Share

Bab 2. Terjerumus

Author: Nafish Grey
last update Last Updated: 2025-08-14 14:53:19

Semakin malam diskotek semakin ramai. Lampu strobo berkedip-kedip, menyoroti lautan manusia yang menari mengikuti irama rancak. Alunan EDM keras menggetarkan lantai, berbaur dengan gerakan puluhan pengunjung yang terlalu bersemangat.

Lote masih di tengah kerumunan, tubuhnya terus menari mengikuti alunan musik. Tangan gadis itu terangkat tinggi, kepala bergoyang ke kiri dan kanan, rambutnya mulai berantakan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat lepas dan hidup.

Ia tak peduli meskipun keringat mengalir di pelipis, membuat make-upnya terlihat cakey. Musik memenuhi kepala Lote, setiap entakan bass seolah menyatu dengan detak jantungnya.

Sesekali Lote kembali ke meja tempat teman-temannya berkumpul, menenggak gelas berisi minuman keras berwarna kuning . Cairan itu meluncur ke tenggorokannya dan membakar pelan. Matanya menyipit, lalu ia kembali ke lantai dansa menggoyangkan pinggul, lebih berani, lebih panas.

“Wohoooo!” beberapa pengunjung berseru ribut mengikuti teriakan sang DJ.

Beberapa pemuda mulai mendekati Lote. Terg0da melihat gadis cantik nan s3ksi yang bergoyang sendiri. Ada yang menari di belakangnya, tangan pria itu mulai menyentuh pinggang Lote, menyusuri lekuk tubuh sang gadis dengan percaya diri. Yang lain mencoba meraih tangan atau menyentuh rambutnya, ikut larut dalam energi liar yang ia pancarkan.

Lote tak menolak. Ia hanya tertawa, memutar tubuhnya cepat, mempermainkan para pria tersebut.

“Lo cantik banget.” Mereka mencoba merayunya.

"Yang bener? Ga ada yang bilang gue cantik di rumah." Rasa pusing mulai menguasai.

Alkohol telah memburamkan batas antara kesadaran dan keinginan. Lote terhuyung-huyung, tak lagi bisa membedakan kiri dan kanan, lepas kendali.  Tubuhnya mendekati pria asing, tangannya melingkar di leher dan dada pria itu dengan gerakan menggoda.

Tanpa aba-aba, Lote mencium pria itu dengan kasar dan tergesa-gesa, entah apa yang merasuki pikirannya. Bau alkohol serta keringat berbaur menjadi satu. Namun alih-alih jijik, Lote merasa n1kmat. Sang pria membalas dengan merangkulnya lebih erat, memberi servis yang sama.

Tiba-tiba seseorang menarik Lote kasar.

"Lote! Lo gila?!" seru Avril, suaranya meningkahi hiruk-pikuk musik, penuh amarah dan kekhawatiran. “Minggir ga lo?!” hardiknya galak, mendorong dada pria itu tanpa basa-basi.

Pemuda itu hanya mendecak kesal, lalu melangkah mundur, kembali larut dalam kerumunan.

Lote tersentak, hampir terjatuh, matanya berusaha fokus pada wajah Avril.

"Ayo, kita pulang, sekarang!" ajak Avril kesal, tangannya masih menggenggam pergelangan Lote.

Lote menggeleng berusaha melepaskan cengkeraman Avril. “Gue masih kuat, Vril … satu lagu lagi ya?”

“Lote, cukup!” tegas Avril, mencoba menahan emosi. “Lo udah parah banget.”

“Gue cuma ... nyari sedikit bahagia …,” gumam Lote pelan, suaranya nyaris tak terdengar, lalu tiba-tiba tertawa keras tanpa alasan. “Bahagia ... di dunia yang bahkan ga minta gue lahir .…”

Avril menggelengkan kepalanya, tahu tak bisa lagi berbicara dengan Lote. “Bagas!” teriaknya, menoleh ke arah meja tempat teman-temannya berkumpul. “Gas! Bagas!”

Seorang pemuda dengan jaket denim menghampiri mereka tergesa, alisnya mengerut begitu melihat keadaan Lote.

“Lo bantu gue anter Lote pulang. Nih an@k udah gak bisa jalan lurus.”

Bagas mendekat cepat, memapah tubuh Lote dari sisi lain.

“Ya ampun, Lote! Lo minum sampe begini?” Decaknya kesal.

Lote hanya terkekeh, separuh tubuhnya berat bersandar di bahu Bagas. “Bagas … lo tau gak?” bisiknya, matanya mulai sayu. “Orang tua gue pernah bilang … harusnya gue gak ada, biar mereka gak ribut terus.”

Bagas menoleh cepat ke Avril, wajahnya berubah. “Dia ngomong apa barusan?”

“Udah … tolongin gue bawa dia keluar dulu,” ujar Avril pelan.

Ketiganya berjalan tertatih keluar diskotek. Avril dan Bagas juga bukan dengan kondisi prima. Jadi terlihat sulit membawa satu beban lagi.

Bagas kemudian membuka jaket dan menaruhnya di pundak Lote.

"Naik, lo duduk di tengah, gue yang bawa motor," ucap Bagas sambil menyalakan motor.

"Di tengah?" Lote menyipitkan mata. "Asal bukan di tengah masalah … gue ikhlas." Ia tertawa lagi.

“Astaga," gerutu Avril yang duduk di belakang, membantu Lote naik.

Susah payah, mereka membuat Lote duduk manis di tengah. Kepala Lote bersandar ke bahu Avril di belakang. Tubuhnya berat dan lemas, seperti tak punya tulang.

"Parah banget ini, an@k-anak ngasih apa sih ke Lote?" keluh  Avril, tangannya merangkul perut Lote agar tak jatuh ke samping.

“Cinta … dicampur vodka,” bisik Lote, lalu langsung bernyanyi dengan nada sumbang. "Kenapa kau tinggalkan akuuu ...."

“Shhh! Lo bikin malu aja!”

“Biarin gue nyanyi … untuk jiwa-jiwa kesepian.”

Motor mulai melaju perlahan meninggalkan keramaian diskotik. Jalanan malam itu lengang, tapi basah oleh hujan gerimis yang baru saja reda. Lampu-lampu jalan menyinari genangan yang memantulkan siluet mereka bertiga.

“Jalanannya licin banget,” gumam Bagas pelan, menurunkan sedikit kecepatan.

Lote  yang duduk di tengah, justru mulai menggeliat. “WOOO! GUE TERBANG!” teriaknya sambil merentangkan tangan ke udara.

“LOTE, JANGAN GERAK!” pekik Avril dari belakang, berusaha menahan tubuh Lote yang terus bergoyang tak stabil.

“Gue bebas Vril!” Lote tertawa lagi, keras, tak peduli dengan peringatan Avril.

Bagas menahan napas. “Lote, duduk yang bener, sumpah gue susah ngendaliin nih motor … anjir! Yang bener woi!”

“Gue gak punya pegangan ….” Lote melingkarkan tangan ke leher Avril yang di belakang. “Gue Cuma punya dia.”

“Astaga!” Avril merasa pusing tujuh keliling. "Lo berat banget, Lote. Lo mabuk kayak karung beras."

"Hei! Gue bukan karung ya ... gue tuh seni yang berjalan!"

“Ck.”

Motor melaju di tikungan, angin malam menerpa wajah mereka. Lote masih bergumam, kadang tertawa, kadang bernyanyi, kadang hanya diam lalu tiba-tiba menjerit kecil.

“WOOOO! GUE BEBAS!”

"LOTE, JANGAN GERAK!"

"GUE BISA TERBANG!"

Tikungan tajam mendekat. Bagas yang menyetir mencoba mengerem, tetapi terlambat. Ban depan menyentuh pasir, motor oleng.

“Juancuk!”

BRAK.

Suara gesek ban dan dentuman keras memecah malam. Tubuh ketiganya terpental ke arah trotoar. Lote terguling ke bahu jalan, tangan terbuka, rambut acak-acakan, darah mulai mengalir dari pelipisnya.

Avril bangkit sambil terhuyung dengan lutut berdarah. “LOTE?!”

Tak ada sahutan. Hanya detik-detik sunyi. Lote terbaring diam, senyum mabuknya sudah tak terlihat.

“Lote?! LOTE!” teriak Bagas.

Lote bergeming, tapi sedetik kemudian, pelan-pelan … tubuhnya bergerak. Ia meringis, lalu tertawa kecil—tawa yang terdengar miris dan kehilangan arah.

“Astaga ... gue kira lo—”

“Mati?” potong Lote dengan napas berat, “sayang banget ya, ya ampun ... kenapa nggak mati aja sekalian ....”

“Jangan ngomong gitu!”

Ia mulai terisak pelan. Air mata mengalir membasahi wajaahnya bersama rinai hujan yang kembali membasahi bumi.

“Gue cuma pengen sekali aja ngerasa ... diterima. Nggak diminta jadi versi yang lebih baik. Nggak disuruh diem, nurut, atau berubah. Apa gue terlalu rusak buat dicintai, hah?!”

“Sudah! Sudah! Aduh parah banget lukanya! Gas! Telepon ambulans, ga bisa neh, kakinya keknya patah.”

Posisi kaki Lote tampak aneh, tapi dia tak meringis sama sekali, tak jua menjerit kesakitan. Sang gadis malah bermain dengan darah di pelipisnya. “Vril, di sini saja, kita tidur di sini saja.”

“Cepetan Gas!”

Bagas segera menelepon ambulans.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 50. Please, Dit!

    "Dito! Please!" Lote menghambur memeluk kaki Dito yang hendak melangkah keluar kamar. "Charlotte, udah. Jangan begini!" Dito berusaha melepaskan pegangan Lote. Walaupun masih marah, Dito berusaha tak berbuat kasar. "Engga! Gue ga mau pisah! Gue ... gue ...." Napas Lote tiba-tiba tercekat, dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. "Charlotte! Kenapa?" Dito menyadari wajah Lote berubah pucat. "Charlotte!" Tubuh Lote terasa lemas, ia mencengkeram da-danya, bernapas susah payah. Pandangan Lote mulai buram, bercak-bercak kegelapan muncul di sudut mata. "Charlotte! Charlotte!" panggil Dito panik. "Dhysa! Dhysa!" Dhysa buru-buru masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas?" "Tolong panggil mantri ke mari!" Dhysa terkejut meli

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 49. Keknya Kita Harus ....

    Lote mencoba berontak, tubuhnya tersentak ke kiri dan kanan, tapi cengkeraman Ucup terlalu kuat.“Lepasin! Ucup, lepasin gue!” jerit Lote, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Namun pintu depan terasa jauh, dan tubuh Ucup seperti batu besar di atasnya.Ucup tertawa kasar, giginya yang kuning menyeringai jijik. “Dari dulu aku pengen ngerasain kamu, Bidadari. Kamu itu seksi banget. Aku bosen onani terus, sekarang giliran kamu puasin aku ya.”Lote menjerit histeris. Kepalanya menggeleng, menolak, sementara Ucup mencoba membuka kancing bajunya dengan tangan gemetar karena nafsu. Kancing pertama terlepas. Lote langsung menekuk kakinya dan menendang Ucup sekuat tenaga.“Arrgh!” Ucup mengaduh keras, tubuhnya goyah. Lote segera bangkit, tapi baru sempat separuh duduk, tangan pemuda itu kembali mendorongnya kasar.“Tolong! Tolong!”Geram, pemuda itu kini menindih Lote semakin keras, mengeluarkan p

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 48. Jujur Deh

    "Ya?" Dito membersihkan tangannya dengan air keran, mengusap ke celananya sebelum menghampiri Dhysa. "Kenapa Dhysa?" Dhysa menekan rasa gugupnya, gadis itu menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Tadi pas Dhysa dari pasar dan mau pulang, Dhysa dicegat.""Hah?! Dicegat siapa?" tanya Dito khawatir."Ucup si preman kampung, Mas." Kedua tangan Dhysa bertaut cemas, bukan karena aktingnya saja, tapi dia memang tak pernah mencelakai orang sebelumnya. Ini yang pertama, jadi hati nurani Dhysa merasa bersalah, muncul dalam wujud gugup."Ucup? Dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan, Dhysa?""Ga, untungnya ga sih Mas, tapi ...." Tenggorokannya terasa tercekat."Tapi apa?" Dito sudah tegang, apalagi ekspresi Dhysa yang tampak tegang membuatnya langsung nethink."Ucup ngasih surat ke aku, minta anterin ke Mbak Lote.""Apa?!" "Iya, Mas. Keknya mereka ada sesuatu," uca

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 47. Tipu Muslihat

    Pagi-pagi Dito sudah pergi ke peternakan, dan bilang ke Lote kalau dia akan ikut Tono mengirimkan telur ke kota. Lote mengangguk dan melepas kepergian suaminya itu dengan satu wadah pisang goreng yang masih panas. Pokoknya dia benar-benar akan menjadi istri yang baik.Lote bersenandung kecil sambil merapikan pakaian Princessa yang mau disetrika. Dalam otaknya dia sudah menyusun rencana akan memasak apa untuk suaminya nanti.Ia menatap Princessa yang sudah wangi dan tidur lagi karena kekenyangan ASI, dan saat tak sengaja melirik jam dinding, Lote mulai bertanya-tanya. Kemana Dhysa? Sudah jam sembilan dan gadis itu belum muncul di sana.Lote sempat tersenyum kecil. “Akhirnya sadar juga,” pikirnya, mengira Dhysa tak akan datang lagi.Sayangnya, harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, gadis itu terlihat berlari seperti dikejar utang.“Mbak, Mas Dito mana?” tanyanya dengan napas ngos-ngosan.Lote mendelik t

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 46. Kerja Sama

    "Gue dah masak, lo ga perlu masak lagi pagi ini." Lote membawa piring berisi ayam goreng lengkuas andalannya ke meja makan. "Gue butuh lengkuas lagi buat besok, lo ke pasar ya." Lote merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkan di meja."Tapi Mbak, Inces ....""Princes biar gue aja yang jaga. Sebenarnya kami udah ga butuh lo, tapi karena Mas Dito kasian, jadi ...." Lote sengaja menggantung ucapannya, matanya menatap Dhysa mencemooh. "Dhysa, lo masih muda, masih banyak cowok ganteng di luar sana.""Maksud Mbak?" Kemarahan Dhysa semakin mendidih."Maksud gue, lo lebih baik mundur. Mas Dito cuma cinta sama gue. Dan gue masih istrinya Mas Dito. Lo jangan berlagak jadi istrinya. Bangun pagi, bawa sayur, gue tau mau lo apa." Bagi Lote, hama harus segera dipotong, tak boleh diberi kesempatan. Apalagi sampai menguasai tanah subur dan membuat padi yang seharusnya berbulir menjadi kering.

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 45. Mulai Terbakar

    "Gue bisa ngerjain semua pekerjaan rumah. Gue bakal belajar masak lebih giat, jagain Princessa, beberes, semua. Lo yang ke pasar, gue ga keluar lagi kecuali sama lo atau nenek. Gue ga mau khilaf lagi. Gimana?" tanya Lote harap-harap cemas.Dito menggeleng kuat. "Ga bisa Charlotte. Aku sudah bilang sama Tono, mau nyoba dulu sama Dhysa.""Dito! Lo bilang lo masih cinta sama gue, napa lo begitu? Lo ga percaya sama gue?""Iya, aku belum bisa percaya sama Charlotte."Deg!Lote merasa dihantam godam di ulu hatinya. Benar! Kepercayaan yang sudah rusak, tak akan semudah itu dipulihkan. Harusnya dia tak menuntut Dito. Ini kesalahannya."Inces juga sudah nyaman sama Dhysa. Dhysa juga bertanggung jawab orangnya."Seperti tamparan keras bagi Lote. Dia memang menjadi ibu yang buruk, yang lebih mementingkan ego dan melupakan perannya. Lote menunduk malu. "Dit! Kasih gue kesempatan, gue bakal jadi ibu yang lebih bertanggung jawab buat Princes dan istri yang baik bagi lo."Dito berdiri, mengusap kepa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status