Langkah Arga terhenti. Ia merasa ada suara yang memanggil namanya barusan. Perlahan ia menoleh, menatap sosok perempuan yang tadi baru saja dilewatinya. Wajahnya tertutup masker, dan hanya mata yang terlihat. Tapi tatapan itu terasa tak asing baginya.Alis Arga berkerut. Ia merasa suara itu mirip sekali dengan suara istrinya. Dadanya terasa aneh, seperti ada yang menarik ingatannya.Tapi ia segera menepis perasaan itu. Tidak mungkin. Tengah malam begini, di tempat seperti ini... mana mungkin Vita ada di sini? Logikanya menolak, meski perasaannya mengatakan sebaliknya.Ia menatap lekat, mencoba memastikan. Suaranya pelan tapi terdengar tegas ketika akhirnya ia bertanya, “Kamu siapa?”Keduanya saling bertatapan. Keheningan terasa menekan di antara mereka. Vita menelan ludah, hatinya berdegup kencang. Ia tahu inilah saat yang tepat. Perlahan ia melangkah mendekat, sementara Arga masih menatapnya dengan sorot heran. Ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter, tangan Vita teran
"Masnya serius?" tanya Vita pelan. Bulu kuduknya perlahan meremang mendengar ucapan tukang ojek itu.Laki-laki berseragam jaket hijau itu mengangguk perlahan. Raut wajahnya tampak sungguh-sungguh, seakan setiap kata yang ia ucapkan adalah kebenaran mutlak. "Iya kak. Makanya mending kakaknya pulang aja biar saya anterin. Bahaya kalau ke sini sendirian," bujuknya agar Vita mau menuruti saran darinya. Vita menoleh ke arah bangunan tua itu. Wajahnya tampak bimbang. Sebenarnya ia memang merasa takut jika harus memaksa memeriksa keberadaan Arga. Namun di sisi lain, ia juga tidak mungkin mundur dari langkah yang sudah ia ambil.Akhirnya Vita menatap tukang ojek itu dengan tatapan yakin. "Masnya tenang aja. Saya pasti bakal baik-baik aja kok," ucapnya tanpa ragu. "Kakaknya serius?" tanya tukang ojek itu masih tampak khawatir.Vita mengangguk yakin. "Iya mas. Masnya ngga usah khawatir. Saya bisa jaga diri sendiri kok," jawabnya mantap.Tukang ojek itu mengangguk pelan. Ia juga tidak mungkin
Vita segera menanggalkan piyamanya, lalu berganti mengenakan celana panjang dan jaket berwarna hitam. Tak lupa, ia juga menyamarkan wajahnya dengan masker hitam, kemudian menyelipkan kacamata gelap ke dalam saku jaket.Terakhir, Vita merapikan rambutnya dan menguncirnya dengan cepat agar tidak berantakan. Setelah selesai, ia menarik tudung jaketnya ke atas kepala. Rambut yang tersisa di sekitar tengkuk sedikit menyembul keluar, sementara bayangan kupluk jaket itu membuat wajahnya tampak lebih tersembunyi dari pandangan sekitar.Vita memandang penampilannya di cermin. Kini ia yakin tak ada satu orang pun yang akan mengenali dirinya dengan pakaian seperti ini.Sebelum keluar dari kamar, Vita mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dan menyelipkannya ke dalam pelindung ponselnya. Selain itu ia juga membawa semprotan berisi bubuk cabai untuk berjaga-jaga jikalau terjadi sesuatu di jalan.Setelah semuanya siap, Vita pun keluar dari kamar. Ia menuruni tangga dengan senter ponsel yang
Malam ini Vita sibuk menata makanan yang baru saja ia pesan lewat aplikasi. Sebenarnya ia lebih suka memasak makanan sendiri. Namun mengingat misi penting yang tengah ia emban diam-diam, ia memilih mengesampingkan ketidaksukaan itu untuk sementara.Vita sekarang sedang duduk manis di meja makan sambil menyantap makanan tersebut tanpa menunggu Arga turun dari kamar. Ia sengaja menjaga jarak dari suaminya itu, agar ia bisa memikirkan dengan matang rencana yang akan ia lakukan.Tak berselang lama, Vita mendengar bunyi langkah dari arah tangga. Sudah dipastikan kalau itu berasal dari suaminya.Arga perlahan melangkah mendekat, tatapannya tak lepas dari sosok istrinya yang duduk anggun di depan meja makan. Lampu gantung di atas meja menyorot wajah Vita, membuat ekspresinya semakin jelas terlihat.Wajah yang semula tegang dan penuh perhitungan, kini berubah ceria. Senyum tipis merekah di bibir Vita. Senyum yang bagi orang lain mungkin terasa menenangkan, tapi tidak bagi Arga.Arga merasakan
"Baik pak. Kalau gitu saya tutup dulu teleponnya."Dengan cepat Vita mundur beberapa langkah, ia mencoba menata wajahnya agar terlihat biasa saja. Ia tak ingin Arga tahu bahwa ia mendengar percakapan barusan. Setelah menarik napas dalam, Vita melangkah kembali ke depan pintu lalu bersuara seolah baru datang. "Mas Arga?" panggilnya seolah-olah tidak tahu pria itu berada di dalam kamar. "Iya sayang?" sahut Arga dari dalam kamar. Pria itu kemudian keluar sambil tersenyum lebar seolah tak terjadi apa-apa. "Kamar kita yang mana mas?" Vita berpura-pura bertanya."Kamar kita yang ini sayang, ini udah ada kasur sama lemarinya," jawab Arga lembut. Tatapan pria itu kemudian beralih ke arah koper besar yang masih berada di tangan istrinya. Alisnya sedikit berkerut."Kamu yang bawa koper ini sendiri ke sini?" tanya Arga dengan nada tak percaya. Vita mengangguk pelan. "Emangnya ngga berat waktu naik tangga?" Arga kembali bertanya, kali ini suaranya terdengar lebih cemas."Ngga kok," jawab V
Vita menatap halaman depan rumah baru itu dengan pandangan kosong. Dari luar bangunan tersebut memang terlihat rapi dan nyaman, namun hatinya masih terikat dengan rumahnya yang lama. "Kenapa diem disitu? Sini masuk," panggil Arga sambil melangkah lebih dulu dan menenteng beberapa barang bawaan. Vita terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia menyusul suaminya masuk. Begitu melewati ambang pintu, pandangannya langsung disambut ruangan yang penuh dengan kardus, koper, dan tumpukan barang dari rumah lama. Arga sudah sibuk berjongkok di lantai sambil membuka koper dan menyusun barang satu per satu. Napasnya sedikit memburu dan kaosnya basah di bagian punggung. Sementara itu Vita hanya berdiri kaku di ambang pintu ruang tengah. Perlahan perasaan iba menyelinap di hatinya melihat Arga yang terus bergerak tanpa mengeluh. Akhirnya ia menarik napas dalam dan mencoba menyingkirkan rasa enggan yang masih tersisa. Perlahan ia melangkah mendekat, berniat ikut mem