"Makanya, jangan ngalangin jalan!" ketus seorang gadis berambut sebahu pada Karenina yang terduduk di tanah.
"Heh, jalan segini luas, ya. Kamunya aja yang badannya kebesaran, makanya ampe nyenggol-nyenggol anak orang," cibir Celline."Eh, kamu ngajak berantem?" tanya Deara—gadis berambut sebahu—dengan emosi."Udah, udah, engga papa, kok," kata Karenina seraya berdiri dengan bantuan Celline.Karenina segera menarik tangan Celline agar tak lagi melanjutkan perdebatan. Namun, Celline dengan enggan mengikuti langkah Karenina. Dia masih kesal dengan sikap Deara, yang dengan sengaja menyenggolkan badan ke arah Karenina."Harusnya kamu jangan langsung narik aku. Deara tuh kudu kena siraman rohani dulu," racau Celline."Engga usahlah. Ini baru hari kedua aku sekolah di sini. Aku engga mau cari ribut. Nanti di cap pembawa masalah, kayak kemarin," tukas Karenina."Huh, tapi kamu terlalu sabar, Karen. Mereka yang duluan cari ribut, kok," sela Celline lagi."Iya, iya. Nanti, kalo aku udah lama sekolah di sini, baru aku yang cari ulah duluan," goda Karenina."Engga gitu juga kali." Celline tertawa mendengar sahutan Karenina.Mereka berdua berjalan di lorong sekolah, menuju ke kelas 11 IPA. Tak henti membicarakan tentang Deara, yang pagi-pagi telah mencari masalah.Saat tiba di depan kelas, segera Karenina dan Celline melangkah menuju bangku mereka. Belum sempat meletakkan tas, mereka langsung dicegat oleh Selena."Jadi, sudah sadar kalau rumahmu itu berhantu?" tanya Selena pada Karenina."Engga ada hantu-hantuan. Di rumahku yang kata kalian "angker" itu masih aman-aman aja," sahut Karenina sambil duduk di bangkunya."Masih belum aja. Tunggu aja, pasti bakalan sama kaya yang dulu-dulu," cibir Selena."Apa maksud kamu?" tanya Karenina seraya memegang tangan Selena."Engga usah pegang-pegang, ya. Yah, aku cuma wanti-wanti aja. Soalnya kamu baru datang ke desa ini. Banyak hal yang engga kamu tau. Contohnya, soal rumah kamu yang bekas penyihir biadab itu," tutur Selena. Segera dia berlalu meninggalkan Karenina, yang berusaha menangkap maksud dari perkataannya."Kaya yang dulu-dulu? Berarti, sebelum kami, ada yang pernah menempati rumah kayu itu, dong?" gumam Karenina."Celline, emangnya sebelum keluarga aku, ada yang pernah nempatin rumahku itu?" tanya Karenina cepat."Kurang terlalu tahu, sih. Tapi, kayaknya beberapa tahun yang lalu emang pernah ada. Cuma tinggalnya engga lama," jawab Celline."Jangan terlalu dipikirin apa yang dibilang Selena. Selama kamu nyaman-nyaman aja tinggal di situ," lanjut Celline lagi.Karenina mengangguk mendengar perkataan Celline. Namun, dia masih tetap saja penasaran dengan rahasia tentang rumahnya. Mengapa banyak yang takut, bahkan benci dengan rumah kayu yang baru ditinggalinya beberapa hari itu?Setelah jam pelajaran pertama usai, Celline mengajak Karenina pergi ke kantin. Karena hari sebelumnya ada kejadian heboh, Karenina tak sempat berkeliling sekolah."Nah, di sini tuh ada 3 kantin, Karen. Yang deket ruang kantor, yang ini, sama yang di samping kelas 11 IPS. Terus, makanan yang paling enak tu di sini, harga murce, porsi banyak," tutur Celline bak seorang sales.Karenina terus mengikuti langkah Celline, yang terus menjelaskan tentang makanan favorit di situ. Dia pun memesan nasi bungkus dan es teh, sesuai rekomendasi Celline tentunya."Jadi, gimana rasa makanannya?" tanya Celline."Enak. Aku baru pertama kali makan nasi bungkus yang warna nasinya kuning begini," sahut Karenina."Ini namanya nasi kuning, makanya warnanya kuning. Asal warnanya dari kunyit yang dimasak bersama si beras," celetuk Adrian seraya duduk di samping Karenina.Karenina menatap kehadiran Adrian yang tiba-tiba bergabung ke meja mereka. Sedikit ada perasaan tak nyaman, takut Selena marah seperti hari kemarin."Oh begitu. Lalu, kenapa kamu duduk di sini? Bukannya masih banyak meja kosong di kantin ini, ya?" kata Karenina."Kenapa memangnya? Kamu merasa engga nyaman?" Adrian balik bertanya, alih-alih menjawab pertanyaan Karenina."Bukannya gitu, sih. Takutnya, ada yang ngamuk ke aku kayak kemarin. Pacar kamu kan galak," cetus Karenina sambil memakan nasi kuning miliknya."Pacar? Maksud kamu Selena? Dia itu bukan pacar, tapi sepupu aku," sanggah Adrian cepat."Cie cie, yang langsung jelasin statusnya," ledek Celline, yang sedari tadi diam saat Adrian datang."Apaan sih, orang cuma jawab pertanyaan, kok," kilah Adrian tak mau kalah."Iya deh, terus kenapa kamu ke sini? Biasanya kan bareng Selena atau sama anak cowok begajulan," tanya Celline."Yah, aku mau bicara sama Karenina," sahut Adrian."Bicara soal apa?" tanya Karenina dan Celline berbarengan."Soal rumah kamu, Karenina. Aku mau menyelidiki soal cerita yang beredar tentang rumahmu," ungkap Adrian serius."Yah, silakan aja, sih. Tapi, buat apa kamu mau tau tentang semua cerita itu?" tanya Celline penasaran."Sebenarnya banyak desas desus tentang rumah kayu tua itu. Tapi, kalian pasti pernah dengar tentang penyihir dari Selena, 'kan? Hal itu sepertinya berkaitan besar dengan masa lalu desa ini," kata Adrian."Aku juga ingin membantu Selena lepas dari rasa kebenciannya tentang penyihir dan rumahmu itu, Karenina. Jadi, apa kalian mau ikut untuk menyelidikinya bersama denganku?" sambung Adrian lagi."Tentu aku harus ikut. Aku engga mau disalahkan untuk sesuatu yang engga aku tahu," sahut Karenina."Kalau kamu, ikut kan, Cell?" harap Adrian."Baiklah. Toh, harus ada yang nemenin Karenina juga, kan. Lagian, aku mau tau asal muasal dari kabar burung yang beredar," balas Celline bersemangat."Oke, kalau gitu nanti kukabarin lagi soal rencana selanjutnya," ujar Adrian seraya berdiri dan meninggalkan meja.Sedangkan Karenina dan Celline kembali melanjutkan acara makan pagi menjelang siang mereka. Tak menghiraukan pandangan tak suka dari beberapa siswa yang berada di belakang mereka.***"Ada kejadian aneh engga selama kamu baru datang ke desa ini?" tanya Adrian."Kejadian aneh, ya? Ada sih, tapi bukan di rumah, tapi di rumah makan gitu," sahut Karenina."Rumah makan? Apa nama tempatnya?" tanya Adrian."Aku lupa nama tempatnya. Yang jelas, dekat pusat perbelanjaan. Interiornya unik. Modern tapi tetep kerasa nuansa pedesaan. Ah, meja dan kursinya itu kayu yang diukir gitu, terus banyak lukisan yang di tempel di dindingnya" jelas Karenina."Engga salah lagi, itu pasti RM Ranggi. Lalu, kejadian apa yang kamu dapati di situ?" tanya Adrian lagi."Suasana di sana ga enak menurutku. Sepenglihatanku, di rumah makan itu sepi, paling cuma ada 1 atau 2 pembeli, tapi menurut mama dan papaku malah banyak orang. Bahkan menurut si pegawai, mereka sampai keteteran karena banyak pelanggan datang hari itu.""Lalu?" tanya Celline pula pada Karenina."Aku melihat sosok berwajah pucat dari arah dapur. Setelah itu, aku cepet-cepet ngajak orang tuaku buat pulang. Tapi, engga lama dalam perjalanan pulang, kami malah mengalami kecelakaan," ungkap Karenina."Kecelakaan? Berarti setelah kecelakaan, kamu tetap masuk ke sekolah gitu?" Celline terkejut dengan penuturan Karenina."Iya. Toh, engga ada cedera berat juga. Lagi, saat kecelakaan itu, aku ketemu sama bapak tua berbaju aneh gitu," terang Karenina lagi.Karenina seraya mengingat-ingat kejadian di hari pertamanya datang ke desa Sinsani tersebut. Berusaha me-reka adegan kejadian kecelakaan itu di kepalanya.Seingatnya, lelaki tua itu mengatakan sesuatu yang aneh. Lalu, tanpa menjelaskan apapun, bapak tersebut pergi menghilang begitu saja. Bahkan, warga tak tahu menahu dengan kehadirannya."Bapak itu seperti memakai baju pendekar zaman dulu, gitu. Kalau kalian pernah nonton film pendekar pasti tahu bentuknya gimana. Terus, dia bicara sesuatu yang aku engga ngerti maksudnya apa," sambung Karenina."Dia ngomong apa emangnya?" tanya Celline."Duh, aku lupa. Kayak nyebut soal masa lalu gitu. Katanya, bakal ada banyak teror. Nanti kalo ingat, pasti aku bilang, deh," jelas Karenina seraya mengusap belakang lehernya yang terasa merinding."Kayaknya ucapan bapak pendekar itu petunjuk deh buat penyelidikan kita. Nanti, coba diingat-ingat lagi ya, Ren," pinta Adrian."Oke," sahut Karenina.Mereka tengah berdiskusi serius di rumah Karenina. Lebih tepatnya, di gazebo belakang rumah Karenina. Sehingga, tak menyadari kedatangan ibu Karenina yang membawakan mereka suguhan."Duh, serius banget. Ayo dimakan dulu cemilannya," pinta Bu Renata, seraya meletakkan minuman beserta beberapa cemilan."Terima kasih, Tante," sahut Adrian dan Celline bersamaan."Sama-sama. Yaudah, lanjutin aja diskusinya. Tante ke dalam dulu, ya," pamit Bu Renata.Setelah ibu Karenina masuk ke dalam rumah. Segera, Adrian melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong tadi."Lalu, setelah kejadian ketemu kakek itu, apa ada kejadian aneh lagi?" tanya Adrian memulai diskusi."Kalau dibilang aneh sih, mungkin agak ke horor kali ya. Kejadiannya itu malam. Setelah kecelakaan kan kami langsung pulang ke rumah. Nah, pas aku lagi istirahat, ada yang ngetuk pintu kamar, tapi pas aku buka, engga ada siapa-siapa. Terus, pas lagi ngantuk gitu, kayak ada yang ngetuk dari dalam lemari. Emm ... terus sekitar tengah malam lah, ada yang ngetuk pintu lagi. Lagi-lagi, engga ada orang. Kukira mama atau papa aku kan, ternyata engga, mereka jam segitu ya lagi tidur kata mereka," ungkap Karenina."Suara ketukan di pintu, tapi engga ada orang yang ngetuk." Adrian tampak berpikir serius.Jarinya mengetuk-ngetuk meja sesekali, tanda sedang berpikir keras."Jangan-jangan, ini malah pertanda atau petunjuk. Soal teror seperti kata bapak tua itu," cetus Celline."Bisa jadi," sahut Karenina."Suara ketukan itu selalu ada setiap malam atau engga?" tanya Adrian pula."Engga, cuma di malam pertama aku tinggal di sini. Setelah itu, belum ada kejadian lagi," terang Karenina."Ah, kalo cuma segini. Jadi, bingung buat lanjutin penyelidikan kita," kata Celline lemas."Kayaknya, kita harus mulai nanya ke orang sekitar sini, deh. Buat nyari tau soal cerita atau mitos soal rumah ini. Soalnya selama kita ngobrol di sini, suasananya aman-aman aja. Engga ada gangguan apapun," ujar Adrian memberi ide."Tapi, mulai dari mana? Setahuku, orang-orang sini agak sensitif kalau membahas soal rumah ini atau masa lalu desa ini. Entah takut kena kutukan atau malah benci tragedi yang pernah terjadi," sela Celline."Kita tanya ke orang terdekat dulu aja. Mama dan papa Karenina, misalnya. Siapa tahu, mereka dapat kejadian aneh juga. Atau pas waktu mau beli rumah ini, dikasih tahu soal tragedi yang pernah terjadi dulu," sanggah Adrian cepat."Boleh dicoba itu. Nanti aku coba tanya mama dan papaku, deh. 'Kan aneh, kalau engga dapat peringatan apapun, secara kayaknya seluruh siswa di kelas kita aja pada takut pas denger di mana rumah aku. Angker kata mereka," timpal Karenina pula.Adrian dan Celline mengangguk bersamaan, setuju dengan pernyataan Karenina. Karena memang teman sekelas mereka langsung ketakutan, saat mendengar di mana rumah Karenina. Apalagi saat ada kesurupan massal, Selena langsung menuduh Karenina sebagai penyebabnya, karena tinggal di rumah kayu ini.Setelah mencapai kesepakatan, mereka pun segera menyelesaikan tugas kerja kelompok. Kebetulan, mereka ditunjuk dalam 1 kelompok oleh Bapak Doni—guru sejarah—. Adrian menggunakan kesempatan itu untuk memulai penyelidikan, dimulai dengan datang ke rumah Karenina.Sesekali mereka makan cemilan dan bersenda gurau. Tak merasakan suasana angker seperti yang dikatakan teman-teman mereka di kelas. Atau semua cerita itu hanya kebohongan untuk menakut-nakuti mereka?"Karena tugas kelompok udah selesai, kayaknya aku pulang sekarang deh. Udah sore soalnya," kata Adrian."Aku juga. Takutnya kesorean banget, nanti dicariin orang rumah," ucap Celline seraya merapikan buku miliknya."Kalau ada apa-apa, kasih tahu kami, ya. Langsung cerita di grup WA kita," pesan Adrian pada Karenina.BRAAKTerdengar sesuatu yang dibanting dari dalam rumah. Segera Adrian, beserta Karenina dan Celline berlari masuk ke dalam rumah. Namun, semua terlihat lengang. Tak ada tanda-tanda barang yang hancur karena dibanting.Segera Karenina mencari ibunya. Namun, tak ada siapapun di rumah tersebut, kecuali mereka bertiga. Karenina pun mengajak Adrian dan Celline untuk memeriksa kamarnya. Takut kalau-kalau ada pencuri atau orang asing masuk ke dalam rumahnya."Hah, kok bisa begini?!" pekik Karenina saat melihat kondisi kamarnya."Hah, kok bisa begini?!" pekik Karenina saat melihat kondisi kamarnya."Ada apa?" tanya Adrian dan Celline bersamaan.Mereka pun melongokkan kepala ke kamar Karenina. Tampak lemari Karenina terbuka lebar. Banyak kertas berhamburan di lantai kamarnya."Cepat periksa. Kalau-kalau ada barang yang hilang!" perintah Adrian.Karenina mengangguk, lalu memeriksa keseluruhan kamarnya. Jaga-jaga kalau ada orang yang bersembunyi di sana."Engga ada yang hilang," ujar Karenina melapor."Aneh," sela Celline, seraya mengambil kertas yang bertebaran di atas lantai."Karen, Adrian, coba kalian baca tulisan di kertas ini," pinta Celline."Kegelapan tengah menyambutmu. Tuntaskan masa lalu agar mereka melepaskanmu.""I—ini, ini ucapan bapak tua yang aku ceritain tadi. Soal masa lalu," ucap Karenina terkejut."Coba cari kertas lain. Siapa tau ada lanjutannya atau bahkan petunjuk baru," kata Adrian sambil mengambil kertas di sampingnya.Mereka pun serta merta bekerja sama mengumpulkan semua kertas yang ad
"Sepertinya, ini petunjuk yang baru!" seru Karenina senang. "Besok, aku harus memberi tahu yang lain," lanjutnya lagi.Dia pun menyimpan foto itu ke dalam dompet miliknya. Dia juga mengembalikan kertas yang diturunkannya tadi ke lemari rak atas."Lebih baik memeriksanya nanti saja. Bareng teman yang lain, biar bisa lebih teliti meriksanya," batin Karenina.*****Setelah selesai makan malam, keluarga Karenina memilih untuk menonton tv bersama. Menghabiskan waktu dengan menceritakan keseharian mereka."Pa, Ma, aku mau nanya." Karenina memulai pembicaraan."Ada apa, Sayang?" tanya Jeremy—ayah Karenina."Apa sebelum beli rumah ini, engga ada rumor apapun?"Jeremy dan Renata saling bertatapan, terkejut akan pertanyaan Karenina."Maksudnya apa? Papa kurang paham.""Pa, hampir semua murid di sekolah aku tahu kalau rumah ini katanya angker. Mereka semua ketakutan saat kubilang, aku tinggal di sini." Karenina menarik napas dalam."Engga mungkin ada asap kalo engga ada api, 'kan? Jadi, apa bener
"Aku juga ikut!""Hah, dari sejak kapan kamu di sini?" Adrian terkejut saat mengetahui siapa yang ada di belakangnya."Dari tadi," jawab gadis berambut panjang tersebut."Yah, aku sih engga masalah kamu ikutan, tapi bukannya kamu benci banget sama sesuatu yang berhubungan dengan rumah tua itu. Terus alasan kamu ikut apa?" timpal Celline."Aku rasa, aku udah salah nyalahin Karenina hanya karena dia tinggal di rumah itu. Padahal dia beluk tau seluk beluk desa ini. Lagi, aku ingin tahu kebenarannya. Soal penyihir atau apapun itu," sahut Selena."Gimana, Karen, Selena boleh ikut? Kita kan mau pakai mobil kamu?" tanya Adrian."Silakan aja. Lebih banyak orang, lebih baik," balas Karenina."Oke, kalo gitu nanti kita berempat kumpul dulu di gerbang sekolah pas jam pulang," kata Adrian.Mereka pun membubarkan diri dan meninggalkan kantin. Melangkah menuju ke kelas 11 IPA.Bel masuk kelas berbunyi, saat Karenina mendudukkan diri di bangku. Bapak Doni—guru sejarah—pun langsung masuk ke kelas dan
Adrian memperlambat laju mobil, saat mulai memasuki area halaman parkir RM Ranggi. Diparkirkannya mobil tepat di bawah pohon besar yang rindang.Mereka semua pun turun berbarengan. Mereka membiarkan barang-barang ditinggalkan di dalam bagasi. Lalu, segera melangkah menuju rumah makan Ranggi."Kita mau nyelidikinnya kayak gimana?" tanya Celline."Kita sekalian makan di sini aja. Sekaligus lihat-lihat sekeliling," sahut Adrian."Iya. Mama aku juga tadi nitip minta beliin makanan di sini. Jadi, sebisa-bisa kita aja buat nyelidikinnya," kata Karenina.Mereka pun memilih kursi yang ada di sudut rumah makan, dekat dengan tembok yang dipajangi lukisan. Setelah memilih menu yang akan dipesan, Karenina dan Adrian menuju ke meja pemesanan."Baik. Silakan ditunggu ya, Kak. Nanti pesanan akan kami antarkan," kata pegawai RM Ranggi sambil mencatat pesanan."Oh, iya, Mbak. Saya mau pesan sekalian untuk dibawa pulang," kata Karenina."Baik, Kak. Mau mesan apa?" tanya si pegawai sambil mengambil pulp
Karenina, Adrian, beserta Celline dan Selena menghabiskan makanan mereka. Sambil menunggu pesanan Karenina yang masih dibuatkan, Adrian mencoba untuk melihat ke sekeliling."Aku mau lihat-lihat ke sana dulu," kata Adrian seraya berdiri meninggalkan tempat duduknya."Aku mau ke toilet, ada yang bisa temenin engga?" tanya Selena."Aku juga mau ke toilet. Kamu mau ikut, Karen?" ujar Celline."Engga. Aku tunggu di sini aja. Nanti Adrian bingung nyariin kita, kalo semuanya pada engga ada," sahut Karenina menolak.Celline mengangguk, segera dia dan Selena pergi ke toilet yang ada di area belakang. Tepat bersebelahan dengan area dapur."Cell, selama kamu temenan sama Karenina, ada yang ganggu kamu, engga? Kayak gangguan semacam hal tak kasat mata?" tanya Selena sambil mencuci tangannya."Engga ada. Yang ngeganggu cuma si Deara aja, noh. Beberapa waktu ini, tu anak nongol terus buat ganggu aktivitas kami," jawab Celline."Deara, ya? Setahuku sih, dia engga tertarik sama sekali dengan penyihir
Adrian menghidupkan mesin mobil. Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan halaman parkir RM Ranggi.Dia pun melajukan mobil menuju sebuah taman yang ada di kota Sinsani Raya. Setelah sampai, mereka semua pun memilih duduk di bangku panjang dekat air mancur."Apa langkah kita selanjutnya?" tanya Celline."Seperti yang aku bilang di rumah makan tadi, kita besok ke perpus buat baca sejarah Pulau Rangit. Kita cari tahu soal desa Rewangi. Juga, kita cari tahu tentang rumah yang terbakar tersebut. Pasti ada kejadian besar, kalau sampai dijadikan sebuah lukisan," tutur Adrian."Dengar-dengar, zaman dulu tuh emang ada kejadian kebakaran besar, 'kan? Tapi, engga ada korban jiwa sama sekali," sela Selena."Oh, iya, saat kalian ke toilet, gimana suasananya? Aman-aman aja?" tanya Adrian."Aman. Padahal jalan menuju ke toilet itu sebelahan ama dapur. Tapi, kenapa kami engga lihat sosok yang dilihat Karenina?" tanya Celline penasaran."Mungkin sosok itu cuma nampakin diri ke Karenina. Soalnya, pas a
"Celline, ini buku punya kamu, ya?""Bukan. Emang kenapa?" tanya balik Celline pada Selena."Ini loh, tadi perasaan engga ada buku di sini. Sekarang tiba-tiba ada buku, kirain buku punyamu," balas Selena."Mana bukunya?" tanya Karenina sambil membalikkan badan mengulurkan tangan pada Selena.Selena pun memberikan buku yang ada di tangannya. Sebuah buku bersampul hitam, dengan kertas yang terlihat kuning kusam."Ini juga bukan punyamu, Dri? Perasaan papaku juga engga punya buku begini. Jadi, agak aneh tiba-tiba ada di sini, sih," ujar Karenina.Adrian menoleh sebentar untuk melihat buku yang ada di tangan Karenina. Buku yang cukup besar, tidak mungkin keberadaannya tidak disadari jika ada semenjak dari awal keberangkatan."Bukan punyaku. Mungkin ada seseorang yang menaruhnya, atau buku itu sebuah petunjuk baru," ujar Adrian sambil fokus menyetir mobil."Coba buka bukunya, Karen," perintah Celline."Engga
"Temen-temen, soal buku yang kemarin itu. Emang bener bukan punya papa aku," kata Karenina memulai pembicaraan."Terus, kemarin bukunya kubersihin pake tissu basah karena berdebu. Dan, coba kalian lihat apa yang aku temuin," lanjut Karenina sambil meletakkan buku bersampul hitam ke atas meja."Catatan Reanda? Padahal kemarin kayaknya engga ada tulisan apapun, deh. Walau berdebu, kayaknya bakalan tetep keliatan kalo ada tulisannya," kata Selena."Yah, aku juga bingung," sahut Karenina."Sebaiknya sekarang kita ke perpus, mumpung jam istirahat masih lama. Tetep bawa buku catatan ini. Siapa tau nanti ada hubungannya juga," perintah Adrian.Karenina menggangguk mendengar ucapan Adrian. Dipeluknya erat buku catatan tersebut, saat membawanya ke perpustakaan.Mereka pun memilih meja yang ada di sudut perpustakaan. Agar lebih tenang dan tidak ada yang mengganggu, usul Celline.Adrian mengambil buku sejarah Pulau Rangit. Dibacanya perlahan lembar per lembar buku tersebut. Sampai menemukan sebu