Adrian segera menarik Selena, untuk menenangkannya. Meninggalkan Karenina yang menatap kepergian mereka dengan pandangan sedih.
"Lepasin tanganku!" Selena menyentak tangannya dengan keras."Len, kamu udah keterlaluan. Kejadian hari ini, engga ada hubungannya sama Karenina," kata Adrian."Karenina? Kamu udah hapal banget, ya, sama nama anak baru itu! Dri, kesurupan massal udah lama ilang di sekolah kita. Setelah dia masuk ke sini, tiba-tiba kejadian ini balik lagi!" geram Selena."Len, kesurupan ini terjadi karena ada siswi yang buang pembalut sembarangan di toilet. Engga ada kaitannya sama sekali dengan Karenina atau penyihir itu," jelas Adrian."Engga, Dri. Aku tetap percaya, penyebab kesurupan ini karena murid pindahan itu." Selena melangkah pergi meninggalkan Adrian.Adrian meremas rambutnya. Kesal dengan sikap Selena yang seenaknya menuduh tanpa alasan jelas.Di sisi lain, Karenina menatap kepergian Adrian dan Selena. Dia tak menyangka akan disalahkan untuk hal yang tak dipahaminya."Celline, apa benar ini salahku?" Karenina menangis seraya menyandarkan tubuhnya ke tembok kelas."Engga, Karen. Kamu udah denger sendiri 'kan dari siswi yang kesurupan? Ini karena ada yang buang pembalut sembarangan ke toilet." Celline berusaha menenangkan Karenina yang tengah menangis."Ta ... tapi, kenapa Selena nyalahin aku? Apa salahku? Memangnya sesalah itu tinggal di rumah kayu tua itu?" isak Karenina.Celline menatap Karenina dengan pandangan iba. Dia bingung, haruskah memberi tahu penyebab kemarahan Selena pada Karenina? Karena Celline sendiri pun tahu, kalau hal itu terjadi di masa lalu. Tak ada kaitannya dengan Karenina yang baru pindah ke Desa Sinsani.Celline menepuk bahu Karenina pelan, mencoba untuk menenangkan. Dia lebih memilih untuk diam sekarang, karena menceritakan masa lalu hanya akan membuat semua jadi runyam."Lebih baik kita pulang sekarang, Ren. Toh, semua murid sudah mulai berkemas," ajak Celline."Iya." Karenina segera menyeka air mata. Dia dan Celline pun pergi ke kelas untuk mengambil tas.Karenina dan Celline berjalan bersampingan melewati pelatar sekolah. Area sekolah mulai sepi dikarenakan para murid yang lain telah pulang."Celline, aku masih belum hapal jalan untuk pulang ke rumah," kata Karenina seraya menghentikan langkah kaki di depan gerbang sekolah."Emangnya tadi pagi berangkatnya sama siapa?""Dianterin papa pake mobil. Pulang sekolah SMA kan biasanya siang, jadi rencananya dijemput sekitar jam 2 lewat. Eh, ternyata kita dipulangin lebih awal," jawab Karenina lesu."Yaudah, pulangnya bareng aku aja. Tapi, jalan kaki aja, ya," kata Celline."Beneran? Tapi, apa engga ngerepotin kamu? Apalagi kan katanya rumah aku ...." Karenina tak melanjutkan perkataannya."Engga papa. Jalan kita searah, kok, lagian rumah aku juga melewati rumahmu. Terus, aku ga takut sama yang gitu-gituan. Aku kan wanita pemberani," sahut Celline seraya menepuk bahu Karenina.Karenina tersenyum mendengar jawaban Celline. Siapa sangka, di hari pertamanya bersekolah, dia langsung menemukan teman baik seperti Celline.***"Makasih ya, Celline. Mau mampir ke rumah?" tawar Karenina."Engga dulu, deh. Aku mau langsung pulang ke rumah. Udah laper soalnya," sahut Celline."Oke, sampai jumpa besok di sekolah." Karenina melambaikan tangan pada Celline. Setelah Celline berbelok di persimpangan, barulah Karenina masuk ke dalam rumah."Ma, aku udah pulang," seru Karenina sambil melepas sepatu miliknya dan meletakkannya ke rak."Loh, kok udah pulang, Karen?" tanya ibu Karenina yang datang dari arah dapur."Dipulangin lebih awal. Ada yang kesurupan massal di sekolah," sahut Karenina sambil berjalan ke arah meja makan."Ih, kok bisa?""Katanya, ada yang buang pembalut sembarangan di toilet," jawab Karenina sambil menuang air ke gelas."Udah kasih tahu papa kalau kamu udah pulang sekolah?" tanya Renata lagi."Ya ampun, Ma. Aku lupa ngasih kabar ke papa," sahut Karenina panik."Yaudah, Mama aja yang ngasih tahu papa. Kamu tadi pulangnya gimana? Kan kamu belum hapal jalan sini?""Pulang bareng temen tadi. Kebetulan, dia rumahnya ngelewatin rumah kita. Karena searah, jadi minta antarin aja. Sekalian ngahapalin jalan," jelas Karenina.Renata mengangguk mendengar penjelasan Karenina. Karenina pun meninggalkan ibunya—yang tengah asik memasak—dan melangkah menaiki anak tangga. Dia ingin berganti pakaian dan istirahat di kamarnya.Segera, Karenina mengganti seragam dengan baju santai. Baju lengan sebahu dan celana panjang yang bermotif kelinci, membuat penampilan Karenina tampak cerah.Dia merebahkan tubuh ke ranjang. Seraya mengembuskan napas dengan kencang, Karenina teringat akan kejadian di sekolah tadi."Aku harus tahu tanya sama papa mama soal rumah ini. Engga mungkin 'kan papa asal beli rumah gitu aja. Pasti ada rumor dulu, kalo mau beli rumah angker," gumam Karenina.Kejadian di sekolah membuat Karenina sedikit sedih. Bagaimanapun, tentu saja dia tak terima disalahkan begitu saja. Dikatakan sebagai penyebab kesurupan massal, hanya karena tinggal di rumah kayu itu."TIN ... TIN ... TIN"Suara klakson mobil terdengar dari arah luar. Pertanda ayahnya Karenina telah pulang. Segera Karenina bangun dan turun ke lantai bawah."Papaaa," kata Karenina seraya memeluk ayahnya yang berada di depan pintu."Ahahaha, kenapa Karen? Baru juga ayah pulang. Ada kejadian seru di sekolah?" tanya Pak Jeremy."Gitu deh. Emang mama engga cerita?" tanya Karenina."Engga, mama cuma ngasih tahu kalo kamu udah pulang ke rumah. Soalnya sekolah pulangnya lebih awal hari ini," sahut Pak Jeremy seraya meletakkan tas ke atas sofa."Nanti aja ngobrolnya. Papa ganti baju dulu. Karen, bantuin mama nyiapin makan siang, ya. Tolong, tata piring sama gelas di meja," perintah Bu Renata."Oke, Bos," sahut Karenina dan Jeremy bersamaan.***Saat Karenina akan menaiki mobil untuk pergi ke sekolah, tampak Celline yang berjalan dari arah persimpangan."Celline, ayo sini. Kita berangkat bareng," ajak Karenina."Terima kasih, tapi ga usahlah. Engga enak, ngerepotin aja," jawab Celline malu-malu."Naik aja, engga ngerepotin, kok. Iyakan, Pa?""Iya, engga papa. Biar sampainya lebih cepet juga. Sekalian, Om mau berterima kasih sama kamu. Kamu kan yang kemarin ngantarin Karen pulang ke rumah?" kata Pak Jeremy."Engga usah pake terima kasih, Om. Kebetulan arah pulangnya searah, jadi barengan deh pulangnya bareng Karenina," sahut Celline."Yuk, Celline cepetan naik. Nanti kita telat ke sekolah loh kalo kelamaan ngobrol. Ma, kami berangkat ya," kata Karenina sambil menarik tangan Celline agar masuk ke dalam mobil.Celline terpaksa masuk ke dalam mobil. Dia duduk di kursi belakang bersama Karenina. Agak canggung, karena ini baru pertama kali bagi Celline duduk di kursi mobil mewah. Biasanya dia hanya pernah naik angkot."Terima kasih udah mau jadi teman aku, ya," kata Karenina pada Celline."Engga usah pake terima kasih, Karenina. Aku engga ngelakuin hal spesial. Ini sudah hal yang seharusnya," sahut Celline seraya membuka pintu mobil.Mobil yang dikendarai Karenina dan Celline berhenti tepat di seberang jalan area sekolah. Membuat para murid memandang ke arah mereka yang baru turun dari mobil."Lagi, harusnya aku yang berterima kasih. Aku jadi bisa naik mobil mewah. Biasanya cuma bisa naik angkot," kata Celline lagi."Mobil mewah? Itu cuma mobil biasa, kok," sahut Karenina pelan."Di sini, jarang yang punya mobil sendiri. Kecuali, orang berada," jawab Celline."Oh, iya, aku punya sesuatu buat ka—." Karenina terjatuh karena ada seseorang yang menyenggol badannya dengan keras."Makanya, jangan ngalangin jalan!""Makanya, jangan ngalangin jalan!" ketus seorang gadis berambut sebahu pada Karenina yang terduduk di tanah."Heh, jalan segini luas, ya. Kamunya aja yang badannya kebesaran, makanya ampe nyenggol-nyenggol anak orang," cibir Celline."Eh, kamu ngajak berantem?" tanya Deara—gadis berambut sebahu—dengan emosi."Udah, udah, engga papa, kok," kata Karenina seraya berdiri dengan bantuan Celline.Karenina segera menarik tangan Celline agar tak lagi melanjutkan perdebatan. Namun, Celline dengan enggan mengikuti langkah Karenina. Dia masih kesal dengan sikap Deara, yang dengan sengaja menyenggolkan badan ke arah Karenina."Harusnya kamu jangan langsung narik aku. Deara tuh kudu kena siraman rohani dulu," racau Celline."Engga usahlah. Ini baru hari kedua aku sekolah di sini. Aku engga mau cari ribut. Nanti di cap pembawa masalah, kayak kemarin," tukas Karenina."Huh, tapi kamu terlalu sabar, Karen. Mereka yang duluan cari ribut, kok," sela Celline lagi."Iya, iya. Nanti, kalo aku udah lama se
"Hah, kok bisa begini?!" pekik Karenina saat melihat kondisi kamarnya."Ada apa?" tanya Adrian dan Celline bersamaan.Mereka pun melongokkan kepala ke kamar Karenina. Tampak lemari Karenina terbuka lebar. Banyak kertas berhamburan di lantai kamarnya."Cepat periksa. Kalau-kalau ada barang yang hilang!" perintah Adrian.Karenina mengangguk, lalu memeriksa keseluruhan kamarnya. Jaga-jaga kalau ada orang yang bersembunyi di sana."Engga ada yang hilang," ujar Karenina melapor."Aneh," sela Celline, seraya mengambil kertas yang bertebaran di atas lantai."Karen, Adrian, coba kalian baca tulisan di kertas ini," pinta Celline."Kegelapan tengah menyambutmu. Tuntaskan masa lalu agar mereka melepaskanmu.""I—ini, ini ucapan bapak tua yang aku ceritain tadi. Soal masa lalu," ucap Karenina terkejut."Coba cari kertas lain. Siapa tau ada lanjutannya atau bahkan petunjuk baru," kata Adrian sambil mengambil kertas di sampingnya.Mereka pun serta merta bekerja sama mengumpulkan semua kertas yang ad
"Sepertinya, ini petunjuk yang baru!" seru Karenina senang. "Besok, aku harus memberi tahu yang lain," lanjutnya lagi.Dia pun menyimpan foto itu ke dalam dompet miliknya. Dia juga mengembalikan kertas yang diturunkannya tadi ke lemari rak atas."Lebih baik memeriksanya nanti saja. Bareng teman yang lain, biar bisa lebih teliti meriksanya," batin Karenina.*****Setelah selesai makan malam, keluarga Karenina memilih untuk menonton tv bersama. Menghabiskan waktu dengan menceritakan keseharian mereka."Pa, Ma, aku mau nanya." Karenina memulai pembicaraan."Ada apa, Sayang?" tanya Jeremy—ayah Karenina."Apa sebelum beli rumah ini, engga ada rumor apapun?"Jeremy dan Renata saling bertatapan, terkejut akan pertanyaan Karenina."Maksudnya apa? Papa kurang paham.""Pa, hampir semua murid di sekolah aku tahu kalau rumah ini katanya angker. Mereka semua ketakutan saat kubilang, aku tinggal di sini." Karenina menarik napas dalam."Engga mungkin ada asap kalo engga ada api, 'kan? Jadi, apa bener
"Aku juga ikut!""Hah, dari sejak kapan kamu di sini?" Adrian terkejut saat mengetahui siapa yang ada di belakangnya."Dari tadi," jawab gadis berambut panjang tersebut."Yah, aku sih engga masalah kamu ikutan, tapi bukannya kamu benci banget sama sesuatu yang berhubungan dengan rumah tua itu. Terus alasan kamu ikut apa?" timpal Celline."Aku rasa, aku udah salah nyalahin Karenina hanya karena dia tinggal di rumah itu. Padahal dia beluk tau seluk beluk desa ini. Lagi, aku ingin tahu kebenarannya. Soal penyihir atau apapun itu," sahut Selena."Gimana, Karen, Selena boleh ikut? Kita kan mau pakai mobil kamu?" tanya Adrian."Silakan aja. Lebih banyak orang, lebih baik," balas Karenina."Oke, kalo gitu nanti kita berempat kumpul dulu di gerbang sekolah pas jam pulang," kata Adrian.Mereka pun membubarkan diri dan meninggalkan kantin. Melangkah menuju ke kelas 11 IPA.Bel masuk kelas berbunyi, saat Karenina mendudukkan diri di bangku. Bapak Doni—guru sejarah—pun langsung masuk ke kelas dan
Adrian memperlambat laju mobil, saat mulai memasuki area halaman parkir RM Ranggi. Diparkirkannya mobil tepat di bawah pohon besar yang rindang.Mereka semua pun turun berbarengan. Mereka membiarkan barang-barang ditinggalkan di dalam bagasi. Lalu, segera melangkah menuju rumah makan Ranggi."Kita mau nyelidikinnya kayak gimana?" tanya Celline."Kita sekalian makan di sini aja. Sekaligus lihat-lihat sekeliling," sahut Adrian."Iya. Mama aku juga tadi nitip minta beliin makanan di sini. Jadi, sebisa-bisa kita aja buat nyelidikinnya," kata Karenina.Mereka pun memilih kursi yang ada di sudut rumah makan, dekat dengan tembok yang dipajangi lukisan. Setelah memilih menu yang akan dipesan, Karenina dan Adrian menuju ke meja pemesanan."Baik. Silakan ditunggu ya, Kak. Nanti pesanan akan kami antarkan," kata pegawai RM Ranggi sambil mencatat pesanan."Oh, iya, Mbak. Saya mau pesan sekalian untuk dibawa pulang," kata Karenina."Baik, Kak. Mau mesan apa?" tanya si pegawai sambil mengambil pulp
Karenina, Adrian, beserta Celline dan Selena menghabiskan makanan mereka. Sambil menunggu pesanan Karenina yang masih dibuatkan, Adrian mencoba untuk melihat ke sekeliling."Aku mau lihat-lihat ke sana dulu," kata Adrian seraya berdiri meninggalkan tempat duduknya."Aku mau ke toilet, ada yang bisa temenin engga?" tanya Selena."Aku juga mau ke toilet. Kamu mau ikut, Karen?" ujar Celline."Engga. Aku tunggu di sini aja. Nanti Adrian bingung nyariin kita, kalo semuanya pada engga ada," sahut Karenina menolak.Celline mengangguk, segera dia dan Selena pergi ke toilet yang ada di area belakang. Tepat bersebelahan dengan area dapur."Cell, selama kamu temenan sama Karenina, ada yang ganggu kamu, engga? Kayak gangguan semacam hal tak kasat mata?" tanya Selena sambil mencuci tangannya."Engga ada. Yang ngeganggu cuma si Deara aja, noh. Beberapa waktu ini, tu anak nongol terus buat ganggu aktivitas kami," jawab Celline."Deara, ya? Setahuku sih, dia engga tertarik sama sekali dengan penyihir
Adrian menghidupkan mesin mobil. Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan halaman parkir RM Ranggi.Dia pun melajukan mobil menuju sebuah taman yang ada di kota Sinsani Raya. Setelah sampai, mereka semua pun memilih duduk di bangku panjang dekat air mancur."Apa langkah kita selanjutnya?" tanya Celline."Seperti yang aku bilang di rumah makan tadi, kita besok ke perpus buat baca sejarah Pulau Rangit. Kita cari tahu soal desa Rewangi. Juga, kita cari tahu tentang rumah yang terbakar tersebut. Pasti ada kejadian besar, kalau sampai dijadikan sebuah lukisan," tutur Adrian."Dengar-dengar, zaman dulu tuh emang ada kejadian kebakaran besar, 'kan? Tapi, engga ada korban jiwa sama sekali," sela Selena."Oh, iya, saat kalian ke toilet, gimana suasananya? Aman-aman aja?" tanya Adrian."Aman. Padahal jalan menuju ke toilet itu sebelahan ama dapur. Tapi, kenapa kami engga lihat sosok yang dilihat Karenina?" tanya Celline penasaran."Mungkin sosok itu cuma nampakin diri ke Karenina. Soalnya, pas a
"Celline, ini buku punya kamu, ya?""Bukan. Emang kenapa?" tanya balik Celline pada Selena."Ini loh, tadi perasaan engga ada buku di sini. Sekarang tiba-tiba ada buku, kirain buku punyamu," balas Selena."Mana bukunya?" tanya Karenina sambil membalikkan badan mengulurkan tangan pada Selena.Selena pun memberikan buku yang ada di tangannya. Sebuah buku bersampul hitam, dengan kertas yang terlihat kuning kusam."Ini juga bukan punyamu, Dri? Perasaan papaku juga engga punya buku begini. Jadi, agak aneh tiba-tiba ada di sini, sih," ujar Karenina.Adrian menoleh sebentar untuk melihat buku yang ada di tangan Karenina. Buku yang cukup besar, tidak mungkin keberadaannya tidak disadari jika ada semenjak dari awal keberangkatan."Bukan punyaku. Mungkin ada seseorang yang menaruhnya, atau buku itu sebuah petunjuk baru," ujar Adrian sambil fokus menyetir mobil."Coba buka bukunya, Karen," perintah Celline."Engga