Tiga hari berlalu sejak kepergian Arkan. Tiga hari yang terasa seperti tiga tahun bagi Alya.
Setiap pagi, tepat pukul tujuh, kurir mengantarkan satu buket mawar putih. Tiga puluh tangkai. Tidak ada kartu nama. Tidak ada pesan. Hanya bunga yang indah dan harum. Alya tahu siapa pengirimnya. Hanya ada satu orang yang tahu mawar putih adalah bunga kesukaannya. Arkan. Apartemen kini dipenuhi vas bunga. Di meja makan, di samping TV, di meja kerjanya, bahkan di kamar mandi. Semua mawar putih. Semua pengingat bahwa Arkan masih memikirkannya, meski pria itu tidak mau bicara dengannya. Alya sudah mencoba menelepon Arkan berkali-kali. Tidak diangkat. Pesan W******p tidak dibalas, meski terlihat sudah dibaca. Dia bahkan sempat datang ke kantor Dinastri Group, tapi security tidak mengizinkannya masuk tanpa janji. "Maaf Bu, Pak Arkan tidak bisa diganggu hari ini," kata security dengan sopan tapi tegas. Alya pulang dengan rasa frustrasi dan sakit hati. Dia yang dulu mengeluh tentang uang, sekarang mendapat lima puluh juta setiap bulan tapi merasa lebih miskin dari sebelumnya. --- Sore itu, ponsel Alya berdering. Nama "Mama" muncul lagi. Alya menghela napas panjang sebelum mengangkat. "Alya, kamu harus segera ke rumah. Ada yang perlu dibicarakan," suara ibunya terdengar serius. "Mama, aku lagi sibuk—" "Ini penting! Tentang Arkan. Atau... harusnya aku panggil dia Arkananta Widjaja ya? Pewaris Dinastri Group yang viral itu?" Jantung Alya berhenti sejenak. Mama sudah tahu. "Datang sekarang. Papa juga mau bicara," tambah ibunya sebelum menutup telepon. --- Alya tiba di rumah orang tuanya dengan perasaan campur aduk. Begitu masuk, dia melihat kedua orang tuanya duduk di sofa dengan wajah tegang. "Duduk," perintah ayahnya. Alya duduk dengan gugup. Di meja ada sebuah tablet yang menampilkan artikel tentang Arkan. Judulnya: "Misteri Istri Arkananta Widjaja: Siapakah Wanita Beruntung Itu?" "Itu suamimu, kan?" tanya ibunya langsung to the point. "Arkan yang selama ini kita pikir cuma supir miskin itu?" Alya mengangguk pelan. Ibunya menutup mulutnya dengan tangan. Sementara ayahnya memijat keningnya, terlihat shock. "Ya Tuhan, Alya," gumam ibunya. "Kamu tahu ini artinya apa? Kamu... kamu menikah dengan salah satu orang terkaya di Indonesia! Dan kamu tidak pernah bilang?!" "Aku juga baru tahu beberapa hari lalu," jawab Alya lemah. "Baru tahu?!" ayahnya menatapnya tidak percaya. "Bagaimana bisa kamu tidak tahu siapa suamimu sendiri?" "Dia menyamar, Pa. Dia berpura-pura jadi supir untuk... untuk mencari cinta yang tulus." Ibunya terdiam. Kemudian wajahnya berubah dari shock menjadi... penuh penyesalan. "Dan aku... aku selalu bilang kamu harus cerai darinya," bisik ibunya pelan. "Aku bilang dia tidak berguna. Aku bilang kamu bodoh menikah dengannya." "Bukan cuma Mama," Alya tersenyum pahit. Air matanya mulai menetes. "Aku juga bilang hal yang sama. Aku bilang aku malu punya suami seperti dia. Aku bilang dia tidak punya ambisi. Dan sekarang... dia mau cerai dari aku." "APA?!" kedua orang tuanya berteriak bersamaan. "Dia sudah kasih surat cerai. Tinggal tunggu aku tanda tangan," lanjut Alya sambil menangis. "Dan aku pantas mendapatkan ini. Aku pantas kehilangan dia." Ibunya memeluk Alya. Untuk pertama kalinya, wanita yang selalu keras kepala itu menangis. "Ini salah Mama. Mama yang terlalu materialistis. Mama yang terlalu banyak menuntut." "Tidak, Ma. Ini salahku," sanggah Alya. "Aku yang tidak menghargai Arkan. Aku yang egois." Ayahnya yang biasanya jarang bicara, kali ini angkat suara. "Kamu harus minta maaf padanya, Alya. Kejar dia. Berlutut kalau perlu. Pria seperti itu tidak banyak. Dia mencintaimu dengan tulus. Jangan sampai kamu kehilangan dia selamanya." "Tapi Papa, dia tidak mau bertemu denganku," Alya mengusap air matanya. "Aku sudah coba datang ke kantornya. Aku sudah coba telepon. Semua sia-sia." "Kalau begitu, kamu harus lebih keras usahanya," kata ayahnya tegas. "Tunjukkan padanya kalau kamu benar-benar menyesal. Tunjukkan kalau kamu mencintainya bukan karena uangnya." --- Malam itu, Alya pulang dengan tekad baru. Dia tidak akan menyerah. Dia akan memperjuangkan pernikahannya. Bukan karena Arkan kaya. Tapi karena dia baru menyadari betapa berharganya pria itu. Alya membuka laptop dan mulai menulis. Dia menulis surat. Surat yang panjang, jujur, dan penuh penyesalan. Dia menulis semua yang dia rasakan. Semua kesalahannya. Semua hal yang harusnya dia katakan sejak dulu. Setelah selesai, Alya mencetak surat itu, melipatnya dengan rapi, dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Besok, dia akan kirim surat ini langsung ke kantor Arkan. Dan dia akan terus berusaha, sampai Arkan mau mendengarkannya. Sampai Arkan tahu bahwa dia benar-benar menyesal. Karena kehilangan Arkan adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dan dia tidak akan membiarkan kesalahan itu berlanjut selamanya.Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang."Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar."Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman.""Kita mau kemana?""Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum."Baik. Aku tunggu."Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal.---Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi.Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. Seperti Ar
Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar. "Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman." "Kita mau kemana?" "Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum. "Baik. Aku tunggu." Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal. --- Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi. Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. S
Tiga hari setelah makan malam di restoran Jepang, ponsel Alya berdering. Nama "Arkan" muncul di layar. Jantungnya langsung berdegup kencang. "Halo?" jawab Alya dengan suara bergetar. "Sabtu, jam dua siang. Aku jemput," kata Arkan singkat. "Pakai baju yang nyaman." "Kita mau kemana?" "Kencan. Bukankah itu yang dilakukan pasangan yang baru pacaran?" ada nada main-main di suara Arkan yang membuat Alya tersenyum. "Baik. Aku tunggu." Telepon terputus. Alya memeluk ponselnya erat. Ini kencan pertama mereka sebagai pasangan yang "baru kenal". Kesempatan untuk memulai dari awal. --- Sabtu pagi, Alya bangun lebih awal. Dia mencoba semua baju di lemarinya. Dress? Terlalu formal. Rok? Terlalu girly. Akhirnya dia memilih jeans biru, kaos putih polos, dan sneakers. Simple tapi tetap terlihat rapi. Tepat pukul dua, bel apartemen berbunyi. Alya membuka pintu. Arkan berdiri di sana dengan jeans hitam dan kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya ditata casual. Dia terlihat... muda. S
Alya menatap layar laptop dengan frustasi. Klien terakhirnya baru saja menunda pembayaran untuk ketiga kalinya bulan ini. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Arkan, suaminya, belum juga pulang."Dasar supir miskin," gumam Alya sambil menutup laptop dengan kasar. Dia bangkit dari sofa dan berjalan ke jendela. Hujan deras membasahi kaca jendela apartemen kecil mereka di lantai tiga.Suara pintu terbuka membuat Alya menoleh. Arkan masuk dengan senyum lelah di wajahnya. Kemeja putihnya sedikit kusut, rambut hitamnya basah kena hujan. Di tangannya ada kantong plastik berisi nasi uduk, makanan kesukaan Alya."Sayang, maaf aku telat. Bos minta antar ke Surabaya, jadinya—""Telat lagi?" sela Alya dengan nada tinggi. Dia melipat tangan di depan dada. "Kamu tau nggak sih berapa tagihan listrik bulan ini? Hampir satu juta! Sementara gaji kamu cuma berapa? Lima juta? Itu belum dipotong bensin mobilmu yang butut itu!"Arkan meletakkan kantong plastik di meja dengan perlah
Pagi itu, Alya terbangun dengan mata sembab. Dia melirik ke samping. Tempat tidur kosong. Arkan sudah pergi sejak subuh, seperti biasa. Tidak ada pesan, tidak ada sarapan di meja seperti yang dulu sering dilakukan Arkan.Alya bangkit dengan perasaan bersalah. Kata-katanya semalam memang terlalu kejam. Tapi dia juga frustrasi. Bagaimana bisa tidak? Kehidupan mereka stagnan. Tidak ada perkembangan. Sementara teman-teman seangkatannya sudah punya rumah sendiri, mobil baru, bahkan ada yang mulai traveling ke luar negeri.Ponsel Alya berdering. Nama "Mama" muncul di layar. Dia menghela napas panjang sebelum mengangkat."Alya, kamu kapan mau sadar?" suara ibunya langsung menyerang tanpa basa-basi. "Papa kemarin ketemu temannya yang punya perusahaan konstruksi. Anaknya masih single, pengusaha muda, tajir! Papa bisa atur kenalan kalau kamu mau cerai dari si Arkan itu.""Mama, aku sudah menikah," jawab Alya lemah."Menikah sama orang miskin! Percuma! Kamu masih muda, Alya. Dua puluh lima tahun
Alya pulang ke apartemen dengan pikiran kacau. Sepanjang perjalanan naik ojek online, otaknya terus bekerja keras mencerna semua informasi yang baru saja didapatnya. Arkan adalah milyarder. Suaminya yang selama ini dia remehkan ternyata pewaris konglomerat terbesar di Indonesia.Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan. Kenapa Arkan menyamar? Kenapa dia berpura-pura jadi supir miskin? Apakah ini semacam permainan untuknya? Atau ada alasan lain?Alya membuka pintu apartemen dengan tangan gemetar. Ruangan kosong dan sepi. Dia melempar tas ke sofa dan langsung membuka laptop. Jari-jarinya mengetik dengan cepat: "Arkananta Mahesa Widjaja".Ratusan hasil pencarian muncul. Artikel demi artikel tentang Arkan. Forbes Indonesia. Majalah bisnis. Berita akuisisi perusahaan. Foto-foto Arkan dalam berbagai acara bisnis bergengsi.Di salah satu foto, Arkan berdiri di samping Presiden saat peresmian pabrik baru. Di foto lain, dia berjabat tangan dengan pengusaha terkenal dunia. Ada juga foto Arkan mem