Share

Bab 5. Wanita Cantik itu...

"Sudah selesai?" tanya Mas Raka saat aku baru kembali dari toilet.

Pria itu menyambutku, memintaku duduk di sampingnya. Sementara di sisi lain, Shakila duduk berhadapan dengan kami..

Wanita yang memiliki tubuh proporsional itu benar-benar sangat memukau. Gestur tubuh dan tutur kata nya membuat orang lain kagum dengan wanita yang bernama Shakila itu.

“Emm, ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana, Ki?”

Aku melihat wanita itu tersentak. Pertanyaan ku seolah membuyarkan lamunannya. Ada yang salah kah?

Aku berusaha berpikiran positif. Sedari tadi aku melihat wanita itu memang tampak fokus dengan makanannya. Mungkin saja itu yang menyebabkan ia terkejut.

“E-eh, gimana Zi?” ulang wanita itu.

“Kamu tinggal di mana?” aku mengulang pertanyaan ku lagi.

“Aku tinggal di Jalan Cempaka. Gak terlalu jauh dari sini. Dan memang aku biasa makan di sini. Walau gak sering, sih. Kalau sering, ya rugi aku,” jawabnya diiringi tawa canggung.

Dilihat dari wajahnya, perempuan itu tampak polos. Dia lebih suka diam. Tak seperti wanita lain yang suka mencari perhatian orang lain. Lebih tepatnya, suami orang lain.

Apa aku yang terlalu berburuk sangka dengannya?

Aku tak yakin perempuan di hadapan kami ini adalah seorang wanita yang seperti itu.

Aku berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk tentang wanita itu. Mungkin aku memang salah. Terlalu posesif mungkin? Sehingga selalu curiga jika ada wanita yang akrab dengan suamiku. Meski sedikit.

Makanan yang tadinya terhidang penuh di hadapan kami, kini hanya ada piring dan sendok garpu yang tertinggal.

Kami berbincang banyak hal. Dia cukup asyik untuk diajak ngobrol. Kami membicarakan hal-hal yang umum. Kami tak sedekat itu untuk membicarakan hal yang merupakan ranah pribadi kami.

Bukan hanya aku yang asyik mengobrol dengannya sebagai sesama wanita. Mas Raka juga tampak “nyambung” dengan obrolan kami.

Tanpa terasa, kami sudah menghabiskan waktu hampir dua jam di rumah makan ini.

“Aku pamit dulu, ya? Anakku sudah mengantuk,” ucapku.

“Kali ini aku yang traktir. Kamu gak perlu khawatir.” Perkataan ku membuat ia urung melangkah ke arah kasir.

“Wah, aku jadi gak enak, nih. Padahal aku yang mau nraktir. Eh malah ditraktir. Anyway, terima kasih, ya?”

Kami berpelukan layaknya seorang sahabat yang hendak berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.

Aku dan Mas Raka sedang dalam perjalanan ke rumah. Beberapa kali ponselnya berdering. Namun, selalu ia abaikan.

“Bukan hal penting,” ucapnya saat ia mendapati aku melirik ke arah ponselnya.

Sebuah panggilan dari penelepon tanpa nama. Hanya tertera tanda titik yang suamiku bubuhkan sebagai namanya.

Aku bisa menebak kalau itu adalah wanita yang dekat dengan suamiku sebelumnya.

Apa mungkin ia tahu kalau aku dan Mas Raka baru saja makan bersama di luar? Apa Mas Raka selalu memberi kabar ke mana pun ia pergi kepada wanita itu?

Sebenarnya, istrinya itu aku atau dia?

***

Sesampainya di rumah, aku gegas turun dari mobil. Ku gendong gadis kecilku itu dan bergegas berjalan ke kamar putriku.

Aku mengunci pintu kamar Delisha. Lalu aku meletakkan tubuh mungil putriku di atas ranjangnya dengan perlahan, berharap gadis kecilku itu tak terganggu dengan goncangan ringan yang ia terima saat aku memindahkannya.

Setelah memastikan putriku tidur dengan nyaman, Aku merebahkan diriku di atas sofa kecil yang ada di dalam ruangan itu. Aku sengaja berlama-lama di kamar Delisha. Pikiranku masih kacau. Terlebih melihat suamiku yang masih berhubungan dengan wanita itu.

Ku buka ponselku yang sedari tadi ada di tas selempang kecilku. Aku menggeser layar benda pipih itu ke atas dan ke bawah. Mencoba mengurai pikiran buruk yang masih jelas bersemayam di dalam sana.

Hingga gerakan jariku terhenti. Aku melihat sebuah profil seorang wanita di media sosialku. Dan aku merasa pernah melihat foto yang sama.

Aku mengingat-ingat kembali di mana aku melihat wajah wanita dalam foto itu. Aku mencoba membuka profilnya. Informasi yang tertera di sana menunjukkan bahwa ia adalah seorang Aparat Sipil Negara (ASN) yang berprofesi di bidang kesehatan. Midwidfe atau bidan adalah pekerjaan wanita itu.

Aku geser kembali layar ponselku. Hingga sesuatu yang tertera di sana membuatku nyaris menjatuhkan ponselku.

Mutual friend: Raka Prayoga.

Postingan akun itu dikunci. Namun, aku tak kehabisan akal. Ku buka akun sosial media suamiku. Berharap password akunnya masih sama, kumasukkan kombinasi sandi dan angka yang sering suamiku gunakan.

Berhasil!

Dan seperti dugaan ku, sesuatu yang tak wajar tersembunyi di dalamnya. Ku buka kolom perpesanan dalam akun media sosial itu. Benar saja, wanita itu adalah wanita yang sama. Wanita yang sering kali bertukar pesan dengan suamiku.

Masih tak bisa ditebak siapa wanita itu. Nama yang ia gunakan bukanlah nama asli. Dan juga foto yang ada di dalam sana hanya foto profilnya saja yang bisa ku lihat. Album foto lainnya terkunci. Aku harus mendapatkan informasi penuh mengenai wanita ini.

Aku membuat akun baru dengan nama samaran. Aku memasang foto profil seorang artis cantik yang hanya sedikit orang tahu tentang foto itu. Akun cadangan ku itu aku beri nama Kirana.

Untuk menghindari kecurigaan wanita itu, sebelum menambah pertemanan dengan akun wanita itu, aku menambahkan akun beberapa orang yang sama dengan miliknya. Salah satu strategi agar wanita itu tak mencurigai ku.

Tak mungkin bagiku terus menerus membuka akun suamiku. Dia pasti akan curiga kalau aku melanggar sesuatu yang selalu ia sebut sebagai privasinya.

“Tak lama lagi, pasti aku akan menemukanmu!” gumam ku.

Aku meletakkan ponselku di atas meja kecil tak jauh dari sofa itu. Badanku terasa pegal-pegal. Aku juga merasakan kantuk luar biasa. Hingga akhirnya tanpa sengaja aku terlelap di kamar itu.

***

Aku mendengar pintu diketuk dari luar.

“Zi, kamu masih ada di dalam? Kalian gak kenapa-kenapa, kan?” suara pria itu terdengar dari balik pintu ruangan itu.

“Zi, buka pintunya. Mas mau bicara. Atau tolong keluarlah sebentar,” pinta Mas Raka.

Ya, aku sengaja tak mencabut kunci pintu ruangan ini. Aku tahu kalau Mas Raka pasti akan menyusul ke kamar ini dan membuka pintu kamar Delisha tanpa izin karena dia juga memiliki kunci cadangannya.

“Tunggu sebentar,” jawabku setengah berteriak.

Meskipun enggan, aku membuka pintu ruangan itu, menemuinya.

“Ada apa, Mas?” tanyaku berusaha setenang mungkin.

Aku bisa menebak apa yang hendak ia tanyakan. Dia pasti menerima notifikasi bahwa ada perangkat baru yang mencoba masuk ke akun media sosialnya.

“Mas pengen kamu menjawab jujur. Apa kamu yang mencoba masuk ke akun media sosialku?” tanyanya sedikit marah.

Benar, bukan?

“Kamu menuduhku, Mas? Kenapa kamu pikir itu aku?”

“Ya karena kamu tahu password akun ku,” ucapnya sedikit meninggi.

“Bukankah dia juga tahu password akun kamu?” aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang cukup membuatnya gelagapan.

“Dia gak tau karena gak pernah Mas beritahu,” jawabnya tanpa sadar.

“Oh.”

Hanya dengan satu kata itu, membuat dia geram pada dirinya sendiri. Tanpa ia sadari, ia telah membuka sebuah rahasia lain lagi yang sebelumnya ia tutupi.

Aku tersenyum penuh arti.

“Bu-bukan seperti itu. Tolong kamu dengarkan dulu penjelasan Mas.”

“Apa lagi yang mau dijelaskan?” tantangku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status