Pagi itu, Alya terbangun dengan mata sembab. Dia melirik ke samping. Tempat tidur kosong. Arkan sudah pergi sejak subuh, seperti biasa. Tidak ada pesan, tidak ada sarapan di meja seperti yang dulu sering dilakukan Arkan.
Alya bangkit dengan perasaan bersalah. Kata-katanya semalam memang terlalu kejam. Tapi dia juga frustrasi. Bagaimana bisa tidak? Kehidupan mereka stagnan. Tidak ada perkembangan. Sementara teman-teman seangkatannya sudah punya rumah sendiri, mobil baru, bahkan ada yang mulai traveling ke luar negeri. Ponsel Alya berdering. Nama "Mama" muncul di layar. Dia menghela napas panjang sebelum mengangkat. "Alya, kamu kapan mau sadar?" suara ibunya langsung menyerang tanpa basa-basi. "Papa kemarin ketemu temannya yang punya perusahaan konstruksi. Anaknya masih single, pengusaha muda, tajir! Papa bisa atur kenalan kalau kamu mau cerai dari si Arkan itu." "Mama, aku sudah menikah," jawab Alya lemah. "Menikah sama orang miskin! Percuma! Kamu masih muda, Alya. Dua puluh lima tahun. Masih bisa cari yang lebih baik. Mama nggak habis pikir kenapa kamu pilih supir daripada Rio yang waktu itu ngelamar kamu. Anak direktur bank lho!" Alya menutup matanya. "Mama, aku harus pergi. Ada klien yang harus dihubungi." Dia menutup telepon sebelum ibunya melanjutkan ceramahnya. Alya berjalan ke kamar mandi, mencuci wajahnya dengan air dingin. Tatapan matanya sendiri di cermin terlihat kosong. Sejam kemudian, Alya sedang mengerjakan desain di laptop ketika ponselnya berdering lagi. Kali ini dari Rania, sahabatnya sejak kuliah. "Alya! Lo di mana? Gue lagi di Starbucks Plaza Indonesia nih. Yuk ketemu sebentar!" Alya melirik jam. Pukul sepuluh pagi. Dia tidak punya deadline mendesak hari ini. "Oke, gue kesana sejam lagi." --- Plaza Indonesia ramai seperti biasa. Alya berjalan melewati deretan toko branded yang hanya bisa dia lihat dari luar. Rania sudah menunggu di Starbucks, melambaikan tangan dengan antusias. "Girlll! Lama banget nggak ketemu!" Rania memeluk Alya erat. Di jari manisnya berkilau cincin berlian baru yang pasti harganya puluhan juta. Mereka duduk di meja pojok. Rania langsung menceritakan tentang liburannya ke Jepang bersama suami, tentang mobil baru yang baru saja mereka beli, tentang rencana renovasi rumah. Alya hanya tersenyum, mengangguk, dan sesekali berkomentar. Di dalam dadanya, rasa iri menggerogoti perlahan. "Eh, ngomong-ngomong Arkan gimana? Masih jadi supir?" tanya Rania sambil menyeruput cappuccino-nya. Sebelum Alya sempat menjawab, matanya menangkap sesuatu yang aneh di luar kaca jendela. Seorang pria keluar dari mobil Mercedes-Benz S-Class hitam metalik. Pria itu mengenakan jas abu-abu mahal dengan syal kasmir di leher. Rambutnya ditata rapi ke belakang. Beberapa orang berbaju jas mengikutinya dari belakang dengan sikap hormat. Jantung Alya berhenti sejenak. Pria itu... Arkan? Tidak mungkin. Tapi wajah itu... tinggi badan itu... cara berjalannya... "Alya? Lo kenapa? Pucat banget!" Rania menepuk lengan Alya. Alya bangkit dengan tergesa. "Gue... gue harus pergi. Ada yang lupa." Dia berlari keluar dari Starbucks, meninggalkan Rania yang bingung. Alya keluar ke area parkir basement. Matanya menyapu sekeliling mencari sosok yang baru saja dilihatnya. Di sana. Dekat lift khusus. Pria itu berdiri dikelilingi lima orang berbaju jas hitam. Salah satu dari mereka membukakan pintu lift dengan hormat. Alya bersembunyi di balik pilar beton. Tangannya gemetar. Dia mengeluarkan ponsel, menge-zoom kamera, dan mengambil beberapa foto secara diam-diam. Saat pria itu menoleh sekilas ke arah kamera CCTV, Alya melihat dengan jelas. Itu benar-benar Arkan. Suaminya. Suami yang setiap hari berangkat pakai motor bebek butut dengan seragam supir lusuh. "Siapa orang ini sebenarnya?" bisik Alya. Lift tertutup. Sosok Arkan menghilang di baliknya. Alya berdiri terpaku dengan sejuta pertanyaan di kepala. Tangannya masih gemetar memegang ponsel yang menampilkan foto Arkan dalam balutan jas mewah. Alya membuka G****e dengan tangan gemetar. Dia mengetik: "Pengusaha Indonesia Mercedes S-Class hitam". Terlalu umum. Dia scroll hasil pencarian dengan frustasi. Kemudian matanya tertuju pada satu artikel berita ekonomi. Judulnya: "Dinastri Group Akuisisi Perusahaan Logistik Senilai 2 Triliun". Di bawahnya ada foto seorang pria muda dalam jas. Meski foto artikel itu agak buram dan diambil dari jarak jauh, Alya mengenali postur tubuh itu. Dia mengklik artikel tersebut. Tertulis: "Arkananta Mahesa Widjaja, CEO dan pewaris tunggal Dinastri Group..." Ponsel Alya jatuh ke lantai. Arkananta Mahesa Widjaja. Arkan. Suaminya adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Dan selama ini dia... menyamar? Lutut Alya lemas. Dia bersandar pada pilar beton, napasnya tersengal. Semua kata-kata kejam yang pernah dia lontarkan pada Arkan tiba-tiba berputar di kepalanya seperti film horor. "Cuma supir." "Nggak punya ambisi." "Aku malu punya suami kayak kamu." Air mata mengalir di pipi Alya. Bukan air mata bahagia. Tapi air mata penyesalan yang sangat dalam. Dia baru saja menghina suaminya sendiri, yang ternyata seorang milyarder. Dan yang lebih mengerikan... Arkan pasti tahu. Arkan pasti mendengar semua kata-kata menyakitkan itu. Dan dia diam saja. Mengapa? "Aku sudah melakukan apa?" gumam Alya, tangannya menutupi mulutnya yang terbuka karena syok.Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang."Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar."Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman.""Kita mau kemana?""Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum."Baik. Aku tunggu."Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal.---Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi.Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. Seperti Ar
Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar. "Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman." "Kita mau kemana?" "Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum. "Baik. Aku tunggu." Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal. --- Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi. Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. S
Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar. "Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman." "Kita mau kemana?" "Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum. "Baik. Aku tunggu." Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal. --- Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi. Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. S
Alya menatap layar laptop dengan frustasi. Klien terakhirnya baru saja menunda pembayaran untuk ketiga kalinya bulan ini. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Arkan, suaminya, belum juga pulang."Dasar supir miskin," gumam Alya sambil menutup laptop dengan kasar. Dia bangkit dari sofa dan berjalan ke jendela. Hujan deras membasahi kaca jendela apartemen kecil mereka di lantai tiga.Suara pintu terbuka membuat Alya menoleh. Arkan masuk dengan senyum lelah di wajahnya. Kemeja putihnya sedikit kusut, rambut hitamnya basah kena hujan. Di tangannya ada kantong plastik berisi nasi uduk, makanan kesukaan Alya."Sayang, maaf aku telat. Bos minta antar ke Surabaya, jadinya—""Telat lagi?" sela Alya dengan nada tinggi. Dia melipat tangan di depan dada. "Kamu tau nggak sih berapa tagihan listrik bulan ini? Hampir satu juta! Sementara gaji kamu cuma berapa? Lima juta? Itu belum dipotong bensin mobilmu yang butut itu!"Arkan meletakkan kantong plastik di meja dengan perlah
Pagi itu, Alya terbangun dengan mata sembab. Dia melirik ke samping. Tempat tidur kosong. Arkan sudah pergi sejak subuh, seperti biasa. Tidak ada pesan, tidak ada sarapan di meja seperti yang dulu sering dilakukan Arkan.Alya bangkit dengan perasaan bersalah. Kata-katanya semalam memang terlalu kejam. Tapi dia juga frustrasi. Bagaimana bisa tidak? Kehidupan mereka stagnan. Tidak ada perkembangan. Sementara teman-teman seangkatannya sudah punya rumah sendiri, mobil baru, bahkan ada yang mulai traveling ke luar negeri.Ponsel Alya berdering. Nama "Mama" muncul di layar. Dia menghela napas panjang sebelum mengangkat."Alya, kamu kapan mau sadar?" suara ibunya langsung menyerang tanpa basa-basi. "Papa kemarin ketemu temannya yang punya perusahaan konstruksi. Anaknya masih single, pengusaha muda, tajir! Papa bisa atur kenalan kalau kamu mau cerai dari si Arkan itu.""Mama, aku sudah menikah," jawab Alya lemah."Menikah sama orang miskin! Percuma! Kamu masih muda, Alya. Dua puluh lima tahun
Alya pulang ke apartemen dengan pikiran kacau. Sepanjang perjalanan naik ojek online, otaknya terus bekerja keras mencerna semua informasi yang baru saja didapatnya. Arkan adalah milyarder. Suaminya yang selama ini dia remehkan ternyata pewaris konglomerat terbesar di Indonesia.Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan. Kenapa Arkan menyamar? Kenapa dia berpura-pura jadi supir miskin? Apakah ini semacam permainan untuknya? Atau ada alasan lain?Alya membuka pintu apartemen dengan tangan gemetar. Ruangan kosong dan sepi. Dia melempar tas ke sofa dan langsung membuka laptop. Jari-jarinya mengetik dengan cepat: "Arkananta Mahesa Widjaja".Ratusan hasil pencarian muncul. Artikel demi artikel tentang Arkan. Forbes Indonesia. Majalah bisnis. Berita akuisisi perusahaan. Foto-foto Arkan dalam berbagai acara bisnis bergengsi.Di salah satu foto, Arkan berdiri di samping Presiden saat peresmian pabrik baru. Di foto lain, dia berjabat tangan dengan pengusaha terkenal dunia. Ada juga foto Arkan mem