Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
“Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
"Tante jahat! Huhuhu... sakit...." Gia menutup mulutnya. Matanya membulat tak percaya melihat seorang anak laki-laki jatuh terduduk di depannya. Mata anak itu menggenang penuh linangan air mata. Es krim di tangannya sudah meluber di lantai mall. Gia berdesis. Dia memang salah karena menelepon sambil berjalan di tengah keramaian mall, tapi anak ini juga salah karena sudah lari-larian di mall! "Ih, bukannya dibantuin, ya." "Kasian banget adeknya." "Aduh... udah nangis begitu, gak minta maaf." Mata Gia mengedar, lalu meringis. Padahal jelas-jelas anak itu yang salah, tapi pengunjung mall tampaknya tetap menyalahkannya. Mendapati seorang anak kecil jatuh menabrak wanita dewasa, sudah pasti yang salah wanita itu. "Dek–" Gia berjongkok. "Huaaaa... es krim aku. Hiks… hiks jatoh. Huaaaa… Tante harus ganti! Pokoknya ganti. Huaaa... aku mau es krim baru." anak laki-laki itu menangis meraung-raung. "Ng…. Tante, minta maaf ya."Sejujurnya Gia sangat gugup sekarang. Dia tidak pernah berin
Gia bangun di pagi hari dengan mata sembab dan hidung merah. Ia menatap pantulan kaca yang memperlihatkan betapa acak-acakannya dia. Rambut panjangnya yang berwarna caramel berantakan seperti Singa. Gia menyisir dengan pandangan kosong. Ingatannya memutar kembali kejadian kemarin ketika dia bertemu dengan Genta, juga ketika dia bercerita pada sahabatnya–Moren, perihal Genta dan anak laki-lakinya. Moren bilang dia harus menghapus semua rasa cintanya kepada Genta. Semuanya. Gia mendengus. Apakah mudah menghilangkan perasaan yang sudah tertanam lebih dari 10 tahun?Tapi sepertinya, Moren punya firasat kalau sahabatnya sejak SMA itu akan melakukan segala cara untuk merebut Genta dari istrinya."Jodoh itu sudah ada yang atur, Gi. Mungkin ini memang saatnya kamu lupain Genta. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari Genta. Kamu berhak untuk dicintai." Tapi bagaimana kalau yang Gia inginkan hanya Genta?! Moren tidak pernah tahu, tidak pernah. Gia menghabiskan ba
Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis. Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya. Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.‘Itu hanya mimpi, kan?’Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup. "Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?" Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam. Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya. "Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samp