Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis.
Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya.Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.‘Itu hanya mimpi, kan?’Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup."Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?"Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam.Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya."Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samping. Ditatapnya seorang anak laki-laki dengan kening mengkerut."Kamu?""Aku, San. Sandrio anak Papa, yang kemarin Tante ajak makan es krim."Gia tidak bersuara.Mata San membelalak. ‘Jangan-jangan benar lagi kalau tante Gia lupa ingatan? Yah… gimana dong? Padahal kan mereka baru berkenalan.’ Batin San berteriak heboh melihat reaksi Gia."Papaaaa… Tante Gia masa lupa sama aku! Papa ini gimana? Ayo, kita bawa tante Gia ke rumah sakit sekarang!" San berteriak nyaring.Gia memejamkan mata. ‘Ya Tuhan… semua ini bukan mimpi ternyata. San, Genta, rumah baru, dan tetangga baru. Semua ini nyata.’Dia tidak berhalusinasi ketika tadi melihat San dan Genta berdiri di seberang rumahnya.Langkah kaki yang mendekat, berhenti di sebelah Gia. Genta. Gia mendesis dalam hati. Bagaimana cara dia bangun tanpa harus bertemu laki-laki ini?"Dia gak lupa ingatan, Sayang," suara berat Genta membuat Gia gemetar. "Pura-pura pingsan itu keahlian tante Gia. Nanti juga dia bangun sendiri."Astaga... kenapa Genta malah membahas kelakuan memalukan Gia di masa lalu, sih?"Papa jangan gitu. Tante Gia beneran pingsan."Gia dalam hati berseru girang mendengar pembelaan San. ‘Hah, anak sama bapak mendingan anak!’"Papa coba Tante Gia dikasih nafas buatan. Aku takut tante Gia kenapa-napa, Pa."‘Hah, apaan? Nafas buatan?!’‘Wahai San yang polos, Kenapa kamu membuat posisi tante Gia tersudutkan?!’ Gia menggerutu dalam hati, sambil menimbang apa yang harus dia lakukan.Gia mengulum bibirnya. Mau bangun tapi malu. Kalau gak bangun, nanti dikasih nafas buatan sama Genta? Yang benar saja! Mana mau Genta melakukan hal seperti itu.Genta menunduk. Mendekat ke telinga Gia dan membisikkan sesuatu yang dapat Genta pastikan putra kecilnya tidak akan mendengar."Kamu bangun atau mau saya siram pake kuah sup? Mumpung masih panas." Suara Genta membuat leher Gia berdesir. Apa-apaan ini? Yang disebelah Gia itu Genta. Bukan hantu. Kenapa Gia malah merinding?Gia membuka mata takut-takut. Genta sudah kembali berdiri. San langsung bersorak girang melihat ‘teman’ barunya sadar."Tante Gia, ingat gak aku siapa?" San langsung memposisikan dirinya tepat di depan wajah Gia.Gia tertawa geli. "Ingat. Tante ingat kamu siapa.""Benar?" mata San berbinar-binar."Kalau ini siapa? Tante ingat?" bocah laki-laki yang memakai kaus bergambar Monster Inc itu menunjuk ayahnya."Papa nya San," jawaban Gia membuat senyum San bertambah lebar."Yey! Tante ingat kita!"Pluk!Gia melotot saat San memeluk tubuhnya. "San takut Tante lupa sama San. Tante jangan lupain San, ya."Gia menelan ludah dengan susah payah. Kacau. Kenapa San harus berbicara seperti itu, sih?Bukannya Gia tidak mau berteman dengan San, tapi.. Ya Tuhan anak ini anaknya Genta!Sanggupkah Gia terus berteman dengan anak dari laki-laki yang ia cintai? 👠👠San mengajak Gia untuk sarapan bersama di rumahnya. Gia baru tahu kalau saat pingsan tadi dia dibawa ke rumah San. Walau San tidak mengatakannya, tapi membayangkan Genta membopongnya membuat pipi Gia bersemu. Ternyata masih ada sedikit kepedulian laki-laki itu untuknya.‘Ya ampun Gia, sadar! Genta itu suami orang. Enggak boleh, aku harus move on!’ Gia geleng-geleng kepala."Tante kenapa? Masih pusing, ya?" tanya San khawatir.Gia menatap anak itu lembut. "Nggak. Tante nggak apa-apa kok."San ngangguk-ngangguk. "Kalau Tante ikut sarapan bareng kita, pasti Tante gak akan pusing lagi."Tidak berapa lama kemudian, Genta memasuki ruang makan dengan membawa semangkuk besar sup ayam yang masih panas.Sesuai perkataan pria itu tadi. Gia meneguk ludah melihat tampilan sederhana Genta. Laki-laki itu hanya memakai kaus polos berwarna abu-abu yang menutupi tubuh atletisnya dengan celana santai sebetis."Ngapain kamu lihat-lihat?" gertak Genta.Gia menggeleng panik. "Nggak ngelihatin kok."Sekarang di meja makan sudah terisi penuh dengan nasi, sup, bakwan udang, dan tumis kangkung. "Tante jangan ngelamun. Dimakan dong makanannya," seru San.Gia mengangguk pelan. Diambilnya sedikit nasi juga lauk pauk yang ada. Begitu suapan pertama masuk ke dalam mulut, Gia terhenyak. Seperti memakan masakan ibunya.Siapa pun yang memasak makanan ini, pasti dia seorang koki andalan keluarga. 'Mungkin istri mas Genta' Gia yakin itu. Tapi sesuatu mengganjal perasaannya.Di pagi hari, kala setiap keluarga seharusnya menghabiskan waktu bersama untuk sarapan dan bercengkrama, kenapa hanya Genta dan San yang ada di meja makan? Ke mana istri Genta? Apa karena ada Gia, jadi dia tidak ingin bergabung?Alis Gia menyatu bingung. Teka-teki ini membuatnya tertarik."Enak. Istri mas Genta pintar masak ya," puji Gia."Ini masakan Papa, Tan. Aku kemarin udah cerita belum kalau Papa jago masak?" celoteh San.Gia terdiam. Ekspresinya seketika berubah. ‘Jadi ini masakan Genta?’"Waw, aku gak nyangka mas Genta jago masak." Gia tersenyum lebar.Bunyi dentingan sendok yang diletakkan cukup keras, membuat Gia tersentak."Berhenti panggil saya Mas. Kamu pikir kamu itu siapa?" mata Genta menghunus tajam Gia. Kalau saja tatapan bisa menghilangkan nyawa seseorang, mungkin Gia sudah terkubur di tanah sekarang."Panggil Papa aja, Tante. Biar sama kayak San," celetuk San polos.Gia melirik Genta dari balik bulu matanya. Lalu tiba-tiba wanita itu tergelak. Geli sekali, sampai matanya berair.‘Anak Mas Genta kenapa gemesin amat sih.’ Gia membatin. Setidaknya ucapan polos San dapat menghibur Gia yang bad mood karena ayah anak itu."Papa Genta, begitu?" tanya Gia menatap San.San mengangguk senang.Entah mengapa ide jahil terbit di otak Gia. "Papa Genta, Papa Genta… bagi kakak Gia duit dong.""Kamu bukan anak saya.""Hahaha… aduh ya ampun." Gia geleng-geleng kepala. Lucu sekali rasanya bisa meledek Genta."Ya udah Pa, angkat aja Tante Gia jadi anak papa."‘Eh? ‘"Nggak bisa dong, Sayang," tutur Gia lembut."Emangnya kenapa, Tante?" mata San mengerjap bingung.‘Soalnya Tante maunya jadi istri ayah kamu. Bukan jadi anak. Astaghfirullah!’ Gia menyebut dalam hati. "Soalnya dia udah terlalu tua buat jadi anak-anak. Dia itu Tante-Tante!" ketus Genta dengan wajah datarnya. Gia memberengut. "Oh, begitu ya, Pa," San mengangguk sok paham. Lalu anak itu berdiri dari kursinya."Pa, aku udah selesai makan. Mau cuci tangan dulu, ya." "Iya, hati-hati, Nak."San mengacungkan kedua jempolnya. Interaksi ayah dan anak itu tidak lepas dari pandangan Gia. San terlihat sangat dekat dengan Papa nya.Sekarang pertanyaan Gia, di mana ibu San? Kenapa dia tidak bergabung makan bersama mereka?Selepas San pergi, Genta menatap tajam wanita yang duduk di depannya. "Saya harap kamu gak terlalu dekat dengan anak saya." peringatan bernada tidak suka itu membuat kepala Gia terangkat. "Maksud mas Genta apa?" Genta memutar bola mata. Jengah. "Jangan terlalu dekat dengan San. Jangan coba-coba menarik perhatian saya lewat anak saya."Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk. 'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya. Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta. Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain. 'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi. Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan. Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya
"Ken, menurut kamu kalau istri jarang di rumah, itu artinya apa?" Kening Keenan mengkerut bingung mendengar pertanyaan yang diajukan bosnya—Gia. Ken merasa Gia sedang banyak masalah. Tidak biasanya sahabat yang merangkap atasannya itu bertanya hal-hal aneh seperti tadi. Ken mengenal Gia sejak wanita itu menjadi runner up Puteri Indonesia tiga tahun yang lalu. Sebagai manager aktris ibu kota, Ken langsung menawarkan diri menjadi asisten pribadi Gia begitu ia tahu kalau wanita itu ingin terjun di dunia entertaiment. Selama bekerja dengan Gia, Ken akui Gia cukup interaktif dan banyak berbicara. Tapi malam ini, pertanyaan Gia membuat Ken penasaran. "Maksudnya gimana, Gi?" Gia menoleh kepadanya. "Masa harus aku perjelas?" Wanita itu menarik nafas panjang. "Menurut kamu, nih, kalau ada satu keluarga terus ibu nya jarang ada di rumah. Bahkan gak ikut sarapan bareng, nah, itu kenapa?" Ken makin dibuat bingung. 'Maksudnya apa, sih?' tapi meski begitu, Ken tetap menjawab sambil garuk-garu
"Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!" Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan. Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya. Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar. "Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang. "Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal. Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!" Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana. "Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan. "Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga s
"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?" BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air. San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik. Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala. "Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir. San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?" Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini. Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain. Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya. 'Maafin Pap
"Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi Kenza—Sang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanya—Zayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang San—putra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay
Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti
Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekend—yaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita