya seorang ayah yang menyayangi anaknya.

Aku meninggalkan mas Arman dan menuju kamar Nindy. Aku sudah 2 bulan ini tidur bersama Nindy. Aku merasa muak dengan mas Arman, setiap kali bersamanya pasti ada saja yang membuatku terlihat salah di matanya.

"Ma, Nindy nggak usah beli buku aja ya.Nindy nggak mau mama dan papa bertengkar gara-gara Nindy. "kata Nindy anakku dengan suara bergetar menahan tangis. Aku langsung memerlukan aku untuk menenangkannya.

"Sayang, buku itu penting untuk kegiatan belajar mengajar. Jadi memang mama harus beliin itu buat kamu. Jangan khawatir Mama akan membelikannya dengan uang mama sendiri."kataku dengan mata berkaca-kaca. Aku Aku sungguh terharu dengan pemikiran putriku. Bagaimana anak sekecil itu bisa mempunyai pemikiran yang sangat bijak. Mungkin anak seusianya belum tentu bisa mempunyai pemikiran sebijak Nindy.

"Beneran ma?" tanya Nindy dengan wajah yang berbinar.

"Iya sayang, mama janji akan belikan buku itu untuk Nindy." aku kembali memeluk Nindy untuk menyembunyikan air mataku yang mulai merembes dari pelupuk mata. Aku tidak ingin putriku melihat aku menangis. Aku selalu mengajarkan Nindy untuk menjadi wanita yang hebat , kuat dan tabah.

"Ma, sudah lama Mama tidak mendongeng. Nindy pengen sekali mendengar dengan Mama. Kangen.."kata Nindy sambil tersenyum.

"Iya yuk dirapikan dulu. Setelah itu baru Mama akan mendongengkan kamu." aku selalu mengajarkan kebersihan kepada Nindy. Makanya dia selalu membereskan apa saja yang ada di dekat dan kelihatan berantakan.

Aku menceritakan kisah kancil hingga Nindy tertidur. Setelah itu aku menarik selimut untuk menyelimuti tubuh mungilnya. Kasihan Nindy sejak kecil iya sering menyaksikan aku dan mas Arman bertengkar. Aku segera keluar dan menyelesaikan laundry-an baju tetangga yang akan diambil besok pagi. Rencananya dengan uang itulah aku akan mencicil buku pendamping Nindy.

"Marni, sudah lama kita tidak bersama. "mas Arman mendekatiku dan mengelus punggungku. Aku apa yang akan dia katakan. Aku diam sambil tetap menyetika baju tetanggaku.

"Marni, aku tunggu di kamar." kata mas Arman berbisik di telingaku. Aku mendengus kesal, bisa-bisanya dia memperlakukanku seperti itu. Baru saja tadi dia marah-marah dan sekarang dia merayuku. Dia anggap apa aku. Daripada terlibat pertengkaran aku menyusulnya ke kamar dan melakukan kewajibanku. Setelah selesai aku kembali menyetrika baju Mbak Rahmi,tetangga sebelah rumah.

Mbak Rahmi ini mempunyai konveksi kecil. Aku selalu diminta untuk menyetrika baju-baju pelanggan Mbak Rahmi. Kata Mbak Rahmi hasil kerjaku rapi dan wangi. Aku pun senang jadi punya penghasilan. Ya.. bisa dikatakan lumayan untuk menambah uang dapur yang seharusnya menjadi tanggung jawab mas Arman.

Aku sangat ingat, dulu ayahku seorang perokok berat. Tapi ayahku mau berhenti merokok demi ibuku. Ayahku tidak tega akan merokok uang untuk kebutuhan dapur sangat mepet. Hingga akhirnya Ayahku memutuskan untuk berhenti merokok dan uang yang seharusnya dibelikan rokok bisa membantu kebutuhan dapur ibu.

Coba mas Arman seperti ayah.Dia bahkan tetap merokok dengan santai di teras saat aku harus bingung memutar otak karena beras dan gas bersamaan habis. Mau ngomong sama mas Arman pun percuma. Dia hanya akan menyalahkanku, tidak becus ngatur uang lah, membeli barang yang tidak perlu lah. Padahal untuk sekedar membeli daster saja aku tidak bisa, sampai daster yang aku pakai sudah penuh tambalan sana-sini.

Aku memutar video saat seorang ustadz kondang berceramah tentang kewajiban suami. Suami bisa disebut dzalim jika dia hanya memikirkan kesenangannya sendiri sedangkan kebutuhan anak dan istrinya tidak ia penuhi. mas Arman malah marah dia menuduhku menyindirnya. Maksudku agar mas Arman tahu bagaimana kewajiban seorang suami yang sebenarnya.

Aku baru bisa menyelesaikan pekerjaanku pukul 12.00 malam. Aku langsung tidur karena sudah mengantuk. Aku terbangun karena mendengar kumandang adzan subuh. Aku segera mandi dan segera berwudhu. Aku membangunkan Nindy agar segera menunaikan sholat subuh bersamaku. Setelah salat subuh aku segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

"Nindy, mandi dulu nak terus nanti langsung ke meja makan. Mama mau antar baju Mbak Rahmi dulu. Sekalian mau ambil upah Mama untuk membayar bukumu nanti. " kataku pada Nindy.

" Iya mah nanti mandi dulu." Nindy berlari ke kamarnya.

"Hati-hati sayang,jangan lari-lari" kataku berteriak pada Nindy.

Aku pun segera mengantar baju milik Mbak Rahmi. Katanya pagi ini akan diambil yang punya. Sekalian aku mau minta upahku yang selama seminggu ini belum aku ambil. Saat memasuki rumah Mbak Rahmi aku terkejut melihat seseorang yang sangat familiar di mataku.

" Loh, ini Marni kan?" kata pria itu.

" Iya mas , assalamualaikum." kataku memberi salam kepada pria yang pernah ayah jodohkan padaku.

"Waalaikumsalam Marni. Bagaimana kabarmu?" tanya mas Ilham.

"Alhamdulillah mas, kabarku baik. Bagaimana kabar umi dan abah? " tanyakan menanyakan ayah dan ibu mas Ilham.

"Alhamdulillah umi sehat, tapi abah sedang sakit." kata mas Ilham dengan tatapan sendu.

"Marni!! ngapain pagi-pagi di situ. pulang!! " terdengar suara mas Arman berteriak memanggilku. Aku menjadi sangat malu pada mas Ilham.

"Maafkan Marni mas, Marni permisi dulu assalamualaikum. " segera kerja tanpa menunggu jawaban dari mas Ilham.

"waalaikumsalam." terdengar suara jawaban dari Ilham.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status