Share

3. Sarapan Bersama

Author: Retraza
last update Last Updated: 2023-02-13 15:46:37

Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis.

Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya.

Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.

‘Itu hanya mimpi, kan?’

Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup.

"Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?"

Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.

‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam.

Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya.

"Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samping. Ditatapnya seorang anak laki-laki dengan kening mengkerut.

"Kamu?"

"Aku, San. Sandrio anak Papa, yang kemarin Tante ajak makan es krim."

Gia tidak bersuara.

Mata San membelalak. ‘Jangan-jangan benar lagi kalau tante Gia lupa ingatan? Yah… gimana dong? Padahal kan mereka baru berkenalan.’ Batin San berteriak heboh melihat reaksi Gia.

"Papaaaa… Tante Gia masa lupa sama aku! Papa ini gimana? Ayo, kita bawa tante Gia ke rumah sakit sekarang!" San berteriak nyaring.

Gia memejamkan mata. ‘Ya Tuhan… semua ini bukan mimpi ternyata. San, Genta, rumah baru, dan tetangga baru. Semua ini nyata.’

Dia tidak berhalusinasi ketika tadi melihat San dan Genta berdiri di seberang rumahnya.

Langkah kaki yang mendekat, berhenti di sebelah Gia. Genta. Gia mendesis dalam hati. Bagaimana cara dia bangun tanpa harus bertemu laki-laki ini?

"Dia gak lupa ingatan, Sayang," suara berat Genta membuat Gia gemetar. "Pura-pura pingsan itu keahlian tante Gia. Nanti juga dia bangun sendiri."

Astaga... kenapa Genta malah membahas kelakuan memalukan Gia di masa lalu, sih?

"Papa jangan gitu. Tante Gia beneran pingsan."

Gia dalam hati berseru girang mendengar pembelaan San. ‘Hah, anak sama bapak mendingan anak!’

"Papa coba Tante Gia dikasih nafas buatan. Aku takut tante Gia kenapa-napa, Pa."

‘Hah, apaan? Nafas buatan?!’

‘Wahai San yang polos, Kenapa kamu membuat posisi tante Gia tersudutkan?!’ Gia menggerutu dalam hati, sambil menimbang apa yang harus dia lakukan.

Gia mengulum bibirnya. Mau bangun tapi malu. Kalau gak bangun, nanti dikasih nafas buatan sama Genta? Yang benar saja! Mana mau Genta melakukan hal seperti itu.

Genta menunduk. Mendekat ke telinga Gia dan membisikkan sesuatu yang dapat Genta pastikan putra kecilnya tidak akan mendengar.

"Kamu bangun atau mau saya siram pake kuah sup? Mumpung masih panas." Suara Genta membuat leher Gia berdesir.

Apa-apaan ini? Yang disebelah Gia itu Genta. Bukan hantu. Kenapa Gia malah merinding?

Gia membuka mata takut-takut. Genta sudah kembali berdiri. San langsung bersorak girang melihat ‘teman’ barunya sadar.

"Tante Gia, ingat gak aku siapa?" San langsung memposisikan dirinya tepat di depan wajah Gia.

Gia tertawa geli. "Ingat. Tante ingat kamu siapa."

"Benar?" mata San berbinar-binar.

"Kalau ini siapa? Tante ingat?" bocah laki-laki yang memakai kaus bergambar Monster Inc itu menunjuk ayahnya.

"Papa nya San," jawaban Gia membuat senyum San bertambah lebar.

"Yey! Tante ingat kita!"

Pluk!

Gia melotot saat San memeluk tubuhnya. "San takut Tante lupa sama San. Tante jangan lupain San, ya."

Gia menelan ludah dengan susah payah. Kacau. Kenapa San harus berbicara seperti itu, sih?

Bukannya Gia tidak mau berteman dengan San, tapi.. Ya Tuhan anak ini anaknya Genta!

Sanggupkah Gia terus berteman dengan anak dari laki-laki yang ia cintai?

👠👠

San mengajak Gia untuk sarapan bersama di rumahnya. Gia baru tahu kalau saat pingsan tadi dia dibawa ke rumah San.

Walau San tidak mengatakannya, tapi membayangkan Genta membopongnya membuat pipi Gia bersemu. Ternyata masih ada sedikit kepedulian laki-laki itu untuknya.

‘Ya ampun Gia, sadar! Genta itu suami orang. Enggak boleh, aku harus move on!’ Gia geleng-geleng kepala.

"Tante kenapa? Masih pusing, ya?" tanya San khawatir.

Gia menatap anak itu lembut. "Nggak. Tante nggak apa-apa kok."

San ngangguk-ngangguk. "Kalau Tante ikut sarapan bareng kita, pasti Tante gak akan pusing lagi."

Tidak berapa lama kemudian, Genta memasuki ruang makan dengan membawa semangkuk besar sup ayam yang masih panas.

Sesuai perkataan pria itu tadi. Gia meneguk ludah melihat tampilan sederhana Genta. Laki-laki itu hanya memakai kaus polos berwarna abu-abu yang menutupi tubuh atletisnya dengan celana santai sebetis.

"Ngapain kamu lihat-lihat?" gertak Genta.

Gia menggeleng panik. "Nggak ngelihatin kok."

Sekarang di meja makan sudah terisi penuh dengan nasi, sup, bakwan udang, dan tumis kangkung.

"Tante jangan ngelamun. Dimakan dong makanannya," seru San.

Gia mengangguk pelan. Diambilnya sedikit nasi juga lauk pauk yang ada. Begitu suapan pertama masuk ke dalam mulut, Gia terhenyak. Seperti memakan masakan ibunya.

Siapa pun yang memasak makanan ini, pasti dia seorang koki andalan keluarga. 'Mungkin istri mas Genta' Gia yakin itu. Tapi sesuatu mengganjal perasaannya.

Di pagi hari, kala setiap keluarga seharusnya menghabiskan waktu bersama untuk sarapan dan bercengkrama, kenapa hanya Genta dan San yang ada di meja makan? Ke mana istri Genta? Apa karena ada Gia, jadi dia tidak ingin bergabung?

Alis Gia menyatu bingung. Teka-teki ini membuatnya tertarik.

"Enak. Istri mas Genta pintar masak ya," puji Gia.

"Ini masakan Papa, Tan. Aku kemarin udah cerita belum kalau Papa jago masak?" celoteh San.

Gia terdiam. Ekspresinya seketika berubah. ‘Jadi ini masakan Genta?’

"Waw, aku gak nyangka mas Genta jago masak." Gia tersenyum lebar.

Bunyi dentingan sendok yang diletakkan cukup keras, membuat Gia tersentak.

"Berhenti panggil saya Mas. Kamu pikir kamu itu siapa?" mata Genta menghunus tajam Gia.

Kalau saja tatapan bisa menghilangkan nyawa seseorang, mungkin Gia sudah terkubur di tanah sekarang.

"Panggil Papa aja, Tante. Biar sama kayak San," celetuk San polos.

Gia melirik Genta dari balik bulu matanya. Lalu tiba-tiba wanita itu tergelak. Geli sekali, sampai matanya berair.

‘Anak Mas Genta kenapa gemesin amat sih.’ Gia membatin. Setidaknya ucapan polos San dapat menghibur Gia yang bad mood karena ayah anak itu.

"Papa Genta, begitu?" tanya Gia menatap San.

San mengangguk senang.

Entah mengapa ide jahil terbit di otak Gia. "Papa Genta, Papa Genta… bagi kakak Gia duit dong."

"Kamu bukan anak saya."

"Hahaha… aduh ya ampun." Gia geleng-geleng kepala. Lucu sekali rasanya bisa meledek Genta.

"Ya udah Pa, angkat aja Tante Gia jadi anak papa."

‘Eh? ‘

"Nggak bisa dong, Sayang," tutur Gia lembut.

"Emangnya kenapa, Tante?" mata San mengerjap bingung.

‘Soalnya Tante maunya jadi istri ayah kamu. Bukan jadi anak. Astaghfirullah!’ Gia menyebut dalam hati.

"Soalnya dia udah terlalu tua buat jadi anak-anak. Dia itu Tante-Tante!" ketus Genta dengan wajah datarnya.

Gia memberengut.

"Oh, begitu ya, Pa," San mengangguk sok paham. Lalu anak itu berdiri dari kursinya.

"Pa, aku udah selesai makan. Mau cuci tangan dulu, ya."

"Iya, hati-hati, Nak."

San mengacungkan kedua jempolnya. Interaksi ayah dan anak itu tidak lepas dari pandangan Gia. San terlihat sangat dekat dengan Papa nya.

Sekarang pertanyaan Gia, di mana ibu San? Kenapa dia tidak bergabung makan bersama mereka?

Selepas San pergi, Genta menatap tajam wanita yang duduk di depannya.

"Saya harap kamu gak terlalu dekat dengan anak saya." peringatan bernada tidak suka itu membuat kepala Gia terangkat.

"Maksud mas Genta apa?"

Genta memutar bola mata. Jengah. "Jangan terlalu dekat dengan San. Jangan coba-coba menarik perhatian saya lewat anak saya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   21. Gosip Baru

    Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   20. Ibu dan Anak Laki-lakinya

    Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   19. Kebohongan Yang Berkembang

    “Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   18. Titipan Genta

    Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   17. Sore Bersama mas Genta

    Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   16. Aku Sudah Tau Semuanya

    Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status