Share

3. Sarapan Bersama

Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis.

Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya.

Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.

‘Itu hanya mimpi, kan?’

Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup.

"Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?"

Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.

‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam.

Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya.

"Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samping. Ditatapnya seorang anak laki-laki dengan kening mengkerut.

"Kamu?"

"Aku, San. Sandrio anak Papa, yang kemarin Tante ajak makan es krim."

Gia tidak bersuara.

Mata San membelalak. ‘Jangan-jangan benar lagi kalau tante Gia lupa ingatan? Yah… gimana dong? Padahal kan mereka baru berkenalan.’ Batin San berteriak heboh melihat reaksi Gia.

"Papaaaa… Tante Gia masa lupa sama aku! Papa ini gimana? Ayo, kita bawa tante Gia ke rumah sakit sekarang!" San berteriak nyaring.

Gia memejamkan mata. ‘Ya Tuhan… semua ini bukan mimpi ternyata. San, Genta, rumah baru, dan tetangga baru. Semua ini nyata.’

Dia tidak berhalusinasi ketika tadi melihat San dan Genta berdiri di seberang rumahnya.

Langkah kaki yang mendekat, berhenti di sebelah Gia. Genta. Gia mendesis dalam hati. Bagaimana cara dia bangun tanpa harus bertemu laki-laki ini?

"Dia gak lupa ingatan, Sayang," suara berat Genta membuat Gia gemetar. "Pura-pura pingsan itu keahlian tante Gia. Nanti juga dia bangun sendiri."

Astaga... kenapa Genta malah membahas kelakuan memalukan Gia di masa lalu, sih?

"Papa jangan gitu. Tante Gia beneran pingsan."

Gia dalam hati berseru girang mendengar pembelaan San. ‘Hah, anak sama bapak mendingan anak!’

"Papa coba Tante Gia dikasih nafas buatan. Aku takut tante Gia kenapa-napa, Pa."

‘Hah, apaan? Nafas buatan?!’

‘Wahai San yang polos, Kenapa kamu membuat posisi tante Gia tersudutkan?!’ Gia menggerutu dalam hati, sambil menimbang apa yang harus dia lakukan.

Gia mengulum bibirnya. Mau bangun tapi malu. Kalau gak bangun, nanti dikasih nafas buatan sama Genta? Yang benar saja! Mana mau Genta melakukan hal seperti itu.

Genta menunduk. Mendekat ke telinga Gia dan membisikkan sesuatu yang dapat Genta pastikan putra kecilnya tidak akan mendengar.

"Kamu bangun atau mau saya siram pake kuah sup? Mumpung masih panas." Suara Genta membuat leher Gia berdesir.

Apa-apaan ini? Yang disebelah Gia itu Genta. Bukan hantu. Kenapa Gia malah merinding?

Gia membuka mata takut-takut. Genta sudah kembali berdiri. San langsung bersorak girang melihat ‘teman’ barunya sadar.

"Tante Gia, ingat gak aku siapa?" San langsung memposisikan dirinya tepat di depan wajah Gia.

Gia tertawa geli. "Ingat. Tante ingat kamu siapa."

"Benar?" mata San berbinar-binar.

"Kalau ini siapa? Tante ingat?" bocah laki-laki yang memakai kaus bergambar Monster Inc itu menunjuk ayahnya.

"Papa nya San," jawaban Gia membuat senyum San bertambah lebar.

"Yey! Tante ingat kita!"

Pluk!

Gia melotot saat San memeluk tubuhnya. "San takut Tante lupa sama San. Tante jangan lupain San, ya."

Gia menelan ludah dengan susah payah. Kacau. Kenapa San harus berbicara seperti itu, sih?

Bukannya Gia tidak mau berteman dengan San, tapi.. Ya Tuhan anak ini anaknya Genta!

Sanggupkah Gia terus berteman dengan anak dari laki-laki yang ia cintai?

👠👠

San mengajak Gia untuk sarapan bersama di rumahnya. Gia baru tahu kalau saat pingsan tadi dia dibawa ke rumah San.

Walau San tidak mengatakannya, tapi membayangkan Genta membopongnya membuat pipi Gia bersemu. Ternyata masih ada sedikit kepedulian laki-laki itu untuknya.

‘Ya ampun Gia, sadar! Genta itu suami orang. Enggak boleh, aku harus move on!’ Gia geleng-geleng kepala.

"Tante kenapa? Masih pusing, ya?" tanya San khawatir.

Gia menatap anak itu lembut. "Nggak. Tante nggak apa-apa kok."

San ngangguk-ngangguk. "Kalau Tante ikut sarapan bareng kita, pasti Tante gak akan pusing lagi."

Tidak berapa lama kemudian, Genta memasuki ruang makan dengan membawa semangkuk besar sup ayam yang masih panas.

Sesuai perkataan pria itu tadi. Gia meneguk ludah melihat tampilan sederhana Genta. Laki-laki itu hanya memakai kaus polos berwarna abu-abu yang menutupi tubuh atletisnya dengan celana santai sebetis.

"Ngapain kamu lihat-lihat?" gertak Genta.

Gia menggeleng panik. "Nggak ngelihatin kok."

Sekarang di meja makan sudah terisi penuh dengan nasi, sup, bakwan udang, dan tumis kangkung.

"Tante jangan ngelamun. Dimakan dong makanannya," seru San.

Gia mengangguk pelan. Diambilnya sedikit nasi juga lauk pauk yang ada. Begitu suapan pertama masuk ke dalam mulut, Gia terhenyak. Seperti memakan masakan ibunya.

Siapa pun yang memasak makanan ini, pasti dia seorang koki andalan keluarga. 'Mungkin istri mas Genta' Gia yakin itu. Tapi sesuatu mengganjal perasaannya.

Di pagi hari, kala setiap keluarga seharusnya menghabiskan waktu bersama untuk sarapan dan bercengkrama, kenapa hanya Genta dan San yang ada di meja makan? Ke mana istri Genta? Apa karena ada Gia, jadi dia tidak ingin bergabung?

Alis Gia menyatu bingung. Teka-teki ini membuatnya tertarik.

"Enak. Istri mas Genta pintar masak ya," puji Gia.

"Ini masakan Papa, Tan. Aku kemarin udah cerita belum kalau Papa jago masak?" celoteh San.

Gia terdiam. Ekspresinya seketika berubah. ‘Jadi ini masakan Genta?’

"Waw, aku gak nyangka mas Genta jago masak." Gia tersenyum lebar.

Bunyi dentingan sendok yang diletakkan cukup keras, membuat Gia tersentak.

"Berhenti panggil saya Mas. Kamu pikir kamu itu siapa?" mata Genta menghunus tajam Gia.

Kalau saja tatapan bisa menghilangkan nyawa seseorang, mungkin Gia sudah terkubur di tanah sekarang.

"Panggil Papa aja, Tante. Biar sama kayak San," celetuk San polos.

Gia melirik Genta dari balik bulu matanya. Lalu tiba-tiba wanita itu tergelak. Geli sekali, sampai matanya berair.

‘Anak Mas Genta kenapa gemesin amat sih.’ Gia membatin. Setidaknya ucapan polos San dapat menghibur Gia yang bad mood karena ayah anak itu.

"Papa Genta, begitu?" tanya Gia menatap San.

San mengangguk senang.

Entah mengapa ide jahil terbit di otak Gia. "Papa Genta, Papa Genta… bagi kakak Gia duit dong."

"Kamu bukan anak saya."

"Hahaha… aduh ya ampun." Gia geleng-geleng kepala. Lucu sekali rasanya bisa meledek Genta.

"Ya udah Pa, angkat aja Tante Gia jadi anak papa."

‘Eh? ‘

"Nggak bisa dong, Sayang," tutur Gia lembut.

"Emangnya kenapa, Tante?" mata San mengerjap bingung.

‘Soalnya Tante maunya jadi istri ayah kamu. Bukan jadi anak. Astaghfirullah!’ Gia menyebut dalam hati.

"Soalnya dia udah terlalu tua buat jadi anak-anak. Dia itu Tante-Tante!" ketus Genta dengan wajah datarnya.

Gia memberengut.

"Oh, begitu ya, Pa," San mengangguk sok paham. Lalu anak itu berdiri dari kursinya.

"Pa, aku udah selesai makan. Mau cuci tangan dulu, ya."

"Iya, hati-hati, Nak."

San mengacungkan kedua jempolnya. Interaksi ayah dan anak itu tidak lepas dari pandangan Gia. San terlihat sangat dekat dengan Papa nya.

Sekarang pertanyaan Gia, di mana ibu San? Kenapa dia tidak bergabung makan bersama mereka?

Selepas San pergi, Genta menatap tajam wanita yang duduk di depannya.

"Saya harap kamu gak terlalu dekat dengan anak saya." peringatan bernada tidak suka itu membuat kepala Gia terangkat.

"Maksud mas Genta apa?"

Genta memutar bola mata. Jengah. "Jangan terlalu dekat dengan San. Jangan coba-coba menarik perhatian saya lewat anak saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status