Aku menarik nafas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak lalu membuang napas perlahan. Kepalaku terasa sakit karena terlalu lama menangis. Abraham beranjak dari duduknya dan tidak lama kemudian dia kembali membawa segelas teh hangat dan memberikannya kepadaku."Terima kasih, Bram," icapku seraya menyesap sedikit demi teh manis yang terlalu kemanisan itu."Habisin, jangan nyisa. Mubadzir!" perintahnya."Iya, Bram. Ini teh manisnya kaya kolak, manis banget!" Aku meneguk teh buatan Abraham hingga tandas."Karena yang minum orangnya manis, Mayla!" Aku menggigit bibir sambil melirik wajah Abraham yang sedang serius menatap layar laptop. Mungkin saat ini wajahku sudah bersemu merah karena pujiannya. Sebab sudah lama tidak ada orang memujiku."Jangan lirak-lirik, nanti naksir!" celetuknya tanpa menoleh.Dih, siapa juga yang bakalan naksir sama dia. Aku nggak mau saingan sama Andita, karena sudah pasti aku akan kalah. Andita masih muda, cantik, sedangkan aku sudah emak-emak, calon
“Ngapain Ibnu ke poli KIA, May?” Abraham menatap penasaran.“Aku nggak tahu, Bram,” sahutku pelan, karena tubuh ini masih terasa lemas.Ragu-ragu aku berjalan perlahan menuju poli KIA, ingin mencari tahu apa yang sedang suamiku lakukan di dalam sana.“Pake kursi roda, May!” titah Abraham.Aku langsung duduk di atas kursi roda yang tersedia dan segera masuk ke poli tersebut.Dadaku bergemuruh hebat ketika melihat Lusi sedang duduk mengantre di depan ruang periksa kandungan, didampingi oleh Mas Ibnu yang terus saja mengusap lembut rambutnya.Apa dia sedang mengandung anak Mas Ibnu?Ya Allah, sakit sekali rasanya diri ini melihat pemandangan seperti itu. Ternyata cinta di hatiku masih ada, dan hati ini terbakar cemburu ketika melihat Lusi bergelayut manja di lengan pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu.Aku pikir, setelah kejadian kemarin Mas Ibnu akan berpaling dari Lusi dan meninggalkan wanita ular tersebut. Ternyata dugaanku salah, dia masih saja lengket dengan si ulat bulu, b
Aku hendak berlari menolongnya namun Abraham mencegahku dan segera menutup toko karena keadaan sudah terlihat sangat kacau."Kamu itu tidak berprikemanusiaan banget sih, Bram. Lihat Lusi kesakitan begitu. Dia lagi hamil, Bram. Aku takut terjadi sesuatu dengan calon bayinya." Aku berujar sambil menatap sinis mata Abraham."Biarkan saja, Mayla. Dia sudah berkali-kali menyakiti kamu, tapi kamu masih mau menolongnya!" sahut Abraham tidak kalah sengit.Lama-lama kita berdua bisa seperti Tom and Jerry yang tidak pernah akur."Dia memang sudah menyakitiku dan aku sangat membencinya, Bram. Tapi calon bayi Lusi tidak tahu apa-apa. Dia berhak ditolong. Aku berniat menyelamatkan calon jabang bayinya bukan si ulet bulu itu!""Lah, apa hubungannya dengan calon anaknya Lusi?" Abraham mengerutkan kening."Kamu lihat, Lusi perdarahan. Kalau tidak segera ditolong bayinya pasti tidak selamat!"Abraham akhirnya memberiku jalan dan membiarkanku menolong mantan tunangannya."Kamu nggak usah sok baik, Mayl
'Lagian kamu sih, May. Kepedean banget!' Aku bergumam sendiri dalam hati."Aku itu kebetulan lewat sini, terus liat kamu berdiri di pinggir jalan dan sebagai tertangga kampung ya aku menyapa." Pria beralis tebal itu melengkungkan bibir, seperti mengejek diriku yang terlalu percaya diri."Oh, maaf. Kirain mau jemput aku." Membuka sabuk pengaman yang sudah terpasang, akan tetapi ketika aku hendak membuka pintu Abraham malah menyalakan mesin kendaraannya, melaju meninggalkan tempat dimana Lusi sedang dirawat dan terbaring sendirian.Aku menggigit bibir sambil membuang pandang ke luar jendela. Ucapan Abraham barusan bener-bener menyentil hatiku.Tapi bener kata Abraham, emang aku siapanya dia?Ya Allah, ternyata aku tidak punya siapa-siapa selain anak serta orang tua nun jauh di daerah sana.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut mataku, disusul butiran-butiran lainnya yang membuat pipi ini kian basah. Aku mengusapnya perlahan takut Abraham melihat aku menangis dan
“Percaya sama aku, May. Aku tidak akan lagi menduakan kamu.” Mas Ibnu melonggarkan pelukannya, mengusap pipi ini dengan punggung tangan seraya menatapku penuh nafsu.Aku beringsut menjauh darinya karena takut. Walaupun masih halal untuknya, tetapi rasanya sudah terlalu sakit jika harus kembali melayani buaya darat itu.Aku bukan boneka yang bisa ia permainkan sesuka hati, yang bisa dipungut dan dibuang kapan pun dia mau.“Mayla, ayo kita pulang,” pintanya lagi dengan suara bergetar.“Nggak, Mas. Aku nggak mau!” Aku menggeleng takut.“Kenapa? Karena sudah ada Bram yang menghangatkan malam kamu. Karena posisiku sudah digantikan olehnya. Aku nggak masalah jika harus berbagi dengan Bram, Mayla!” racau lelaki berjambang tipis tersebut seperti orang sedang mabuk.Plak!Panas perih menjalar di telapak tanganku. Begitu juga dengan Mas Ibnu yang terus saja memegangi pipinya, seraya menatapku dengan sorot mata penuh amarah.“Aku bukan wanita murahan, Mas. Jangan samakan aku dengan gundikmu yang
"Tadi kata Gus Azmi, beliau berkali-kali menghubungi kamu tapi tidak ada jawaban." Kini nada suara Abraham mulai melembut. "Ya sudah, aku anterin kamu sekarang," imbuhnya lagi."Tapi....""Nggak usah nolak!" potong Abraham sambil melipat tangan di depan dada. "Aku mau naik travel saja, Bram. Nggak mau merepotkan kamu!" "Mayla. Ya Allah. Anakmu lagi sakit. Sekarang dia butuh kamu, May. Kalau pake travel harus nunggu besok. Kasihan Raihan, May!" sentaknya membuat aku tidak bisa menolak.Buru-buru aku memasukkan beberapa potong baju dan kerudung ke dalam tas, memberi tahu Mas Ibnu juga menyuruhnya segera menyusul ke Tegal. Biar bagaimanapun Mas Ibnu adalah ayahnya. Dia berhak tahu keadaan Raihan sekarang. Aku tidak mau menjauhkan anakku dengan ayahnya.***Sepanjang perjalanan aku terus saja memikirkan keadaan Raihan. Kira-kira dia sakit apa? Kenapa Gus Azmi hanya membaca pesanku ketika aku menanyakan sakit yang sedang di derita putraku. Apa Raihan sakit parah?Ya Allah, lindungilah a
“Raihan, anak Mama. Mama yakin Raihan pasti kuat melawan rasa sakit. Lâ Ilâha illalLâh...Lâ Ilâha illalLâh...,” bisikku seraya terus memeluk tubuh Raihan yang mengejang.Aku lihat Gus Azmi juga terus menyeka air matanya. Laki-laki dengan garis wajah tegas itu enggak menjauh sedikit pun dari putraku, mungkin karena dia sudah menganggap Raihan seperti putranya sendiri.“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” teriakku ketika nafas anakku terlihat sudah tersengal-sengal.“Ya Allah, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama mohon kamu kuat, Sayang. Kamu satu-satunya kekuatan Mama. Tolong jangan buat Mama takut.” Tangisku kini pecah melihat keadaan permata hatiku semakin memburuk.Gus Azmi membaca surah yaasin sambil menangis tersedu. Begitu juga Abraham yang sejak tadi hanya duduk sambil merapalkan doa.Mas Ibnu, ke mana dia. Kenapa dia tidak juga sampai. Apa dia tidak khawatir dengan keadaan anaknya?Aku terus memeluk tubuh kejang Raihan hingga akhirnya dia mulai melemas dan nafasnya mulai terlihat beratur
“Ayo Mbak Mayla ikut saya. Biar Mbak Mayla istirahat dulu di pesantren,” ucap Pak Rahmat sembari menenteng rantang kosong bekas kami makan.“Tapi, Pak?” Aku menoleh ke arah Raihan yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Rasanya diri ini tidak tega jika harus meninggalkan putra semata wayangku sendirian di rumah sakit.“Kamu ndak usah khawatir, Nduk. Ummi yang akan menjaga Raihan. Raihan itu sudah seperti cucu Ummi sendiri,” timpal Nyai Hanifah seperti bisa membaca isi hatiku, yang begitu mengkhawatirkan Raihan.“Ya sudah, Ummi. Saya permisi dulu. Assalamualaikum!” Menyalami dan mencium punggung tangan Umminya Gus Azmi dan lekas keluar dari kamar Raihan.Lima belas menit menempuh perjalanan dari rumah sakit ke pesantren, Pak Rahmat akhirnya menepikan mobilnya di depan gedung bertingkat empat yang selalu aku rindukan suasana kebersamaan serta kenyamanannya.Andai saja aku tahu rumah tanggaku dengan Mas Ibnu akan berantakan seperti ini. Dulu aku lebih memilih dijodohkan dengan anaknya