Home / Rumah Tangga / Suamiku yang Tak Normal / Bab 1. Rumah Tanpa Kehangatan

Share

Suamiku yang Tak Normal
Suamiku yang Tak Normal
Author: Nafish Grey

Bab 1. Rumah Tanpa Kehangatan

Author: Nafish Grey
last update Last Updated: 2025-08-14 14:52:11

"Kamu nyuruh aku di rumah aja, Mas? Ga adil banget!" Seorang wanita modis dengan pakaian kantoran membanting berkas di meja kerjanya.

"Tapi Lote butuh kamu, Widya! Lote masih kecil, kamu mamanya!" Pria berkacamata dengan rambut hampir habis di bagian depan itu membentak istrinya.

"Kamu ga bisa ngungkung aku kek begini, Mas! Ini hidup aku! Dulu kamu janji tetap ngizinin aku kerja mesti udah lahirin, kenapa sekarang berubah?" Widya mengusap rambut gelombang perm-nya tak percaya, hampir menumpahkan gelas kopi kekinian di atas meja.

"Ya sekarang 'kan kondisinya beda. Aku bisa cukupin hidup kita, Wid! Kamu ga perlu kerja!"

"Cukup kamu bilang! Sekolah Widya ke depan gimana? Aku pengen ngasih yang terbaik buat anak kita Mas. Bukan yang pas-pasan."

"Ya kan bisa hemat dulu, bisa nabung!" Brian mengetuk meja tak sabaran.

"Nabung Mas bilang, memangnya gaji Mas berapa? Mas tahu berapa kebutuhan rumah kita? Les Lote berapa? SPP berapa? Ga 'kan? Mas cuma kasih 4 juta, cukup ga cukup harus cukup-cukupin."

"Ya buktinya selama ini cukup toh!"

"Cukup dari mana? Selama ini kekurangan selalu dari uangku, Mas! Kalau aku ga kerja, ga mungkin Lote bisa sekolah di sekolah swasta yang bagus!"

Brian berdecak tak senang, harga dirinya tercoreng. "Ini karena ambisimu, sebenarnya bisa cukup kalau sekolah di negeri saja."

Widya menggertakkan gigi. "Dari awal aku nikah, sampai akhirnya kita susah payah punya Lote, aku udah bilang mau ngasih yang terbaik buat anak kita. Mas sendiri tahu 'kan pendidikan zaman sekarang kayak apa. Kalau di negeri, Inggris dan Mandarinnya nanti bakal kurang, gimana Lote bisa bersaing dalam dunia kerja!"

"Ya ga usah kerja! Cari saja suami yang mampu!"

"Trus bergantung sama suami gitu? Kalau suaminya baik gapapa, trus kalau suaminya ga baik Lote harus menderita karena ga bisa cari uang sendiri?! Mas pikir dong, coba kalau Lote dapat suami modelan Mas kalau ga kerja!"

"Kamu makin lama makin kurang ajar ya Widya! Sejak gaji kamu lebih besar dari Mas kamu makin ngelunjak!"

"Ini bukan masalah gaji Mas, ga usah mengalihkan pokok pembicaraan. Ini karena mas ga menepati janji!"

"Kamu yang harusnya sadar diri jadi istri, layani suamimu, rumah diurus!"

"Rumah bukan tanggung jawab aku saja Mas, rumah harusnya tanggung jawab berdua! Tapi Mas ga mau tahu urusan rumah sama sekali! Mas sangat egois!" Widya membanting gelas kopinya kesal.

"Kamu yang egois, kamu juga ga urus Lote dengan baik! Kamu harusnya di rumah saja jagain anakmu!" Tunjuk Brian berang. 

Widya menahan kegeraman menghadapi suami patriakinya. "Jika Lote tak ada, semua ga akan kek begini! Dari awal Mas yang bilang ada anak pun aku tetap boleh kerja! Mas yang pengen punya anak, bukan aku! Tapi Mas ga pernah mau bantuin urus Lote."

"Ada atau tidak ada Lote tetap Mas ga setuju kamu kerja! Wanita harusnya di rumah saja! Masak, cuci, ng@ngkang!"

Plak!

Widya men@mpar suaminya. "Bahkan pelacur pun ga dibayar semurah ini untuk berkorban sebanyak ini Mas!"

"Berani kamu nampar aku, Wid! Dasar istri tak tahu diuntung!" Brian balas menj@mbak rambut Widya. Keduanya saling menghajar tanpa menyadari putri mereka mendengar semua pembicaraan dari balik pintu.

Charlotte atau yang lebih akrab disapa Lote mengusap air mata yang banjir. Ia meringkuk menutup kedua telinganya, berharap tak pernah dilahirkan ke dunia ini.

***

Tujuh tahun kemudian,

"Bu, ini sudah tiga kali dalam bulan ini Charlotte bolos sekolah, pas ulangan lagi. Guru-guru sudah angkat tangan karena Lote juga kurang ajar sama mereka!" Wali kelas yang bernama Bu Adna menghela napas keras.

Widya mencengkeram tas Balenciaga-nya erat-erat, melirik putrinya dengan pandangan tajam. Lote berdecih, membuang wajah sambil mengunyah permen karet. Pakaiannya saja sudah menunjukkan ciri khas @nak nakal, seragam kependekan begitu juga dengan rok di atas lutut yang menampilkan pahanya.

"Bu, kali ini saja tolong dimaafkan. Nanti saya bakal ajarin Charlotte lebih baik lagi," mohon Widya.

Bu Adna mengetuk meja konstan, matanya melirik Charlotte sambil berpikir. Setelah beberapa saat dia menggeleng frustrasi. "Charlotte akan diskors seminggu. Dan harus remedi dengan nilai tuntas, jika tidak ... anak ibu kemungkinan besar bakal tinggal kelas."

Widya menutup mata, menahan amarah yang hendak meluap. Ia mengangguk mengerti dan membawa Lote pulang ke rumah.

"Bisa ga sehari saja kamu ga bikin masalah! Mama pusing Lote!" Mamanya sibuk menelepon papanya. 

Lote memutar matanya malas.

"Brian! Anak kamu dipanggil guru lagi, kamu lebih banyak di rumah tapi ga becus negur Lote!"

Pertengkaran mulai terdengar memekakkan telinga, Lote memilih berjalan menjauh.

"Mau ke mana? Mama belum selesai bicara!"

"Berisik!" balas Lote kurang ajar, dia membanting pintu kamarnya menutup.

"Anak kurang ajar! Mama udah capek-capek nyekolahin kamu, ga bersyukur ya kamu! Lihat di luar sana masih banyak anak yang ga bisa sekolah! Lihat anak Bu Rini bisa juara. Mama cuma minta kamu sekolah yang baik saja, kenapa sesulit itu!" Mamanya mengedor pintu kamarnya.

Lote menutup kedua telinga, ingin sekali lari dari kenyataan. Ingin pergi dari rumah, tapi ke mana? Dia tak punya tujuan selain Neraka bernama rumah ini.

Widya masih mengoceh sampai puas, sampai suaminya pulang dan berlanjut menjadi pertengkaran tiada akhir. 

Di tengah rasa sakitnya, sebuah dering telepon mengalihkan atensi gadis itu. "Hallo!"

"Lote! Lo di mana? Anak-anak lagi nungguin!"

"Di rumah. Gue diskors."

"Bagus dong, yuk! Kita bisa party-party."

Lote membuka jendela. "Ok tungguin gue, sebentar lagi nyampe."

"Gas!"

Sambungan teleponnya dimatikan, Lote mengambil tas dan jaket, lalu keluar lewat jendela kamarnya. Gadis itu melompati pagar dan kabur dari rumah.

Dua puluh menit kemudian Lote sudah tiba di depan area parkiran gedung kantoran. Para geng motor sekolahnya berkumpul di sana. The Black Panther namanya.

"Pada mau ke mana?" tanya Lote. 

Seorang gadis cantik berdandanan menor langsung bergelayut manja, menggandeng lengan Lote. "Sini rokok dulu, kita Dugem nanti."

Salah seorang siswa cowok menyodorkan mereka bungkus rokok. Asap mengepul di udara, memenuhi hidungnya dengan bau menyengat. Rasa mint meninggalkan sengatan dingin. Lote merasa beban di pundaknya terembus keluar bersama asap.

"Ga usah pusing. Hidup cuma sekali Sis, kita harus menikmatinya."

Lote mengangguk setuju. Benar! Hidup hanya sekali, dia tak ingin merasakan sakit hati terus menerus. Bersama teman-temannya, dia menemukan rasa kebersamaan dan kebebasan.

Rokok adalah langkah pertama hidup Lote terjerumus, lalu ... saat berada di dunia malam, teman-temannya mulai mengenalkannya pada minuman keras.

"Cobaan deh, habis minum ini, dijamin semua masalah yang ada bakal lenyap."

Satu tegukan minuman berwarna kuning tersebut terasa menyengat. Lote batuk-batuk keras dan ditertawakan teman-temannya segengnya. "Ah, cupu. Lagi! Lagi!"

Dia minum lagi sampai dunia menjadi kabur. Lote berseru keras, mereka benar. Dia merasa baik-baik saja. Sangat baik, tapi alih-alih tertawa, air mata Lote mengalir deras. Dia berteriak dan meliuk, menari seirima musik diskotik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 50. Please, Dit!

    "Dito! Please!" Lote menghambur memeluk kaki Dito yang hendak melangkah keluar kamar. "Charlotte, udah. Jangan begini!" Dito berusaha melepaskan pegangan Lote. Walaupun masih marah, Dito berusaha tak berbuat kasar. "Engga! Gue ga mau pisah! Gue ... gue ...." Napas Lote tiba-tiba tercekat, dadanya terasa ditekan sesuatu yang berat. "Charlotte! Kenapa?" Dito menyadari wajah Lote berubah pucat. "Charlotte!" Tubuh Lote terasa lemas, ia mencengkeram da-danya, bernapas susah payah. Pandangan Lote mulai buram, bercak-bercak kegelapan muncul di sudut mata. "Charlotte! Charlotte!" panggil Dito panik. "Dhysa! Dhysa!" Dhysa buru-buru masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas?" "Tolong panggil mantri ke mari!" Dhysa terkejut meli

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 49. Keknya Kita Harus ....

    Lote mencoba berontak, tubuhnya tersentak ke kiri dan kanan, tapi cengkeraman Ucup terlalu kuat.“Lepasin! Ucup, lepasin gue!” jerit Lote, matanya bergerak liar mencari celah untuk kabur. Namun pintu depan terasa jauh, dan tubuh Ucup seperti batu besar di atasnya.Ucup tertawa kasar, giginya yang kuning menyeringai jijik. “Dari dulu aku pengen ngerasain kamu, Bidadari. Kamu itu seksi banget. Aku bosen onani terus, sekarang giliran kamu puasin aku ya.”Lote menjerit histeris. Kepalanya menggeleng, menolak, sementara Ucup mencoba membuka kancing bajunya dengan tangan gemetar karena nafsu. Kancing pertama terlepas. Lote langsung menekuk kakinya dan menendang Ucup sekuat tenaga.“Arrgh!” Ucup mengaduh keras, tubuhnya goyah. Lote segera bangkit, tapi baru sempat separuh duduk, tangan pemuda itu kembali mendorongnya kasar.“Tolong! Tolong!”Geram, pemuda itu kini menindih Lote semakin keras, mengeluarkan p

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 48. Jujur Deh

    "Ya?" Dito membersihkan tangannya dengan air keran, mengusap ke celananya sebelum menghampiri Dhysa. "Kenapa Dhysa?" Dhysa menekan rasa gugupnya, gadis itu menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Tadi pas Dhysa dari pasar dan mau pulang, Dhysa dicegat.""Hah?! Dicegat siapa?" tanya Dito khawatir."Ucup si preman kampung, Mas." Kedua tangan Dhysa bertaut cemas, bukan karena aktingnya saja, tapi dia memang tak pernah mencelakai orang sebelumnya. Ini yang pertama, jadi hati nurani Dhysa merasa bersalah, muncul dalam wujud gugup."Ucup? Dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan, Dhysa?""Ga, untungnya ga sih Mas, tapi ...." Tenggorokannya terasa tercekat."Tapi apa?" Dito sudah tegang, apalagi ekspresi Dhysa yang tampak tegang membuatnya langsung nethink."Ucup ngasih surat ke aku, minta anterin ke Mbak Lote.""Apa?!" "Iya, Mas. Keknya mereka ada sesuatu," uca

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 47. Tipu Muslihat

    Pagi-pagi Dito sudah pergi ke peternakan, dan bilang ke Lote kalau dia akan ikut Tono mengirimkan telur ke kota. Lote mengangguk dan melepas kepergian suaminya itu dengan satu wadah pisang goreng yang masih panas. Pokoknya dia benar-benar akan menjadi istri yang baik.Lote bersenandung kecil sambil merapikan pakaian Princessa yang mau disetrika. Dalam otaknya dia sudah menyusun rencana akan memasak apa untuk suaminya nanti.Ia menatap Princessa yang sudah wangi dan tidur lagi karena kekenyangan ASI, dan saat tak sengaja melirik jam dinding, Lote mulai bertanya-tanya. Kemana Dhysa? Sudah jam sembilan dan gadis itu belum muncul di sana.Lote sempat tersenyum kecil. “Akhirnya sadar juga,” pikirnya, mengira Dhysa tak akan datang lagi.Sayangnya, harapan itu hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, gadis itu terlihat berlari seperti dikejar utang.“Mbak, Mas Dito mana?” tanyanya dengan napas ngos-ngosan.Lote mendelik t

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 46. Kerja Sama

    "Gue dah masak, lo ga perlu masak lagi pagi ini." Lote membawa piring berisi ayam goreng lengkuas andalannya ke meja makan. "Gue butuh lengkuas lagi buat besok, lo ke pasar ya." Lote merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang yang diletakkan di meja."Tapi Mbak, Inces ....""Princes biar gue aja yang jaga. Sebenarnya kami udah ga butuh lo, tapi karena Mas Dito kasian, jadi ...." Lote sengaja menggantung ucapannya, matanya menatap Dhysa mencemooh. "Dhysa, lo masih muda, masih banyak cowok ganteng di luar sana.""Maksud Mbak?" Kemarahan Dhysa semakin mendidih."Maksud gue, lo lebih baik mundur. Mas Dito cuma cinta sama gue. Dan gue masih istrinya Mas Dito. Lo jangan berlagak jadi istrinya. Bangun pagi, bawa sayur, gue tau mau lo apa." Bagi Lote, hama harus segera dipotong, tak boleh diberi kesempatan. Apalagi sampai menguasai tanah subur dan membuat padi yang seharusnya berbulir menjadi kering.

  • Suamiku yang Tak Normal   Bab 45. Mulai Terbakar

    "Gue bisa ngerjain semua pekerjaan rumah. Gue bakal belajar masak lebih giat, jagain Princessa, beberes, semua. Lo yang ke pasar, gue ga keluar lagi kecuali sama lo atau nenek. Gue ga mau khilaf lagi. Gimana?" tanya Lote harap-harap cemas.Dito menggeleng kuat. "Ga bisa Charlotte. Aku sudah bilang sama Tono, mau nyoba dulu sama Dhysa.""Dito! Lo bilang lo masih cinta sama gue, napa lo begitu? Lo ga percaya sama gue?""Iya, aku belum bisa percaya sama Charlotte."Deg!Lote merasa dihantam godam di ulu hatinya. Benar! Kepercayaan yang sudah rusak, tak akan semudah itu dipulihkan. Harusnya dia tak menuntut Dito. Ini kesalahannya."Inces juga sudah nyaman sama Dhysa. Dhysa juga bertanggung jawab orangnya."Seperti tamparan keras bagi Lote. Dia memang menjadi ibu yang buruk, yang lebih mementingkan ego dan melupakan perannya. Lote menunduk malu. "Dit! Kasih gue kesempatan, gue bakal jadi ibu yang lebih bertanggung jawab buat Princes dan istri yang baik bagi lo."Dito berdiri, mengusap kepa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status